Wawancara : Arbi Sanit
19/05/2009 - 01:14
INILAH.COM, Jakarta – Duet SBY-Boediono menjadi satu-satunya kandidat yang diusung suara mayoritas parpol peserta Pemilu 2009. Koalisi gajah ini mendapat dukungan 23 partai politik, yaitu lima parpol yang lolos Parliamentary Threshold (PT) dan 18 parpol yang tidak lolos PT. Namun, tidak mustahil duet ini keok dalam Pilpres. Mengapa?
Menurut pengamat politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit, tak mustahil duet SBY-Boediono mengulangi nasib yang dialami pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam Pilpres 2004. “Bisa saja SBY-Boediono seperti Mega Hasyim, didukung banyak partai tapi kecil perolehan suaranya,” kata Arbi kepada INILAH.COM, Senin (18/5) di Jakarta.
Apa argumentasi Arbi? Bagaimana pula SBY-Boediono menghindari kekalahan yang dialami Mega-Hasyim dalam Pilpres 2009 ini? Berikut ini analisis Arbi Sanit:
Apakah pasangan SBY-Boediono akan mengulang cerita Mega-Hasyim saat Pilpres 2004, yang mendapat banyak dukungan partai, dukungan finansial yang kuat, namun keropos di dalam?
Ya tentu saja ada kemungkinan itu terjadi. Tapi itu sangat tergantung pada manajerial kampanye pada saatnya nanti dan manajerial koalisi. Nah, saat ini manajerial SBY-Boediono dipegang oleh PAN, yaitu Hatta Rajasa yang juga Mensesneg. Sedangkan Mega-Hasyim kala itu dipegang Said Aqil Siradj.
Hatta Rajasa kapasitasnya sebagai pelobi yang dipercaya oleh SBY, sebagai pelobi yang mengubungi berbagai partai untuk koalisi. Nah, koalisi SBY-Boediono ini ada kontrak politiknya. Saya menduga isi kontrak koalisi itu adalah pertama anggota koalisi berkewajiban memenangkan pilpres, minimal mempertahankan perolehan pemilu legislatif. Lalu minimal 45% sudah di tangan, tinggal menambah 6% untuk menang dalam putaran pertama.
Bagaimana perbandingan antara Megawati saat Pilpres 2004 dan SBY saat Pilpres 2009 terkait posisinya sebagai capres incumbent?
SBY sebagai incumbent jauh lebih efektif daripada Megawati dulu, karena banyak hasil yang dicapai SBY dibanding Megawati. Ketokohan SBY juga di atas Mega. Tapi saya kira tidak bisa dipersamakan begitu saja, harus dilacak unsur koalisinya seperti apa, kekuatannya seperti apa?
Bagaimana dengan indikasi yang muncul dengan tidak didukungnya keputusan elit partai oleh kader di daerah, seperti saat ini terjadi di PAN, PKS, PPP, dan PBB, yang telah menjatuhkan koalisi ke SBY-Boediono?
Memang tidak utuh, dukungan peserta koalisi ke pasangan SBY-Boediono. Sejak awal memang ada perpecahan di PAN, PKS, PPP, dan PBB. Tetapi, berapa pun keluarnya itu, masih ada cadangan dari partai non-DPR. Partai non-DPR, bisnisnya kan berapa suara yang dijual? Jadi itu lebih managable.
Misalnya, setengah dari kekuatan peserta koalisi SBY-Boediono (PKS,PAN,PPP,PBB, PKB) lari ke pasangan lainnya, kira-kira ada 10% hilang. Nah 18% dukungan dari parpol non-DPR, setidaknya 15% suara gabung ke SBY-Boediono, kan ada sisa suaranya. [P1]
Sumber : R Ferdian Andi R http://www.inilah.com/berita/wawancara/2009/05/19/108063/sby-boediono-ulangi-tragedi-mega-hasyim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar