Rabu, 31 Desember 2008

Implikasi Politik Pasca Putusan MK

Ikrar Nusa Bhakti

John Stuart Mill, salah seorang filsuf Inggris penggagas faham liberalisme dan pemerintahan demokrasi, dalam eseinya yang terkenal, On Representative Government, mengutarakan argumentasinya.

"Tujuan akhir dari politik adalah membiarkan rakyat menjadi bertanggungjawab dan dewasa. Rakyat dapat menjadi dewasa dan bertanggungjawab hanya jika mereka mengambil bagian dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Karena itu, meskipun seorang despot atau raja yang bijak dan penuh kebajikan secara aktual dapat membuat keputusan-keputusan yang lebih baik atas nama rakyat daripada yang dapat dibuat oleh rakyat sendiri, demokrasi tetap lebih baik, karena hanya melalui demokrasi rakyat dapat membuat keputusannya sendiri, salah atau benar. Karena itu, suatu bentuk demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik."

Kata bertuah John Stuart Mill itu sangat tepat untuk menggambarkan posisi Mahkamah Konstitusi yang mengoreksi kompromi politik yang terkait dengan penetapan calon anggota legislatif terpilih yang diatur dalam Pasal 214 UU 10/2008 tentang Pemilu. Caleg terpilih ditentukan nomor urut, bukan suara terbanyak. Menurut MK, pasal tersebut bertentangan UUD 1945 yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang. MK memutuskan penetapan caleg terpilih berdasarkan raihan suara terbanyak.

Putusan MK itu diputuskan tidak suara bulat. Seorang hakim konstitusi, Maria Farida Indrati, mengajukan pendapat berbeda. Dalam pandangan Maria, penetapan caleg atas dasar suara terbanyak akan menimbulkan inkonsistensi tindakan afirmatif terhadap perempuan.

Pandangan Maria ada benarnya. Mantan Wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti dalam berbagai kesempatan juga menyatakan sistem pemilu proporsional dengan daftar tertutup atau penentuan pemenang atas dasar nomor urut dapat menguntungkan caleg perempuan. Artinya, kesempatan perempuan untuk dapat terpilih menduduki kursi di DPR atau DPRD lebih terbuka melalui sistem nomor urut ketimbang suara terbanyak.

Pada Pemilu 2004 memang ada kasus mencolok di mana Nurul Arifin, mantan artis, memperoleh suara terbanyak di salah satu daerah pemilihan di Jawa Barat untuk kursi DPR, namun karena ia berada di nomor urut bawah, maka yang menang adalah yang menduduki nomor urut kecil. Kasus Nurul memang luar biasa. Dalam banyak kasus, khususnya di daerah pemilihan yang masyarakatnya didominasi kaum laki-laki, amat sulit caleg perempuan memperoleh suara terbanyak. Tanpa adanya aturan khusus mengenai 'affirmative action' ini, tampaknya kuota 30 persen kursi DPR untuk kaum perempuan sulit terpenuhi.

Keputusan MK memang amat adil dan baik bagi masa depan demokrasi kita. Namun implikasi politiknya dalam jangka pendek dan menengah akan sangat dahsyat pula. Pertama, di tengah masih kuatnya budaya politik sebagian politisi kita yang tanpa ideologi dan bebas semaunya, agak sulit partai politik mengharapkan loyalitas para anggotanya di parlemen. Bisa saja mereka bertentangan dengan garis partai saat pengambilan keputusan di DPR/DPRD. Saat ditegur atau akan diberi sanksi, bukan mustahil mereka dapat pindah fraksi karena partai bukanlah institusi yang penting bagi mereka, apalagi duduknya mereka di parlemen atas dasar pilihan suara terbanyak rakyat dan tidak ditentukan parpol.

Kedua, daripada tanggung-tanggung menggunakan sistem pemilu legislatif dengan daftar terbuka dan suara terbanyak, mengapa tidak sekaligus saja kita menggunakan sistem distrik? Dengan sistem distrik akan jauh lebih jelas siapa yang akan duduk di parlemen karena menggunakan sistem the first-past-the post, siapa yang mendapatkan suara terbanyak dialah yang terpilih, tanpa embel-embel penghitungan melalui proporsi perolehan suara partai dalam daerah pemilihan tertentu terlebih dahulu. Sistem distrik ini, meski begitu, mengasumsikan keuntungan bagi partai besar dan merugikan partai kecil. Namun bila kita ingin menyederhanakan sistem kepartaian menjadi lima atau bahkan dua partai, sistem distrik yang konsisten penerapannya merupakan pilihan terbaik.

Ketiga, kita juga harus siap menerima kenyataan yang akan duduk di parlemen 2009 mendatang adalah orang populer di daerah pemilihannya, mungkin juga didukung dana besar. Suara terbanyak belum tentu identik dengan kualitas politisi yang terpilih duduk di DPR/DPRD. Dari sisi sirkulasi elite, sistem suara terbanyak memang sangat baik, namun dari sisi kualitas belum tentu ini menjamin kualitas parlemen kita mendatang.

Keempat, sistem suara terbanyak juga akan menumbuhkan individualisme para politisi, selama demokrasi kita belum mencapai demokrasi yang matang. Bukan mustahil akan terjadi saling sikut, memakan atau kanibalisme di internal partai sendiri. Ketika Ketua Umum Partai Golkar menentukan sistem suara terbanyak, tak sedikit para caleg saling mengancam tidak berkampanye di "daerah kekuasaannya"!

Biarlah rakyat yang menentukan, salah atau benar. Hanya dengan itu rakyat menjadi bertanggungjawab dan dewasa.

Sumber : http://www.inilah.com/berita/celah/2008/12/30/72167/implikasi-politik-pasca-putusan-mk/

Jumat, 05 Desember 2008

BKN Diminta Tidak Proses Pengangkatan Eselon II Kabupaten Kota tanpa Rekomendasi Gubsu

Gubsu H Syamsul Arifin SE akan menyurati Badan Kepegawaian Negara (BKN) agar tidak memproses pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) kabupaten dan kota se-Sumut yang akan menduduki jabatan eselon II apabila tidak ada rekomendasi dari Gubsu.

"Jadi terhadap PNS yang diangkat menduduki jabatan eselon II di kabupaten dan kota tanpa ada rekomendasi dari Gubsu maka masalah kepegawaiannya akan disurati ke BKN untuk tidak diproses," ujar Kepala Badan Infokom Provsu Drs H Eddy Syofian MAP kepada wartawan, Minggu (23/11).

Kebijakan dimaksud, ujarnya, telah dituangkan Gubsu melalui Surat Edaran (SE) Nomor 800/16460/BKD/III/2008 tertanggal 20 November 2008 kepada seluruh bupati dan walikota se-Sumut yang tembusannya disampaikan antara lain kepada Mendagri, Menpan, Ka BPK, BPKP, BKN, Inspektur Provsu dan Kabiro Keuangan Setdaprovsu.

Lebih lanjut, jelasnya, terhadap PNS yang diangkat menduduki jabatan eselon II di kabupaten dan kota tanpa ada rekomendasi dari Gubsu maka pembayaran tunjangan jabatannya akan direkomendasikan untuk tidak dibayar oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang menanganinya.

Sedangkan bagi pejabat eselon II kabupaten dan kota yang akan mengusulkan kenaikan pangkatnya, jelas Eddy Syofian, harus melampirkan surat persetujuan konsultasi dari Gubsu sebagaimana poin 4 SE Gubsu dimaksud.

Eddy Syofian menjelaskan kebijakan Gubsu ini intinya dimaksudkan untuk pembinaan PNS dengan lebih menekankan pada sistem meritokrasi dalam membangun performa PNS yang profesional, sejahtera dan akuntabel.

"Gubsu memahami betul, sistem meritokrasi perlu dilaksanakan secara konsekuen dan konprehensif. Hal ini sangat bergantung pada kesempurnaan penataan aparatur negara khususnya PNS. Oleh karena itu pengangkatan dalam jabatan harus didasarkan oleh penilaian objektif terhadap prestasi, kompetensi dan Diklat PNS," ujarnya.

Itulah sebabnya, lanjut Eddy, SE Gubsu tersebut merupakan upaya konkrit untuk menyikapi kondisi saat ini dalam pembinaan PNS khususnya proses pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan di lingkungan kabupaten dan kota, termasuk kabupaten dan kota pemekaran, yang dianggap perlu dilakukan penataan karier PNS, terutama usul konsultasi calon pejabat eselon II di Pemkab dan Pemko kepada Gubsu.

Dalam usul konsultasi dimaksud, PNS yang dapat dipertimbangkan menduduki jabatan struktural harus sudah mengikuti Diklat Penjenjangan sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2000. Proses pengangkatan maupun pemberhentian dari dan dalam jabatan struktural harus melalui pembahasan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat).

Dalam SE tersebut Gubsu juga mengingatkan bupati dan walikota atau penjabat bupati dan walikota yang akan mengakhiri masa jabatannya tidak diperbolehkan melakukan mutasi jabatan struktural kecuali dipandang mendesak untuk mengganti pejabat yang pensiun atau meninggal dunia.

Sumber : http://www.sumutprov.go.id/lengkap.php?id=1848

Inilah Kelemahan Ekonomi Kapitalis

Saat ini semua pemimpin negara di dunia sedang disibukkan mencari jalan keluar yang bisa menyelamatkan ekonomi negara masing-masing dari dampak krisis finansial global yang berawal dari Amerika Serikat (AS). Banyak negara di eropa dan belahan bumi yang lain cenderung menyalahkan AS sebagai biang keladi krisis finansial global saat ini.

Sikap ini memang tidak salah. Tapi, kalau hanya melihat AS saja ini berarti kita hanya melihat permasalahan krisis finansial global dari gejalanya saja. Padahal ada permasalahan yang lebih substansial daripada permasalahan subprime morgate yang menjadi pemicu krisis finansial global saat ini.

Substansial masalah ekonomi sekarang adalah sistem ekonomi Kapitalis itu sendiri yang sudah sampai pada puncak permasalahan. Beberapa sistem ekonomi Kapitalis yang menimbulkan masalah itu antara lain: adanya uang kertas, lembaga perbankan, dan ekonomi spekulatif yang kian marak. Ketiga hal inilah yang dijalankan untuk kepentingan pemilik modal.

Di awalnya memang permasalahan itu memberikan keuntungan yang banyak bagi pemilik modal. Tapi, sebenarnya dalam jangka panjang, justru merusak sistem

Kapitalisme itu sendiri. Seperti kata Antony Giddens sosiolog dari Inggris. Sistem Kapitalisme ini ibarat jugernath. Di tahap awal, sistem Kapitalisme ini memang seperti kuda yang menarik kereta. Jadi bisa mempercepat ekonomi dan memberi keuntungan para pemilik modal.

Tapi, semakin lama semakin cepat dan tidak lagi terkendali, sehingga pada akhirnya jugernath itu pun bisa membanting dan menghancurkan kereta yang ditariknya itu. Demikian juga yang terjadi pada sistem Kapitalisme saat ini. Sistem kapitalisme sekarang sudah mendekati tahap penghancuran diri sendiri.

Menggali Liang Kubur Sendiri

Imam Malik, Imam Besar Madinah pada zaman awal Islam menyatakan "uang adalah sembarang komoditi yang biasa diterima sebagai medium pertukaran". Pernyataan ini mengisyaratkan adanya kebebasan dalam menggunakan komoditi sebagai alat pertukaran barang dan jasa.

Tapi, yang terjadi sekarang adalah pemaksaan menggunakan uang kertas (dolar AS) dalam transaksi internasional. Memang di masing-masing negara tetap menggunakan mata uang kertas masing-masing negara. Tapi, uang kertas yang dimiliki masing-masing negara itu sebenarnya juga turunan dari dolar AS. Karena dengan era perdagangan bebas versi ekonomi Kapitalis, nilai atau harga semua barang dan jasa di dunia didasarkan pada kurs mata uang negara yang bersangkutan terhadap dolar AS.

Penggunaan dan pemaksaan uang kertas adalah bagian dari sistem Kapitalisme yang sebenarnya merugikan masyarakat. Satu di antara masalah yang melibatkan uang kertas di dunia adalah membengkaknya volume sirkulasi uang kertas di dunia yang tidak seimbang dengan jumlah komiditi di seluruh dunia sekali pun.

Kondisi ini tentu akan menimbulkan sistem ekonomi yang menggelembung. Dalam sejarahnya, setelah perang dunia ke-2 dirancanglah sebuah sistem keuangan dunia yang menjadikan mata uang dolar AS sebagai mata uang utama dalam perdagangan internasional. Pada saat itu, jumlah dolar AS yang beredar di dunia harus didasarkan pada persediaan emas yang dimiliki AS. Sehingga meski dalam bentuk kertas yang tidak punya nilai intrinsik tapi ada back up emas yang jumlahnya sama dengan jumlah nominal uang dolar AS yang ada di masyarakat.

Pada perkembangan berikutnya di tahun 1971 dengan alasan untuk mempercepat dan mengembangkan ekonomi akhirnya AS secara unilateral mengambil keputusan dolar AS tidak perlu lagi di-back up dengan emas. Sejak saat itu dolar dicetak sesuai dengan keperluan AS, sehingga sebenarnya sejak saat itu pula dolar hanyalah kertas biasa yang tidak bernilai.

Selain itu, dengan banyaknya dolar maka akan bisa menimbulkan inflasi. Meski inflasi merugikan masyarakat secara keseluruhan, tapi tetap saja orang miskin yang lebih banyak dirugikan. Jadi tetap saja negara yang kaya dolar bisa menikmati apa pun kondisi perekonomian saat ini. Sedangkan negara miskin tetap saja menderita.

Inflasi juga menyebabkan banyak pengangguran dan berujung pada kriminalitas. Karena itu, sistem uang kertas (dolar AS) saat ini sebenarnya merugikan. Selain itu dengan menggunakan mata uang utama dolar, berarti ada kurs. Dan dalam sebuah perdagangan antar negara dengan menggunakan kurs mata uang, lagi-lagi kita melihat ketidakadilan.

Kalau kita kembali pada pola dasar perdagangan (barter), secara esensi, seharusnya satu produk barang punya harga yang sama meskipun dijual di negara-negara lain dengan mata uang yang berbeda. Misalnya, harga 1 komputer di Jepang setara dengan beras 1 kwintal. Maka, kalau komputer itu dijual di negara-negara lain mestinya harganya juga setara dengan 1 kwintal beras.

Realitasnya tidak demikian, karena di Indonesia harga 1 komputer itu tidak lagi 1 kwintal beras tetapi bisa menjadi 80 kwintal beras, dan ini terjadi hanya karena kurs mata uang kertas. Kondisi ini tidak adil dan menimbulkan kerugian bagi negara-negara miskin dan menguntungkan negara-negara kaya.

Inilah satu kelemahan ekonomi Kapitalis karena menggunakan mata uang kertas

(dolar AS). Mestinya alat tukar itu berupa emas sehingga barang yang kita beli itu setara dengan harga emas yang kita bayarkan. Jadi kalau satu barang itu dijual di berbagai tempat, harganya akan tetap setara karena tidak ada kurs untuk emas.

Adanya perbedaan harga emas saat ini, karena adanya uang kertas dan kurs. Kelemahan yang kedua dalam sistem Kapitalis berada pada institusi perbankan.

Dengan fasilitas kredit plus bunganya perbankan turut serta dalam menyengsarakan masyarakat miskin. Karena sudah jelas-jelas Allah itu mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli.

Secara logika kita bisa melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh riba. Pada waktu bank memberi kredit, maka dalam pengembalian kredit itu bank minta bunga. Dengan adanya bunga pinjaman, maka sebenarnya bank telah menciptakan uang dari sesuatu yang tidak ada. Selain itu, dengan adanya bunga pinjaman berarti bank telah ikut menambahkan jumlah uang yang beredar di masyarakat.

Kalau semua bank ikut menambahkan jumlah uang yang beredar di masyarakat dari bunga pinjaman, ini sama artinya bank ikut berperan dalam menciptakan inflasi. Karena semakin banyak bunga pinjaman yang didapatkan bank, berarti semakin banyak tambahan uang yang beredar di masyarakat akibat adanya bunga pinjaman. Dan semakin banyak uang beredar, bisa mengakibatkan inflasi.

Kelemahan ketiga dari sistem kapitalis adalah maraknya ekonomi spekulatif (perdagangan valuta asing, surat berharga, komoditi berjangka) atau perdagangan elektronik. Perdagangan elektronik ini jelas-jelas merugikan dan menyengsarakan masyarakat.

Sebagai contoh, di India beberapa bulan yang lalu harga komoditi gula yang dimiliki India tiba tiba saja hancur dan jauh dari harga ideal karena ulah para spekulator yang berdagang dengan sistem elektronik di perdagangan komoditi berjangka. Akhirnya Kementerian Keuangan India menghentikan perdagangan gula dari bursa komoditi berjangka di India.

Contoh lain, dalam tahun ini spekulator minyak berhasil menaikkan harga minyak dunia sampai sekitar 140 US$. Padahal harga wajar dan idealnya hanya 85 US$. Selain itu, perdagangan valuta asing (valas) juga memperlihatkan bagaimana tidak berdayanya pemerintahan suatu negara kalau sudah berhadapan dengan para spekulator uang atau valas.

Bahkan tidak jarang pemerintah harus membuang cadangan devisa hanya untuk bermain-main dengan spekulator. Ini menunjukkan pemerintah tidak lagi mempu melindungi rakyatnya pada waktu berhadapan dengan spekulator yang bisa mempermainkan uang dan harga komoditi.

Ekonomi spekulatif ini juga telah menambah jumlah uang yang beredar dari sesuatu yang tidak ada. Karena dalam perdagangan elektronik, barang yang diperdagangkan ini realitasnya tidak ada. Dan sekali lagi, banyaknya jumlah uang yang beredar akan menimbulkan kesengsaran masyarakat.

Ketiga hal tersebut bisa berpengaruh pada inflasi dan melemahkan daya beli masyarakat. Kalau masyarakat sudah tidak lagi mampu membeli produk yang dijual, maka tinggal menunggu kebangkrutan dari industri yang pada ujungnya akan menghancurkan sistem Kapitalisme itu sendiri. Jadi, apa yang terjadi sekarang ini adalah proses kematian Kapitalisme yang berasal dari dalam sistem kapitalisme itu sendiri.

Sistem Alternatif

Sistem Kapitalisme selain berakhirnya dengan kehancuran, yang pasti juga merugikan masyarakat karena tidak adanya keadilan. Karena itu, saat ini sudah waktunya memunculkan sistem ekonomi syariah yang sebenarnya sudah sangat teruji dan stabil.

Kestabilan ekonomi syariah ini, karena didukung 5 pilar.

Pilar pertama adalah penggunaan mata uang yang bebas ditentukan oleh penggunanya, terutama pada emas, karena emas terbebas dari inflasi. Dalam sejarahnya mata uang emas bisa bertahan sampai 2.500 tahun. Ini membuktikan ketahanan mata uang emas dibandingkan dengan uang kertas dari berbagai permasalahan ekonomi.

Pilar kedua adalah open markets (pasar terbuka). Dalam sistem Kapitalisme, ekonomi spekulatif menyerap begitu banyak uang tapi hanya menyerap sedikit tenaga kerja dan ironisnya ekonomi spekulatif ini sangat mempengaruhi ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Kondisi ini harus digantikan dengan open markets (pasar terbuka).

Pasar terbuka ini merupakan tempat berdagang bagi siapa saja tanpa pandang bulu. Jadi semua masyarakat diperbolehkan berdagang di pasar terbuka ini, tanpa dipungut biaya, sehingga akan menyerap perputaran uang dalam jumlah besar sekaligus menyerap banyak tenaga kerja. Pasar terbuka ini menjadi lawan pasar modern (mall dan hypermarket) yang sangat diskriminatif karena hanya bisa diakses yang punya modal besar.

Pilar ketiga adalah open distribution and logistic infrastructure. Dengan pilar ketiga ini, semua masyarakat bisa menjadi distributor semua produk tanpa ada monopoli. Dalam perkembangan perdagangan islam, ini disebut caravan. Tidak adanya monopoli, akan membuat produk lebih mudah didapatkan masyarakat tanpa permainan harga.

Pilar keempat adalah open production infrastructure. Dengan pilar keempat ini maka rumah-rumah produksi harus diberi kesempatan berkembang. Di Korea Selatan misalnya, industri rumah tangga tidak berdiri sendiri tapi menjadi akar dari perusahaan besar seperti Samsung, Hyundai, LG. Dengan cara semacam ini, pusat-pusat keuntungan menjadi menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Sehingga kesejahteraan bukan dimonopoli oleh kelompok kecil pemilik modal.

Pilar kelima syirkat dan qirad. Pilar kelima ini, akan memberikan kepada semua orang pada posisi yang sama dan saling menguntungkan. Antara pemegang saham mayoritas dan minoritas punya hak yang sama dalam pengambilan kebijakan. Jadi, tidak ada penindasan dari yang besar pada yang kecil, atau pemilik modal dan pekerja. Karena syirkat dan qirad menjadikan semua yang berhubungan dengan bisnis sebagai mitra.

Dengan melihat kondisi semacam ini, tinggal menunggu waktu saja peralihan sistem Kapitalis ke ekonomi Islam. Karena bagaimana pun juga, setiap manusia pasti akan memilih yang baik.

Oleh : Christa – suara Pembaca detikcom.

http://suarapembaca.detik.com/read/2008/12/02/092953/1046340/471/inilah-kelemahan-ekonomi-kapitalis

Christa : Jl Ahmad Yani 116 Surabaya (christa_rahma@yahoo.co.id) 0318288270

(msh/msh)

Faham Liberal : "Permainan Tanpa Wasit"

Faham Liberal yang selalu menyerukan slogan "main tanpa wasit" sebenarnya sebuah sistem berpikir yang kacau-balau karena meletakkan sebuah kebenaran mutlak pada ranah abu-abu yang serba relatif. Berbalik 180 derajat dari faham Literal yang sangat eksklusif, faham ini sangat Inklusif sehingga apa saja bebas masuk, paling mudah jika dianalogikan sebagai "tong sampah ideologi".

Menurut faham ini "bebas" berarti semuanya boleh berbuat, berpikir, berpendapat dan tak seorangpun boleh melarang serta menyalahkannya, bebas, lepas, tanpa batas. Sebuah konsep yang sama sekali tidak dapat diterapkan dalam aspek kehidupan apapun, bahkan jika diaplikasikan dalam sebuah permainan ular-tangga sekali pun konsep ini tidak akan support.

Liberalis yang merupakan saudara kandung Sekularis dan Pluralis sejatinya merupakan ekspresi "kejenuhan beragama" yang dikemas begitu apik oleh para pemeluknya sehingga terkesan ilmiah, masuk akal, dan reliable. Lalu atas nama kebebasan, paham ini membuka lebar pintu ijtihad bagi siapa saja (inilah terjemahan dari "tong sampah ideologi").

Maka tidak heran ketika datang seorang nabi palsu paham ini turut membenarkannya, ketika ada penolakan Al-Qur'an paham ini turut mendukungnya, bahkan ketika Allah dan rasul-Nya dilecehkan maka paham ini akan mengamininya, semuanya legal, baik, benar, dan semuanya atas nama kebebasan berijtihad.

Dalam surat al-A'râf: 176 kaum yang mendustakan ayat kebenaran seperti ini diibaratkan seperti yang selalu menjulurkan lidah dalam segala kondisi (in tahmil 'alaihi yalhats au tatruk-hu yalhats). Selain terlalu menuhankan akal, Liberalis juga terlampau keblinger dalam menempatkan posisi rasio-empiris dalam tataran unreachable area (transendental), seluruh teks harus sesuai dengan akal, jika tidak maka harus diakal-akali, jika tidak bisa diakali maka akal itu sendirilah penentunya.

Wahyu adalah nomor seratus sekian jauh di bawah akal. Lalu atas dalih 'maslahat' versi Liberal apapun menjadi halal, mulai dari Homo-Lesbi hingga Trinitas-Trimurti. Ending-nya faham ini akan tampil sebagai pahlawan kesorean yang serta-merta memproklamirkan diri sebagai generasi progresif, inklusif, menyegarkan, membebaskan. Sebuah lagu lama yang terlampau kadaluwarsa untuk diusung.

Sumber : http://www.berpolitik.com/viewnewspost.pl?nid=18144&param=Zj0evRMIZueZYHhVcemz

Kamis, 04 Desember 2008

Partai Bulan Bintang Tuntut Pilpres Bareng Pemilu Legislatif


 

PBB Resmi Gugat UU Pemilu Presiden Ke MK

Partai Bulan Bintang kemarin mendaftarkan gugatan terhadap Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi.

Saat mendaftarkan uji materil itu, partai berlambang bulan dan bintang ini, diwakili Ketua Dewan Syuro PBB Yusril Ihza Mahendra, Wakil Ketua Umum PBB Hamda Zoelva dan Ketua DPP PBB Ali Mochtar Ngabalin.

Ada dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang dinilai PBB bertentangan dengan UUD 45.

Pertama, Pasal 9 UU Pilpres yang berbunyi, hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilu legislatif yang berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

Menurut Yusril Cs, syarat dukungan bagi capres itu bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 45 yang berbunyi, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilu.

Kedua, Pasal 3 Ayat (5) UU Pilpres yang berbunyi, pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif.

Menurut Hamdan Zoelva, pasal itu bertentangan dengan Pasal 22 E Ayat (1) dan (2) UUD 45 yang intinya, pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali, untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan DPRD.

Jadi, Hamdan menambahkan, pemilu legislatif dan pilpres seharusnya dilaksanakan serempak jika mengacu kepada UUD 45 yang telah diamandemen itu. "Sebenarnya, pelaksanaan pemilu yang dua tahap pada 2004, yaitu pileg kemudian pilpres, bertentangan dengan konstitusi. Tapi, karena syarat dukungan capres yang diajukan kecil, hanya tiga persen, maka tak ada partai yang dirugikan secara konstitusional," kata Hamdan sebelum mendaftarkan berkas yang dibawanya ke MK.

Sedangkan pada Pilpres 2009, lanjutnya, syarat dukungan capres sangat besar, sehingga melanggar hak konsitusional partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon presiden. "Yang penting terdaftar terdaftar sebagai partai politik peserta pemilu," tandasnya.

Dengan sederet alasan itu, menurut Hamdan, Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009 harus dilaksanakan secara bersamaan. "Dengan begitu, semua partai tak perlu berdebat mengenai syarat dukungan capres, mengingat pelaksanaan pileg bersamaan dengan pilpres," tandas bekas anggota DPR ini.

Kata Hamdan, gugatan yang diajukan PBB tidak terlambat, meski pemilu legislatif diperkirakan bakal digelar pada April 2009. "Tak masalah kalau pileg diundur pada Juli, yang penting penyelenggaraannya bersamaan dengan pilpres, sesuai konstitusi yang ada," tegasnya.

Sedangkan Yusril mengingatkan, jika membaca seluruh risalah amandemen UUD 1945, terutama yang menyangkut dua pasal yang digugat itu, tak ada satu pun fraksi di DPR menginginkan pemilu legislatif dan pilpres digelar secara terpisah. "Semua fraksi mengusulkan pelaksanaan pemilu dilaksanakan secara bersamaan setiap lima tahun sekali," tandas bekas menteri sekretaris negara ini.

Jadi, Yusril beralasan, pendaftaran uji materil ke MK bukan semata-mata karena syarat dukungan capres terlalu berat, melainkan karena penyelenggaraan pemilu sudah keluar dari ketetapan konstitusi.

Kendati begitu, dia tak menampik bahwa pendaftaran uji materil ini juga membawa kepentingan politik agar PBB bisa mengusungnya sebagai capres 2009. "Apa pun partainya, dengan syarat dukungan seperti itu akan terasa berat, sedangkan semua partai peserta pemilu berharap bisa mengajukan capres, termasuk PBB," katanya.

Sumber : Rakyat Merdeka | Rabu, 03 Desember 2008, 04:23:38 dalam : http://www.berpolitik.com/news.pl?n_id=18118&c_id=6&param=5KNkC7qLvvWVYXG76kUO

Rabu, 03 Desember 2008

MOU Poldasu, Kejati dan Panwaslu Provinsi Sumatera Utara : Pidana Pemilu Ditindak


 

Penanganan Berlangsung Cepat, Sederhana, dan Berbiaya Ringan

Kepolisian Daerah bersama Kejaksaan Tinggi dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara, Selasa (2/12) di Medan, menandatangani nota kesepahaman bersama tentang penegakan hukum terpadu dan pola penanganan perkara tindak pidana Pemilu Legislatif 2009.

Nota kesepahaman ini dibuat agar penanganan pelanggaran pidana pemilu bisa berlangsung cepat, sederhana, berbiaya ringan, jujur, dan tidak memihak.

Nota kesepahaman ini ditindaklanjuti dengan pembentukan sentra penegakan hukum terpadu yang bertugas antara lain menerima laporan pelanggaran pemilu, meneliti, menyidik, dan menyerahkan kepada jaksa penuntut umum. Dalam nota kesepahaman juga diatur, setelah melakukan penelitian, sentra penegakan hukum hanya membutuhkan waktu sehari untuk meneruskan laporan pelanggaran pemilu kepada penyidik agar diterbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP).

Dalam hal terjadi pelanggaran pemilu yang tidak termasuk pidana maka laporan tersebut ditangani Panwaslu. Sentra penegakan hukum terpadu yang langsung meneliti dan mengklasifikasi setiap laporan pelanggaran, apakah memenuhi unsur pidana atau cukup ditangani Panwaslu.

Selain di tingkat provinsi, sentra penegakan hukum terpadu juga dibentuk di tingkat kabupaten/kota. Penanganan perkara tindak pidana yang dilaporkan kepada sentra penegakan hukum terpadu berkedudukan di Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut untuk tingkat provinsi dan Satuan Reserse Kriminal Polres atau Poltabes di tingkat kabupaten/kota.

Penandatanganan nota kesepahaman ini dihadiri perwakilan partai politik peserta pemilu dan Gubernur Sumut Syamsul Arifin beserta jajarannya. Kepala Polda Sumut Inspektur Jenderal Nanan Soekarna mengharapkan, pembentukan sentra penegakan hukum terpadu ini jangan memicu terjadinya pelanggaran pemilu. "Saya malah berharap sentra penegakan hukum terpadu ini tidak ada kerjanya," ujar Nanan.

Kepada perwakilan partai politik, Nanan meminta mereka sudah mulai bersikap adil dan menghargai aturan. Dia mengungkapkan, dalam aturannya setiap partai politik hingga calon legislatif yang melakukan pemasangan atribut harus melapor kepada polisi. "Sampai hari ini belum ada satu pun yang melapor, tetapi alat peraga sudah dipasang di mana-mana. Apa ini mesti juga harus saya usut?" katanya.

Nanan mengatakan, tanggung jawab polisi untuk mengamankan pemilu legislatif di Sumut bukan main-main. "Jika ada apa- apa saya yang dicopot," ujarnya.

Syamsul juga meminta kepada semua partai politik peserta pemilu dan calon legislatifnya untuk tetap menjaga kondisi damai di Sumut. "Saya yakin tidak ada satu pun partai politik yang berniat menghancurkan bangsa ini," katanya. (BIL)

Sumber : http://cetak.kompas.com


 

Senin, 27 Oktober 2008

ARTIKEL : Umat Mendambakan Partai Yang Memperjuangkan Syariah

Oleh : siti (paint_M)

Tidak lama lagi Pemilu 2009 digelar. Anggaran biaya sekitar Rp 49,7 triliun telah disiapkan. Jauh-jauh hari partai peserta Pemilu—total 38 partai, belum termasuk partai lokal di Aceh (NAD)—sudah melakukan pemanasan dengan berbagai jurus dan strategi kampanye melalui berbagai media. Mereka pun telah menetapkan caleg-calegnya. Banyak artis, pengusaha dan orang kaya baru yang menjadi caleg (calon anggota legislatif). Kasak-kusuk koalisi, aliansi, kaukus atau berbagai istilah lain dijajaki. Intinya adalah tawar-menawar kepentingan antar partai.

Pertanyaannya: Dapatkah Pemilu 2009 membawa perubahan yang lebih baik bagi umat? Apakah umat/rakyat bisa berharap banyak pada partai-partai yang ada dan kepada para calegnya untuk mewujudkan keinginan-keinginan mereka?

Faktanya, jika dihitung sejak masa reformasi saja, negeri ini telah melakukan 3 (tiga) kali Pemilu. Tentu saja itu belum termasuk Pilkada yang—menurut Pengamat Politik Eep Saefullah Fatah—diselenggarakan 3 kali sehari (Kompas, 24/6/2008). Indonesia juga pernah disebut-sebut sebagai "juara demokrasi" karena kesuksesannya menyelenggarakan Pemilu 2004 yang dinilai amat demokratis, aman dan damai. Namun, "suksesnya demokrasi" ini tidak pernah bertemu dengan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat/umat. Apalagi jika dikaitkan dengan keinginan umat Islam untuk menerapkan syariah Islam, yang justru semakin hari semakin menguat.

Yang Dirasakan Masyarakat

Banyaknya partai politik peserta Pemilu 2009 membuat rakyat kecil makin bingung. Rakyat tidak banyak tahu, partai-partai mana saja yang layak mendapat mandat untuk mewakili aspirasi mereka. Mungkin memang tidak ada partai yang layak untuk menjadi tempat menggantungkan harapan bagi rakyat. Dari berbagai survey yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey nasional, ada kecenderungan umat sudah begitu apatis dan apriori alias tidak peduli terhadap elit penguasa baik yang duduk di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tingkat kepercayaan mereka terhadap institusi partai begitu rendah. "Setelah Pemilu 2004 usai terus terjadi penurunan hingga tahun 2007 ini," ungkap pakar politik UGM Pratikno. Menurut Pratikno, hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan Asia Barometer. Hasil survei menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mengalami penurunan dari 8 persen di tahun 2004, menjadi 5,8 persen di tahun 2007 (Detik.com, 18/12/2007).

Angka golput dalam berbagai Pilkada di berbagai daerah juga rata-rata cukup tinggi. Golput bahkan sering menjadi "pemenang" Pilkada. Pilkada Jawa Barat, misalnya, hanya diikuti 65% rakyat. Ini berarti angka golput sebesar 35%, mengalahkan pasangan pemenang Pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih golput dalam Pilgub Sumatera Utara sekitar 41%. Dalam Pilgub DKI Jakarta, yang golput 39,2%. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih. Padahal gubernur tepilih Fauzi Bowo hanya dipilih oleh 2 juta orang pemilih saja (35,1%). Untuk Pilgub Jawa Tengah angka golput mendekati 50%. Di tempat lain juga angka golput cukup tinggi: Kalsel (40%), Sumbar (37%), Jambi (34 %), Banten 40% dan Kepri 46%.

Di tengah sikap pesimis masyarakat terhadap Pemilu, Pilkada, partai-partai yang ada dan para anggotanya yang duduk di DPR, ternyata ada kecenderungan di kalangan umat bahwa masa depan politik Indonesia ada pada syariah Islam. Beberapa survey menunjukkan dukungan masyarakat terhadap penerapan syariah Islam meningkat. Survey Roy Morgan Research yang terbaru (Juni 2008) menunjukkan: 52 persen rakyat Indonesia menuntut penerapan syariah Islam. Sebelumnya, hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 dan 2002 (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002) menunjukkan: sebanyak 67% (2002) responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Padahal survei sebelumnya (2001) hanya 57,8% responden yang setuju dengan pendapat demikian. Ini berarti, ada peningkatan cukup tinggi, sekitar 10%.

Sumber : http://www.berpolitik.com

Kamis, 16 Oktober 2008

Neoliberalisme Telah Mati

Oleh: Akhmad Kusaeni

Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati!

Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si "invicible hand" mengatur segalanya berdasar hukum "supply and demand".

Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Kredo pasar bebas adalah pasar yang tidak diatur dan diintervensi adalah cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya melalui pasar bebas pertumbuhan ekonomi bisa dicapai.

Ekonom-ekonom pembela pasar bebas sangat percaya bahwa "The best government is the least government". Ekonom tersebut, yang Indonesia dikenal sebagai Mafia Berkeley, sering berguyon bahwa pertumbuhan ekonomi paling cepat di malam hari, ketika pemerintah sedang tidur.

Ternyata pasar bebas itu kini tidak berlaku lagi di negeri yang menjadi pusaran dinamonya. Justeru pertumbuhan ekonomi jadi anjlog dengan pasar yang kelewat bebas. Justeru pemerintahan George W Bush yang tidak bisa tidur, sibuk melakukan intervensi dan berusaha membelenggu si "invisible hand".

Bush menghadapi dilema gawat menghadapi krisis keuangan terberat setelah depresi tahun 1930-an. Pemerintahannya memutuskan untuk melakukan campur tangan. Atas persetujuan Kongres AS, Bush menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan Lehman Brothers dan perusahaan-perusahaan raksasa Wall Street lain yang diambang kebangkrutan.

"Kita harus bertindak," kata Bush di depan Kongres.

Ia tidak percaya lagi bahwa tangan-tangan ajaib bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang melanda AS dan berimbas pada seluruh tata ekonomi internasional.

Sudah Dikumandangkan

Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sebetulnya sudah dikumandangkan para ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul "Selamat Tinggal pada Perdagangan Bebas".

Samuelson menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah depresi AS. Faktor munculnya liberasisasi juga didorong oleh situasi Perang Dingin.

Ada keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara Barat melalui perdagangan bebas. Pada titik tertentu memang benar adanya. Ketika komunisme runtuh dan sosialisme ambruk dengan bubarnya Uni Soviet, Barat merayakan kemenangan dan "kebenaran" sistim liberalisme atas komunisme/sosialisme.

Francis Fukuyama bahkan berani mengatakan dengan tumbangnya komunisme waktu itu, maka sejarah telah mati. Fukuyama menulis buku "The End of History" untuk menamai era baru pasca Perang Dingin. Sebuah era dunia baru dimana demokrasi dan liberalisasi ekonomi yang akan menjadi nilai dasarnya. Sebuah era baru yang akan membuat dunia lebih damai dan lebih sejahtera di bawah naungan kapitalisme.

Sejak saat dimana Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya, baik di bidang politik dan ekonomi, maka tidak ada halangan lagi untuk menyebarluaskan demokrasi dan liberalisasi. AS terobsesi untuk untuk menjadikan seluruh negara di dunia menjadi negara demokrasi, karena "sesama negara demokrasi tidak saling memerangi".

Negara yang dikatakan masih belum demokratis seperti Irak, Iran dan Korea Utara, perlu dibebaskan. Bilamana perlu, demokrasi ditegakkan di bawah todongan senjata. Diktatur seperti Saddam Hussein mesti digulingkan. Tentara AS harus dikerahkan. Invasi kemudian dilakukan.

Dikucilkan

Negara-negara yang belum menerapkan perdagangan bebas harus ditekan dan didikucilkan. Hambatan-hambatan terhadap tarif harus dihilangkan. Ruang bebas terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA, NAFTA, atau kawasan free trade area harus dibuka selebar-lebarnya.

Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dijadikan alat untuk meliberalisasi ekonomi negara-negara yang membutuhkan bantuan keuangan. Negara-negara yang menolak bergabung dengan WTO atau enggan dipulihkan ekonominya oleh IMF, diberikan sanksi. Bilamana perlu diembargo.

Garisnya sangat jelas. Ikut demokrasi dan liberalisasi atau rasakan akibatnya. Diplomasi "wortel dan pentungan" sudah biasa dilakukan AS.

Itulah dunia yang didambakan dalam konsep "American Dream" yang ternyata hanya utopia. Demokrasi dan liberalisasi ekonomi ternyata tidak seindah yang dimimpikan. Ketika Great Depression (1929) dan Perang Dingin tidak relevan lagi, maka liberalisasi kehilangan mesin pendorongnya. Itu sudah diramalkan sendiri oleh para ahli ekonomi AS, macam Samuelson atau Joseph Stiglitz.

Ekonomi dunia yang "booming" ternyata juga membuat paham liberalisme melemah. China yang dianggap sebagai negara yang proteksionis dan tidak liberal, ternyata bisa tumbuh ekonominya secara mencengangkan. Prof. Kishore Mahbubani dari Singapura meramalkan ekonomi China akan melewati AS dalam tempo kurang dari sepuluh tahun lagi.

"Kita menyaksikan perekonomian Amerika Serikat yang menurun dan Asia yang menanjak, terutama China dan India," katanya.

Mengkhianati

Selain ekonom, politisi AS juga mulai mengkhianati liberalisasi. Hillary Clinton dalam setiap kampanye menyatakan teori-teori yang melandasi perdagangan bebas tidak berlaku lagi dalam era globalisasi.

Jika terpilih sebagai presiden, seperti dikutip Financial Times edisi 3 Desember 2007, Hillary menyatakan akan meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA, walaupun yang menandatanganinya tahun 1993 adalah suaminya sendiri.

Pengkhianatan terbesar terhadap liberalisasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Bush. Alih-alih membiarkan mekanisme pasar di Wall Street mengoreksi diri sendiri, Bush memberi dana talangan tanpa banyak persyaratan semacam ketika Bank Indonesia menggelontorkan BLBI. Tak ada batas waktu kapan dikembalikan dan batas maksimum dana yang dikucurkan. Tak ada pula keharusan perusahaan merestrukturisasi diri.

Amerika Serikat telah menyimpang dari pakemnya sendiri. Jika AS saja sudah tidak percaya terhadap kredonya sendiri, apalagi yang lain. Mungkin sudah saatnya dunia, seperti dikumandangkan oleh Samuelson, untuk mengucapkan "Selamat Tinggal Perdagangan Bebas".

Telah mati: Liberalisasi ekonomi.(*)

Sumber : ANTARA News

http://www.antara.co.id/arc/2008/10/9/neoliberalisme-telah-mati

Minggu, 05 Oktober 2008

Anomali Politik

Oleh : Ikrar Nusa Bhakti

Suatu hari seorang kawan, mantan aktivis sebuah organisasi ekstra kemahasiswaan, mengirim pesan singkat kepada penulis. Isinya, "Parpol dan politisi tampak seperti remaja dengan masa puber tak berujung. Setiap menjelang pemilu sibuk tebar pesona untuk cari dukungan dan pasangan. Gayanya bagaikan 'Jablay' yang rindu belaian dan cumbuan. Maklum, desakan syahwat berkuasa kuat menggelora."

Hanya dalam hitungan detik, kawan yang sama mengirim SMS lanjutan, "Tapi setelah pemilu usai, gaya mereka berubah aneh-aneh. Ada yang seperti kakek-kakek yang kurang pendengaran dan penglihatan (buta dan tuli terhadap jeritan dan penderitaan rakyat), ada yang seperti kurang gizi dan loyo bekerja (mangkir melulu dan jarang hadir pada sidang-sidang di DPR), ada yang seperti preman yang peras sana peras sini, dan ada yang seperti sakit ingatan lupa akan janji-janji kampanyenya. Itu tadi orang yang dapat kursi dan posisi. Sedangkan yang tidak dapat apa-apa usai pemilu, ya..berubah jadi preman atau orang gila beneran. Aduh..mau jadi apa negeri ini!"

Dua kutipan di atas menunjukkan betapa parpol dan politisi di Indonesia berbuat yang abnormal menjelang dan seusai pemilu. Dalam istilah kerennya, terjadi anomali politik.

Sejarah kehidupan parpol juga penuh anomali politik. Sejak menjelang Pemilu 1955 hingga menjelang Pemilu 2009, perpecahan partai sudah menjadi fenomena politik. Kalaupun tidak pecah, para politisi cakar-cakaran berebut posisi di dalam partai. Tidak heran jika menjelang Pemilu 1955 dan pemilu pasca 1998, bukan penggabungan, melainkan pemekaran partai. Contohnya, menjelang Pemilu 1955 Masyumi pecah dan berdiri NU dan partai Islam lainnya.

Menjelang Pemilu 1999, PPP yang merupakan satu-satunya partai Islam era Orde Baru, pecah berkeping-keping. Berdirilah PKB, PBB, PAN, Partai Keadilan (PK) dan sebagainya. PDI dan Golkar juga mengalami nasib yang sama. Kino-kino yang dulu jadi tulang punggung Golkar, ada yang menjadi partai politik, contohnya Partai MKGR. PDI juga pecah ada yang menggunakan nama PNI Massa Marhaen, ada PNBK, ada Partai Damai Sejahtera dsb.

Menjelang Pemilu 2004, perpecahan terjadi lagi, mereka yang dulunya menyatu di PPP, mendirikan partai baru, PBR. Mereka yang dulu pendukung Golkar juga mendirikan partai baru, Partai Patriot. Hanya satu partai Islam yang tetap solid, walau berganti nama, PK menjadi PKS. Muncul pula partai baru, Partai Demokrat.

Menjelang Pemilu 2009, mereka yang berideologi nasionalis juga muncul lagi. PDI-P pecah dengan terbentuknya partai baru, PDP. Partai berhaluan marhaenisme atau islamisme juga banyak bermunculan. PAN pecah dan berdiri partai baru, PMB yang diusung para aktivis pemuda Muhammadiyah. Mereka yang dulu di Golkar dan Partai Demokrat juga mendirikan Partai Hanura, Partai Gerindra dan Partai Barnas. Perpecahan internal juga terjadi di PPP, Partai Golkar, dan PKB.

Perpecahan, perseturuan, perebutan kursi caleg menjelang pemilu tampaknya sudah menjadi 'the name of the game' dalam kehidupan kepartaian di Indonesia. Jika kalah dalam pengambilan keputusan atau perebutan kursi jabatan dalam partai, bukannya menerima, melainkan hengkang dan mendirikan partai baru.

Padahal, fatsun politik normal dan berlaku di banyak negara demokrasi ialah mereka yang menang tetap memberi tempat pada yang kalah. Sebaliknya, mereka yang kalah tetap menyatu dalam partai dan memberi dukungan penuh pada calon presiden atau perdana menteri yang diusung oleh partai tersebut.

Contohnya, Hillary Clinton mendukung penuh Barack Obama sebagai capres pada Konvensi Nasional Partai Demokrat di Amerika Serikat walau ia merupakan seteru kuatnya sebelumnya.

Meski tidak terkait dengan soal kepartaian, anomali politik juga terjadi dalam hubungan antara Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla belakangan ini. Wapres Kalla diminta Majelis Rakyat Thailand Selatan dan Pemerintah Thailand agar menjadi mediator dalam perundingan rahasia menyelesaikan masalah di provinsi Thailand Selatan yang mayoritas Islam.

Politik yang normal mengajarkan, selama persoalan trust antara kedua kelompok yang bertikai masih rendah, maka pertemuan dilakukan rahasia. Namun apa lacur, agar pamor SBY tinggi JK, Jubir SBY Dino Patti Djalal justru membeberkan pada pers, Indonesia diminta Thailand menyelesaikan persoalan Thailand Selatan. Untuk itu Presiden SBY, katanya, memberi mandat Wapres Kalla menjadi mediator dalam pertemuan di Istana Bogor.

Kontan saja Pemerintah Thailand menyangkal adanya permintaan itu. Suatu anomali politik akhirnya menjadi 'political blunder' dalam upaya RI membantu penyelesaian konflik antara pemerintah Thailand dan rakyat Thailand Selatan.

Entah kapan anomali politik berakhir. Jika saja konsolidasi demokrasi berjalan baik dan para politisi menyatukan langkah memerbaiki kondisi negara yang carut marut, mungkin Indonesia tak lagi terpuruk di usianya yang sudah 63 tahun ini.

Penulis adalah profesor riset bidang intermestic affairs di LIPI [L4]

Sumber : http://www.inilah.com/berita/celah/2008/09/27/52080/anomali-politik/

Sabtu, 20 September 2008

Kekuatan Parpol pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti

Herbert Feith bisa disebut sebagai "Bapak Studi Politik Indonesia Modern".

Buku klasiknya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menelurkan banyak konsep, dari tipe kepemimpinan administrator dan solidarity maker, "politik aliran," pembagian ideologi parpol pada 1950-an, sampai "demokrasi konstitusional" (berbasis konstitusi dan konstitusionalisme). Feith juga mewariskan model kajian pemilu, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.

Memperingati 10 tahun reformasi, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), The Habibie Center, dan The Herb Feith Foundation mengadakan seminar, 21-22 Mei 2008, bertema "The Rise of Constitutional Democracy in Indonesia," kebalikan judul buku almarhum. Ini pertanda, roh demokrasi konstitusional yang terkubur sejak tahun 1959 bangkit kembali sejak 1998.

Tipologi parpol

Feith membagi tipologi parpol di Indonesia atas dasar ideologi politik. Paling kiri dianut Partai Komunis Indonesia), agak ke tengah (komunis nasionalis) Partai Murba, ke kanan (sosial demokrat) Partai Sosialis Indonesia (PSI), di tengah ada nasionalisme kerakyatan Partai Nasional Indonesia (PNI), agak ke kanan ada partai-partai Islam modern (Masyumi dan Persis), tradisional (NU), dan yang bertipe solidarity maker bercampur traders (PSII).

Ada juga partai-partai nasionalis kecil, seperti PIR (Partai Persatuan Indonesia Raya), Parindra (Partai Indonesia Raya), PNI-Merdeka, SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia), Partai Buruh dan lainnya. Dua partai beraliran Kristen, Parkindo dan Partai Katholik, tidak dikategorikan partai agama, karena Kristianitas dan nasionalisme berbaur hanya untuk menunjukkan eksistensi kaum minoritas.

Dari peta dukungan politik, juga tampil gambaran yang jelas. PNI didukung priayi Jawa dan Bali. Masyumi didukung individu dan organisasi Islam (Muhammadiyah, NU, Persis), entrepreneurs, politisi berpendidikan tradisional Islam dan Barat, berbasis di pedesaan dan perkotaan Jawa, Sumbar, sebagian Kalimantan.

Basis NU setelah keluar dari Masyumi adalah Islam tradisional sinkretis, khususnya di Jawa, Kalimantan, Sulsel. Partai Murba didukung para mantan gerilya, buruh kerah putih tingkat rendah yang tidak terakomodasi politik mereka di PNI, PKI, atau PSI. PKI basisnya petani dan buruh di Sumatera dan Jawa. PSI adalah kumpulan sosial demokrat berpendidikan Barat karena itu faham sosialisme bercampur liberalisme dan kapitalisme Barat. PSII berbasis pedagang di Jawa dan Sumatera yang ingin eksis menandingi pedagang China.

Peta kekuatan politik 2009

Meski zaman telah berganti, dengan modifikasi dan minus komunisme, tipologi parpol Herb Feith tampaknya masih sahih. Indonesia belum beranjak dari sistem multipartai yang mencontoh Belanda atau Eropa Kontinental 1940-an. Rencana sistem partai tunggal era Soekarno, atau tiga partai di era Soeharto—PDI-Golkar-PPP—semua gagal.

Menjelang Pemilu 2009, tipologi partai mirip 1950-an. Misalnya, Sosialis kiri (Partai Buruh); sosial demokrat dianut Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB); nasionalis kerakyatan (PDI-P, PDP, PNI Massa Marhaen, PNBKI); nasionalis borjuis (Golkar, Hanura, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Barnas); Islam modernis (PAN, PMB, PKS, PBB dan separuh PPP); Islam dan Sosialis (PBR); Islam tradisionalis (PKB, PNU; separuh PPP plus partai beraliran NU); partai-partai kecil beraliran campuran, sosialisme dan nasionalisme.

Dari sisi kepemimpinan, ada yang menerapkan gaya demokratik egalitarian, aristokrasi Jawa (ada Dewan Pembina); saudagar besar atau eceran (partai ibarat perusahaan); fasis militeristik (gaya komando); tradisional/modern agamis, atau asas kekeluargaan. Namun, hampir semua tokoh parpol bertipe kepemimpinan solidarity maker, ketimbang administrator.

Dari sisi platform ekonomi, ada yang berbasis ekonomi pasar, ekonomi kerakyatan, atau ekonomi syariah. Hampir semua partai nasionalis—PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerinda, Partai Hanura, Partai Barnas—mengampanyekan ekonomi kerakyatan. Namun, partai mana yang menerapkan ekonomi kerakyatan dan kapitalistik, neoliberal dan tunduk pada ekonomi pasar, rakyatlah yang menilai. Tak ada satu partai Islam berani mengembangkan ekonomi syariah. Keuangan dan perbankan syariah yang kini berkembang tak beda jauh dengan perbankan umum. Anehnya, justru lembaga keuangan umum (asing dan nasional) lebih sukses menerapkan ekonomi syariah.

Dari platform bangunan masyarakat sipil Indonesia, semua parpol mendukung pluralisme dan multikulturalisme. Jika pun ada yang coba menerapkan homogenisme atau eksklusivisme agama, tidak akan laku pada tataran elite atau massa. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mendukung negara kebangsaan dan multikulturalisme.

Pengelolaan partai

Dari peta basis massa, partai berbasis nasionalis kerakyatan dan borjuis akan bertarung di antara sesamanya, juga yang berbasis Islam tradisionalis/modern. Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah nasionalis. PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Hanya PBB yang secara "jantan" mengampanyekan Syariat Islam. Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para pendukung tradisionalnya.

Pemilu legislatif pada 9 April 2009 menjadi medan pertarungan demokratik yang menentukan, partai mana akan secara permanen terhapus dari peta politik Indonesia dan mana yang berjaya. Hanya partai-partai yang dikelola secara serius akan kian berjaya pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Dalam : http://www.indonesiamemilih.com

Pergeseran Geopolitik Menjelang 2009

Oleh : SUWARDIMAN

Geopolitik pada Pemilu 2009, bisa jadi, sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pergeseran penguasaan wilayah kemungkinan akan banyak diwarnai oleh tumbuhnya kepercayaan diri partai pascapemilihan kepala daerah. Karena itu, laju pergeseran dominasi Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mungkin tidak semulus dulu.

Setelah kekuasaan rezim Orde Baru runtuh, dominasi kekuatan politik tetap dipegang oleh dua kekuatan partai lama, Partai Golkar dan PDI-P. Partai Golkar berjaya di luar Jawa dan PDI-P di Pulau Jawa. Selama dua pemilu terakhir, peta kekuatan terus berubah.

Pertarungan politik pada Pemilu 1999 yang melibatkan 48 parpol dimenangi oleh PDI-P yang merebut 33,74 persen suara, mengalahkan Partai Golkar yang hanya berhasil merebut 22,4 persen suara. PDI-P berhasil menang di 166 kabupaten/kota, sementara Golkar hanya mampu menguasai 114 wilayah.

Satu periode sesudahnya, Partai Golkar kembali mendominasi peta politik secara nasional. Sebanyak 271 kabupaten/kota dikuasai partai berlambang beringin itu dengan total suara 21,57 persen, sedangkan PDI-P hanya mampu menguasai 89 kabupaten/kota dengan perolehan 18,53 persen suara. Partai ini juga hanya mampu mempertahankan 72 kantong massanya, dan kehilangan 22 lainnya. Meski PDI-P mampu membentuk kantong massa baru di 18 kabupaten/kota, parpol itu gagal mempertahankan Megawati Soekarnoputri untuk tetap duduk di kursi nomor satu negeri ini.

Jawa-Bali

Penyusutan kekuatan PDI-P pada Pemilu 2004 membuat partai politik ini cuma mampu menguasai 55 kabupaten/kota di Jawa dan Bali. Padahal, kantong massa yang paling kuat bagi PDI-P pada Pemilu 1999 adalah wilayah Jawa dan Bali, dengan penguasaan 142 kabupaten/kota.

Ini berarti, penguasaan wilayah Jawa dan Bali oleh PDI-P turun drastis dari 86,6 persen menjadi 44,4 persen. Sebaliknya, Partai Golkar, yang pada tahun 1999 hanya mampu memenangi empat kabupaten di Pulau Jawa dan Bali, berhasil mengusai 31 daerah pada Pemilu 2004.

Menurunnya penguasaan wilayah oleh PDI-P di kawasan Jawa dan Bali menguntungkan bagi sejumlah partai berbasis massa Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PKB meningkatkan dominasinya di 24 kabupaten/kota dari sebelumnya 14 daerah pada tahun 1999. Demikian juga PPP, menambah satu daerah pemenangan.

Kantong-kantong massa PDI-P di luar Jawa dan Bali juga banyak yang berguguran dan dikuasai partai-partai lain. Kemenangan PDI-P di 69 kabupaten/ kota luar Jawa-Bali pada tahun 1999 pun terkikis separuhnya, hanya menyisakan 34 daerah yang mereka kuasa pada Pemilu 2004.

Partai Golkar membuktikan kemenangannya di 240 kabupaten/kota atau sekitar 76,2 persen daerah di luar Jawa dan Bali pada Pemilu 2004. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagai partai politik baru, sukses memenangi perolehan suara di 12 daerah, separuhnya adalah daerah di Pulau Jawa.

Pilkada dan koalisi

Hingga pertengahan tahun 2008, pemilihan kepala daerah langsung sedikitnya sudah diselenggarakan di 356 kabupaten/kota dan 24 provinsi. Namun, banyak partai yang memiliki basis massa kuat pada Pemilu 2004 terbukti tidak mampu mengandalkan modal suara yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan calonnya di pilkada.

Partai Golkar, misalnya, gagal mengantar pasangan calonnya menjadi gubernur Sulawesi Utara. Partai yang memiliki modal suara 32,32 persen saat Pemilu 2004 di Sulut itu harus mengakui kemenangan PDI-P di wilayah itu. Golkar juga gagal menggiring calon gubernurnya di basis massanya di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Kekuatan satu partai akan tergambar jelas jika partai yang bersangkutan menjadi pengusung tunggal dan bukan koalisi. Namun, tidak banyak parpol yang cukup percaya diri mengusung pasangan calonnya secara tunggal. Bahkan, untuk daerah-daerah yang tercatat sebagai basis massanya pada pemilu legislatif 2004, banyak parpol yang berkoalisi dengan partai lain yang lebih kecil untuk bisa berhasil memenangi pilkada.

Analisis terhadap 352 kabupaten kota dan 24 provinsi yang sudah menyelenggarakan pilkada langsung selama tiga tahun terakhir menunjukkan, seratus bupati/wali kota dan delapan gubernur terpilih sukses diusung oleh partai tunggal. Selebihnya hasil koalisi partai yang mujarab mengusung pasangan calon meraih kursi nomor satu di daerah.

Partai Golkar tercatat sebagai motor politik yang paling banyak berhasil mengegolkan pasangannya menjadi bupati dan wali kota. Sebanyak 151 pasangan calon bupati/wali kota berhasil dimenangkan, sebanyak 54 di antaranya diusung secara tunggal. Disusul oleh PDI-P yang berhasil mengegolkan 96 pasangan calon menjadi kepala daerah di tingkat kabupaten/kota, sebanyak 26 di antaranya diusung secara tunggal.

PDI-P sukses menjadi pengusung tunggal untuk enam gubernur terpilih dari 12 provinsi yang mereka menangi. Partai Golkar sendiri hanya mampu mengusung empat gubernur terpilih, dua di antaranya sebagai pengusung tunggal

Perubahan peta politik dari hasil pemilu ke pilkada tergambar paling jelas di wilayah basis massa partai-partai nasionalis, terutama peralihan dominasi suara dari Golkar ke PDI-P dan sebaliknya.

Di tingkat kabupaten/kota, Golkar mampu mempertahankan 40 daerah basis massanya dengan memenangi pilkada sebagai pengusung tunggal. Namun, Golkar kalah di sepuluh kantong massanya saat menjadi pengusung tunggal di pilkada.

Sebanyak empat di antaranya dimenangi oleh PDI-P sebagai pengusung tunggal. Daerah Golkar yang dimenangi PDI-P tanpa koalisi adalah Kabupaten Timor Tengah Utara, Teluk Bintuni, Musi Rawas, dan Maluku Utara Barat. Di level provinsi, calon dari PDI-P juga merebut empat daerah Golkar tanpa koalisi, yaitu Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Namun, PDI-P juga kalah di delapan kabupaten/kota saat menjadi pengusung tunggal.

Delapan daerah yang saat Pemilu 2004 menjadi basis massa PDI-P dimenangi oleh Golkar tanpa koalisi saat pilkada, yaitu Kabupaten Karangasem (Bali), Sumba Barat, Blora, Boyolali, Purworejo, Klaten, Grobogan, dan Lampung Timur. Di level provinsi, tidak ada gubernur yang dimenangkan oleh Golkar di luar basis massanya.

Sementara itu, dari sejumlah calon yang diusung secara tunggal oleh Partai Keadilan Sejahtera, empat kabupaten/kota dimenangi partai ini. Dua daerah merupakan basis massa PKS saat Pemilu 2004, sementara dua lainnya merebut kantong massa Golkar dan PDI-P, yaitu Kabupaten Bekasi dan Bangka Barat.

Partai Amanat Nasional memenangi lebih banyak pilkada di luar wilayah basis massanya. Dari lima daerah yang calonnya diusung tunggal oleh PAN, tiga daerah merupakan basis Golkar, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang, Pesisir Selatan, Gunung Kidul, dan satu daerah basis PKB, yaitu Lamongan.

Pilkada seharusnya menjadi ujian bagi partai-partai besar menuju pesta akbar demokrasi tahun depan. Dari sini seharusnya bisa diukur apakah basis massa yang dimiliki parpol riil atau semu. (Litbang Kompas)

Sumber : http://www.indonesiamemilih.com

Pergeseran Kekuatan Partai Nasionalis dan Islam 1955 - 2004

Oleh BAMBANG SETIAWAN


Penetrasi kekuatan Orde Baru telah mampu mengubah peta politik di luar Jawa. Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang, warna politik nasionalis pun masih tetap kental di luar Jawa. Sementara di Jawa, komposisi nasionalis-agama cenderung kembali seperti Pemilu 1955.

Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 29 September 1955 dan diikuti oleh sekitar 172 peserta pemilu telah memetakan untuk pertama kalinya kekuatan-kekuatan partai politik dominan di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil pemilu yang dilaksanakan di 15 daerah pemilihan (dapil) menunjukkan cukup berimbangnya kekuatan partai-partai berbasis massa nasionalis dan komunis dengan partai-partai berakar massa Islam. Sekitar 43,71 persen pemilih memberikan suaranya untuk Masyumi, NU, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa partai kecil lainnya. Sebaliknya, sekitar 46,86 persen pemilih lainnya memberikan suaranya untuk partai-partai yang berhaluan nasionalis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), berhaluan komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), atau berhaluan sosialis semacam Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan juga kepada partai-partai dengan akar pluralis lainnya.

Delapan kali pemilu berikutnya telah mengubah cukup banyak perimbangan kekuatan geopolitik. Faktor penting pertama adalah hilangnya pengaruh Masyumi dalam pemilu yang kedua (1971).

Penciutan partai

Tahun 1959 adalah saat genting dalam kepartaian Indonesia. Setelah kebebasan yang dipertontonkan empat tahun sebelumnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Pnps No 7 Tahun 1959 yang membatasi gerak partai. Tekanan terhadap partai semakin berat setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No 128 Tahun 1960 yang menyatakan, partai yang diakui pemerintah hanyalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti, dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.

Dalam Pemilu 1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat dengan menguasai 20,92 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya (26,12 persen), Sumatera Selatan (43,13 persen), Sumatera Tengah (50,77 persen), Sumatera Utara (37 persen), Kalimantan Barat (33,25 persen), Sulawesi Tenggara Selatan (39,98 persen), dan Maluku (35,35 persen).

Pembubaran Masyumi pada tahun 1960 betul-betul merupakan pukulan telak bagi kekuatan politik Islam. Sebagian wilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi memang tetap memiliki karakter sebagai basis massa Islam yang kuat ketika pemilu kembali dilaksanakan secara bebas, seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, kebanyakan dari wilayah lain di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis partai nasionalis. Wilayah Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan yang dulu menjadi basis Partai NU dan Masyumi, juga telah berubah menjadi basis massa partai nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah "hijau" yang 67 persen suaranya dikuasai oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif permanen dengan warna "kuning" Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulewesi Selatan, wilayah yang 69 persen dikuasai oleh partai "hijau" pada tahun 1955, telah berubah 180 derajat. Pada Pemilu 2004, 69,8 persen suara dikuasai oleh partai nasionalis.

Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 peserta (Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba) pada dasarnya tidak mencerminkan kekuatan partai sesungguhnya karena berada di bawah tekanan aliansi militer, birokrasi sipil, dan golongan fungsional lainnya yang tergabung dalam Golkar.

Kekuatan partai berbasis massa Islam pun langsung anjlok hampir setengahnya, menjadi 27,12 persen. Juga dalam pemilu-pemilu Orde Baru berikutnya, kekuatan partai berbasis massa Islam nyaris lumpuh.

Kebebasan kedua

Runtuhnya kekuasaan otoriter Soeharto menjadi peluang bagi partai-partai Islam di pentas politik nasional. Dalam Pemilu 1999, terbukti partai-partai berbasis massa Islam mampu meraih kembali simpati pemilih. Meski tidak seperti tahun 1955, kayuh politik partai-partai nasionalis mulai berat melaju. Dalam pemilu pertama setelah kejatuhan rezim Orde Baru itu, dominasi partai-partai nasionalis masih dominan, tetapi menurun menjadi sekitar 61,04 persen dari sebelumnya yang 77,57 persen.

Partai berbasis massa Islam pada pemilu itu mendapatkan suara 37,54 persen (terbesar adalah suara yang dihimpun oleh PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK). Perolehan suara untuk partai-partai berakar Islam tampaknya mulai stabil setelah Pemilu 2004. Tidak banyak komposisi yang berubah. Di pemilu tersebut, tujuh partai berakar Islam (PKB, PPP, PAN, PKS, PBB, PBR, PPNUI) menghimpun 38,33 persen suara. Namun, dari aspek penguasaan wilayah masih tertinggal jauh dari partai-partai umum berhaluan nasionalis. Dari 32 provinsi yang ada pada Pemilu 2004, hanya dua daerah yang dimenangi oleh partai berbasis massa Islam, yaitu PKS (Jakarta) dan PKB (Jawa Timur), selebihnya didominasi oleh Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada Pemilu 1955, dominasi partai nasionalis hanya di dua dari 15 daerah pemilihan.

Kembalinya sistem multipartai dalam sistem politik demokrasi Indonesia akan membawa pengaruh pada terpetakannya secara bebas kekuatan-kekuatan politik dominan. (Litbang Kompas)


Sumber BAMBANG SETIAWAN dalam Website indonesiamemilih



Minggu, 07 September 2008

Opini : Duduk Soal Perda Syariah

Oleh

Prof. Dr. Bahtiar Effendy *)

Sebagai bukan ahli hukum, saya tidak tahu apakah hal yang seperti ini (bermunculannya perda- perda syariah) merupakan perkembangan yang merisaukan atau bukan bagi Indonesia dan demokrasi yang sedang tumbuh.

Akan tetapi, sebagai orang yang mengamati Islam dalam konteks pembangunan politik Indonesia, ada beberapa catatan yang dapat diberikan. Dalam konteks perundang-undangan Islam di tingkat nasional, menarik melihatnya sebagai bentuk akomodasi parsial negara terhadap Islam.

Hal ini merupakan penafsiran paling memungkinkan bagi rumusan bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Rumusan ini terinspirasi dari sebagian isi preambule UUD 1945 dan beberapa pasal di dalam UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan agama. Lebih mencolok lagi, ini merupakan kelanjutan logis dari adanya Kementerian Agama.

UUD pada dasarnya mengatakan bahwa negara menjamin kebebasan warganya dalam menjalankan ajaran agamanya. Klausul ini bisa berarti bahwa orang Islam dijamin kebebasannya didalam menjalankan ajaran agama Islam.

Jika mereka percaya bahwa orang yang mencuri itu hendaknya dipotong tangannya, secara teoretis mereka diperbolehkan oleh UUD 1945 untuk menjalankan ajaran atau pemahaman keagamaan seperti itu. Demikian pula dengan soal perzinaan, pembunuhan, dan sebagainya.

Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang Islam, dalam jumlah yang amat banyak, menganut paham bahwa orang yang mencuri harus dipotong tangannya. Bisa saja mereka berpaham bahwa orang yang mencuri diputus kekuasaannya atau kesempatannya untuk mencuri.

Akan tetapi, karena negara Indonesia bukan negara teokrasi atau negara agama, tidak serta-merta pandangan mengenai paham keagamaan seperti itu bisa dilaksanakan. Pernah ada orang yang memotong jari anaknya yang mencuri, dia dikenai hukuman.

Demikian pula ketika Ja’far Umar Thalib menghukum rajam salah seorang pengikutnya, yang mengaku berbuat zina, dan minta dirajam, yang bersangkutan juga dikenai hukuman. Untuk menghindari hal yang sedemikian ini, agar terdapat keserasian hukum antara pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan KUHAP, negara perlu ikut mengatur kehidupan beragama.

Hingga kini yang paling memungkinkan untuk diatur atau diakomodasi oleh negara adalah hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti telah disebutkan di atas. Itu pun, menurut Munawir Syadzali, bersifat "sukarela". Mereka yang tidak merasa nyaman bisa pergi ke lembaga peradilan umum.

Sementara syariat Islam yang berkaitan dengan hukum pidana sulit atau tidak bisa diakomodasi. Pertimbangan-pertimbangan politik mengharuskan negara untuk melakukan akomodasi seperti itu. Itu semua dilakukan dalam rangka mencari jalan tengah, jalan yang paling memungkinkan seperti dalam kasus Aceh.

Pertimbangan-pertimbangan politik, daripada NKRI pecah, Aceh diberi status khusus dengan kewenangan yang jauh lebih luas dibandingkan daerah-daerah lain. Kewenangan yang diberikan kepada Aceh untuk mengelola daerah tersebut menurut hukum Islam merupakan inti pembeda tersebut.

Tidak banyak daerah yang diberi kewenangan khusus. Meski demikian, reformasi dan perkembangan politik pasca mundurnya Presiden Soeharto mengharuskan pemerintah pusat untuk memberi otonomi seluas-luasnya kepada daerah - kecuali beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan moneter/ fiskal, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, dan politik luar negeri.

Perkembangan politik demokrasi membangkitkan kemandirian daerah, termasuk dalam menyusun peraturan daerah. "Perda syariah" (saya tidak tahu pasti apakah istilah ini benarbena r dipakai oleh pemerintah kabupaten dan kota) harus diletakkan dalam konteks ini.

Dalam pandangan daerah, meski tidak lepas dari motivasi-motivasi politik, jika pusat memiliki kewenangan membuat undang-undang yang berbau syariat Islam dan Aceh juga demikian pula adanya, apa "salahnya" (dalam pengertian diskriminasi, mengancam NKRI, bertentangan dengan UUD 1945 dan ideologi Pancasila, berlawanan dengan hak asasi manusia/HAM) jika daerah juga membuat perda yang berbau syariah?

Tentu, tidak semua "perda syariah" itu masuk akal atau penting bagi kemajuan suatu daerah. Bahkan, mungkin saja perda-perda itu justru menghambat perkembangan daerah. Melarang wanita untuk keluar rumah setelah pukul 9 malam adalah jenis peraturan daerah yang tidak masuk akal.

Demikian pula keharusan untuk bisa membaca Alquran atau menjadikan kemampuan membaca Alquran sebagai faktor dalam menentukan posisi birokratis seorang pejabat publik. Dalam konteks yang telah disebutkan, tidak bisa perda-perda tersebut serta-merta dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila atau UUD 1945.

Tidak pula bisa dipandang sebagai hal yang otomatis membahayakan NKRI atau bertentangan dengan HAM. Saya tidak yakin aturan-aturan tersebut dibuat untuk dikenakan kepada semua penduduk daerah.

Soal membaca Alquran atau berbusana muslim pasti diperuntukkan bagi pegawai-pegawai muslim. Meski demikian, penting juga para pembuat perda itu diingatkan bahwa apa yang disebut busana muslim juga sesuatu yang multi tafsir - karenanya tidak bisa dipaksakan.

Tata cara berpakaian dalam Islam, bukan dalam ibadah ritual tertentu seperti ketika melaksanakan sembahyang atau haji, lebih disemangati oleh prinsip decency, kesopanan, dan kewajaran sesuai dengan tradisi masyarakatnya. Dalam hal-hal tertentu di pemerintahan dibolehkan adanya peraturan peraturan yang bersifat spesifik atau berlaku khusus.

Sebab hal ini berkaitan dengan posisi-posisi khusus yang mengharuskan kemampuan spesifik. Soal kemampuan membaca Alquran, misalnya. Bisa saja hal ini diberlakukan dalam posisi-posisi tertentu yang berkaitan dengan soal agama Islam.

Misalnya, soal posisi imam besar sebuah masjid negara. Demikian pula hakim-hakim yang mengurusi soal keagamaan Islam. Juga bagi mereka yang memiliki kewenangan untuk menikahkan atau menceraikan warga negara menurut hukum Islam.

Akan tetapi, meskipun boleh, pencantuman persyaratan khusus juga tidak mesti harus diadakan. Tanpa aturan khusus, orang yang bakal diberi jabatan imam besar pasti adalah orang yang bacaan Alqurannya istimewa. Dalam konteks jabatan seperti itu, kemampuan tersebut sudah bersifat inheren.

Pencantuman keterampilan khusus hanya bersifat redundant, pengulangan yang tidak perlu. Karena itu, perda-perda tersebut tidak perlu untuk dilihat dalam konteks melanggar atau bertentangan dengan Pancasila/UUD 1945. Yang demikian bisa merupakan "jauh panggang dari api".

Untuk itu, saya ingin mengajak kita semua melihat persoalannya secara lebih pas. Semuanya harus diletakkan dalam aturan main dan realitas politik yang ada.

Kenyataan bahwa UUD 1945 mencantumkan bab soal agama (dengan segala tafsirannya) - bahwa pemerintah pusat beserta DPR juga mengundangkan sesuatu yang sebanding dengan "perda syariah", bahkan lebih luas cakupannya dan bahwa Aceh merupakan daerah yang kental warna perda syariatnya - hendaknya itu semua menjadi pertimbangan penting di dalam melihat kasus ? perda syariah?.

Jika "perda syariah" dilihat dari kacamata melawan atau menentang Pancasila dan UUD 1945 atau bahkan mengancam atau membahayakan kelangsungan NKRI atau secara ideologis dan teritorial bertentangan dengan NKRI, bagaimana UUPA, dan undang-undang Islam lain yang disahkan DPR itu harus dilihat? Demi keadilan, bukankah kita harus melihatnya dalam kacamata yang sama?

Bersediakah kita melihat bahwa UUPA atau undang-undang tentang zakat, infak, dan sedekah dalam konteks membahayakan NKRI? Sebaliknya, para pelopor ? perda syariah ? yang sebagian besar justru bukan para aktivis partai Islam hendaknya menahan diri untuk tidak menonjolkan simbol.

Jika "perda syariah" itu (hanya) sibuk mengatur soal baju, lama waktu baca Alquran, atau keharusan salat berjamaah, hal tersebut justru mereduksi makna syariat dalam kehidupan muslim. Jika itu yang dilakukan, sebenarnya ? perda syariah? yang seperti itu bertentangan dengan trademark ?Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam?.

Mestinya, tanpa harus menciptakan hal-hal yang tidak perlu, para pembuat perda itu merumuskan peraturan yang dengan semangat prinsip dan etika Islam untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, memerangi kebodohan, dan membuat masyarakat lebih mampu mengarungi kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang masih serbatidak pasti ini.

Apa yang disebut dengan "perda syariah" mestinya diuji dari segi isi, kepatutan, dan kelayakannya. Bukan dari sifat simbolik yang menyertainya, terlebih jika hal tersebut terkait dengan bias ideologis dan politis yang ada dalam sejarah kita.

Bisa saja sebuah daerah membikin perda yang isinya adalah keharusan untuk memperkuat cinta Tanah Air, sebab cinta Tanah Air itu bagian dari iman.Tanpa memakai kata sifat syariah, perda seperi ini oleh sebagian orang pasti akan dilihat sebagai perda syariah.

Pengaitan, secara sadar atau tidak sadar, perda syariah dengan perlawanan atau pertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 hanya akan membuka stigma lama yang sudah secara susah payah kita usahakan untuk selesai?? meski belum tuntas.

Membuka stigma sejarah lama, yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila, inilah sebenarnya yang bisa mengancam kelangsungan NKRI.(*)

*) Prof. Dr. Bahtiar Effendy, adalah Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


Sumber : Okezone

Senin, 01 September 2008

Cheng Ho Ikon Soft Power Cina

Oleh : A. Dahana

SEJAK peristiwa September 2001, Amerika Serikat bagaikan banteng terluka. Itu tercermin di dalam sepak terjang globalnya.
Berdasarkan pada asumsi bahwa cara terbaik dalam mempertahankan diri adalah menyerang, maka Afganistan diserbu. Kemudian Irak mendapat giliran walaupun tak didapatkan bukti konkret bahwa rezim Saddam Hussein punya hubungan atau melindungi para dedengkot Al Qaeda.
Dengan kata lain, dalam menjalankan kebijakan luar negerinya AS di bawah Presiden George W.Bush sangat mengandalkan hard power.
Sebaliknya Cina sebagai kekuatan yang tengah bangkit dan diperkirakan bakal mampu menyaingi AS, menggunakan siasat lain. Ia sadar betul bahwa taktik politik global yang digunakan mendiang Mao Zedong untuk mendongkrak citra Cina pada masa lalu salah karena lebih menekankan pada kekerasan, ekspor revolusi dan mengeksploatasi kontradiksi di kalangan musuh.
Cara yang dikenal sebagai 'taktik Maois' itu ternyata telah membuat Cina tak populer, bahkan di kalangan negara 'Dunia Ketiga' yang ditargetkan untuk menjadi sekutu menentang hegemoni adikuasa.
Oleh sebab itu sejak awal dasawarsa 1980-an, Cina, untuk membuat dirinya populer secara global menggunakan cara yang sangat halus. Dengan cerdik ia menggali sejarah dan menggunakan pengalaman masa lalu dalam hubungan antara Cina dengan negara-negara sekitarnya, terutama Asia Tenggara.
Cheng Ho adalah salah satu figur sejarah yang dieksploatasi untuk melambungkan posisi Cina itu.
Menurut sumber sejarah Cina, Cheng Ho adalah seorang laksamana laut yang selama 17 tahun (1405-1423) - pada tahun-tahun awal Dinasti Ming (1368-1644) - telah memimpin tujuh pelayaran kolosal pada masa itu ke berbagai wilayah selatan dan bertindak sebagai duta untuk memperkenalkan dan mempopulerkan Dinasti Ming yang baru saja berkuasa setelah meruntuhkan Dinasti Yuan (Mongol, 1279-1368).
Cheng Ho berasal dari keluarga Muslim, lahir di Xinjiang, dan kemudian dipekerjakan sebagai orang kasim di Keraton Ming.
Sebagai seorang kasim yang dipandang rendah para pejabat istana, ia tokoh luar biasa. Karirnya menanjak sangat pesat dan akhirnya diangkat sebagai laksamana dan mendapat kepercayaan dari Yong Le, kaisar kedua Ming untuk memimpin ketujuh ekspedisi laut itu ke wilayah selatan, khususnya untuk mengembalikan kewibawaan kekaisaran Cina baik secara militer maupun budaya.
Di Palembang ia menangkap seorang pemberontak yang dituduh sebagai bajak laut. Dia dibawa ke Cina dan dihukum pancung di muka kaisar.
Di Sailan ia menahan dan membawa ke Beijing seorang raja lokal yang dianggap tak menghormati Cheng Ho yang nota bene utusan kaisar Cina. Namun, si raja lokal yang 'tak tahu aturan' itu diampuni dan dikembalikan ke negerinya.
Seperti yang disebutkan di atas, tujuan utama pelayaran itu adalah untuk memamerkan kekuatan militer dan keluhuran kebudayaan Cina. Di samping itu juga memulihkan hubungan tributer antara Cina dan negara-negara di belahan bumi selatan yang terputus menjelang keruntuhan Yuan.
Namun, kini yang dieksploitasi oleh Cina adalah latar belakang Cheng Ho yang Muslim. Sekarang ia digambarkan sebagai seorang Muslim saleh yang berperan besar dalam menyebarkan Islam serta melakukan kontak dengan masyarakat Muslim lokal yang memang sejak satu abad sebelum itu sudah ada di sana.
Catatan yang dibuat Ma Huan, seorang Muslim yang mendampingi Cheng Ho dalam tiga dari tujuh pelayaran itu, antara lain menggambarkan anak buah armada Cheng Ho yang berasal dari berbagai latar belakang agama, etnis, dan keahlian teknis.
Secara tak langsung ini menunjukkan tentang adanya bibit multikultalisme di kalangan orang-orang yang dekat dengan Cheng Ho. Pendekatan itu nampaknya cukup berhasil.
Sejak makin dipopulerkannya nama Cheng Ho, di Indonesia saja telah beberapa kali diselenggarakan berbagai seminar dan diskusi mengenai peran Cheng Ho sebagai duta kebudayaan dan dalam proses Islamisasi di Jawa khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya.
Kini telah muncul teori mengenai 'arus Cina', di samping 'arus Arab' dan 'arus India' dalam Islamisasi di Indonesia. Cheng Ho telah dijadikan ikon untuk melambangkan persahabatan antara Cina dan Asia Tenggara.
George W Bush mestinya membaca riwayat hidup Cheng Ho dan belajar dari cara yang digunakan Cina untuk menjinakkan musuh, atau yang berpotensi untuk menjadi musuh. Amerika memiliki banyak potensi dan aspek untuk dijadikan ikon dalam upaya tersebut.
Penulis adalah Guru Besar Studi Cina, Universitas Indonesia

Sumber : Inilah [dot] com


Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD