Posted by : humas on 2009/5/15 10:00:28
JAKARTA. Pengelolaan utang Pemerintah yang carut marut membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai giat mengumpulkan dan mencermati data soal kucuran utang macet yang berpotensi merugikan keuangan Negara.
Yang sudah sedikit terkuak adalah temuan soal utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurut data KPK, dari total utang yang mengalir ke BUMN beberapa tahun terakhir sebesar Rp 49 triliun, sekitar Rp 15 triliun di antaranya ternyata macet.
Tapi, menurut Haryono Umar, Wakil Ketua KPK, saat ini, lembaganya juga mulai memelototi utang yang disalurkan Pemerintah pusat lewat Departemen Keuangan ke Pemerintah Daerah. Sayang-nya, belum jelas berapa nilai potensi kerugian dari penyaluran utang ini.
Tapi, kata Haryono, setidaknya ada tiga modus pengelolaan utang daerah yang berpotensi merugikan negara. Pertama, ada utang yang sudah diperoleh namun tidak segera disalurkan lantaran belum mendapat disposisi. Akibatnya, meski belum dipakai, Pemerintah tetap harus membayar biaya dan bunga.
Kedua, ada pinjaman yang sudah disalurkan tetapi tidak tepat sasaran. Ketiga, ada Pemerintah daerah yang sudah menerima utang namun tidak mengembalikan sisanya. "Akibatnya, Pemerintah pusat yang harus menalangi sisa pinjaman," kata Haryono.
Biang persoalan ini, menurut KPK, adalah tidak tertibnya pengelolaan utang oleh BUMN dan daerah. Salah satu sebabnya, tidak ada studi kelayakan atas keperluan utang itu. "Kita tidak pernah tahu apakah utang dan proyek itu perlu atau tidak," tandas Haryono.
Untuk mengurangi potensi kerugian dari pengelolaan utang yang amburadul ini, KPK sedang mengumpulkan data soal utang luar negeri Pemerintah dari Departemen Keuangan (Depkeu) dan Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas).
Namun, rupanya, Haryono menegaskan, pengumpulan data ini juga bukan pekerjaan yang sederhana. "Ada lembaga yang bersedia memberi, data, tapi banyak juga yang pelit," katanya.
Sebenarnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah lama mengendus hal serupa. Berdasarkan hasil audit BPK terhadap utang sejak 1967 hingga 2005, dari total jenderal 2.214 perjanjian utang senilai Rp 917,06 triliun untuk pembiayaan proyek dari utang luar negeri, termasuk lembaga keuangan, sekitar 500 di antaranya telah raib.
Biang keladi ketidakjelasan status perjanjian utang itu adalah ketidakberesan administrasi dan pengarsipan. Dalam hal ini, menurut BPK, Bappenas dan Depkeu merupakan lembaga yang paling bertanggungjawab atas pengelolaan utang itu.
Sumber : Harian Kontan 15 Mei 2009 Dalam : http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=3150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar