Senin, 27 Oktober 2008

ARTIKEL : Umat Mendambakan Partai Yang Memperjuangkan Syariah

Oleh : siti (paint_M)

Tidak lama lagi Pemilu 2009 digelar. Anggaran biaya sekitar Rp 49,7 triliun telah disiapkan. Jauh-jauh hari partai peserta Pemilu—total 38 partai, belum termasuk partai lokal di Aceh (NAD)—sudah melakukan pemanasan dengan berbagai jurus dan strategi kampanye melalui berbagai media. Mereka pun telah menetapkan caleg-calegnya. Banyak artis, pengusaha dan orang kaya baru yang menjadi caleg (calon anggota legislatif). Kasak-kusuk koalisi, aliansi, kaukus atau berbagai istilah lain dijajaki. Intinya adalah tawar-menawar kepentingan antar partai.

Pertanyaannya: Dapatkah Pemilu 2009 membawa perubahan yang lebih baik bagi umat? Apakah umat/rakyat bisa berharap banyak pada partai-partai yang ada dan kepada para calegnya untuk mewujudkan keinginan-keinginan mereka?

Faktanya, jika dihitung sejak masa reformasi saja, negeri ini telah melakukan 3 (tiga) kali Pemilu. Tentu saja itu belum termasuk Pilkada yang—menurut Pengamat Politik Eep Saefullah Fatah—diselenggarakan 3 kali sehari (Kompas, 24/6/2008). Indonesia juga pernah disebut-sebut sebagai "juara demokrasi" karena kesuksesannya menyelenggarakan Pemilu 2004 yang dinilai amat demokratis, aman dan damai. Namun, "suksesnya demokrasi" ini tidak pernah bertemu dengan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat/umat. Apalagi jika dikaitkan dengan keinginan umat Islam untuk menerapkan syariah Islam, yang justru semakin hari semakin menguat.

Yang Dirasakan Masyarakat

Banyaknya partai politik peserta Pemilu 2009 membuat rakyat kecil makin bingung. Rakyat tidak banyak tahu, partai-partai mana saja yang layak mendapat mandat untuk mewakili aspirasi mereka. Mungkin memang tidak ada partai yang layak untuk menjadi tempat menggantungkan harapan bagi rakyat. Dari berbagai survey yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey nasional, ada kecenderungan umat sudah begitu apatis dan apriori alias tidak peduli terhadap elit penguasa baik yang duduk di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tingkat kepercayaan mereka terhadap institusi partai begitu rendah. "Setelah Pemilu 2004 usai terus terjadi penurunan hingga tahun 2007 ini," ungkap pakar politik UGM Pratikno. Menurut Pratikno, hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan Asia Barometer. Hasil survei menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mengalami penurunan dari 8 persen di tahun 2004, menjadi 5,8 persen di tahun 2007 (Detik.com, 18/12/2007).

Angka golput dalam berbagai Pilkada di berbagai daerah juga rata-rata cukup tinggi. Golput bahkan sering menjadi "pemenang" Pilkada. Pilkada Jawa Barat, misalnya, hanya diikuti 65% rakyat. Ini berarti angka golput sebesar 35%, mengalahkan pasangan pemenang Pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih golput dalam Pilgub Sumatera Utara sekitar 41%. Dalam Pilgub DKI Jakarta, yang golput 39,2%. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih. Padahal gubernur tepilih Fauzi Bowo hanya dipilih oleh 2 juta orang pemilih saja (35,1%). Untuk Pilgub Jawa Tengah angka golput mendekati 50%. Di tempat lain juga angka golput cukup tinggi: Kalsel (40%), Sumbar (37%), Jambi (34 %), Banten 40% dan Kepri 46%.

Di tengah sikap pesimis masyarakat terhadap Pemilu, Pilkada, partai-partai yang ada dan para anggotanya yang duduk di DPR, ternyata ada kecenderungan di kalangan umat bahwa masa depan politik Indonesia ada pada syariah Islam. Beberapa survey menunjukkan dukungan masyarakat terhadap penerapan syariah Islam meningkat. Survey Roy Morgan Research yang terbaru (Juni 2008) menunjukkan: 52 persen rakyat Indonesia menuntut penerapan syariah Islam. Sebelumnya, hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 dan 2002 (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002) menunjukkan: sebanyak 67% (2002) responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Padahal survei sebelumnya (2001) hanya 57,8% responden yang setuju dengan pendapat demikian. Ini berarti, ada peningkatan cukup tinggi, sekitar 10%.

Sumber : http://www.berpolitik.com

Kamis, 16 Oktober 2008

Neoliberalisme Telah Mati

Oleh: Akhmad Kusaeni

Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati!

Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si "invicible hand" mengatur segalanya berdasar hukum "supply and demand".

Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Kredo pasar bebas adalah pasar yang tidak diatur dan diintervensi adalah cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya melalui pasar bebas pertumbuhan ekonomi bisa dicapai.

Ekonom-ekonom pembela pasar bebas sangat percaya bahwa "The best government is the least government". Ekonom tersebut, yang Indonesia dikenal sebagai Mafia Berkeley, sering berguyon bahwa pertumbuhan ekonomi paling cepat di malam hari, ketika pemerintah sedang tidur.

Ternyata pasar bebas itu kini tidak berlaku lagi di negeri yang menjadi pusaran dinamonya. Justeru pertumbuhan ekonomi jadi anjlog dengan pasar yang kelewat bebas. Justeru pemerintahan George W Bush yang tidak bisa tidur, sibuk melakukan intervensi dan berusaha membelenggu si "invisible hand".

Bush menghadapi dilema gawat menghadapi krisis keuangan terberat setelah depresi tahun 1930-an. Pemerintahannya memutuskan untuk melakukan campur tangan. Atas persetujuan Kongres AS, Bush menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan Lehman Brothers dan perusahaan-perusahaan raksasa Wall Street lain yang diambang kebangkrutan.

"Kita harus bertindak," kata Bush di depan Kongres.

Ia tidak percaya lagi bahwa tangan-tangan ajaib bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang melanda AS dan berimbas pada seluruh tata ekonomi internasional.

Sudah Dikumandangkan

Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sebetulnya sudah dikumandangkan para ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul "Selamat Tinggal pada Perdagangan Bebas".

Samuelson menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah depresi AS. Faktor munculnya liberasisasi juga didorong oleh situasi Perang Dingin.

Ada keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara Barat melalui perdagangan bebas. Pada titik tertentu memang benar adanya. Ketika komunisme runtuh dan sosialisme ambruk dengan bubarnya Uni Soviet, Barat merayakan kemenangan dan "kebenaran" sistim liberalisme atas komunisme/sosialisme.

Francis Fukuyama bahkan berani mengatakan dengan tumbangnya komunisme waktu itu, maka sejarah telah mati. Fukuyama menulis buku "The End of History" untuk menamai era baru pasca Perang Dingin. Sebuah era dunia baru dimana demokrasi dan liberalisasi ekonomi yang akan menjadi nilai dasarnya. Sebuah era baru yang akan membuat dunia lebih damai dan lebih sejahtera di bawah naungan kapitalisme.

Sejak saat dimana Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya, baik di bidang politik dan ekonomi, maka tidak ada halangan lagi untuk menyebarluaskan demokrasi dan liberalisasi. AS terobsesi untuk untuk menjadikan seluruh negara di dunia menjadi negara demokrasi, karena "sesama negara demokrasi tidak saling memerangi".

Negara yang dikatakan masih belum demokratis seperti Irak, Iran dan Korea Utara, perlu dibebaskan. Bilamana perlu, demokrasi ditegakkan di bawah todongan senjata. Diktatur seperti Saddam Hussein mesti digulingkan. Tentara AS harus dikerahkan. Invasi kemudian dilakukan.

Dikucilkan

Negara-negara yang belum menerapkan perdagangan bebas harus ditekan dan didikucilkan. Hambatan-hambatan terhadap tarif harus dihilangkan. Ruang bebas terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA, NAFTA, atau kawasan free trade area harus dibuka selebar-lebarnya.

Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dijadikan alat untuk meliberalisasi ekonomi negara-negara yang membutuhkan bantuan keuangan. Negara-negara yang menolak bergabung dengan WTO atau enggan dipulihkan ekonominya oleh IMF, diberikan sanksi. Bilamana perlu diembargo.

Garisnya sangat jelas. Ikut demokrasi dan liberalisasi atau rasakan akibatnya. Diplomasi "wortel dan pentungan" sudah biasa dilakukan AS.

Itulah dunia yang didambakan dalam konsep "American Dream" yang ternyata hanya utopia. Demokrasi dan liberalisasi ekonomi ternyata tidak seindah yang dimimpikan. Ketika Great Depression (1929) dan Perang Dingin tidak relevan lagi, maka liberalisasi kehilangan mesin pendorongnya. Itu sudah diramalkan sendiri oleh para ahli ekonomi AS, macam Samuelson atau Joseph Stiglitz.

Ekonomi dunia yang "booming" ternyata juga membuat paham liberalisme melemah. China yang dianggap sebagai negara yang proteksionis dan tidak liberal, ternyata bisa tumbuh ekonominya secara mencengangkan. Prof. Kishore Mahbubani dari Singapura meramalkan ekonomi China akan melewati AS dalam tempo kurang dari sepuluh tahun lagi.

"Kita menyaksikan perekonomian Amerika Serikat yang menurun dan Asia yang menanjak, terutama China dan India," katanya.

Mengkhianati

Selain ekonom, politisi AS juga mulai mengkhianati liberalisasi. Hillary Clinton dalam setiap kampanye menyatakan teori-teori yang melandasi perdagangan bebas tidak berlaku lagi dalam era globalisasi.

Jika terpilih sebagai presiden, seperti dikutip Financial Times edisi 3 Desember 2007, Hillary menyatakan akan meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA, walaupun yang menandatanganinya tahun 1993 adalah suaminya sendiri.

Pengkhianatan terbesar terhadap liberalisasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Bush. Alih-alih membiarkan mekanisme pasar di Wall Street mengoreksi diri sendiri, Bush memberi dana talangan tanpa banyak persyaratan semacam ketika Bank Indonesia menggelontorkan BLBI. Tak ada batas waktu kapan dikembalikan dan batas maksimum dana yang dikucurkan. Tak ada pula keharusan perusahaan merestrukturisasi diri.

Amerika Serikat telah menyimpang dari pakemnya sendiri. Jika AS saja sudah tidak percaya terhadap kredonya sendiri, apalagi yang lain. Mungkin sudah saatnya dunia, seperti dikumandangkan oleh Samuelson, untuk mengucapkan "Selamat Tinggal Perdagangan Bebas".

Telah mati: Liberalisasi ekonomi.(*)

Sumber : ANTARA News

http://www.antara.co.id/arc/2008/10/9/neoliberalisme-telah-mati

Minggu, 05 Oktober 2008

Anomali Politik

Oleh : Ikrar Nusa Bhakti

Suatu hari seorang kawan, mantan aktivis sebuah organisasi ekstra kemahasiswaan, mengirim pesan singkat kepada penulis. Isinya, "Parpol dan politisi tampak seperti remaja dengan masa puber tak berujung. Setiap menjelang pemilu sibuk tebar pesona untuk cari dukungan dan pasangan. Gayanya bagaikan 'Jablay' yang rindu belaian dan cumbuan. Maklum, desakan syahwat berkuasa kuat menggelora."

Hanya dalam hitungan detik, kawan yang sama mengirim SMS lanjutan, "Tapi setelah pemilu usai, gaya mereka berubah aneh-aneh. Ada yang seperti kakek-kakek yang kurang pendengaran dan penglihatan (buta dan tuli terhadap jeritan dan penderitaan rakyat), ada yang seperti kurang gizi dan loyo bekerja (mangkir melulu dan jarang hadir pada sidang-sidang di DPR), ada yang seperti preman yang peras sana peras sini, dan ada yang seperti sakit ingatan lupa akan janji-janji kampanyenya. Itu tadi orang yang dapat kursi dan posisi. Sedangkan yang tidak dapat apa-apa usai pemilu, ya..berubah jadi preman atau orang gila beneran. Aduh..mau jadi apa negeri ini!"

Dua kutipan di atas menunjukkan betapa parpol dan politisi di Indonesia berbuat yang abnormal menjelang dan seusai pemilu. Dalam istilah kerennya, terjadi anomali politik.

Sejarah kehidupan parpol juga penuh anomali politik. Sejak menjelang Pemilu 1955 hingga menjelang Pemilu 2009, perpecahan partai sudah menjadi fenomena politik. Kalaupun tidak pecah, para politisi cakar-cakaran berebut posisi di dalam partai. Tidak heran jika menjelang Pemilu 1955 dan pemilu pasca 1998, bukan penggabungan, melainkan pemekaran partai. Contohnya, menjelang Pemilu 1955 Masyumi pecah dan berdiri NU dan partai Islam lainnya.

Menjelang Pemilu 1999, PPP yang merupakan satu-satunya partai Islam era Orde Baru, pecah berkeping-keping. Berdirilah PKB, PBB, PAN, Partai Keadilan (PK) dan sebagainya. PDI dan Golkar juga mengalami nasib yang sama. Kino-kino yang dulu jadi tulang punggung Golkar, ada yang menjadi partai politik, contohnya Partai MKGR. PDI juga pecah ada yang menggunakan nama PNI Massa Marhaen, ada PNBK, ada Partai Damai Sejahtera dsb.

Menjelang Pemilu 2004, perpecahan terjadi lagi, mereka yang dulunya menyatu di PPP, mendirikan partai baru, PBR. Mereka yang dulu pendukung Golkar juga mendirikan partai baru, Partai Patriot. Hanya satu partai Islam yang tetap solid, walau berganti nama, PK menjadi PKS. Muncul pula partai baru, Partai Demokrat.

Menjelang Pemilu 2009, mereka yang berideologi nasionalis juga muncul lagi. PDI-P pecah dengan terbentuknya partai baru, PDP. Partai berhaluan marhaenisme atau islamisme juga banyak bermunculan. PAN pecah dan berdiri partai baru, PMB yang diusung para aktivis pemuda Muhammadiyah. Mereka yang dulu di Golkar dan Partai Demokrat juga mendirikan Partai Hanura, Partai Gerindra dan Partai Barnas. Perpecahan internal juga terjadi di PPP, Partai Golkar, dan PKB.

Perpecahan, perseturuan, perebutan kursi caleg menjelang pemilu tampaknya sudah menjadi 'the name of the game' dalam kehidupan kepartaian di Indonesia. Jika kalah dalam pengambilan keputusan atau perebutan kursi jabatan dalam partai, bukannya menerima, melainkan hengkang dan mendirikan partai baru.

Padahal, fatsun politik normal dan berlaku di banyak negara demokrasi ialah mereka yang menang tetap memberi tempat pada yang kalah. Sebaliknya, mereka yang kalah tetap menyatu dalam partai dan memberi dukungan penuh pada calon presiden atau perdana menteri yang diusung oleh partai tersebut.

Contohnya, Hillary Clinton mendukung penuh Barack Obama sebagai capres pada Konvensi Nasional Partai Demokrat di Amerika Serikat walau ia merupakan seteru kuatnya sebelumnya.

Meski tidak terkait dengan soal kepartaian, anomali politik juga terjadi dalam hubungan antara Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla belakangan ini. Wapres Kalla diminta Majelis Rakyat Thailand Selatan dan Pemerintah Thailand agar menjadi mediator dalam perundingan rahasia menyelesaikan masalah di provinsi Thailand Selatan yang mayoritas Islam.

Politik yang normal mengajarkan, selama persoalan trust antara kedua kelompok yang bertikai masih rendah, maka pertemuan dilakukan rahasia. Namun apa lacur, agar pamor SBY tinggi JK, Jubir SBY Dino Patti Djalal justru membeberkan pada pers, Indonesia diminta Thailand menyelesaikan persoalan Thailand Selatan. Untuk itu Presiden SBY, katanya, memberi mandat Wapres Kalla menjadi mediator dalam pertemuan di Istana Bogor.

Kontan saja Pemerintah Thailand menyangkal adanya permintaan itu. Suatu anomali politik akhirnya menjadi 'political blunder' dalam upaya RI membantu penyelesaian konflik antara pemerintah Thailand dan rakyat Thailand Selatan.

Entah kapan anomali politik berakhir. Jika saja konsolidasi demokrasi berjalan baik dan para politisi menyatukan langkah memerbaiki kondisi negara yang carut marut, mungkin Indonesia tak lagi terpuruk di usianya yang sudah 63 tahun ini.

Penulis adalah profesor riset bidang intermestic affairs di LIPI [L4]

Sumber : http://www.inilah.com/berita/celah/2008/09/27/52080/anomali-politik/

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD