Kamis, 29 Januari 2009

UUD 1945 MENGATUR PILPRES DAN PILEG DILAKSANAKAN SERENTAK

Dalam rumusannya, UUD 1945 hasil perubahan mengkonsepkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih bersamaan dengan pemilihan umum legislatif (pileg). Salah satu perumus perubahan UUD 1945, Slamet Effendi Yusuf, menegaskan hal ini dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) di MK, Rabu (28/1).

"Ketika membaca kata pemilihan umum di dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan pemilihan presiden, yang dimaksud dengan pemilu adalah pemilihan umum sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yakni untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden," jelas Slamet. Ia menerangkan dalam proses perumusan amandemen UUD 1945, pihaknya menggambarkan nanti akan ada lima kotak suara yakni kotak untuk memilih anggota DPR, DPD, Capres-Cawapres, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Keterangan Slamet diperkuat dengan keterangan Gregorius Seto Harianto, yang juga mantan perumus perubahan UUD 1945. Menurut Seto, UUD 1945 tidak membedakan antara pilpres dengan pemilu. "Jadi gambaran kita pada waktu itu, ketika parpol atau gabungan parpol peserta pemilu mengajukan calon presiden, mereka adalah satu kesatuan. Dengan begitu, tidak ada kekhawatiran akan adanya perbedaan program karena program presiden adalah program partai, program partai adalah program presiden," papar Seto.

Terkait dengan upaya membangun sistem, Seto menjelaskan ketika pasangan calon yang awalnya didukung dengan satu partai memperoleh suara tapi tidak sampai 50 persen, maka partai-partai yang ada akan berkoalisi mendukung salah satu dari dua pasangan terkuat. "Sehingga sudah jelas yang satu di atas 50 persen dan yang lain kurang dari 50 persen. Itu sekaligus membentuk sistem checks and balances yang kuat di parlemen karena presiden dan wakil presiden terpilih didukung oleh satu kekuatan," terang Seto.

Pendapat Seto ini sekaligus menegasikan pendapat ahli dari Pemerintah tentang sulitnya membangun pemerintahan yang stabil jika Presiden tidak memiliki cukup banyak dukungan di DPR. Misalnya, pendapat Dr. Kacung Marijan yang menyatakan bahwa alasan pihaknya mencantumkan syarat persentase 20 persen dan 25 persen dalam Pasal 9 UU Pilpres adalah demi menjamin terciptanya kebijakan efektif (effective policy) yang sulit terjadi ketika presiden hanya mendapat dukungan sangat kecil di DPR. Hal senada juga dikatakan Ahli dari Pemerintah, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, yang mengingatkan bahwa dalam kebijakan strategis presiden membutuhkan dukungan DPR.

Capres Independen

Terkait permohonan tentang kemungkinan disertakannya capres independen, ahli dari Pemohon, Bima Arya Ph.D, menyadur pendapat yang disampaikan Staf Ahli Presiden Denny Indrayana yang menyatakan hingga saat ini perubahan UUD 1945 mengandung kelemahan. UUD 1945 memungkinkan terjadinya monopoli parpol dalam mengusulkan kandidat presiden. "Rekomendasi saudara Deny Indrayana waktu itu adalah calon presiden independen harus diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Jadi, monopoli oleh partai-partai politik atas pengajuan seorang calon presiden independen harus diakhiri, karena ini esensial demi memperkuat demokrasi yang partisipatif," tandas Bima.

Menanggapi hal ini, Kuasa Hukum DPR, Ferry Mursyidan Baldan menyatakan dirinya sepakat dengan adanya ide capres independen. Namun, ia mengingatkan bahwa UUD 1945 jelas-jelas tidak menyebutkan tentang kemungkinan hal itu. "Capres independen itu tidak terlarang, tapi belum ada dalam UUD. Jalan keluarnya, ubah UUD dulu lewat amandemen," pungkas Ferry. (Kencana Suluh Hikmah)

Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2122

Minggu, 11 Januari 2009

Israel Kian Terancam dan Tak Lagi Superior

Jakarta (ANTARA News) - Belum pernah Israel seterancam seperti sekarang, apalagi belum genap dua tahun lalu, superioritas militernya terhadap Arab dipatahkan Hizbullah di Lebanon.

Kini, tak ada satu pun kota Israel yang aman dari serangan Arab meski puluhan skuadron pesawat tempur canggih dan wahana anti rudal menjaga ketat kota-kota Israel.

Bahkan saat tank-tank canggih Abrams, lusinan heli tempur Apache dan salah satu pasukan infanteri paling terlatih di dunia menginvasi Gaza sejak 3 Januari 2009, luncuran roket Hamas tetap menghujam bumi Israel.

"Hamas masih cukup memiliki roket dan mortir untuk terus ditembakkan jauh ke dalam wilayah Israel sampai beberapa minggu," kata Kepala Litbang Intelijen Militer (Aman), Jenderal Yossi Beidatz, seperti dilansir AFP (6/1).

Hamas yang berada di jantung Israel kian mengancam negara Yahudi itu dan didukung rakyatnya terbukti pemilu Palestina Januari 2006 lalu telah memenangkan Hamas dan membuat Israel serta rezim-rezim Arab sekutu AS ketakutan.

Israel harus menerima kenyataan, semua pemenang proses demokrasi di Timur Tengah berubah menentangnya, tak terkecuali Turki yang sebelumnya menjadi sahabat kentalnya atau Iran yang kini menjadi musuh paling fanatiknya.

Israel juga menghadapi Presiden terpilih AS yang bungkam menyikapi ulah usilnya di Timur Tengah, padahal sebelumnya rezim-rezim baru Washington selalu berhasil dipancing Israel untuk berkomentar.

Wayne White, mantan analis Timur Tengah di Departemen Luar Negeri AS, menilai Obama bungkam karena ia menghadapi kompleksitas konflik Gaza dan melihat Israel berlaku bodoh di Gaza.

"Jika saya Obama, saya juga akan memilih bungkam," kata Wayne seperti dikutip Washington Times (30/12).

Sendirian

Ketika Obama akhirnya berbicara, si hitam beradik keturunan Indonesia itu tidak mengisyaratkan ia bersetuju dengan Israel, sebaliknya menyampaikan kalimat yang netral sehingga tak membuat gerah Arab.

"Tegasnya, saya menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas konflik yang berlaku di wilayah itu," kata Obama seperti dikutip DPA (7/1), tanpa mengomentari legalitas agresi Gaza yang justru diinginkan Israel.

Sikap diam Obama adalah kemunduran bagi Israel yang malah menegaskan fokusnya pada perbaikan ekonomi dan dengan cerdik membebankan Gaza pada rezim George Bush yang turut mengarsiteki krisis Gaza.

"Saya kira pemerintah Bush sangat nyaman mendukung Israel dan tak melibatkan diri atau mencoba upaya gencatan senjata," kata Scott Lasensky, analis United States Institute of Peace, mengomentari aransemen Bush di Gaza.

Sejumlah kalangan bahkan meminta Obama tegas dengan tidak menuruti Israel.

"Obama mesti memulai inisiatif baru karena proses damai Annapolis pada November 2007 tidak menghasilkan apa-apa," ulas Nathan Brown, analis Carnegie Endowment for International Peace, menunjuk prakarsa damai kreasi Bush yang menguntungkan Israel semata itu.

Jelas, Israel sendirian di Timur Tengah, apalagi Bush yang memanjanya segera raib dari Gedung Putih.

Turki yang lama menjadi sekutunya pun menjaga jarak setelah pemerintahan pimpinan AKP enggan menyeret Turki merapat ke Israel.

Jangan tanya sikap Eropa karena banyak negara seperti Prancis dan Jerman, geram terhadap ulah Israel yang gemar menyepelekan hukum internasional.

"Tuan Presiden (Shimon Peres), anda menghadapi masalah serius dengan dunia internasional dan citra Israel tengah hancur," kata anggota Komisi Hubungan Luar Negeri Uni Eropa Benita Ferrero-Waldner saat menyampaikan sikap Eropa di Gaza.

Hanya karena ingin memupus perasaan bersalah atas genosida semasa Perang Dunia Kedua, Eropa ingin terlihat seimbang di Palestina dengan menyeru Hamas mengakhiri serangan roket ke Israel.

Sadar

Israel sendiri sadar petualangannya di Gaza tak akan sepermanen saat mereka merampas Sinai pada Perang 1967, lagipula ekspedisi kali ini hanya untuk konsumsi pemilu.

Israel juga tahu Hamas yang menjadi musuhnya sekarang lebih militan dibanding musuh musuhnya pada masa lalu, diantaranya karena memiliki roket-roket Iran yang menjangkau semua wilayah Israel.

Oleh karena itu, agresi Gaza adalah juga pesan Israel pada Iran yang membuatnya menjadi demikian tidak aman dan tak lagi superior. Iran menodong Israel dengan roket Grad dan Fajar tanpa menggelarkan seorang pun tentara.

"Iran cukup memasukkan anasir kimia dan biologi pada rudalnya dan hancurlah Negara Yahudi. Itu semua dilakukan secara terselubung melalui Hamas dan Hizbullah sehingga Iran bisa mengklaim diri bersih," kata Profesor Rabbi Daniel Zucker, ketua Americans for Democracy in the Middle-East seperti dikutip Jerusalem Post.

Israel juga tak bisa mengandalkan sekutu Arabnya yang belakangan terlihat rapuh dirongrong oposisi yang umumnya senafas dengan Hamas.

Keengganan Mesir untuk tegas di Palestina misalnya, lebih karena dimotivasi oleh kekhawatiran Hamas menulari kaum oposisi Mesir. Pandangan serupa dianut rezim Arab moderat lainnya seperti Arab Saudi dan Yordania yang tak ingin shiah Iran menyemangati kaum oposisi.

Presiden Husni Mubarak tak saja khawatir Hamas mengancam Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Fatah, tapi juga karena dia memiliki agenda politiknya sendiri, menetralisir oposisi muslim militan, khususnya Ikhwanul Muslimin.

Ikhwanul memang dinyatakan terlarang, namun para aktivisnya yang kini menjadi anggota parlemen dari garis independen telah membentuk kaukus oposisi besar di parlemen di mana tokohnya yang bernama Mohamed Habib menuduh Mubarak bersekongkol dengan Israel.

Habib juga menyebut Israel telah mengiris wilayah Arab, menjarah kekayaannya dan menghapus identitas budayanya. Untuk itu, Habib melihat perlawanan Palestina di Gaza adalah garis depan pertahanan Arab guna menghadapi rekayasa Israel.

Ekspedisi militer Israel di Gaza adalah memang rekayasa dan petualangan Partai Kadima dalam menaikkan popularitasnya menjelang pemilu legislatif 10 Februari 2009.

Kalau dulu PLO atau Hizbullah di Lebanon yang menjadi pion pendongkrak popularitas politik Tel Aviv, maka kini mereka memainkan Hamas sebagai bidak pendongkrak popularitas politik dengan membesar-besarkan ancaman Hamas. Padahal, militansi Hamas adalah reaksi dari embargo tak manusiawi Israel di Gaza.

Dengan embargo Gaza, Israel ingin melemahkan Hamas sehingga tak mampu memerintah dan Gaza pun kacau untuk kemudian menjadi pintu masuk bagi penggulingan Hamas oleh Israel.

Hamas berupaya menembus blokade itu, mulanya dengan penyelundupan, namun frustasi dan terpaksa mengadopsi serangan bersenjata, satu tindakan yang justru diinginkan Israel karena menjadi pembenar bagi invasi ke Gaza.

Pengepungan

"Padahal bukan hanya Hamas yang ingin mengakhiri pengepungan Israel, tapi juga seluruh rakyat Palestina. Itu keinginan semua manusia dan bangsa yang bercita-cita hidup sebagai manusia merdeka," kata editor Jerusalem Post, Larry Derfner (31/12).

Dengan merusak ketertiban Gaza lewat kampanye militer, total sudah kekacauan di Gaza dan Israel pun percaya Hamas bakal seinferior Fatah.

"Hamas tak akan seperti Fatah yang lemah, korup dan tidak populer. Hamas justru akan kian ekstrem karena blokade dan serangan terus menerus Israel hanya membuatnya berpikir sia-sialah bernegosiasi dengan Tel Aviv," kata wartawan AS keturunan Iran, Nir Rosen, dalam tulisannya di laman Aljazeera (30/12).

Lebih dari itu, invasi ke Gaza bukan saja mendegradasi citra Israel, namun juga memojokkan sekutu Arabnya.

"Damaskus telah menarik diri dari pembicaraan tripartit dengan Tel Aviv dan rakyat Arab murka tak hanya pada Israel dan AS, tapi juga pada pemerintah mereka yang dianggap bersekongkol dengan Washington," tutur Rosen.

Tidak itu saja, krisis Gaza telah menajamkan militansi muslim garis keras seluruh dunia sehingga menyulitkan Obama mengampanyekan perdamaian global, satu situasi yang didesain Israel.

"Saya telah berbicara dengan para aktivis jihad di Irak, Lebanon, Afghanistan, Somalia dan banyak lagi. Mereka menyebut Palestinalah yang memotivasi gerakan jihad mereka," ungkap Rosen.

Tak heran jika rakyat Israel sendiri mulai mengkritisi pendekatan pemerintahnya di Gaza. Dari 81 persen warga yang mendukung kampanye militer ke Gaza, hanya 39 persen yang percaya Hamas bisa digulingkan.

Jika pun Israel menang maka kemenangan itu malah mengungkap ketidakmampuan Israel hidup berdampingan dengan bangsa lain dan masyarakat Yahudi pun bertanya apa yang sebenarnya diinginkan para politisi Israel.

"Inikah keterbatasan kita sebagai manusia yang dilahirkan kembali dari holocaust (pembasmian etnis semasa Perang Dunia Kedua)?" tanya Sara Roy, cendikiawan Yahudi pengarang "Failing Peace: Gaza and the Palestinian-Israeli Conflict" seperti dikutip Christian Science Monitor (2/1).

Sara adalah seorang dari kelompok warga Yahudi yang ingin adil mengkritisi bangsanya, bukan saja demi keadilan universal, namun melihat fakta betapa Israel sekarang sendirian dan tererosi superioritasnya. (*)

COPYRIGHT © 2009 ANTARA

http://www.antara.co.id/print/?i=1231414998

PubDate: 08/01/09 18:43

Sabtu, 10 Januari 2009

Kebohongan Barat Soal Israel

Jakarta - Duet Inggris-AS yang memihak Israel kerap kali digambarkan media barat secara abu-abu. Seorang wartawan senior Inggris Robert Fisk menilai kebohongan demi kebohongan menyelimuti aksi-aksi kejam Israel di jalur Gaza.

Ketika Israel menyerang Gaza, 28 Desember 2008 lalu dan menewaskan lebih dari 296 warga Palestina, Robert Fisk langsung bicara di TV Aljazera dan menulis di harian The Independent terbitan London.

"Para pemimpin terus berbohong, sementara korban sipil berjatuhan. Kita tidak pernah mau belajar dari sejarah," tulis Robert Fisk hanya sehari setelah Israel membombardir Gaza, ibukota sementara Palestina.

Sejarah yang dimaksud Fisk adalah perang yang sudah berlangsung sejak 1948 dan faktanya selalu dimanipulasi. Israel selalu di pihak yang benar. Sementara setiap kali terjadi pertumpahan darah, pihak Arab dan Palestina selalu disalahkan.

Para pemimpin Barat yang dianggapnya berbohong adalah Inggris dan AS. Di pihak Inggris yang berbohong disebutnya Perdana Menteri Gordon Brown dan pendahulunya Tony Blair.

Tonny Blair bahkan secara khusus dikritiknya. Blair bukanlah orang yang tepat menjadi juru runding konflik Israel dan Palestina. Blair seusai melepas jabatannya Juni tahun lalu kemudian diangkat Uni Eropa menjadi Utusan Khusus Timur Tengah.

"Mana suara Blair? Untuk apa dia digaji? Berapa besar bayarannya? Bagaimana kemampuannya menyelesaikan konflik? Mengapa dia tidak turun ke Gaza?" tanyanya. Sedang pemimpin AS yang disebutnya tukang ngibul mulai dari George Bush senior, Bill Clinton dan George Bush junior.

Kebohongan Bush terlihat dari komitmennya kepada Israel yakni kedua pihak akan menggunakan secara bersama pesawat tempur F-18s dan senjata misil jenis Hellfire.

Sementara Bill Clinton saat kampanyenya dalam Pemilihan Presiden AS di 1993 secara eksplisit berjanji menggunakan istilah yang "cukup keras" sebagai sebutan bagi Israel. Artinya Clinton akan bersikap tegas dan tanpa kompromi kepada Israel. Tapi begitu terpilih, Clinton sama dengan Bush senior yakni berbohong.

Robert Fisk, 62, sudah 30 tahun menetap di Timteng. Selama tiga dekade ia melaporkan situasi kawasan itu terutama setiap konflik yang melibatkan Israel. Dari kacamata wartawan, Fisk dinilai cukup obyektif. Tercermin dari penilaian komunitas wartawan Inggris yang memberi penghargaan tertinggi karya jurnalistik.

Sementara pihak yang tidak suka dengan tulisan, laporan dan analisanya menuduh Fisk pendukung setia Palestina. "Fisk tidak banyak tahu keburukan Palestina", komentar seorang pembaca yang menentang Fisk.

Tentang serangan Israel terhadap Gaza Desember lalu Fisk bertanya apakah wajar untuk kematian seorang warga Israel, Palestina harus kehilangan 300 nyawa?

Peristiwa ini mengingatkan perilaku Israel terhadap Libanon di 2006. Warga Israel yang terkena serangan roket Hisbullah di Libanon Selatan hanya satu orang. Tapi ketika Israel membalas, korban sipil Libanon 10 orang. Belum termasuk kerusakan gedung, kendaraan dan infrastruktur.

Ia mengingatkan siklus pola serangan Israel yang beralasan: serangan dibalas serangan. Dunia internasional pun dikecam karena jatuhnya korban rakyat sipil hanya disikapi dengan mengeluarkan himbauan agar kedua pihak menahan diri.

Secara sinis Fisk membuat perbandingan, permintaan menahan diri itu hanya mungkin dilakukan bila kedua pihak memiliki kekuatan berimbang. Namun Israel menyerang dengan pesawat tempur F-18s dan tank Marakav, sementara Palestina hanya 20 roket.

Dalam delapan tahun terakhir ini, Hamas telah menewaskan 20 orang tentara Israel. Tetapi dalam satu serangan kilat sehari, kata Fisk lagi, Israel bisa membunuh 300 orang warga Palestina.

Tentang alasan keamanan bagi warga Israel yang didengung-dengungkan pemimpinnya, Fisk menyatakan wajar saja. Tapi apakah warga lain tidak berhak memperoleh keamanan serupa.

Ia membandingkan perlakuan Israel terhadap Libanon. Sejak 1975, Israel telah membom Libanon ribuan kali dengan alasan menghancurkan sarang teroris. Namun sampai sekarang tak satupun pihak yang menjuluki Israel sebagai teroris!

Sebagai orang Inggris, Fisk juga mengingatkan konflik di Irlandia Utara. Konflik berkepanjangan itu tidak membuat Inggris membombardir markas Tentara Irlandia Utara (IRA) sekalipun berkali-kali bom meledak di London serta menewaskan warga Inggris.

Eskalasi yang terjadi di Gaza saat ini sangat serius. Karena Israel tetap keukeuh melakukan serangan darat sementara Hamas siap menjadi martir dengan resiko apapun.

Menurut Fisk sama saja mimpi jika Israel berharap serangan dapat meletakkan senjata Hamas dan menyerah. Hamas tahu, bila itu mereka lakukan, tetap saja akan dihancurkan Israel.

Lalu dimana keberadaan politisi Inggris dan AS di tengah situasi kritis ini? Secara sinis Fisk menyatakan, barangkali mereka sedang bersembunyi di got, pegunungan atau di tempat yang tidak terlihat. Namun yang tahu kelakuan mereka hanya bisa tersenyum. Begitulah kelakuan elit politisi.

sumber : inilah.com

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD