Kamis, 30 Juli 2009

DPRD Tolak Putusan Mahkamah Agung

Kamis, 30 Juli 2009 | 03:19 WIB

Jakarta, Kompas - Asosiasi DPRD Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia menolak putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 yang terkait dengan penghitungan kursi DPRD kabupaten/kota. Alasannya, anggota DPRD kabupaten/kota periode 2009-2014 akan segera dilantik.

Direktur Eksekutif Asosiasi DPRD Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (Adkasi) Iwan Soelasno, Rabu (29/7), mengatakan, saat ini calon anggota DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia, yang sudah ditetapkan sebagai calon terpilih oleh KPU kabupaten/kota, sedang menyiapkan upacara pelantikan yang direncanakan bulan Agustus 2009. Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota berbeda-beda di seluruh Indonesia sehingga upacara pelantikan tergantung dari habisnya masa jabatan mereka.

MA telah mengeluarkan putusan yang membatalkan Pasal 45 Huruf b dan Pasal 46 Ayat 2 Huruf b Peraturan KPU No 15/2009. Uji materi terhadap pasal-pasal itu diajukan oleh Tudsi, calon anggota DPRD Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dengan pembatalan pasal itu, parpol yang tidak memperoleh kursi pada tahap pertama karena tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih tidak dapat mengikuti penghitungan kursi tahap kedua.

”Masa jabatan mereka harus pas lima tahun, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Untuk itu, sebagian besar anggota Adkasi menolak putusan MA sekalipun harus berseberangan dengan DPP parpolnya masing-masing,” kata Iwan.

Untuk itu, lanjut Iwan, KPU harus segera berkoordinasi dengan MA. ”Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi gejolak politik di kabupaten/kota. Adkasi khawatir putusan MA akan membuat konflik politik horizontal, baik internal parpol maupun antarparpol,” ujar Iwan.

Secara terpisah, anggota KPU, Andi Nurpati Baharuddin, mengungkapkan, KPU akan segera melakukan rapat pleno pekan ini untuk membicarakan lima putusan MA terkait dengan Pemilu Legislatif 2009. ”Kami semua mempunyai niat untuk segera mengambil keputusan terkait putusan MA dan MK (Mahkamah Konstitusi). Apalagi, anggota DPRD akan segera dilantik mulai bulan depan. Kalau pelantikan anggota DPR, masih tanggal 1 Oktober, sehingga KPU punya waktu dua bulan lagi,” katanya.

Andi melanjutkan, pada prinsipnya KPU menghormati dan menghargai putusan MA. Karena itu, KPU harus mempunyai dasar yang kuat apabila akan mengambil keputusan.

KPU temui pimpinan MA

Wakil KPU, kemarin, bertemu dengan pimpinan MA di kantor MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. KPU meminta penjelasan terkait putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU No 15/2009 khusus terkait pembagian kursi tahap kedua. ”Kami cuma menyampaikan inilah putusan MA,” ujar juru bicara MA, Hatta Ali. Dalam pertemuan itu, ungkap Hatta, KPU sama sekali tidak menyampaikan keberatan. Mereka hanya bertanya bagaimana penerapannya.

Menurut Hatta, MA menjelaskan, putusan mereka adalah putusan terhadap perkara hak uji materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pengujian itu memang merupakan wewenang MA.

”Inilah (Peraturan KPU) yang majelis hakim uji. Ternyata majelis melihat ada pertentangan antara Peraturan KPU Pasal 22 dan 23 dengan UU No 10/2008 Pasal 205 Ayat 4. Kami tidak lihat perhitungan suaranya. Itu bukan wewenang kami,” ujar Hatta.

Ditanya mengenai revisi hasil penghitungan, Hatta menjelaskan, hal itu tergantung KPU. Namun, putusan MA tersebut tidak berlaku surut. Putusan MA berlaku ke depan. ”Peraturannya yang dibatalkan, dan MA memerintahkan untuk merevisi peraturannya,” ujar Hatta.

Dalam pengujian itu, Hatta menegaskan bahwa MA semata-mata melihat dari segi hukum. ”MA tidak melihat aspek politis. Karena waktu perkara diputus, kami tidak tahu siapa yang diuntungkan dan dirugikan. MA semata-mata hanya melihat ada pertentangan. Kami tidak melihat soal angka. Kami tidak tahu. Kalau kami tahu, itu justru tidak obyektif,” ujar Hatta.

Masih mengenai persoalan yang sama, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie meminta KPU segera melaksanakan putusan tersebut.

”Saya anjurkan putusan hukum harus dihormati dan dilaksanakan. Soal bagaimana caranya, substansi apa yang mau dimuat, itu pandai-pandai KPU. Sebab, implikasi dari kesimpangsiuran bisa menimbulkan masalah yang serius sekali. Jadi, KPU jangan memberi kesan tidak menghormati hukum. Mereka itu institusi resmi,” ujar Jimly.

Secara terpisah, mantan hakim agung MA, Benjamin Mangkoedilaga, menilai beberapa putusan MA terkait pembagian tata cara pembagian kursi anggota DPR dan DPRD hasil pemilu legislatif lalu sudah sesuai dengan aturan dan kewenangan yang dimiliki MA. Hakim MA pun dianggap sudah bekerja secara profesional dan tidak berpolitik. ”Lembaga peradilan tidak berpolitik. Itu memang kewenangannya,” katanya.

Menurut Benjamin, MA pernah membatalkan sejumlah kasus bernuansa politik tanpa dipengaruhi oleh putusan politik. MA pernah membatalkan keputusan presiden tentang pengangkatan Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Kepala Polri pada 2001 dan membatalkan keputusan Menteri Penerangan yang membredel majalah Tempo pada 1995.

Sesuai Pasal 31 Ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA, salah satu kewenangan MA adalah melakukan uji materi (judicial review) untuk menguji peraturan perundang-undangan dengan UU di atasnya. Pengajuan uji materi itu dapat dilakukan melalui gugatan di pengadilan tata usaha negara ataupun mengajukan uji materi langsung ke MA.

”Sekarang terserah KPU, mau melaksanakan putusan MA atau jika tidak puas, silakan mengajukan PK (peninjauan kembali),” katanya menambahkan. (MZW/ANA/SIE)

Sumber : Kompas.com

Rabu, 29 Juli 2009

CETRO: Saya Kira Hakim MA Enggak Ngerti...

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif CETRO Hadar N Gumay menilai Hakim Agung yang mengeluarkan putusan mengenai pembatalan tata cara penghitungan perolehan kursi tahap II DPR RI tidak mengerti dengan benar sistem proporsional yang dibangun dalam pemilihan umum kali ini, apalagi kemudian dilanjutkan dengan penghitungan perolehan kursi untuk DPRD.

Hadar mengatakan, sistem pemilu yang dibangun sudah mencerminkan proporsionalitas. Namun, sekarang diubah bahwa hanya partai yang memperoleh bilangan pembagi pemilih (BPP) penuh yang dapat memperoleh jatah kursi. Misalnya, di satu dapil tersedia jatah lima kursi. Dua partai meraih dua kursi di tahap pertama.

"Nah, kalau menurut putusan MA, yang berhak mendapat sisa kursi ya partai itu-itu juga. Kelihatan sekali hakim ini enggak ngerti apa yang mereka putuskan. Menurut saya, MA stop dulu deh terima judicial review. Kalau enggak akan hancur ini sistem pemilu kita," ujar Hadar dalam diskusi Charta Politika bertajuk "Kontroversi Putusan MA", Rabu (29/7).

Hadar menilai, persoalannya memang ada di Mahkamah Agung (MA). Menurut Hadar, lembaga ini seharusnya tidak menerima judicial review karena hasil ini digunakan untuk menetapkan hasil pemilu yang sudah ditetapkan. "Aneh kan? Saya kira ini kekeliruan MA melayani proses judicial review. Di sini, KPU sulit menghindarinya karena pascaputusan, KPU harus menghitung ulang. Tidak bisa tidak, putusan MA harus mereka perhatikan," tandas Hadar.

Hadar mendorong agar dibuat sebuah terobosan hukum untuk mengakhiri putusan untuk kepentingan bersama, bukan sekadar kepentingan politik.

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

Putusan MA Juga Mengubah Konstelasi Kursi di DPRD

Jakarta - Jika Putusan MA No 15 P/HUM/2009 membuat gonjang-ganjing perolehan kursi di DPR, maka putusan MA yang lain, yakni Nomor 16 P/HUM/2009, bisa membuat berantakan perolehan kursi di DPRD Kabupaten/Kota. Uji material yang diajukan oleh caleg DPRD Kabupaten Malang, M Rusdi, itu juga diputuskan pada 18 Juni 2009 lalu.

Jika putusan ini diterapkan sekarang, ratusan bahkan ribuan kursi DPRD kabupaten/kota terancam ganti pemilik.

Dalam permohonannya tertanggal 2 Juni itu, Rusdi mempermasalahkan penghitungan kursi DPRD Kabupaten/Kota tahap kedua. Aturan yang dipermasalahkan Rusdi tercantum dalam pasal 45 huruf b dan pasal 46 ayat (2) huruf b Peraturan KPU Nomor 15/2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan Kursi dan Caleg.


Aturan KPU

Dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), penghitungan kursi di Kabupaten/Kota dibagi ke dalam 2 tahap. Tahap pertama dilakukan dengan cara mencari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di tiap dapil.

Seperti di tingkat nasional, di tingkat kabupaten/kota juga terdapat dapil. BPP diperoleh dengan cara membagi jumlah seluruh suara parpol di dapil dengan jumlah kursi.

Parpol yang memperoleh suara di atas BPP otomatis menapatkan kursi. Jika suaranya berjumlah 2 kali lipat BPP, maka parpol itu memperoleh 2 kursi. Demikian seterusnya.

Perlu dicatat, untuk penghitungan kursi DPRD baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota tidak menggunakan parliamentary threshold (PT). Itulah mengapa seluruh suara dari semua parpol diikutkan dalam penghitungan kursi.

Setelah parpol yang suaranya melampaui BPP mendapatkan kursi, maka sisa suaranya akan diikutkan di penghitungan tahap kedua. Adapun parpol yang di tahap pertama tidak memperoleh kursi, suaranya juga akan diikutkan dalam
penghitungan tahap kedua. Suara parpol yang belum dapat kursi itu dikategorikan sebagai 'sisa suara.'

Penghitungan tahap kedua dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada
parpol berdasarkan perolehan sisa suara terbanyak. Misalnya masih ada 7 kursi yang belum terbagi, maka 7 kursi itu dibagikan kepada 7 parpol
yang mempunyai sisa suara paling besar.


Putusan MA

Aturan yang dipersoalkan Rusdi adalah mengenai pengkategorian suara parpol yang tidak memperoleh kursi di tahap pertama sebagai sisa suara.

Merujuk pada pasal 213 ayat (3) UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu, Rusdi
berpendapat bahwa sisa suara itu hanya dimiliki oleh parpol yang telah memperoleh kursi di tahap pertama.

Adapun suara parpol yang tidak mendapatkan kursi di tahap pertama tidak bisa dikategorikan sebagai 'sisa suara,' dan karenanya tidak bisa diikutsertakan dalam penghitungan tahap kedua.

Dalam pasal 213 ayat (3) UU Pemilu disebutkan, dalam hal masih terdapat sisa
kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP, maka penghitungan kursi dilakukan dengan cara membagi sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak
satu per satu sampai habis. Dengan demikian, hanya sisa suara saja yang bisa diikutkan dalam penghitungan tahap kedua.

Dalam penafsiran Rusdi, yang namanya sisa suara itu hanyalah sisa suara dari
parpol yang telah memperoleh kursi, tidak termasuk suara parpol yang belum mendapatkan kursi sebagaimana ditafsirkan KPU dalam Peraturan KPU No
15/2009 pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat (2) huruf b.

Karena itu Rusdi beranggapan pengkategorian suara parpol yang belum memperoleh kursi di tahap pertama sebagai sisa suara adalah hal yang salah.

Dengan mengkategorikan suara parpol yang belum memperoleh kursi di tahap pertama itu sebagai suara sisa, menurut Rusdi, KPU telah memberi hak kepada parpol itu untuk mengikuti penghitungan di tahap kedua. Padahal
sebenarnya parpol itu tidak berhak ikut karena sejatinya tidak memiliki sisa suara.

Dalam permohonannya itu Rusdi mengatakan KPU masih terjebak dengan aturan yang ada di UU Nomor 12/2003 tentang Pemilu. Dalam Pasal 106 huruf b UU tersebut dikatakan, jika suara parpol di penghitungan tahap pertama lebih kecil dari angka BPP, maka suara itu akan dikategorikan sebagai sisa suara dan diikutkan dalam penghitungan tahap ketiga.

Padahal UU Nomor 12/2003 itu telah dinyatakan batal dengan berlakunya UU Nomor 10/2008. Karena itu KPU dianggap telah berpedoman pada UU yang sudah kadaluwarsa.

Pendapat Rusdi itu diamini oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan uji material Rusdi. Karena itulah MA memerintahkan KPU membatalkan dan mencabut Peraturan KPU No 15/2009 pasal 45 huruf b dan pasal 46 ayat (2) huruf b.

Hakim agung yang memutus perkara ini sama dengan yang memutus uji materi yang diajukan Zainal Ma'arif, yakni Ketua MA sebagai Ketua Majelis dengan anggota Imam Soebechi dan Marina Sidabutar.


Implikasi

Implikasi dari putusan MA ini, parpol yang di penghitungan tahap pertama tidak mendapatkan kursi secara otomatis tidak bisa diikutkan dalam penghitungan tahap kedua. Itu artinya selamanya mereka tidak akan mendapatkan kursi.

Dengan perubahan cara menghitung ini, bisa dipastikan ratusan atau bahkan ribuan kursi DPRD kabupaten/kota bakal ganti majikan.

Jumlah kursi untuk DPRD kabupaten/kota berkisar antara 20-50 kursi. Dengan
jumlah kabupaten/kota yang mencapai angka 471, bisa dibayangkan berapa kursi yang akan mengalami pergeseran pemilik.

Namun ada yang perlu diperhatikan di sini. Dalam amar putusannya, MA tidak memerintahkan KPUD merevisi SK penetapan caleg di kabupaten/kota.

Ini lain dengan Putusan MA No 15P/HUM/2009 yang memerintahkan KPU merevisi SK No 259/Kpts/KPU/Tahun 2009. Karena itu masih menjadi tanda tanya apakah KPUD kabupaten/kota di seluruh Indonesia harus mengubah perolehan kursi DPRD yang telah mereka tetapkan atau tidak.

( sho / nwk ) Shohib Masykur - detikPemilu

Sabtu, 25 Juli 2009

Babak Baru Geger Kursi DPR

INILAH.COM, Jakarta - Keputusan Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan KPU tentang penghitungan kursi DPR berdampak serius atas komposisi kursi di parlemen. Keputusan ini tak ubahnya bom yang meledak menjelang berakhirnya rangkaian Pemilu 2009.

Keputusan MA yang membatalkan Peraturan KPU No 15/2008 Pasal 22 huruf C dan pasal 23 ayat (1) dan (3) tentang pedoman teknis penetapan, dan pengumpulan hasil pemilu tata cara perolehan kursi, bedampak tak kecil atas komposisi kursi di parlemen.

Sedikitnya terdapat perubahan kepemilikan 66 kursi DPR RI. Permohonan uji materi ini diajukan oleh empat caleg Partai Demokrat, yakni Zaenal Ma’arif, Yosef B Badeoda, M Utomo A Karim, dan Mirda Rasyid.

Dampak dari keputuasn MA tersebut, penghitungan tahap kedua yang mempertimbangkan seluruh suara parpol, bukan sisa suara setelah dibagi dengan bilangan pembagi pemilih (BPP) 100% pada tahap pertama.

Karena, jika merujuk di peraturan KPU tersebut dalam penghitungan tahap kedua sisa suara dari tahap pertama masuk pada penghitungan tahap kedua dengan sisa suara yang mencapai 50% BPP akan memperoleh kursi.

Dalam perhitungan Centre for Electoral Reform (Cetro) putusan MA itu akan mengakibatkan perubahan jumlah kursi sembilan partai yang lolos parliamentary threshold (PT). Empat partai di antaranya akan mendapat ‘berkah’ atas putusan itu, namun sisanya mendapat ‘musibah’.

Keempat partai politik tersebut yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, dan Partai Kebangkian Bangsa (PKB). Sedangkan partai yang mengalami penurunan kursi yaitu Hanura, PKS, Gerindra, PPP, dan Partai Gerindra.

Partai Demokrat dari 150 kursi menjadi 180 kursi, Partai Golkar menjadi 125 kursi dari sebelumnya 107 kursi, PDIP dari 95 kursi menjadi 111 kursi, dan PKB dari 27 kursi menjadi 29 kursi.

Sedangkan partai yang kehilangan kursi yaitu Partai Hanura yang awalnya mendapat 18 menjadi tersisa 6 kursi. PKS berkurang tujuh dari sebelumnya 57 kursi. PAN menjadi 28 dari sebelumnya 43 kursi. Sedangkan PPP menjadi 21 dari sebelumnya 37 kursi.

Merespons keputusan MA, Juru Bicara Partai Hanura Jogi Soehandoyono menegaskan, pihaknya akan mempelajari dengan seksama keputusan MA tersebut. Sekaligus mencari celah hukum yang dapat digunakan untuk melakukan gugatan.

“Keputusan MA itu sangat berpengaruh terhadap partai-partai politik dan dapat menimbulkan konflik di internal partai. Apalagi jika ada para calon legislatif yang terpaksa terdepak, dengan putusan MA itu,” tutur Soehandoyo, di Jakarta, Jumat (24/7).

Cukup wajar reaksi Partai Hanura. Karena dengan menggunakan keputusan MA, maka partai yang dibesut Wiranto itu akan kehilangan kursi cukup banyak sekitar 12 kursi. Tampaknya sikap serupa akan dilakukan oleh partai politik yang dirugikan dengan keputusan MA tersebut.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai, dampak dari keputusan MA membuat bangsa Indonesia menjadi repot. Menurut dia, jika keputusan MA dijalankan jelas akan berdampak dengan pilpres yang telah digelar.

“Bagaimana pilpres itu nasibnya, Hanura dan Gerindra tidak layak mencalonkan presiden,” tegasnya. Kondisi demikian, sambung Ray, tidak terlepas dari sikap KPU yang selama ini sering mengindahkan masukan dari pihak luar.

Sementara peneliti senior Cetro Refly Harun meminta agar KPU mengindahkan keputusan MA dan menempuh jalur hukum. “Kita menyarankan KPU tidak terima saja untuk kemudian menempuh upaya hukum ini,” katanya di kantor KPU.

Selain menyarankan KPU menempuh jalur hukum, Refly juga berharap caleg dan partai yang dirugikan atas keputusan MA agar menempuh jalur hukum.

Keputusan MA tak ubahnya bom menjelang usainya hajatan demokrasi lima tahun. Implikasi atas keputusan MA tersebut tidak kecil. Mulai dari pilpres, peta koalisi di parlemen, hingga dinamika di parlemen dalam lima tahun ke depan. [E1] R Ferdian Andi R

Artikel terkait : Bedah Editorial Media Indonesia 25 Juli 2009

Kamis, 23 Juli 2009

KPU Tak Diundang Sidang MA & Belum Terima Salinan Putusan

detikcom - Kamis, Juli 23

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak diundang dalam sidang putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan penghitungan kursi di tahap kedua. KPU juga belum menerima salinan putusan itu.

"Saya nggak pernah hadir, mungkin biro hukum yang diundang," kata anggota KPU yang juga Ketua Pokja Penetapan Kursi, I Gusti Putu Artha, di Kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Kamis (23/7/2009).

Putu mengaku sampai saat ini KPU belum menerima salinan putusan MA tersebut. Terkait sidang judicial review (JR) yang diajukan oleh caleg Partai Demokrat Zainal Ma'arif itu, Putu mengaku tahu sekedarnya saja.

"Saya memang pernah dengar kalau ada (JR) itu," kata Putu.

Putu menambahkan, sampai sekarang pihaknya belum menerima salinan putusan MA. "Belum terima," tambahnya.

MA mengabulkan judicial review Peraturan KPU Nomor 15/2009 tentang penetapan kursi dan caleg terpilih yang diajukan oleh caleg Partai Demokrat Zainal Ma'arif dan kawan-kawan. Dengan putusan MA ini, maka semua caleg terpilih yang ditetapkan berdasarkan penghitungan tahap kedua harus ditinjau ulang.

Dalam peraturan KPU pasal 23, penghitungan tahap kedua dilakukan dengan patokan 50 persen bilangan pembagi pemilih (BPP). Suara parpol yang belum memperoleh kursi di tahap pertama dan suara sisa parpol yang telah memperoleh kursi di tahap pertama akan diikutkan dalam penghitungan kursi menggunakan angka 50 persen BPP.

Yang dipersoalkan dalam judicial review itu adalah aturan bahwa parpol yang telah memperoleh kursi di tahap pertama hanya bisa mengikutsertakan sisa
suaranya di tahap kedua. Menurut pemohon, seharusnya semua suara parpol itu diikutkan, bukan hanya sisanya.

Sebab aturan yang ada di UU 10/2008 tentang Pemilu pasal 205 ayat (4) menyebutkan bahwa parpol yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50 persen dari BPP otomatis diikutkan dalam penghitungan tahap kedua.

Dengan demikian, misalnya ada parpol yang memperoleh suara 140 persen BPP, maka parpol itu juga akan diikutkan ke penghitungan tahap kedua. Bekal suara parpol itu di penghitungan tahap kedua adalah 140 persen, meskipun yang 100 persen sudah terkonversi menjadi kursi di tahap pertama dan tinggal sisa 40 persen.

Pendapat pemohon itu diamini oleh MA. Karenanya MA mengeluarkan putusan No 15/0/HUM/2009 yang diambil pada 18 Juni 2009. Dalam putusannya itu MA menyebut bahwa peraturan KPU yang mengatur penghitungan di tahap kedua itu tidak sah karena bertentangan dengan UU Pemilu, dan karenanya pasal yang bersangkutan, harus dicabut.

MA juga memerintahkan KPU merevisi Keputusan KPU No 259/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Perolehan Kursi Parpol. KPU juga diharuskan menunda pelaksanaan keputusan No 259 tersebut.

Sumber : http://id.news.yahoo.com/dtik/20090723/tpl-kpu-tak-diundang-sidang-ma-belum-ter-b28636a_1.html

Putusan MA Dinilai Kontroversial

Cetro: MA Tak Wenang Anulir Hasil Pemilu

Rabu, 22 Juli 2009

SBY Didesak Minta Maaf Terkait Pernyataannya Setelah Ledakkan Bom

JAKARTA - Lima hari sudah teror bom Jakarta di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton terjadi. Sejauh ini para pelakunya ditengarai kuat merupakan jaringan dari gembong teroris Noordin M. Top yang hingga kini masih jadi buron. Maka, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) beberapa jam setelah tragedi itu terjadi, bahwa pengeboman terkait pihak yang kecewa dengan pilpres kian tak terbukti.

"Kalaupun terkait politik, itu politik Al Qaidah. Sama sekali tidak terkait dengan politik di dalam negeri," kata Brigjen Pol (pur) Suryadarma Salim, mantan Kadensus 88 yang sukses membekuk para pelaku bom Bali dan JW Marriott I di studio TV One tadi malam.

"Kami berharap SBY menunjukkan sikap kenegarawanan dengan meminta maaf," kata Sekretaris Umum Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo, Fadli Zon di Jakarta kemarin (21/7). Fadli menduga pernyataan emosional presiden keluar setelah mendapat masukan yang keliru dari bawahannya.

Seperti diberitakan, ketika memberikan pernyataan beberapa jam setelah ledakan itu, SBY juga membeber beberapa lembar foto yang menggambarkan sejumlah anggota teroris bertopeng sedang berlatih menembak, dan sasaran tembaknya adalah foto SBY. Atas dasar itulah, SBY lantas mengaitkan ledakan di Marriott dan Ritz-Carlton itu dengan aktivitas teroris dalam foto tersebut, yang diduga digerakkan oleh pihak-pihak yang kecewa dengan pilpres. "Ini intelijen. Ada rekaman videonya. Ada gambarnya. Bukan fitnah, bukan isu. Saya mendapatkan laporan ini beberapa saat lalu," tegas SBY saat itu. Semua laporan intelijen itu, lanjut SBY, dikumpulkan terkait Pemilu 2009.

Meski tidak menyebut nama, banyak pihak menduga bahwa yang dituduh SBY adalah tim dari capres Megawati-Prabowo. "Tidak butuh interpretasi macam-macam. Sudah jelas kok arahnya ke mana," cetus Fadli Zon yang juga wakil ketua umum DPP Partai Gerindra itu.

Anggota Dewan Penasihat DPP Partai Gerindra Permadi menambahkan, foto-foto yang diperlihatkan SBY ketika memberi pernyataan itu sebenarnya foto-foto lama. Bahkan, lima tahun lalu Komisi I DPR yang bermitra dengan Badan Intelijen Negara (BIN) sudah pernah melihatnya.

"Saat Kepala BIN Hendro Priyono pernah disampaikan (foto-foto itu). Begitu juga saat kepala BIN dipegang Syamsir Siregar," kata mantan anggota Komisi I DPR yang di-recall PDIP karena menyeberang ke Partai Gerindra awal Januari 2009.

Menurut Permadi, dalam paparannya, para kepala BIN menjelaskan foto-foto tersebut menunjukkan aktivitas para teroris yang tengah berlatih di Ambon dan Poso sekitar 2004-2005. Malah foto yang diperlihatkan sata itu, imbuh dia, lebih banyak daripada foto yang dibawa SBY. "Ada foto yang lagi naik motor, foto latih tanding, dan yang lain," jelas Permadi.

Bagaimana foto yang memperlihatkan wajah SBY sebagai target sasaran latihan tembak? "Kalau itu tidak ada. Saya lihat SBY yang terlalu peka mendapat laporan. Padahal, dalam demo mahasiswa di Jakarta, Maluku, atau Makassar, sudah biasa foto-foto presiden dibakar atau disobek-sobek," katanya.

Karena jelas-jelas salah, Permadi berharap SBY menyampaikan permintaan maaf. Sebab, SBY telah melakukan kebohongan publik. "Kalau beliau memang orang santun, tidak suka kebohongan, seharusnya begitu. Ini lebih menyenangkan ketimbang memendam kebencian," tandas paranormal yang senang berpakaian serbahitam itu.

Sebelumnya, saat ditanya tentang perlu tidaknya presiden meminta maaf, Prabowo enggan berkomentar banyak. "Ah, saya selalu memilih untuk berpikir positif saja," jawabnya seusai doa bersama tokoh lintas agama untuk korban 'teror bom' JW Marriott dan Ritz-Carlton di Bellagio Mall Atrium, Mega Kuningan, Jakarta, Senin lalu (20/7).

Desakan keras agar SBY meminta maaf juga muncul dari kubu JK-Wiranto. "Publik awam dengan mudah membuat penafsiran kalau yang dimaksud presiden itu kalau tidak JK-Win, ya Mega-Pro," kata jubir tim sukses JK¿-Wiranto, Yuddy Chrisnandi.

Menurut dia, selaku kepala negara, SBY sangat ceroboh membeberkan laporan intelijen yang kebenarannya belum bisa dibuktikan. Ini berpotensi menimbulkan keresahan. "Bayangkan, orang-orang sekaliber Jusuf Kalla, Megawati, Prabowo, dan Wiranto yang negarawaran dan percaya terdadap demokrasi ternyata dituduh penyebar teror," sesalnya.

Yuddy menilai SBY perlu meminta maaf, terutama kepada capres yang dia "tembak" melalui pidatonya. Presiden, imbuh Yuddy, harus mengakui kalau sudah salah menelan mentah-mentah informasi intelijen yang ternyata tidak terbukti kebenarannya.

"SBY harus memberikan sanksi, kalau perlu sampai pemberhentian, kepada pejabat-pejabat intelijen yang terbukti memberi info salah dan menyebabkan presiden menuai kecaman luas seperti sekarang ini," tandas anggota Komisi I DPR dari Partai Golkar itu.

Yuddy juga membantah keras penjelasan Staf Khusus Presiden Denny Indrayana yang menyebut presiden tidak pernah memastikan teror bom dua hotel di kawasan Mega Kuningan terkait pilpres.

"Eksplisit SBY menuduh pengeboman berkaitan dengan ketidakpuasan hasil pemilu. Presiden juga menyebut soal gerakan revolusi, ada upaya meng-Iran-kan Indonesia, dan menggagalkan pelantikan SBY," ujarnya.

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menolak mentah-mentah desakan agar SBY meminta maaf. Menurut dia, tidak ada yang keliru dari statemen SBY. Inti statemen itu mencerminkan kemarahan SBY terhadap terorisme.

SBY lantas menegaskan tanggung jawab pemerintah dan aparat keamanan untuk menangkap dalang pengeboman, serta membongkar jaringannya. "Jadi, yang seharusnya disarankan minta maaf, bahkan bertobat atau menyerahkan diri itu para teroris dan dalangnya," tegas mantan Ketum PB HMI itu.

Sementara itu, Menkominfo M. Nuh menilai, para elite salah taf¿sir terhadap pidato SBY beberapa jam setelah ledakan di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton ter¿sebut. Menurut Nuh, kalau para elite menyimak lagi per¿nya¿taan SBY yang disampaikan di halaman Istana Presiden pada 17 Juli lalu, tidak akan terjadi polemik yang berkepanjangan. "Tolong disimak ulang. Dibaca trans¿kripnya," kata Nuh kepada Jawa Pos kemarin (21/7). Dia juga menegaskan, dalam pidato itu, tidak ada tudingan kepada calon presiden atau calon wakil presiden saingan SBY.

Transkrip pidato presiden itu, kata Nuh, bisa dibaca di website resmi presiden, www.presidenri.go.id atau www.presidensby.info. Dia menunjukkan pa¿ragraf kedelapan pidato SBY bahwa SBY tidak menuding siapa pun dalam peristiwa bom Jakarta tersebut.


Jawa Pos | Rabu, 22 Juli 2009

Dikutip dari Berpolitik.com

Minggu, 05 Juli 2009

15 Poin di RUU Tipikor Versi Pemerintah Ancam Pemberantasan Korupsi

Jakarta - RUU Tipikor tengah digodok pemerintah dan DPR. Di tengah-tengah ketergesaan pembahasan, pasal-pasal krusial yang justru mengancam pemberantasan korupsi lolos.

Berikut poin-poin mengkhawatirkan tersebut berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), seperti yang disampaikan Koordinator Divisi Hukum ICW, Febri Diansyah, Rabu (1/7/2009):

1. Ancaman pidana: beberapa pasal tidak mencantumkan ancaman pidana minimal (potensial terjadinya vonis percobaan bagi koruptor).

2. Masa daluwarsa (hapusnya penuntutan): 18 tahun

3. Tindak pidana yang dapat dihapuskan: korupsi di bawah Rp 25 juta, apabila pelaku menyesal dan mengembalikan dapat tidak dituntut pidana. Ada toleransi bagi pelaku dan potensi disimpangi.

4. Pengadilan Tipikor: tidak jelas dan tegas menyebutkan pengadilan tipikor.

5. Kewenangan penuntutan KPK: Kewenangan KPK diakui hanya sampai tingkat penyidikan. Tingkat penuntutan tidak jelas.

6. Perlindungan pelapor: justru muncul ancaman pidana bagi pelapor palsu. Terlapor berpotensi melaporkan balik pelapor.

7. Korupsi oleh advokat tidak diatur, korupsi oleh advokat hanya dijerat dengan kode etik.

8. Pembekuan: tidak diatur. Berpotensi adanya pengalihan rekening dari pelaku kepihak ketiga.

9. Pengelolaan aset hasil korupsi tidak diatur. Potensi aset korupsi dikelola oleh rubasan atau masing-masing institusi.

10. Pembatalan kontrak akibat dari korupsi tidak diatur

11. Penyertaan, percobaan, dan permufakatan korupsi tidak diatur

12. Penyadapan tidak diatur

13. Optimalisasi peran serta masyarakat peran serta masyarakat masih terbatas (terkesan copy paste) dengan UU Korupsi yang lama

14. Kewajiban pelaporan kekayaan tidak diatur

15. Penahanan tidak diatur.

Dari hasil di atas, bisa diketahui bahwa hal itu bisa membahayakan pada keberlangsungan upaya pemberantasan korupsi.

"Ancaman pidana lebih rendah dari UU korupsi sebelumnya, beberapa ketentuan penting terkait pidana korupsi tidak terakomodir (misalnya penyertaan dan tidak jelasnya pengakuan terhadap KPK dan Pengadilan Khusus Korupsi), juga adanya sikap toleran terhadap pelaku korupsi (korupsi di bawah Rp 25 juta tidak dihukum)," tutup Febri.

(ndr/nrl) Indra Subagja - detikNews

http://www.detiknews.com/read/2009/07/01/172454/1157393/10/15-poin-di-ruu-tipikor-versi-pemerintah-ancam-pemberantasan-korupsi

Jumat, 03 Juli 2009

Kita harus akui otonomi daerah gagal dan janggal


Dalam debat calon presiden Kamis (25/6) malam, Susilo Bambang Yudhoyono dalam konsep link and match mengatakan untuk mengatasi pengangguran, pemerintah daerah lah yang lebih tahu kebutuhannya.

Tenaga dan pegawai seperti apa yang diinginkan serta apa yangdibutuhkan. Tentu saja, ungkapan ini merupakan salah satu persetujuan terhadap otonomi daerah yang sudah berlangsung 10 tahun. Di sisi lain Departemen Keuangan meminta gubernur mengerem pemekaran daerah. Pasalnya dengan banyaknya pemekaran yang terjadi akan berpengaruh negatif kepada porsi alokasi anggaran ke daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH).

Dalam usulan DPR kan bakal ada 7 provinsi baru, jadi nanti ada total 40 provinsi kalau disetujui. Ada lagi 12 kabupaten dan 1 kota, jadi total ada 20 pemekaran. Oleh karena itu Depkeu minta gubernur rem pemekaran (Harian Waspada, Jumat 26/6).
Saat ini saja sudah banyak pemerintah daerah yang mengeluhkan kekurangan dana. Apalagi jika nanti pemekaran terjadi kembali, pasti akan lebih banyak daerah yang kekurangan anggaran.

Sepuluh tahun desentralisasi di Indonesia mengarah kepada egoisme daerah atau kurang memperhatikan faktor eksternalitas seperti hubungan baik dengan kabupaten/kota tetangga.

Konsep pemekaran daerah memang jadi trend di Indonesia. Namun kemudian semua kepala daerah yang datang ke Departemen Keuangan hanya menyatakan kekurangan dana tidak ada yang mengaku kelebihan dana.
Intisari
Kita pantas prihatin dan menyesalkan situasi seperti ini. Semua daerah pemekaran hanya menyusu dari pemerintah pusat melalui dana alokasi umum dan dana alokasi khusus. Masalahnya pemerintah pusat pun tidak tegas. Harusnya ada tenggat waktu sampai berapa lama daerah pemekaran bisa berdiri sendiri.

Kalau kemudian sudah diberi deadline namun tidak juga mampu mandiri pantas kita pertanyakan untuk bergabung kembali ke induknya. Jangan sampai semua kepala daerah baru selalu mengharapkan dana pusat.

Benar memang konteks otonomi yang hanya menciptakan raja-raja kecil di daerah sudah terbukti. Bahkan yang bisa dirasakan masyarakat manfaat otonomi daerah saat penerimaan pegawai saja.

Bahkan untuk pegawai honor, pemerintah daerah sudah punya wewenang. Tapi ini kan sebenarnya cost bagi penyelenggara negara.
Menurut Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Tommy Firman, hal tersebut ditunjukkan dengan keinginan untuk membangun infrastruktur, seperti pelabuhan laut, udara dan lain sebagainya secara sendiri-sendiri, terutama pada daerah yang kaya.

„Disadari atau tidak, kondisi euphoria desentralisasi dan reformasi dikeluhkan mengarah kepada egoisme daerah,“ ujarnya di seminar yang sama. Dengan otonomi selama ini muncul kecenderungan pemerintah kabupaten/kota tidak memaksimalkan PAD dengan mengeluarkan berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang tidak semuanya disetujui Depdagri.

Yang terjadi sekarang adalah pembengkakan dana kebutuhan daerah. Dirjen Perimbangan Keuangan Depkeu menyebutkan 2006 total alokasi dana vertikal ke daerah mencapai Rp6,30 triliun menjadi Rp8,09 triliun 2007, Rp14,02 triliun pada 2008, dan Rp14,27 triliun di 2009.

Di daerah-daerah baru itu harus ada instansi pemerintah baru. Konsekuensi dari pemekaran daerah terhadap keuangan negara adalah penambahan kantorkantor vertikal untuk mendanai urusan pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah seperti kantor polisi, Kodim, kantor agama, pengadilan, kejaksaan, Bea dan Cukai, Pajak, pelayanan perbendaharaan, BPN, BPS.

Alokasi dana vertikal sebesar Rp14,27 triliun terdiri dari belanja pegawai Rp4,99 triliun, belanja barang Rp3,92 triliun, belanja modal Rp4,4 triliun, dan belanja bantuan sosial Rp967 miliar.

Jumlah daerah otonom baru 1999-2009 bertambah 205 yaitu 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Karena itu pada 2009, total daerah otonom mencapai 524 daerah terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Lalu apa hebatnya otonomi kalau seperti ini.

Sumber : Waspada Online

Pemekaran Daerah: Pemerintah Akan Gabung Daerah Otonom yang Gagal


22 Juni 2009


Padang (Suara Karya). Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto menegaskan, pemerintah akan mengevaluasi kinerja daerah otonom (provinsi, kabupaten dan kota) yang telah berjalan selama empat tahun. Bila daerah otonom tersebut tidak menunjukkan perbaikan kinerja penyelenggaraan pemerintahannya, pemerintah pusat akan menggabungkannya dengan daerah induk.

\"Kalau sudah empat tahun tidak menunjukkan kinerjanya dan sudah dibina tapi tetap dinilai gagal, daerah otonom tersebut akan digabung dengan daerah induk,\" kata Mendagri dalam sambutannya saat panen raya jagung, di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, kemarin.

Menurut Mendagri, ada tiga indikator untuk menunjukkan apakah kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah itu dinilai baik. Pertama, apakah pemerintahan daerah itu bisa meningkatkan pelayanana kepada masyarakat, kedua, mampu memperpendek rentang kendali birokrasi dan ketiga, meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Mendagri sangat menekankan agar pemerintah daerah mampu menggerakkan ekonomi rakyat sekaligus meningkatkan pelayanana kepada masyarakat. "Pemerintah daerah jangan hanya mengutamakan pembangunan kantor-kantor pemerintahan. Tapi, sebaiknya mengutamakan pelayanan kepada masyarakat dan menggairahkan ekonomi rakyat," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Penerangan Depdagri Saut Situmorang menyatakan Mendagri Mardiyanto telah menonaktifkan Bupati SlemanIbnu Subiyanto. Surat penonaktifan sementara itu akan dikirimkan ke Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, Senin (22/6).

"Dengan penonaktifan untuk sementara ini secara otomatis wakil bupati Sleman akan menggantikan jabatan Bupati Sleman," kata Saut.

Ia menambahkan, sesuai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pelantikan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kepala daerah yang ditetapkan sebagai terdakwa dalam suatu proses hukum yang tercermin dari pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, untuk proses penuntutan akan dinonaktifkan untuk sementara sampai keluar putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.

"Kalau dalam putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, kepala daerah itu dinyatakan tidak bersalah maka Mendagri akan mengaktifkannya kembali. Tapi, kalau dinyatakan bersalah maka Mendagri akan memberhentikannya secara definitif," tuturnya.

Sementara itu, menurut Saut, sudah ada 109 kepala daerah yang telah mengajukan izin cuti kampanye pemilu presiden. Sebanyak 100 di antaranya telah diterbitkan izin cutinya. (Victor AS)

Sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=229604

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD