Minggu, 28 Februari 2010

Moratorium Politik Century


Oleh : Im Sumarsono

Demokrasi liberal masa pemerintahan Soekarno, pernah memasuk masa paling dekonstruktif. Selama 8 tahun, terjadi pergantian kabinet sampai sebelas kali. Pemerintahan jatuh-bangun. Yang paling lama cuma Kabinet Djuanda, sekitar 23 bulan. Sisanya, ada yang bertahan cuma dua bulan.

Tahun 1959, Soekarno pun membubarkan Konstituante. Sistem pemerintahan berubah dari Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin. Konstitusi dikembalikan ladi menjadi: kembali ke Undang-undang Dasar 1945.

Saat itulah muncul istilah Moratorium Politik. Di mana, Presiden Soekarno berusaha melakukan pendinginan situasi politik melalui akomodasi politik terhadap hampir 55 partai di Indonesia.

Hasilnya, mengejutkan!

Di masa pemerintahan Soekarno pernah muncul Kabinet 100 Menteri. Oleh lawan-lawan politiknya, Kabinet ini kemudian diolok-olok sebagai Kabinet Kurawa -sekelompok tokoh antagonis dalam babad Mahabarata.

Tentu saja, Indonesia saat itu memasuki fase terseok-seok. Angka kemiskinan meningkat. Pembangunan tak bergerak, kecuali beberapa proyek Mercusuar yang dibangun untuk kepentingan politik luar negeri Soekarno. Utang luar negeri juga makin menebal.

Maka, konflik politik yang mengarah pada perebutan kekuasaan pun terjadi. Meletuslah Gerakan 30 September 1965, dan Republik Indonesia pun berganti sejarah!

Moratorium atau pendinginan politik, beberapa kali digunakan sebagai solusi saat ketegangan politik terjadi. Yang paling sering dilakukan adalah mengakomodasi kekuasaan, sebagai instrumen moratoruium.

Masalahnya, sejarah mencatat bahwa konflik politik selalu bersifat permanen!

Akomodasi representasi kekuatan politik sebagai suatu proses moratory, tak juga menyelesaikan masalah. Kabinet jatuh-bangun. Dan itu menjadi biaya politik yang harus dibayar begitu mahal!

Masa pemerintahan Soeharto, pendinginan politik dilakukan dengan cara lain: pembekuan! Potensi konflik dipadamkan dengan dua instrumen negara: alat kekuasaan dan alat ideologi.

Yang pertama dengan menggunakan tentara, birokrasi dan undang-undang. Kedua, melalui partai politik, media dan semua intrumen publik. Kekuasaan Orde Baru tak mengenal moratory.

Efeknya stabilitas semua lini terjaga. Tapi, pelanggaran hak mendasar manusia banyak terjadi. Dan, konflik politik kian mengental dan terbangun dalam sebuah gerakan penggulingan kekuasaan yang massif.

Ini, berbeda dengan pemerintahan Soekarno yang terguling karena gerakan elitis. Rezim Soeharto terguling karena karena gerakan massa, Soekarno terguling karena gerakan elit politiknya.

Tentu saja, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak sama dengan pemerintahan Soekarno. Apalagi Soeharto. Berbeda sama sekali!

Pemerintahan Susilo (paling tidak) terbangun melalui dua proses pendewasaan politik yang sangat berbeda dengan dua pemerintahan legendaris Indonesia sebelumnya: Soekarno dan Soeharto.

Pemerintahan Yudhoyono (dengan asumsi Kalla-Boediono benar-benar berfungsi sebagai Wapres), lahir melalui proses euphoria politik dan politik pencitraan (political branding).

Perjalanan lima tahun pertama, hampir mulus. Tak banyak konflik politik terjadi. Dua kekuatan besar terjaga, yaitu kekuatan ideologis dan kekuatan pragmatis.

Problem muncul justru di 100 hari pemerintahan lima tahun kedua. Pergantian komposisi kabinet dan pemerintahan, membuat elit politik bergerak cepat melakukan tekanan politik. Muncullah skandal Bank Century.

Semula pergerakannya wajar. Sampai kemudian, tiga bulan perjalanan Pansus, makin jelas apa sebenarnya yang terjadi. Bahwa, Pansus skandal Century bukan cuma mengungkap kejahatan perbankan. Juga, bukan cuma menelusuri aliran dana.

Hiruk-pikuk pandangan akhir Fraksi jelas menunjukkan telah terjadi perubahan geo-politik pasca Pilpres. Pasangan Yudhoyono-Boediono yang memenangi 62 persen suara, telah tereduksi secara politik dalam urusan bagi-hasil kekuasaan.

Lihat saja, skandal Century bukan lagi bicara soal siapa penggarong uang negara. Tapi, makin mengental kepada pilihan kocok-ulang hasil kekuasan: siapa yang akan diganti, siapa yang mengganti, bagaimana caranya mengganti?

Semua fraksi sepakat bahwa ada penyimpangan dalam skandal Century. Yang justru tidak ada kesepakatan di antara fraksi adalah: kesimpulan dan siapa yang bertanggungjawab dalam skandal ini?

Pertarungan politik telah dimulai!

Partai-partai melalui "alat-alat politiknya" di DPR, unjuk kekuatan. Yang koalisi atau non-koalisi, sama-sama unjuk gigi. Representasi suara di parlemen tak jadi ukuran. Politik telah menemukan konfliknya. Dan, luka karena konflik politik, bersifat permanen!

Sulit untuk tidak mengatakan, motif politik di balik tekanan ini adalah dendam. Dendam karena kalah bertarung, dendam karena bagi hasil kekuasaan yang tak merata, atau juga dendam karena tergusur dari kekuasaan.

Jadi, tanpa moratorium politik, pemerintahan Yudhoyono-Boediono sangat sulit melanjutkan pekerjaan. Kalaupun bisa, langkahnya terseok-seok.

Sejarah sudah membuktikan, 11 kabinet yang pernah dibentuk masa pemerintahan Soekarno, bukanlah kabinet sembarangan. Mereka tokoh-tokoh besar yang membangun fundamen republik ini. Ada Hatta, peletak dasar ekonomi kerakyatan.

Ada Syahrir, Si Kancil ahli diplomasi yang menyamakan derajat kebangsaan Indonesia sama di mata dunia. Ada Natsir, peletak dasar politik Islam modern Indonesia. Ada Aliwongso. Ada Djuanda.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para tokoh yang sekarang ini berada di barisan pemerintahan Yudhoyono-Boediono, sekali lagi, tanpa moratorium politik, sulit membayangkan perjalanan pemerintahan akan berjalan baik. Ini republik sudah butuh pendinginan.

Atau, penguasa akan membiarkan ini terus menggelembung hingga kontraksi politik tak bisa dihindari. Ah, terlalu mahal biaya yang harus dibayar untuk sebuah demokrasi![*]

Sumber : http://parlemen.inilah.com/news/read/2010/02/27/369891/moratorium-politik-century-2/

http://parlemen.inilah.com/news/read/2010/02/26/369861/moratorium-politik-century-1/

Jumat, 12 Februari 2010

MENDAGRI: HONOR MUSPIDA LEGAL, "FEE" BPD ILEGAL

Jakarta, Mendagri Gamawan Fauzi menegaskan, honor bagi para anggota muspida merupakan pemberian yang sah, sedangkan pemberian uang atau "fee" dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) bagi gubernur atau pejabat daerah lainnya adalah ilegal.

"Honor bagi muspida (musyawarah pimpinan daerah) adalah legal, tapi "fee" dari BPD merupakan tindakan yang tidak legal," kata Mendagri Gamawan Fauzi dalam wawancara jarak jauh dengan wartawan di Kantor Kemdagri Jakarta, Jumat.

Gamawan yang sedang berada di Denpasar, Bali, mengatakan hal itu terkait masih munculnya sikap pro dan kontra mengenai masalah pemberian honor bagi para anggota muspida.

Muspida di tingkat provinsi antara lain adalah gubernur, kapolda, pangdam serta kepala kejaksaan tinggi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota antara lain bupati atau wali kota, kepala kejaksaan negeri, kapolres dan komandan kodim.

Namun, kata Gamawan, ada juga daerah yang memiliki "muspida plus" yang juga mencakup tokoh ulama serta tokoh wartawan.

Gamawan yang merupakan mantan Gubernur Sumbar mengatakan, muspida telah ada sejak 1986 yang antara lain tugasnya adalah melakukan koordinasi antarinstansi untuk membahas topik-topik atau persoalan tertentu.

Karena para anggota muspida itu melakukan tugasnya di luar kegiatan-kegiatan rutin maka mereka mendapat honor.

"BPK (Badan Pemeriksa Keuangan.red) selama 24 tahun tidak pernah mempermasalahkannya," kata Gamawan yang juga pernah menjadi bupati dua periode di Kabupaten Solok, Sumbar.

Ia mengatakan honor bagi anggota muspida sudah diatur dalam APBD yang disahkan mendagri.

Sementara itu, ketika ditanya tentang pemberian uang atau "fee" yang diterima pejabat daerah dari BPD setempat, Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan, Bank Indonesa (BI) pada tahun 2006 telah mengeluarkan imbauan agar BPD-BPD tidak lagi memberikan "fee".

"Imbauan BI pada tahun 2006 adalah agar `fee` tidak dibayarkan lagi," katanya.

Ketika ditanya wartawan apakah sampai saat ini masih ada pejabat daerah yang menerima "fee" dari BPD setempat, sambil tersenyum Gamawan mengatakan, "Hampir semua BPD sudah tidak memberikan lagi. Paling-paling tinggal satu sampai dua `pemberani` yang masih menerimanya".

Gamawan mengungkapkan, untuk mengatasi "fee" bagi pimpinan daerah dari BPD seperti gubernur, maka ia memiliki wacana agar mereka ini honor sehingga tidak ada masalah dari segi hukum. Namun ia menegaskan bahwa hal itu baru sebatas wacana sehingga jangan dianggap sebagai sebuah keputusan .

Alasan tentang perlunya pemberian honor kepada pejabat daerah antara lain adalah karena BPD merupakan salah satu kas daerah yang uangnya besar sekali jumlahnya tapi kemudian pejabat daerah tidak mendapat uang tambahan, maka mereka bisa terkena "rayuan" pihak tertentu untuk menaruh uang itu di bank swasta.

"Kalau ada masalah maka uang APBD itu bisa hilang," kata Mendagri ketika menjelaskan latar belakang wacana perlunya pemberian honor kepada gubernur oleh BPD setempat karena biar bagaimana pun juga pejabat pemda adalah pembina BPD di wilayahnya.

Ia menegaskan, sampai sekarang saja sudah sekitar 130 kepala daerah yang izin pemeriksaannya sudah turun dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena diduga melakukan pelanggaran. (ant)
Sumber : Sinar Harapan

DEMOKRASI GAGAL SEBARKAN KESEJAHTERAAN BAGI RAKYAT

Jakarta, Pengajar Fisipol UGM Cornelius Lay mengungkapkan perkembangan demokrasi Indonesia yang telah berjalan 10 tahun terakhir ini gagal menyebarkan kesejahteraan bagi rakyat, sehingga rakyat justru menjadi semakin sengsara.

"Indonesia ini negara penganut demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun ironisnya demokrasi telah berubah menjadi instrumen untuk menambah kemakmuran bagi elit politik," kata Cornelius Lay dalam Diskusi Publik "Wajah Demokrasi Indonesia", di Jakarta Media Center, Rabu.

Negara dinilainya masih setengah-setengah dalam berupaya menyejahterakan rakyat. Bukan hanya itu, negara masih memiliki pesaing dalam usaha memunculkan kesejahteraan rakyat. Saingan tersebut hadir dalam wajah rumah sakit, sekolah, dan partai yang turut serta mengemban tugas pemerintah.

"Seolah semua golongan ingin memunculkan kelebihannya masing-masing. Muhammadiyah dan orang Katolik, misalkan, bikin sekolah. Rumah sakit juga dibangun untuk menyaingi milik pemerintah," jelas Cornelius.

Cornelius menilai, selama ini di Indonesia, demokrasi tidak terjadi secara menyeluruh dalam semua lapisan masyarakat. Contohnya adalah pembuatan KTP. Hal itu tidak menunjukkan seseorang sebagai bangsa Indonesia, tetapi hanya menunjukkan seseorang berasal dari kelurahan dan kecamatan tertentu dalam sebuah kabupaten atau kota .

"Contohnya, coba saja kalau kita pegang KTP Yogyakarta, lalu kita mengajukan Askeskin ke rumah sakit di Jakarta, sudah pasti ditolak. Apa itu yang namanya demokrasi?" tutur Cornelius.

Lokalitas, kata Cornelius, harus dijadikan basis utama dalam menumbuhkan demokrasi. Masyarakat dan petinggi negeri diharapkannya untuk melupakan sementara ranah Indonesia yang terlalu besar. Sebaiknya demokrasi terlebih dahulu dimunculkan di daerah-daerah.

"Berdemokrasilah di pojok-pojok Indonesia yang menjanjikan itu," tambah Cornelius.

Menambahkan pendapat Cornelius, Direktur Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), Antonio Pradjasto mengatakan, tidak meningkatnya kesejahteraan rakyat juga disebabkan oleh memburuknya hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob).

"Hal tersebut mencolok karena di satu sisi ada peningkatan kemakmuran pada segelintir orang di sisi lain mayoritas masyarakat masih tenggelam dalam kemiskinan," kata Antonio.

Demokrasi yang cocok

Antonio Pradjasto menilai parlemen belum maksimal dalam menegakkan demokrasi. Hal itu disebabkan karena parlemen tidak mengerti kepentingan publik secara menyeluruh.

"Belakangan ini mencuat isu bahwa demokrasi tidak cocok diaplikasikan di Indonesia. Menurut saya, itu hanyalah alasan para elit politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka," tandas Antonio.

Demokrasi, kata dia, tepat diaplikasikan dimana saja karena setiap manusia di dunia memiliki hak untuk berekspresi.

Rakyat Indonesia dianggapnya membutuhkan pemerintah yang tegas dalam menjalankan negeri ini. Namun, ia juga menekankan bahwa tegas tidak sama dengan otoriter.

Rezim otoriterlah yang membuat demokrasi tidak bisa dilaksanakan dalam sebuah negara.

Pendapat-pendapat Antonio itu dilontarkannya karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya memunculkan isu akan ke mana demokrasi Indonesia dibawa. Antonio termasuk orang yang cemas akan hal ini karena dianggap isu pencarian jati diri Indonesia akan membawa Indonesia kepada rezim otoritarian. (ant)
Sumber : Sinar Harapan

Minggu, 07 Februari 2010

ICW Minta Honorarium untuk Muspida Dihapus

Jakarta - Pemberian honorarium terhadap pejabat daerah dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) dinilai bertentangan dengan undang-undang dan menyebabkan pemborosan uang negara. ICW meminta praktek yang berlangsung sejak Orde Baru ini dihapuskan.

"Pemberian honorarium untuk Muspida bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Pasal 5 PP Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah," tulis ICW dalam rilisnya kepada detikcom, Minggu (7/2/2010).

Dalam Peraturan Pemerintah itu disebutkan, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dibenarkan menerima
penghasilan dan atau fasilitas rangkap dari Negara. Dalam pasal 8 juga ditegaskan, untuk pelaksanaan tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah disediakan biaya penunjangan operasional yang dipergunakan untuk koodinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat dan lain sebagainya.

Pemberian honorarium ini, menurut ICW juga potensial untuk disalahgunakan. Pasalnya, kepala daerah yang mempunyai kewenangan membuat regulasi bisa saja menentukan sendiri besaran honor dan siapa saja yang dapat menerima honor.

ICW lalu menunjukkan contoh kasus saat Gamawan Fauzi masih menjabat sebagai gubernur Sumbar. "SK yang dikeluarkan Gamawan saat menjabat tahun 2007 dan 2008 justru memberikan honor Muspida kepada pihak-pihak di luar yang ditentukan oleh Keppres yaitu wakil gubernur, ketua DPRD, Dan Lantamal, ketua Pengadilan Tinggi, ketua Pengadilan Agama, Ketua PTUN, Dan Lanud, dan sekretaris daerah," terang ICW dalam rilis.

Padahal dalam Kepres Nomor 10 Tahun 1986, pasal 4 disebutkan bahwa yang digolongkan sebagai Muspida hanya 4 orang yakni gubernur, Pangdam atau pejabat yang ditunjuk oleh Panglima ABRI, Kepala Kepolisian Daerah, dan Jaksa tinggi.

Selain itu, pemberian honorarium ini menurut ICW juga menyebabkan pemborosan uang negara, karena dasar hukumnya yang tidak kuat.

"Dalam kasus Sumatera Barat, SK Gubernur Gamawan yang memberikan honorarium Muspida Secara Rutin Setiap Bulan selama Tahun 2007 dan 2008 menyebabkan pemborosan Keuangan Daerah (versi BPK) Sebesar Rp 1,3 miliar," jelas ICW dalam rilis. Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Jember, dan Sumatera Utara.

Pemberian honor terhadap Muspida juga dinilai ICW menimbulkan konflik kepentingan. Karena pejabat penegak hukum sudah menerima honor Muspida maka proses hukum cenderung menjadi tidak fair ketika melibatkan pejabat atau pemerintah daerah.

Gunawan Mashar - detikNews (gun/iy)

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD