Jumat, 29 Agustus 2008

Asyik Ngobrol Sendiri Kepala BIN ''Disemprot'' SBY

Jumat, 29 Agustus 2008


Jakarta, CyberNews. Mungkin karena pemerintahannya banyak dikritik, Presiden SBY kini gampang marah. Buktinya, saat berlangsung rapat kabinet, SBY terpaksa menegur tiga pejabat negara karena terlihat ngobrol saat SBY memberikan pengarahan.

Peristiwa itu terjadi di tengah SBY memimpin rapat kabinet paripurna. Namanya, rapat paripurna banyak materi yang dibahas termasuk pembahasan soal ekspor liquefied natural gas (LNG) Tangguh ke RRC yang diributkan karena dijual dengan harga murah oleh pemerintahan sebelumnya.

Rapat dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu seperti, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Menhut MS Kaban, Mensesneg Hatta Radjasa, Kapolri Jenderal Pol Sutanto, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dan lainnya.

Peristiwa marahnya SBY di tengah akan diambil kesimpulan rapat, SBY menunjuk tiga pejabat tersebut yang sedang ngobrol. "Tolong jangan ngobrol sendiri! Jangan bicara sendiri karena ini masalah penting," kata SBY.

Teguran SBY itu mengarah kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar, Kepala BKPM M Lutfi, dan Kepala BPS Rusman Heriawan.

Salah satu kesimpulan rapat itu seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani, Presiden SBY telah membentuk tim untuk renegosiasi harga jual gas sumur Tangguh ke China yang akan dipimpin Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati.

SBY sendiri menyatakan keputusan untuk renegosiasi harga jual gas Tangguh ke China dilakukan pemerintah setelah mendapat laporan audit dari BPK pada 14 Juni lalu, yang menyebutkan adanya potensi kerugian negara dalam kontrak penjualan yang ditandatangani pada 2002.

"Kalau dipelajari kontrak `sales and purchase` dan tidak diperbaharui disesuaikan dengan harga global yang 120-140 dolar AS, akan besar sekali kerugian negara," katanya.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyatakan kalau itu terjadi sampai SBY menegur pejabat negara yang ngobrol menunjukkan SBY tidak berwibawa. Namun, memang seharusnya para pejabat negara itu memperhatikan dengan seksama materi rapat dan tidak ngobrol.

Suara Merdeka | 29/08/2008 06:33 wib - Nasional Aktual

Sabtu, 23 Agustus 2008

Kesadaran ASI Eksklusif masih Kurang

Mengutip data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Departemen Kesehatan menyatakan, hanya 14% ibu di Tanah air yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai 5 bulan.

“Rata-rata bayi hanya diberikan ASI eksklusif kurang dari 2 bulan,” tandas Direktur Bina Gizi Kesehatan Masyarakat Depkes Ina Hernawati di Jakarta, Kamis (7/8). Fenomena ini lanjut Ina berimbas buruk bagi kesehatan balita. Pasalnya, penerlitian di Ghana menunjukan 16% kematian bayi baru lahir bisa dicegah bila bayi disusui pada hari pertama kelahiran.

Angka tersebut tambah Ina, akan meningkat menjadi 22% , jika bayi disusui pada 1 jam pertama setelah kelahiran. Dengan fakta-fakta itu dan jumlah kematian bayi per tahun. WABA (The World Alliance for Breastfeeding Action) memperkirakan 1 juta bayi dapat diselamatkan setiap tahun, jika disusui pada 1 jam pertama kelahirannya dan diberikan ASI eksklusif sampai dengan 6 bulan.

Lebih lengkapnya, hasil survei SDKI Tahun 1997 2003, juga menyebutkan, hanya 55% bayi di bawah usia empat bulan yang diberikan ASI eksklusif. Sedangkan pada usia dua bulan ASI hanya diberikan kepada 64% bayi, 46% pada bayi berumur 2-3 bulan.

Ina menyebutkan, sejatinya, kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap ancaman penyakit dan kekurangan gizi adalah ibu hamil, bayi, remaja dan usia lanjut. Depkes mencatat, dari 10 ibu hamil di Indonesia, kira-kira ada 4 ibu yang menderita anemia gizi besi dan ada 2ibu yang kekurangan gizi.

“Ibu hamil penderita anemia berat atau ibu hamil yang sangat kurus, beresiko mengalami komplikasi perdarahan saat melahirkan. Atau kemungkinan lain, ibu akan melahirkan bayi kecil dan lemah yang rentan terserang penyakit.

Disamping masalah itu kekurangan gizi pada pada balita juga masih banyak ditemui. Dari rata-rata 10 balita, sekitar 2 sampai 3 balita mengalami kekurangan gizi yang apabila tidak diperbaiki gizinya dan diobati penyakitnya, balita tersebut bisa jatuh kedalam kondisi gizi buruk.

Sumber : MIOL (Tlc/OL-2)

Membangun Generasi tanpa Korupsi

Selasa, 12 Agustus 2008 13:00 WIB

Dalam satu atau dua dasawarsa ke depan, mungkinkah di negeri ini bakal hadir generasi tanpa korupsi? Selepas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus-kasus besar yang melibatkan sejumlah anggota DPR, jaksa, para petinggi, gubernur, dan sekian banyak pejabat negara, harapan menuju generasi tanpa korupsi bukanlah sebuah utopia. Kinerja KPK, tentu sangat layak dihormati, meski belum sampai pada prestasi puncak. Masih terlalu banyak kasus korupsi dengan skala raksasa yang dipetieskan dan menunggu pembongkarannya. Pemberantasan korupsi dan berbagai langkah pencegahannya harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan.

Sesungguhnya capaian KPK, betapa pun spektakulernya, akan menggelinding sia-sia jika tidak diikuti dengan serangkaian gerakan pencegahan. Bukankah tindak pencegahan sama pentingnya dengan tindak pemberantasan! Maka, KPK perlu mengembangkan langkah-langkah yang lebih kreatif dan preventif.

Apakah reputasi KPK atas terungkapnya kasus penyuapan Urip Tri Gunawan, Al Amin Nasution, dan kasus korupsi lainnya, akan diselesaikan dengan penuh tenggang rasa atau ditempatkan sebagai momentum menciptakan efek jera. Ternyata, kasus Artalyta Suryani diputuskan tanpa usaha menciptakan efek jera. Vonis atas Artalyta Suryani sesungguhnya telah kehilangan momentum untuk menciptakan efek jera. Kiranya patut dipertimbangkan hukuman maksimal bagi pejabat negara yang korup.

Rencana KPK untuk membuat malu para koruptor dengan menyiapkan baju khusus yang bertuliskan 'koruptor' serta memborgol mereka yang sedang menjalani proses hukum (Media Indonesia, 8/8), patut mendapat sambutan, mesti juga dapat menghadirkan kontroversi. Untuk menciptakan efek jera, cara itu boleh jadi efektif. Dengan cara itu, kengeyelan Artalyta dengan tampilannya yang anggun, pandangan-–yang seolah-olah tak merasa berdosa--Urip Tri Gunawan di persidangan, dan keakraban serta senyum sumringah Al Amin Nasution dalam menjawab pertanyaan wartawan, di masa depan tak bakal kita jumpai lagi pada para koruptor dan pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, jika sejak sekarang dibangun berbagai langkah untuk menciptakan efek jera.

Selain membangun sebuah monumen yang bernama efek jera, sekarang pula saatnya KPK membuat fondasi yang kukuh untuk menciptakan generasi tanpa korupsi. Dalam konteks itu, KPK harus sudah mulai bersiap-siap membuat ribuan poster besar dengan wajah para koruptor. Dalam poster itu disertakan semacam biografi singkat tentang kasusnya, hukuman yang diterima, kerugian negara, dan perbandingannya jika uang negara yang diselewengkan itu digunakan untuk kepentingan bangsa. Sebut misalnya, uang 6,2 miliar yang digunakan Artalyta untuk menyuap Urip itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, beasiswa dan biaya pendidikan, menciptakan lapangan kerja, atau menghidupi para petani.

Jika ribuan poster itu sudah dicetak, tugas berikutnya adalah memasangnya di segenap ruang kerja semua departemen, di ruang-ruang publik, bahkan boleh juga di tempat-tempat ibadah agar setiap orang yang akan beribadah di sana tak lupa ikut mendoakan: 'Semoga pengkhianat rakyat ini, arwahnya segera diterima di sisi Tuhan'. Dengan cara itu, mereka tidak hanya memperoleh hukuman berat, tetapi juga hukuman yang berupa sanksi sosial. Jika itu dilakukan, niscaya akan terbangun stigma: betapa nistanya menjadi koruptor!

Selain membuat poster para koruptor yang sudah mendapat keputusan hukum tetap, juga perlu menciptakan stigmatisasi melalui slogan, imbauan, perintah, sampai pada kecaman, penistaan dan propaganda. Tengok saja apa yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang dalam usahanya menciptakan stigma atas Belanda dan sekutunya. Pengumuman pemerintah, laporan jurnalistik, sandiwara, film, ucapan tahun baru, karya sastra, bahkan juga iklan, kerap mencerminkan usaha stigmatisasi. Instruksi Panglima Perang Bala Tentara Dai Nippon, misalnya, berbunyi: "Nama-nama negeri dan kota di seloeroeh poelaoe Djawa jang mengingatkan kepada zaman pemerintah Belanda almarhum ditoekar dengan nama-nama menoeroet kehendak ra'jat." Iklan jamu Cap Potret Nyonya Meneer bergambarkan pesawat tempur Jepang yang sedang melakukan pengeboman terhadap armada laut Amerika dan Inggris. Iklan film 'malaria', selain memuat nama dan gambar bintang film, juga disertai kata-kata: "Musuh kita ialah Inggris, Amerika dan Malaria!/Semuanja harus dibasmi!/Lihatlah pilem Malaria/Dibuat oleh Nippon Eiga Sha.

Dalam masa singkat pemerintah pendudukan Jepang, berbagai media massa, melalui peran Barisan Propaganda (Sendenbu) dan Jawa Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor yang bertanggung jawab atas segala kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan dan pementasan, telah berhasil mencipta stigma bagi Belanda dan sekutunya.

Pemerintah Orde Baru (Orba) secara efektif juga menciptakan stigma bagi anggota PKI, anak-istri, dan sanak keluarganya. Dengan kata keramat anti-Pancasila dan bahaya laten komunis, setiap apa pun yang berkaitan dengan PKI laksana sebuah jalan hitam menuju jurang kegelapan yang bakal membenamkan karier, masa depan, dan martabat keluarga. Maka, tindakan apa pun yang merongrong penguasa Orba, penyelesaiannya mudah saja: anti-Pancasila dan bahaya laten komunis!

Selama ini, dalam semua kasus korupsi, para pelaku yang telah menjalani masa hukuman, begitu gampang diterima di tengah masyarakat. Kerabat, anak-istri, sahabat, bahkan berkeras melakukan pembelaan, seolah-olah tindak korupsi sebagai perbuatan biasa yang segera dapat dimaafkan begitu saja. Segalanya diselesaikan dengan kompromi yang penuh tenggang rasa. Oleh karena itu, sejak dini, dalam keluarga atau pendidikan di sekolah, perlu ditanamkan kesadaran tentang kejujuran, budi pekerti, dan kepedulian sosial.

Sebagai usaha menanamkan nilai-nilai, KPK perlu kiranya bekerja sama dengan pelukis, sastrawan, penyair, komikus, untuk membuat berbagai hal tentang dampak korupsi dengan berbagai stigmanya. Pelukis menggambar para koruptor dengan wajah iblis, belatung atau segala binatang yang menjijikkan. Sastrawan dan penyair menciptakan karya-karya yang menggambarkan nistanya hidup menjadi koruptor. Begitu juga dengan para komikus. Jika saja sejak sekolah dasar stigma tentang koruptor itu sudah ditanamkan kepada para siswa, maka sangat mungkin bakal lahir generasi yang menistakan berbagai bentuk tindakan korupsi.

Jadi, jika kita sepakat hendak memberantas korupsi sampai ke akarnya, langkah-langkah pencegahan melalui penciptaan stigma dan penanaman nilai-nilai, agaknya bukan sesuatu yang mustahil untuk menyongsong generasi tanpa korupsi!

Oleh Maman S Mahayana

Pengajar Universitas Indonesia

Dikutip dari : MIOL


Jumat, 22 Agustus 2008

Pemerintah majukan batas penyelesaian APBD 2009


Jumat, 22 Agustus 08
Pemerintah memajukan batas waktu penyelesaian APBD 2009 menjadi akhir Februari 2009 dibanding batas waktu penyelesaian APBD 2008 pada akhir April 2008.

"Kita percepat penyelesaian Perda APBD 2009, mudah-mudahan sampai dengan akhir Februari 2009 sudah dapat diselesaikan untuk semua daerah," kata Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan, Mardiasmo di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jakarta, Jumat (22/8).

Ia menyatakan, dibanding batas waktu penyelesaian APBD 2008, ada upaya mempercepat penyelesaian APBD sekitar dua bulan. Menurut dia, sama dengan tahun sebelumnya, jika daerah terlambat menyelesaikan penyusunan APBD-nya maka kemungkinan pemerintah akan menahan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) kepada daerah yang bersangkutan.

"Kalau terlambat kemungkinan akan ada sanksi berupa penyaluran DAU yang ditahan," katanya.

Sementara itu mengenai tingkat penyerapan anggaran oleh daerah setelah dana pusat ditransfer ke daerah, Mardiasmo mengatakan, pemerintah akan mempercepat penyerapan anggaran oleh daerah.

"Kita akan mempercepat, Menteri Keuangan sudah setuju, kita akan lakukan jemput bola, daerah-daearah yang tidak mampu (menyerap) kita datangi," katanya. Ia mencontohkan, pihaknya pekan depan akan ke Sumatera Barat untuk mencari tahu mengapa hingga saat ini belum ada pencairan dana alokasi khusus (DAK) untuk daerah itu.

"Kita lihat kenapa DAK di daerah itu sampai hari ini belum ada pencairan untuk tahap berikutnya, terutama yang untuk infrastruktur atau fisik," katanya. Ia mengatakan, mulai akhir Agustus 2008 pihaknya akan proaktif memantau agar penyerapan daerah diikuti dengan kualitas yang baik juga.

"Jadi tidak hanya menghabiskan anggaran saja, harus ada penyerapan yang bagus misalnya untuk menekan pengangguran, kemiskinan," katanya.

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, banyaknya sisa lebih penggunaan anggaran (SILPA) di sejumlah daerah mengindikasikan pelaksanaan berbagai program pembangunan di daerah bersangkutan yang harus diperbaiki.

Menkeu mengakui ada daerah-daerah yang mengalami surplus entah dari dana bagi hasil (DBH), atau bagian yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) yang digunakan untuk belanja di luar pembangunan. "Tapi seperti yang ditekankan Presiden, kalau punya banyak SILPA berarti banyak program pembangunan yang perlu diperbaiki," kata Sri Mulyani. (Mnr/Ant)

Dikutip dari : Koran Internet

Pengamat: Harus ada Indikator Keberhasilan Pembangunan Daerah


Jumat, 22 Agustus 08

Pengamat ekonomi Aviliani berpendapat pemerintah pusat seharusnya membuat semacam indikator penilaian keberhasilan pembangunan di daerah dikaitkan dengan alokasi dana dari pemerintah pusat.

"Harus ada indikator yang dapat mengukur berhasil tidaknya program-program pemerintah daerah. Indikator tersebut dapat menjadi acuan penilaian apakah daerah benar-benar mampu mengelola anggaran pemerintah," kata Aviliani, menanggapi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan keterangan pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah pada Sidang Paripurna DPD-RI, di Gedung MPR/DPR, Jumat (22/8).

Pada pidato tersebut terungkap transfer dana pemerintah ke daerah pada tahun 2009 direncanakan Rp303,9 triliun atau naik 134,3 persen dari tahun 2004.

Anggaran tersebut bentuk Dana Bagi Hasil Rp89,9 triliun, naik 144,9 persen dari tahun 2004, Dana Alokasi Umum Rp183,4 triliun naik 123,3 persen dari tahun 2004, dan Dana Alokasi Khusus Rp22,3 triliun naik lebih dari empat setengah kali lipat dari tahun 2004.

Menurut Aviliani seakan menjadi formalitas alokasi dana ke daerah terus meningkat dari tahun ke tahun namun penyerapannya tidak maksimal dan bahkan terindikasi ada penyimpangan.

Di atas kertas, anggaran yang lebih dari cukup tersebut jelas peruntukannya akan tetapi realisasi penggunaannya tidak ada kewajiban mempertanggungjawabkan program yang ditetapkan pemerintah dan daerah.

Pendidikan untuk mengurangi buta aksara, program pemberdayaan masyarakat untuk menurunkan angka kemiskinan misalnya, tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan, sehingga jumlah penduduk miskin dan penggangguran tidak bisa dikurangi.

Akibatnya angka kemiskinan secara nasional tidak bisa ditekan karena jumlah penduduk dengan pendapatan rendah bermunculan dari daerah.

"Ini pertanda target berbagai program pemerintah dengan yang disepakati dengan tidak jalan. Perlu koordinasi dan pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah pusat agar tujuan pembangunan daerah mencapai sasaran," katanya.

Terkait dengan pidato Kepala Negara, Aviliani menjelaskan cenderung hanya sebatas orasi yang sifatnya sebagai kewajiban belaka.

"Saya tidak menyebutkan itu kampanye, tetapi terkesan asal ada atau yang penting antara pusat dan daerah itu dapat memenuhi kewajiban rutin yang disampaikan secara formal di depan sidang Paripurna DPD, tidak lebih dari itu. Ini harus segera dirubah "mindset"nya," katanya.

Hambat investasi

Menurut Aviliani kebijakan desentralisasi belakangan ini juga sebaiknya tidak mutlak, harus lebih fleksibel yang disinkronkan dengan program-program bersama antara pemerintah pusat dan daerah.

"Kebijakan-kebijakan tertentu terkadang tidak harus semuanya dilepas ke daerah karena yang terjadi justru banyak yang kontraproduktif dengan semangat pemerintah mencapai target ekonomi tertentu," katanya.

Ia menjelaskan, kalau seluruhnya diserahkan ke daerah tanpa ada penekanan pentingnya "roadmap" suatu kebijakan, justru memicu pejabat-pejabat di daerah mengambil tindakan yang menyimpang.

Dicontohkan, dalam kasus pengalihan fungsi hutan lindung di Tanjung Api-Api yang melibatkan pejabat pemda dan anggota dewan Al Amin Nasution menjadi preseden buruk karena tidak adanya sistem pengawasan antara pusat dan daerah.

"Kalau tidak ada niat untuk saling mengoreksi dan mengawasi bukan tidak mungkin kasus korupsi makin merebak," katanya.

Demikian halnya di bidang investasi, pemda dengan hak yang absolut menetapkan kebijakan penanaman modal di suatu daerah justru kontraproduktif dengan semangat pemerintah pusat menjarig investor sebanyak-banyaknya.

"Iklim investasi di buka lebar, tetapi terjadi penolakan di daerah. Akhirnya daya saing daerah kembali terpuruk ke titik nol. Investor akan berpikir panjang untuk masuk ke sektor tertentu karena tidak adanya kepastian bisnis dan hukum," katanya.

Aviliani berpendapat, pemerintah tidak ada salahnya belajar dari negara lain dalam hal mengelola investasi seperti China yang menempatkan suatu kawasan tertentu sebagai tempat para investor menanamkan modalnya tanpa ada hambatan dari daerah.

"Ini bisa menekan "high cost economy" (ekonomi biaya tinggi) yang selama ini terjadi di daerah akibat tidak sinkronnya kebijakan penanaman modal, termasuk kebijakan sistem perpajakan yang tidak standar," katanya.

Terkait dengan Pidato Presiden Yudhoyono tersebut, Aviliani berpendapat secara secara umum menjawab keinginan DPD akan tetapi ada catatan penting yaitu dibutuhkan langkah konkrit karena masih cenderung normatif, dan sedikit mengambang.
(Mnr/Ant)

Sumber : Koran Internet


Tahukah Anda Jumlah Daerah Otonom RI?

22/08/2008 12:09

Lain dulu lain sekarang. Dulu, Indonesia hanya punya 27 provinsi. Kini banyak pemekaran hingga 33 provinsi. Dalam kurun waktu hampir satu dasawarsa, Bumi Pertiwi juga mengalami pembentukan daerah otonom baru. Sudah berapakah jumlahnya?

"Jumlah total daerah otonom yang ada berjumlah 510, yang terdiri dari 33 provinsi, 386 kabupaten, dan 91 kota," tutur Presiden SBY dalam pidato kenegaraan di hadapan anggota DPD di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (22/8).

Dalam 10 tahun era reformasi ini, kata SBY, pemekaran dan pembentukan daerah otonom baru terus terjadi. Sejak tahun 1999 hingga sekarang telah terbentuk 191 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 153 kabupaten, dan 31 kota.

SBY percaya bahwa pertambahan daerah otonom baru yang pesat ini harus segera dievaluasi. Karena pemekaran daerah seharusnya didasari oleh semangat untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah, serta untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum.

"Sebaliknya, pemekaran daerah tanpa tujuan yang benar dan tidak dikelola dengan baik, justru akan menyengsarakan rakyat dan menjadi beban keuangan negara," kata SBY.

Semua daerah otonom baru, sambung SBY, harus dipastikan telah berfungsi dengan baik, sesuai dengan harapan masyarakat. Kewenangan daerah, potensi daerah, dan keuangan daerah harus benar-benar dikelola dengan baik, oleh penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kompeten dan profesional.

"Evaluasi itu memberi kesempatan kepada kita untuk melakukan konsolidasi terhadap daerah-daerah otonom baru, serta daerah-daerah induk yang dimekarkan, baik dari tata pemerintahan, kapasitas birokrasi, maupun pengelolaan keuangan daerahnya," ujar SBY.

Kebijakan pemekaran daerah, lanjut dia, harus dapat dilakukan lebih selektif dan hati-hati. Perlu lebih cermat dan arif dalam merespons berbagai pemikiran dan tuntutan untuk pemekaran daerah yang baru.

"Tuntutan pemekaran yang sama sekali tidak memiliki urgensi, tidak memenuhi persyaratan dan tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat daerah, harus kita tolak secara tegas," tandas SBY.[L3]

Sumber : Samsul Maarif INILAH.COM



Kamis, 07 Agustus 2008

Mewaspadai Neoliberalisme: Tentang Kerakyatan Dan Demokrasi Ekonomi (Artikel 2)

Doktrin Kerakyatan: Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi

Doktrin Kerakyatan: Sekali lagi, siapa yang disebut "rakyat"? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemooh yang biasanya melanjutkan bertanya, "bukankah seorang konglomerat juga rakyat?" Tentu seorang konglomerat adalah bagian dari rakyat! Namun perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.

Doktrin kerakyatan Indonesia berada dalam paham kolektivisme atau kebersamaan.

Kedaulatan ada di tangan rakyat. Dengan kata lain "rakyat" adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik. Rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat dapat berarti "the common people", atau rakyat adalah "orang banyak". Pengertian rakyat berkaitan dengan "kepentingan publik", yang berbeda dengan "kepentingan orang-seorang". Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama (mutual interest). Ada yang disebut "public interest" atau "public wants", yang berbeda dengan "private interest" dan "private wants". Sudah lama pula orang mempertentangkan antara "public needs" (yang berdimensi domain publik) dan "individual privacy". Istilah "rakyat" memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat "publik" itu. "Kepentingan publik" akan identik dengan "kepentingan pemerintah" hanya apabila berlaku good governance sepenuh-penuhnya. Jelaslah mengapa posisi rakyat adalah substansial.

Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi: Republik Indonesia menjunjung tinggi demokrasi, menjunjung tinggi Kedaulatan Rakyat (Volkssouvereiniteit). Namun paham demokrasi Indonesia tidak berdasar pada individualisme konsepsi Rousseau, tetapi berdasar suatu semangat persatuan sebagai bangsa, yang awalnya adalah reaksi bersama terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, berdasar kebersamaan (kolektiviteit), bukan demokrasi liberal berdasar individualisme.

Demokrasi mengandung makna esensial, yaitu partisipasi dan emansipasi. Perlu ditegaskan bahwa tidak akan terjadi partisipasi rakyat yang genuine tanpa disertai emansipasi.

Demokrasi politik saja tidak cukup mewakili rakyat yang berdaulat. Demokrasi politik hams dilengkapi dengan Demokrasi Ekonomi. Tanpa demokrasi ekonomi maka akan terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada satu atau beberapa kelompok yang kemudian akan membentukkan kekuasaan ekonomi yang bisa "membeli" atau "mengatur" kekuasaan politik.

Dalam sistem ekonomi berdasarkan Demokrasi Ekonomi tidak menghendaki adanya "otokrasi ekonomi", sebagaimana pula di dalam sistem politik berdasar Demokrasi Politik maka tidak dikehendaki adanya "otokrasi politik".

Baca Selanjutnya

Minggu, 03 Agustus 2008

Mewaspadai Neoliberalisme: Tentang Kerakyatan Dan Demokrasi Ekonomi (Artikel1)

Oleh Sri Edi Swasono

Koran Internet, Selasa, 29 Juli 08

Pendahuluan: Paham Filsafati Dasar

Akhir-akhir ini banyak tulisan dan pendapat di media massa yang mulai "menolak" ekonomi liberalisme ataupun neoliberalisme. Namun, kesan saya, sikap dan alasan menolaknya itu masih kurang disertai oleh fundamental filsafatnya. Apa yang akan dikemukakan di bawah ini adalah suatu upaya untuk menguakkan dasar filsafati itu.

Sebagai awal perlu kita memberikan gambaran mengenai paham individualisme vs paham kolektivisme dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai berikut :

Individualisme: Individu-individu dengan paham perfect individual liberty, berikut pamrih pribadi (self-interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Kemudian individu-individu ini bersepakat membentuk Masyarakat (Society) melalui suatu Kontrak Sosial (Social Contract atau Vertrag). Individualisme adalah representasi paham liberalisme.

Kolektivisme (Communitarianism): Masyarakat (Society) dengan paham kebersamaan (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood), berikut kepentingan-bersama (mutual-interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Anggota-anggota masyarakat berada di bawah lindungan Masyarakat sebagai makhluk-makhluk sosial (homo-socius) terangkum oleh suatu Konsensus Sosial (Gesamt-Akt) dan tunduk pada kaidah-kaidah sosial. Dari sinilah maka individual privacy setiap anggota masyarakat merupakan a societal license. Kolektivisme adalah representasi paham kebersamaan. (Apa yang dimaksudkan dengan brotherhood di atas bukanlah kinship atau kekerabatan).

Indonesia menolak individualisme dan liberalisme1. Dengan ruh kebersamaan itu Indonesia menegaskan kemerdekaannya berdasar kebangsaan dan kerakyatan berkat munculnya "rasa-bersama".

Paham liberalisme (berdasar perfect individual liberty atau individualisme) masuk pula ke dalam kehidupan ekonomi dan menjadi sukma dasar dari ekonomi klasikal/neoklasikal. Ilmu ekonomi klasikal/neoklasikal adalah ilmu ekonomi yang berdasar paham liberalisme/neoliberalisme. Adam Smith adalah "nabi" atau patron saint-nya ekonomi liberalisme/neoliberalisme ini, yang menegaskan bahwa kepentingan-pribadi atau pamrih-pribadi (self-interest) adalah yang utama dalam kehidupan dan mekanisme ekonomi. Pasar mengatur mekanisme ekonomi dan pasar digerakkan oleh tangan- ajaib (an invisible-hand). Pasar diasumsikan sebagai omniscient dan omnipotent yang secara otomatis self-regulating dan self-correcting oleh adanya tangan ajaibnya Adam Smith. Pasar dalam pengertian ini menjadi penemuan sosial terbesar dalam peradaban manusia,liberalisme dan individualisme menjadi sukma dari system ekonomi pasar-bebas yang lebih dikenal dengan istilah stelsel laissez-faire. Dari sinilah lahir kapitalisme dan selanjutnya berkembang menjadi imperialisme.

Globalisasi neoliberalistik saat ini adalah topeng baru dari kepitalisme dan imperialisme. Namun dalam perjalanan yang panjang sejak bergemanya ide pasar-bebas Adam Smith, dalam kenyataannya pasar-bebas temyata banyak gagal dalam peran yang diasumsikan ini. Apa yang terjadi justru berbagai market-failures, khususnya dalam menghadapi ketimpangan-ketimpangan struktural dalam upaya mencapai socio-economic equity, equality dan justice.

Selengkapnya

World breastfeeding week 2008: going for the gold by supporting mothers to breastfeed

Statement by WHO Director-General Dr Margaret Chan

The World Health Organization (WHO) is pleased to join the World Alliance for Breastfeeding Action in celebrating World Breastfeeding Week from 1 to 7 August 2008. This year's theme is "going for the gold by supporting mothers to breastfeed".

There is a double message here: it is not enough to say that breastfeeding is an ideal source of nourishment for infants and young children; mothers also need support to make optimal breastfeeding practices a reality. World Breastfeeding Week should focus our attention on investing in mothers and families, to give children the best start in life.

Breastfeeding, and in particular exclusive breastfeeding for the first six months of a child's life, ranks among the most effective interventions for improving child survival and health. While there are encouraging trends in breastfeeding rates in a few countries, global data show that less than 40 per cent of infants under six months of age are exclusively breastfed today. This underachievement in turn contributes to the unnecessary deaths of over a million children each year - lives that could be saved if mothers and families were adequately encouraged and supported to breastfeed.

Rapid improvements can be achieved if a breastfeeding culture once again permeates all levels of society. Mothers need support not only to begin breastfeeding within one hour of birth, but also to sustain exclusive breastfeeding for six months, and continue breastfeeding for two years or beyond, as well as giving other nutritious foods. They also need support to prevent and overcome breastfeeding difficulties and deal with competing demands on their time. In addition, governments must ensure that infant formula marketing never seeks to persuade mothers that products could possibly be equivalent to breast milk. Above all, mothers everywhere should have a sense of pride in breastfeeding.

Breastfeeding counselling, an important source of support for mothers, has been shown to improve breastfeeding practices. To this end, WHO has developed, together with UNICEF, a range of infant and young child feeding counselling courses and job aids for use by health care workers and lay counsellors.

Support for breastfeeding is needed not only from the health sector, but also within families, communities and the workplace, backed up by appropriate policies and legislation. The International Code of Marketing of Breast-milk Substitutes and the Global Strategy for Infant and Young Child Feeding are instruments to guide necessary actions. They call upon all concerned parties to play their role.

WHO fully supports scaling-up support for mothers everywhere to achieve the gold standard in infant feeding. With breastfeeding, everyone wins!

Source : WHO

More on breastfeeding

Jumat, 01 Agustus 2008

Sekjen ICIS KH Hasyim Muzadi: ketidakadilan global menjadi penyebab lahirnya kekerasan

Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars (ICIS) KH Hasyim Muzadi menyatakan, ketidakadilan global, baik politik, ekonomi maupun budaya, menjadi penyebab utama lahirnya kekerasan dalam bentuk konflik etnis, agama, dan golongan.

"Ketidakadilan global terhadap negara-negara Muslim telah memperparah konflik hingga berkepanjangan," kata Hasyim dalam sambutannya pada pembukaan ICIS III di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu.

Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu, ketidakadilan global tersebut, diakui atau tidak, telah mendorong banyak kelompok masyarakat menggunakan kekerasan sebagai alternatif penyelesaian atas ketidakberdayaan mereka.

ICIS, kata Hasyim, merupakan forum yang bisa dijadikan sebagai ajang bagi para tokoh dunia, ulama, dan peneliti untuk mencari akar munculnya berbagai konflik yang terjadi, terutama di negara-negara Muslim.

Hasyim mencontohkan, konflik yang terjadi di Palestina, Afghanistan, Iraq, Sudan, termasuk di Thailand Selatan dan Filipina Selatan` merupakan tantangan yang harus dihadapi bersama.

Sumber : www.hidayatullah.com
Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD