Jumat, 23 April 2010

MS Kaban : PBB Konsisten Perjuangkan Syariat Islam

INILAH.COM, Jakarta - Muktamar Partai Bulan Bintang (PBB) di Medan digelar mulai Jumat (23/4) malam di Medan. Selain memilih ketua umum baru, muktamar juga akan menentukan arah partai ke depan.

Ketua Umum PBB periode 2005-2015 MS Kaban menyatakan, partainya akan tetap konsisten memperjuangkan berlakunya syariat Islam. Kaban mengakui bahwa perjuangan syariat Islam tampak tidak popular dan kurang mendongkrak perolehan suara PBB selama tiga pemilu.

"Tapi, syariat Islam itu sangat penting sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar Kaban. Berikut adalah wawancara INILAH.COM dengan MS Kaban yang kini maju kembali sebagai salah satu kandidat Ketua Umum PBB.

Apa yang menjadi asalan bagi PBB untuk tetap memperjuangkan syariat Islam? Bukankah isu syariat Islam kurang mendapat tempat di masyarakat, termasuk masyarakat muslim Indonesia?

Syariat Islam yang kami perjuangkan itu merupakan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara. Kalau ditanya syariat Islam untuk apa, ya jawabannya untuk kemakmuran rakyat, untuk kemaslahatan umat, untuk mengokohkan nilai moral bangsa, untuk memperteguh etika kita dalam berbangsa. Syariat Islam yang bersumber dari nilai-nilai agama sangat diperlukan.

Tapi, oleh kebanyakan orang di Indonesia, termasuk oleh kalangan Islam sendiri, syariat Islam dianggap sebagai sesuatu yang 'serem' atau menakutkan?

Ya mungkin saja masih ada yang menganggap syariat Islam sebagai sesuatu yang menakutkan atau serem. Tapi itu tak lepas dari pihak-pihak tertentu yang mengembangkan opini bahwa syariat Islam itu menyeramkan, mereka yang phobia terhadap syariat Islam selalu mengembangkan opini bahwa syariat Islam itu sama dengan perang.

Faktanya, sudah banyak yang mengakui bahwa syariat Islam itu merupakan bagian dari solusi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam bidang ekonomi, orang sudah mengakui keunggulan syariat Islam yaitu ekonomi berbasis syariah. Dalam system perbankan, misalnya, kini orang mulai berbondong-bondong memilih sistem perbankan syariah dan meninggalkan sistem perbankan konvensional.

Sepertinya baru ekonomi syariah yang banyak diakui keunggulannya?

Bukan cuma ekonomi syariah yang bisa diterapkan. Dalam hal penegakan hukum, syariat Islam juga bisa menjadi solusi. Kini, publik sudah mulai mewacanakan pemberlakukan hukuman mati bagi para koruptor. Hukuman mati itu bagian dari syariat Islam. Kalau hukuman mati diterapkan dalam memberantas korupsi, orang akan takut melakukan korupsi.

PBB sebagai partai Islam yang berkomitmen memperjuangkan syariat Islam akan memberikan support dalam bentuk pembuatan regulasi dan undang-undang agar pelaksanaan ekonomi syariah memiliki fondasi yang kuat.

Di Singapura ada pemberlakukan hukuman cambuk terhadap pelajar yang terlibat tawuran. Karena ada pemberlakukan hukuman cambuk, pelajar-pelajar di Singapura takut kalau berkelahi. Jadi jangan menganggap hukuman cambuk itu tidak manusiawi.

PBB adalah pendukung utama pencalonan SBY-Boediono. Tapi setelah SBY-Boediono terpilih, PBB ditinggal. Bagaimana sikap PBB?

Kami kan punya komitmen etik dalam koalisi, sebaliknya partai-partai dalam koalisi juga terikat oleh etika.

Maksud Anda?

Ya, artinya harus selalu menjunjung etika yang mengikat kita. Tapi, meskipun kata orang PBB ditinggal setelah Pilpres, saya kira tidak mempermasalahkannya. Kami tidak ngoyo. Bagi kami ukuran perjuangan bukan hanya balasan kekuasaan. Diajak, ya silakan. Tidak diajak ya tidak apa-apa. Kami tidak akan berkhianat.

Anda optimis PBB akan ikut Pemilu 2014?

Optimis. Itu kan amanat Undang-undang. Undang-undang masih memungkinkan PBB ikut Pemilu lagi.

Kalau persyaratan untuk lolos ke parlemen atau parliamentary threshold masih 2,5% atau mungkin dinaikkan lagi?

Makanya harus dilakukan penggabungan suara sebelum pemilu. Jadi, tidak akan ada suara yang hilang. Kalau dalam pemilu 2009 kan banyak suara rakyat yang tidak dihargai gara-gara partainya tidak lolos parliamentary threshold sebesar 2,5%.

Anda setuju kalau Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali diisi perwakilan partai politik?

Saya setuju. Pengalaman menunjukkan bahwa pemilu 2009 merupakan pemilu terburuk dalam sejarah. Banyak suara rakyat yang diabaikan. KPU yang terdiri atas orang-orang non-partai memungkinkan tidak independen, dapat diintervensi pihak luar.

Sebaliknya, kalau anggota KPU berasal dari partai politik akan terjadi saling kontrol. Susah bagi orang luar untuk mengintervensi KPU yang terdiri atas partai-partai peserta pemilu. [mdr]Kawiyan

Kamis, 22 April 2010

Revisi UU No 32/2004, Ada Hidden Agenda Birokrat?

21/04/2010 - 17:45

INILAH.COM, Jakarta — Rencana revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah terkait penambahan persyaratan calon kepala daerah terus memancing reaksi publik. Selain persoalan moralitas, persyaratan pengalaman kandidat juga dipersoalkan. Ada agenda terselubung dari kalangan birokrat?

Rencana Kementrian Dalam Negeri merevisi UU No 32/2004 terkait penambahan persyaratan calon kepala daerah terus menuai kontroversi. Soal moralitas seperti tidak pernah berzina dan berpose porno mendapat banyak tentangan, karena soal moralitas sulit untuk mengukurnya. Hal yang sama soal pernah memiliki pengalaman, juga mendapat sorotan.

Seperti menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti yang mengatakan bahwa penyebutan persyaratan berpengalaman tak lebih upaya menyempitkan peluang masyarakat secara luas untuk tampil dalam pilkada.

"Pengalaman organisasi menyempitkan masyarakat untuk tampil menjadi kepala daerah. Justru persyaratan ini memberi ruang kepada para birokrat,” ujarnya dalam diskusi 'Kontroversi Rekam Jejak Kandidat dalam Pilkada', di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (21/4).

Hal senada ditegaskan mantan anggota Komisi II DPR Ferry Mursidan Baldan. Ia menduga, persyaratan soal calon harus berpengalaman jangan-jangan menjadi agenda birokrat.

"Karena kalau para birokrat maju dalam pilkada, harus mundur dari jabatannya. Kalau kalah tidak bisa kembali lagi di posisi semula," ujarnya yang juga Ketua DPP Nasional Demokrat (Nasdem).

Menurut dia, kepala daerah merupakan jabatan elected yang tidak perlu dicantumkan soal berpengalaman, yang penting calon bisa melakukan komunikasi dengan publik.

Sementara, menurut anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu, persyaratan pengalaman yang sedianya dicantumkan dalam persyaratan calon kepala daerah harus lebih didetailkan lagi sehingga tidak memunculkan spekulasi di publik.

"Pengalaman harus lebih detal, tidak sekadar diasumsikan pengalaman politik saja. Harus lebih luas dan lebih deskriptif,” sarannya.

Terkait dengan usulan penambahan persyaratan calon kepala daerah, mayoritas menolak adanya pengaturan persyaratan calon kepala daerah melalui revisi UU No 32/2004. Selain tidak jelas indikatornya terkait moralitas, soal persyaratan lebih baik dikembalikan ke masing-masing partai politik. Hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan diri partai politik dalam mencalonkan kadernya karena gagal dalam proses kaderisasi.

Ray menegaskan, fenomena munculnya artis dalam kontestasi pilkada merupakan bentuk ketidakpercayaan partai menjagokan kader sendiri. Maka cara yang dilakukan, imbuh Ray, menggantungkan nama besarnya pada nama besar orang lain.

"Dicarilah tokoh-tokoh popular, karena partai yang tidak cukup kuat dan mengakar,” ujarnya seraya menyebutkan hingga saat ini telah muncul 10 nama selebritas yang berencana maju dalam pemilu kepala daerah di seluruh Indonesia.

Anggota DPD dari Provinsi Jawa Tengah Poppy Susanti juga memiliki pendapat senada. Menurut dia, masuknya selebritas dalam jajaran kandidat kepala daerah menunjukkan pendidikan politik tidak berjalan.

“Yang sederhana dan berbobot tidak pernah bisa masuk, kalah sama yang transaksional,” katanya seraya mengaku dirinya pernah ditawari menjadi calon kepala daerah dengan bayaran hingga Rp5 miliar. [mor]

Oleh : R Ferdian Andi R

Senin, 12 April 2010

Parpol Tak Lepas dari Jerat Korupsi

Marwan Jafar: Korupsi untuk Kepentingan Pemilih

Senin, 12 April 2010 | 03:24 WIB

Jakarta, Kompas - Partai politik ternyata tidak lepas dari kasus korupsi, seperti yang terjadi pada instansi pemerintah. Bahkan, korupsi juga dinilai menggurita di tubuh partai politik dan parlemen, seperti terungkap dalam hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia.

Data hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia, selama empat tahun, yakni 2003, 2004, 2007, dan 2008, menempatkan partai politik dan parlemen pada peringkat ketiga besar lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia.

Dalam tiga tahun terakhir, sejak tahun 2008, secara berturutturut Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap sejumlah politisi yang diduga terlibat korupsi. Penangkapan pertama dilakukan tahun 2008 terhadap Al Amin Nur Nasution dari Partai Persatuan Pembangunan. Kejadian itu terus berlanjut dan melibatkan politisi dari partai politik lainnya.

Mengutip data Transparency International, hasil survei pada 2003 menempatkan partai politik pada posisi kedua sebagai lembaga terkorup di negeri ini setelah lembaga peradilan. Tahun 2004, partai politik dan parlemen menjadi lembaga terkorup pertama. Bahkan, pada tahun yang sama, Transparency International mengumumkan, sebanyak 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan partai politik adalah lembaga terkorup.

Tahun 2007, posisi partai politik membaik, yaitu berada di urutan ketiga setelah polisi dan lembaga pengadilan. Namun, pada tahun berikutnya, posisi partai politik turun kembali, berada di urutan kedua, sebagai lembaga terkorup setelah parlemen.

Secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko dan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, Minggu (11/4) di Jakarta, sepakat, parpol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini. Partai yang menjadi sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi episentrum korupsi. Dalam partai, koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk melakukan korupsi politik secara beramai- ramai.

”Korupsi politik di negeri ini seperti lingkaran setan, dan parpol berada di titik pusatnya,” kata Danang.

Proses deparpolisasi

Namun, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR Marwan Jafar menyangkalnya. ”Ada proses untuk melakukan deparpolisasi secara masif. Kami sangat meragukan survei semacam itu (terkait persepsi korupsi). Kita semua tahulah, kadang ada survei yang benar, kadang rekayasa, dan kadang dibuat-buat. Itu proyek saja, untuk dijual ke luar negeri,” ujarnya di Jakarta.

Hasil survei semacam ini, kata Marwan, menyebabkan masyarakat dibuat menjadi tidak percaya kepada partai dan DPR, pemerintah, atau lembaga lain.

Ia mengakui, penyalahgunaan kewenangan memang terjadi di sana-sini. ”Namun, yang dibutuhkan adalah perbaikan. Bukan diremuk institusinya, dihajar institusinya,” katanya.

Marwan juga mengajak semua pihak melihat perbedaan perilaku korupsi antara eksekutif dan legislatif. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat/pegawai pemerintah (eksekutif) selalu dinikmati sendiri. Berbeda dengan Senayan, kata Marwan, uang itu (kalaupun benar ada korupsi) tidak dinikmati sendiri.

”Kalau toh ada yang dianggap nyolong (mencuri), itu bukan untuk pribadi, melainkan juga dipakai untuk kepentingan konstituen,” ujarnya.

Benahi parpol

Sebastian menambahkan, untuk membereskan korupsi di Indonesia, yang pertama harus dilakukan adalah membenahi parpol karena proses perekrutan terhadap pejabat publik dimulai dari parpol. ”Nah, kalau parpolnya tidak bersih, berarti proses kaderisasi pejabat publik juga pasti korup,” katanya.

Posisi partai sebagai pusat korupsi itu, tutur Danang, berawal dari kegagalan partai dalam menggalang dana dari publik. ”Partai butuh sumber dana yang besar untuk memenangi pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah,” katanya.

Masalahnya, partai tak memiliki kemampuan keuangan secara mandiri sehingga jalan pintasnya adalah mereka meminta dari penyumbang besar, baik dari kalangan pengusaha maupun kader yang mau masuk ke birokrasi.

”Ketika kader itu menjadi penguasa, ia terobsesi untuk mengembalikan modal yang ditanamkannya dengan menyetor ke partai. Demikian halnya jika kemenangannya didanai dari pihak ketiga, ia pun harus mengembalikan utang ke pemodal itu. Di situ peluang terjadi korupsi,” kata Danang.

Sebastian menambahkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebenarnya telah menggariskan sumber pendanaan parpol bisa berasal dari anggota, pendapatan yang sah, dan dari negara. ”Tetapi, berharap dari negara sepertinya tidak mungkin karena sangat kecil jumlahnya. Pendapatan yang sah juga nilainya kecil. Akibatnya, parpol mengandalkan kadernya yang duduk di lembaga pemerintahan. Dari sinilah korupsi terjadi,” katanya.

Danang menambahkan, kasus korupsi di Indonesia, khususnya yang berskala besar, kebanyakan bersinggungan dengan kepentingan parpol. Ia mencontohkan korupsi berupa suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom pada tahun 2004, yang saat ini ditangani Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

”Hampir semua pihak yang menerima suap itu mengaku menggunakan sebagian uangnya untuk kepentingan kampanye partai. Beberapa kasus lain, termasuk Bank Century, juga berasal dari tidak transparannya pendanaan parpol,” kata Danang.

Terhadap maraknya korupsi politik ini, tutur Sebastian, parpol sangat sulit diharapkan mau membenahi diri. ”Saya tidak percaya parpol memiliki komitmen untuk membereskan pembusukan ini,” katanya. Anggota parpol yang jelas-jelas dinyatakan bersalah oleh pengadilan tetap dipertahankan partainya.

Sumber : (ANA/AIK/WHY/DWA/NWO/MZW)
Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD