Senin, 06 September 2010

PHPU Minahasa Utara: Saksi Tidak Diberi Form C1, MK Perintahkan Coblos Ulang di Kec. Wori

Jakarta, MK Online - Fransisca M. Tuwaidan-Willy EC Kumentas, cabup-cawabup Minahasa Utara, masih punya peluang memimpin kabupaten ini karena MK mengabulkan permohonan mereka. Pada Kamis (2/9/2010), putusan setebal 61 halaman yang dibaca Majelis Hakim secara bergantian tersebut memutuskan pemungutan suara ulang di Kecamatan Wori.

Pihak Termohon adalah Sompie SF Singal-Yulisa Baramuli. Eksepsi pasangan ini ditolak majelis hakim karena dalilnya yang menuduh permohonan Pemohon cacat formil, tidak beralasan hukum.

Perkara No. 145 /PHPU.D-VIII/2010 ini menyoal tidak diberikannya salinan formulir model C-1 di TPS-TPS yang tersebar di Kec. Wori. Padahal, seharusnya seluruh saksi yang hadir di TPS setelah selesai mengikuti pemungutan dan penghitungan suara menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku KPPS wajib menyerahkan formulir C-1 dan para saksi berhak untuk mendapatkan formulir model C-1.

Di samping itu, ada surat suara yang tidak ditandatangani oleh Petugas KPPS yang telah dicoblos dan berada dalam kotak suara serta adanya pembukaan kotak suara yang tidak disaksikan oleh saksi Pemohon di Desa Nain. Dalil lain adalah adanya keputusan No. 152/2010 yang dikeluarkan oleh Pihak Terkait (bupati incumbent) tentang pembentukan tim koordinasi dukungan kelancaran penyelenggaraan Pemilukada Minahasa Utara 2010 yang bertentangan dengan asas Pemilu luber dan jurdil karena pada saat yang bersamaan KPU telah mengeluarkan keputusan tentang penetapan cabup-cawabup.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK mencermati memang ada beberapa saksi yang tidak menerima formulir C1 KWK di beberapa TPS, karena itu dalil Pemohon pun terbukti menurut hukum. Lalu, fakta dibukanya kotak suara tanpa sepengetahuan saksi adalah pelanggaran hukum. Sementara itu, dalil tentang keputusan No. 152/2010 dipandang MK tidak bermasalah karena hanya untuk membantu kelancaran penyelenggaraan Pemilukada.

Pelanggaran Signifikan
Mahkamah berpendapat bahwa rekomendasi yang dikeluarkan oleh Panwas Kecamatan Wori supaya diadakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Kec. Wori sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga seharusnya Termohon melaksanakan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Kec. Wori dan bukan hanya di satu TPS saja.

Bahwa mengenai pemungutan suara ulang sudah diatur dalam Pasal 104 UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ayat (1) menyatakan “Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan”. Ayat (2) berbunyi “Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih dari keadaan sebagai berikut: a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; b. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani, atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah digunakan; c. lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda; d. petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau e. lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS”.

Dalam konklusinya, MK berkesimpulan terjadi pelanggaran di Kecamatan Wori yang cukup signifikan mempengaruhi peringkat suara seluruh pasangan calon. “Demi keabsahan jumlah perolehan suara Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Minahasa Utara, perlu dilakukan pemungutan suara ulang di Kec. Wori,” tegas Mahfud.

“Amar putusan, sebelum menjatuhkan putusan akhir, memerintahkan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di Kec. Wori dan melaporkan kepada MK selambat-lambatnya 60 hari setelah putusan dibacakan,” lanjutnya. (Yazid/mh)

Sumber : MK Online

Rabu, 01 September 2010

Pemerintah Susun Standar Jumlah PNS di Daerah

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR--Untuk menciptakan jumlah aparatur ideal di pemerintah daerah, pemerintah berupaya agar ada standar yang sama mengenai jumlah PNS di seluruh Indonesia. Standar itu diharapkan dapat menciptakan rasio ideal antara aparatur dan masyarakat.

Hal itu disampaikan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, usai mengikuti Rapat Kerja di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (6/8). ''Sekarang di rata-rata nasional 2,1 persen PNS, sementara negara-negara tetangga kita ada yang mencapai 2,4-2,5 persen, daerah itu beragam ada yang aparaturnya sangat besar mencapai 6 persen tapi ada yang sangat kecil di bawah 2 persen,'' jelas Gamawan didampingi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alisjahbana.

Gamawan mengatakan, aturan tentang itu belum dirumuskan. ''Selama ini aturan belum pernah dirumuskan, belum pernah diberikan rujukan untuk daerah,'' ujarnya.

Hal itulah yang menjadi dasar bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merumuskan kembali jumlah yang tepat untuk pegawai di daerah. ''Yang penting tugas dapat dilaksanakan dengan baik, secara optimal,'' ucap Presiden di tempat yang sama ketika memberikan arahan.

Sumber : Republika Online
Red: Budi Raharjo
Rep: M Ikhsan Shiddieqy

Minggu, 22 Agustus 2010

OPINI : Takut Menjadi Mantan

Kata mantan itu kata baru. maksudnya baru digunakan sekitar sepuluhan tahun belakangan ini. Sebelumnya digunakan kata bekas, eks. misalnya kalimat, bekas bupati itu koruptor besar, eks tapol pki dibebaskan dari penjara.

Mungkin saja, kata mantan lebih halus dari kata bekas dan eks. Bayangkan saja kalau seorang presiden disebut pula sebagai bekas presiden, memangnya barang sampai pakai disebut bekas ?

Tapi negeri tetangga kita (malaysia) menyebut veteran dengan laskar tak berguna, masih sedikit halus sebutan bekas dibandingkan dengan laskar tak berguna.

Katanya ada penyakit tertentu, "Post Power Syndrome". Seseorang yang hendak pensiun kemudian menjadi sangat ketakutan. Takut nggak ada jabatan lagi, takut tidak mendapat fasilitas negara lagi, takut tidak menerima gaji (kecuali pensiun), takut penghargaan dari masyarakat berkurang.

Saya pernah mengenal seorang pejabat, setahun sebelum pensiun, dia kesana kemari berusaha agar masa pensiunnya ditunda, malahan dia berusaha mengincar jabatan lebih tinggi, menjadi SEKAB. Nampak sekali kekwatirannya menjadi mantan.

Soalnya, menjadi pejabat memang enak sekali. semua ditanggung negara. jalan-jalan perjalanan dinas ditanggung negara. walau ada rumah pribadi tetap juga diberikan rumah dinas. kalau nggak tinggal dirumah dinas, diganti pula uang kontrak rumah. telpon ditanggung. listrik ditanggung. mobil ditanggung. hanya nyawa saja yang nggak ditanggung.


Saya pikir, pantas saja gubernur sulawesi tengah yang terganjal aturan tidak boleh menjabat untuk periode ketiga, sekarang mengajukan gugatan ke MK soal aturan gubernur hanya boleh dua periode, bahkan ada desas desus, bahwa si guberbur itu akan mencalonkan sebagai wakil gubernur, nah kan ? ada saja jalannya. walau menurunkan diri, jabatan lebih rendah, asalkan tetap ada jabatan. dari pada nggak ada jabatan sama sekali.

SBY nanti 2014 tak boleh mencalonkan diri lagi, kemudian ada usul dari ruhut agar undang-undang di amandemen. mungkin saja sby tidak mau mencalonkan diri lagi, taat pada aturan dan komitmen demokrasi yang sudah disepakati. tapi lain hal pula dengan pengeliling kekuasaan yang mungkin saja sudah keenakan. Ya mereka akan bersusaha agar bosnya lama menjabat, kalau boleh seumur hidup. Alasannya banyaklah : masih mampu menjabat, masih ingin mengabdikan diri untuk bangsa dan negara, masih ada program yang sempat terselesaikan. Namanya saja alasan, bukan soal sulit. Cuma modal ludah saja, apa susah menyampaikan alasan.

Nah, bayangkan saja, sedangkan hanya pengeliling kekuasaan yang mendapatkab jipratan nikmat kekuasaan toh berusaha mati-matiansampai titik darah penghabisan agar bosnya terus menggenggam kekuasaan, apalagi yang bersangkutan, yang memegang kekuasaan tertinggi.

Rupanya kekuasaan itu nikmat sehingga diperebutkan orang. Menjadi mantan sangat dikhawatirkan.

Tapi, itu kan tergantung dari pribadi masing-masing, mungkin tidak semua takut menjadi mantan.

Usman Hasan dalam : Kompasiana 22 Agustus 2010

Selasa, 01 Juni 2010

Sengketa Pemilukada Kota Sibolga: Pemohon Klaim Sebagai Pemenang

Jakarta, MK Online - Para pasangan calon dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang berakhir ricuh itu, akhirnya mencari keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Semua pihak, tentunya, berharap MK memberikan putusan sesuai hukum dan keadilan.

MK kali ini menggelar sidang panel Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Sibolga tersebut, Kamis (27/05). Perkara yang diregistrasi dengan No.17/PHPU.D-VIII/2010 ini disidangkan oleh Panel Hakim Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, serta M. Akil Mochtar selaku Ketua Panel. Sidang bertempat di ruang sidang pleno gedung MKRI.

Pemohon adalah pasangan calon Walikota/Wakil Walikota Sibolga, nomor urut 3 (tiga), Afifi Lubis dan Haloman Parlindungan Hutagalung. Mereka didampingi oleh beberapa kuasa hukumnya, yakni Roder Nababan, Darwis D. Marpaung, dan N. Horas Tua Siagian. Dari pihak Termohon, hadir Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Sibolga Nadzran beserta beberapa anggota KPU dan tim kuasa hukumnya. Sedangkan Pihak Terkait, adalah pasangan calon terpilih dengan nomor urut 2 (dua), M. Syarfi Hutauruk dan Marudut Situmorang. Pada saat persidangan mereka diwakili oleh tim kuasa hukumnya.

Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa telah terjadi kecurangan yang masif, terstruktur dan sistemik yang telah menciderai proses demokrasi dalam Pemilukada Kota Sibolga. Hal itu didasarkan kepada beberapa dugaan pelanggaran dan kecurangan, baik secara administratif maupun pidana oleh Termohon dan/atau Terkait.

“Telah terjadi indikasi penggelembungan suara bagi pasangan calon nomor 2. Hal itu berdasarkan adanya kecurangan dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap), yakni terdapat NIK (Nomor Induk Kependudukan) ganda sebanyak 2.450, kemudian 2.960 NIK dalam proses, dan 182 NIK Tapanuli Tengah,” kata Roder.

“Oleh karena itu, menurut kami perolehan suara bagi pasangan nomor urut 2 bukanlah 20.493 suara atau 46,28% dari suara sah. Tapi, 20.493 dikurang 5.592 (jumlah NIK yang bermasalah) maka hasilnya adalah 14.901. Jadi, seharusnya pemenang adalah pasangan Pemohon,” lanjutnya.

Selain itu, ia pun mendalilkan bahwa pihak Terkait, M. Syarfi Hutauruk, pada saat mengikuti pencalonan tidak memenuhi persyaratan. Hal ini dikarenakan, ia (baca: Syarfi) telah mengajukan surat keterangan pengganti Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) yang ditandatangani oleh Kepala Sekolah dalam kondisi dibawah tekanan. Sehingga, seharusnya surat itu tidak dapat dipergunakan untuk melakukan pencalonan.

”Penandatanganan surat itu dibawah tekanan. Karena kami sudah menanyakan kepada kepala Sekolah yang bersangkutan, ia mengatakan ‘itu bukan tanda tangan saya’,” paparnya.

Tidak Relevan
Termohon pun membantah dalil-dalil dari Pemohon tersebut. Mereka pun mengajukan Eksepsi terhadap Permohonan. “Dalil-dalil Pemohon tersebut tidak signifikan dan tidak ada relevansinya. Karena tidak jelas dan tidak dapat dipastikan apakah pemilik NIK (yang bermasalah) itu memilih nomor urut 2. Dan, apakah suara yang diberikan itu sah atau tidak sah. Sehingga kami berpandangan urian Pemohon tidak jelas dan tidak memenuhi kaidah formal,” tegas Nazrul Ikhsan Nasution, kuasa hukum Termohon.

Berkaitan dengan dalil STTB tersebut, Termohon menyatakan bahwa hal itu tidak benar, karena mereka telah melakukan klarifikasi langsung kepada pihak sekolah yang bersangkutan.

“Tentang syarat pendidikan, Termohon telah melakukan klarifikasi kepada Kepala Sekolah SDN 15304 Pasar Sorkam 1. Pada saat itu kami juga didampingi oleh anggota kepolisian. Pihak sekolah pun mengatakan bahwa STTB itu rusak atau hilang karena banjir, dan mereka menyatakan bahwa nama Syarfi ada dalam nomor induk,” lanjut Nazrul.

Ia pun lalu menegaskan bahwa jika memang diperlukan oleh Majelis, mereka siap menghadirkan bukti video klarifikasi tersebut. “Jika memang dibutuhkan, kami akan hadirkan hasil rekaman klarifikasi pada saat itu,” tegasnya.

Kuasa hukum pihak Terkait pun memberikan tanggapan dengan menyatakan bahwa tentang syarat pendidikan itu merupakan dalil yang sangat tidak kuat, karena Termohon, Syarfi, pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sibolga dan mempunyai titel pendidikan hingga strata satu. “Pemohon jangan terburu-buru memfitnah Termohon atau Terkait. Karena pihak terkait sudah memiliki titel Drs dan pernah sebagai Komisi Empat DPRD. Dan kita tahu, bahwa untuk mengikuti pencalonan ke DPRD persyaratannya pun tidak mudah,” ujar salah satu kuasa hukum pihak Terkait.

Selanjutnya, Akil Mochtar, menutup sidang dengan sebelumnya menyampaikan bahwa jika ada perbaikan terhadap permohonan harus diperbaiki pada hari itu juga, serta untuk sidang selanjutnya para pihak diminta untuk menghadirkan para saksi dan menyerahkan alat bukti. Sidang selanjutnya akan diselenggarakan pada Rabu, (2/06) Pukul 13.00 WIB, dengan agenda pemeriksaan para saksi dan pengesahan alat bukti. (Dodi H.)

Risalah Sidang ke I (Pdf file)
Risalah Sidang ke II (Pdf file)

Putusan Sidang
(Pdf file)

Sumber : Mahkamah Konstitusi Online

Senin, 31 Mei 2010

Pemberlakuan Sekolah Bertaraf Internasional Bisa Diuji di Mahkamah Konstitusi

Sekolah bertaraf internasional (SBI) dinilai melanggar konstitusi karena sistem tersebut sudah di luar satu sistem pendidikan nasional. Namun untuk membuktikannya, ketentuan yang mengatur SBI dalam UU Sisdiknas harus diuji terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau ada penafsiran seperti itu (SBI melanggar konstitusi), itu bagus, tapi harus diuji dulu ke Mahkamah Konstitusi apakah ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945," kata mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie di Jakarta, Minggu (30/5).

Jimly mengatakan SBI yang diselenggarakan pemerintah saat ini berlebihan sehingga pada praktiknya menjadi diskriminatif. Sekolah-sekolah negeri yang dijadikan SBI tidak benar-benar sekolah bertaraf internasional, tapi hanya berlabel internasional seperti iklan saja.

"Ini yang menimbulkan masalah karena ada sekolah negeri yang berbahasa Inggris dan ada yang tidak. Karena itu, pemerintah cukup menyelenggarakan pendidikan nasional saja. Sedangkan untuk sekolah bertaraf internasional, pemerintah cukup sebagai pemberi izin peran serta masyarakat dengan mengembangkan sekolah swasta internasional. Jadi Pemerintah tidak mengeluarkan biaya untuk sekolah bertaraf internasional tersebut, karena itu di luar sistem pendidikan nasional," kata Jimly yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) itu.

Jimly mengatakan sekolah internasional yang perlu dikembangkan Pemerintah adalah sekolah bagi orang asing yang belajar di Indonesia. "Sekolah khusus internasional seperti ini untuk orang asing, tapi kurikulumnya tetap nasional. Jadi bedakan antara sistem pendidikan nasional dan partisipasi masyarakat yang mengembangkan sekolah internasional sesuai kebutuhan pasar," ujarnya.

Kennorton Hutasoit, MediaIndonesia.com
SUMBER : MK Online

Kamis, 27 Mei 2010

DPR belum terima usulan pemekaran di Sumut

MEDAN - Belum ada satupun usulan pemekaran provinsi dan kabupaten di Sumatera Utara yang masuk ke Panitia Kerja (Panja) Pemekaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Termasuk usulan pemekaran Provinsi Tapanuli (Protap).

“Belum, Panja Pemekaran sampai saat ini belum ada menerima satupun usulan pemekaran dari Sumut,” kata anggota Panja Pemekaran DPR, Abdul Wahab Dalimunthe, tadi malam.

Menurut mantan ketua DPRD Sumut periode 2004-2009 ini, pada dasarnya DPR tidak akan membatasi usulan pemekaran yang diajukan daerah. Selama tujuan pemekarannya untuk mensejahterakan rakyat.

Namun bagaimanapun, tambahnya, untuk melakukan pemekaran suatu daerah, tentu tetap harus memenuhi persyaratan dan mekanisme peraturan yang berlaku.

“Dan salah satu tugas Panja Pemekaran adalah menjembatani aspirasi pemekaran itu agar proses pembentukan mengikuti mekanisme,” kata Anggota DPR-RI dari Fraksi Demokrat yang meraih suara terbanyak di daerah pemilihan Sumut I.

Seperti diketahui, sejumlah usulan pemekaran yang ada di Sumut seperti, Provinsi Tapanuli, provinsi Sumatera Tenggara, provinsi Nias, dan usulan yang terakhir masuk ada Provinsi Tapian Nauli. Selain itu juga ada usulan pemekaran Kabupaten Pantai Barat dari Madina.

Sejumlah usulan pemekaran tersebut sudah dimasukkan dan sedang di bahas di Komisi A DPRD Sumut, eperti usulan pemekaran provinsi Tapanuli dan provinsi Sumatera Tenggara.

Editor: NORA DELIYANA LUMBANGAOL
(dat04/wsp)

Rabu, 26 Mei 2010

Melewati Tenggat Waktu, MK Putuskan Permohonan Sengketa Pemilukada Kab. Sumbawa Barat Tidak Diterima

Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Andy Azisi Amin-Dirmawan tidak dapat diterima. Demikian bunyi amar putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah Sumbawa Barat, Senin (24/5/10) bertempat ruang pleno lt. 2 gedung MK.

Sidang Pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh tujuh hakim honstitusi yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Arsyad Sanusi, masing-masing sebagai Anggota. Sidang pembacaan putusan juga dihadiri kuasa Pemohon, Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumbawa Barat dan kuasanya.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Muhammad Alim, Mahkamah menyatakan permohonan Andy Azisi Amin-Dirmawan adalah sengketa hasil penghitungan suara Pemilukada. Pemohon keberatan atas keputusan KPU Kab. Sumbawa Barat No. 29 Tahun 2010 tentang Pengesahan Hasil Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2010 tanggal 30 April 2010. "Maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan," kata Alim.

Sementara itu, mengenai kedudukan hukum Andy Azisi Amin-Dirmawan (legal standing) yang dibacakan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Mahkamah menyatakan, berdasarkan Pasal 106 ayat (1) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU 12/2008 dan Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan MK 15/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilukada, Pemohon adalah Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah peserta Pemilukada.

Hal ini juga diperkuat dengan Keputusan KPU Kab. Sumbawa Barat No. 14/2010 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati menjadi Peserta Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010, tanggal 2 Maret 2010, Pemohon Andy Azisi Amin-Dirmawan adalah Pasangan Calon dengan Nomor Urut 1. "Dengan demikian Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan," kata Hamdan.

Lewati Tenggat Waktu
Akan tetapi meski demikian, mengenai tenggat waktu pengajuan permohonan ke MK, bahwa berdasarkan Pasal 106 ayat (1) UU 32/2004 juncto Pasal 5 ayat (1) PMK 15/2008 tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada ke MK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada.

Sementara itu, berdasarkan Keputusan KPU Kab. Sumbawa Barat No. 29/2010 tentang Pengesahan Hasil Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 adalah pada hari Jumat, 30 April 2010. Sehingga batas waktu pengajuan permohonan ke MK adalah pada 5 Mei 2010 (hari Sabtu-Minggu, 01-02 Mei 2010 bukan hari kerja). Namun faktanya permohonan ini diajukan dan diterima di Kepaniteraan MK pada hari Kamis, 06 Mei 2010 pukul 16.50 WIB. "Dengan demikian, permohonan Pemohon diajukan melewati tenggang waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan," tegas Hamdan.

Oleh karena itu, meskipun Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), namun karena permohonan Pemohon diajukan melewati tenggang waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah tidak dapat memeriksa pokok permohonan ini.

Alhasil, dalam amar putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Moh. Mafud MD, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. (Nur Rosihin Ana)

Sumber : MK Online

Jumat, 21 Mei 2010

Membunuh Partai Baru


DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) selalu akrab dengan atribut-atribut tak elok. Setelah kesohor sebagai salah satu lembaga paling korup, kini DPR menyandang predikat baru sebagai pembunuh.

Pembunuh? Ya, pembunuh partai-partai baru. Sembilan partai yang bercokol di DPR seolah sepakat menjegal partai-partai baru ikut dalam Pemilu 2014. Penjegalan dilakukan melalui revisi UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.

Badan Legislasi DPR sedang menyiapkan revisi UU itu. Salah satu materi yang hendak diselundupkan ke dalam RUU itu menyebutkan parpol yang baru lahir tidak boleh menjadi peserta Pemilu 2014, tetapi harus mengonsolidasikan diri sekurang-kurangnya lima tahun. Jika pasal itu lolos, partai-partai baru baru boleh mengikuti pemilu pada 2019.

Itulah pasal pengebirian sekaligus penyesatan terhadap konstitusi negara. UUD 1945 amendemen kedua Pasal 28E ayat 3 jelas-jelas menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Mengapa DPR merasa berhak membatasi? Pembatasan itu menunjukkan ketakutan partai-partai di DPR terhadap partai-partai baru. Partai-partai yang bercokol di DPR menyadari rakyat kian kecewa dan frustrasi terhadap kinerja mereka. Partai-partai di DPR lebih menjaga kepentingan kelompok daripada memperjuangkan hak-hak publik.

Tengok saja Sekretariat Bersama (Sekber) Partai Koalisi yang baru disahkan. Itu adalah persekongkolan partai-partai untuk menyelamatkan kepentingan kelompok, bukan memperjuangkan keperluan khalayak.

Semestinya DPR tidak perlu genit membuat aturan menghambat partai baru. Peraturan yang ada sekarang sudah cukup ketat menyeleksi partai sebagai badan hukum dan sebagai peserta pemilu. Sebuah partai terlebih dahulu harus memperoleh pengesahan sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM. Setelah itu, diseleksi lagi sebagai peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum. Banyak partai tumbang dalam dua seleksi itu.

Tidak hanya itu. Setelah lolos mengikuti pemilu, masih ada aturan lain menghadang, yakni parliamentary threshold sebesar 2,5% sesuai dengan UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Artinya, hanya parpol yang secara nasional mempunyai suara memenuhi ambang batas 2,5% itu yang dapat menempatkan wakilnya di parlemen.

Dengan aturan-aturan tersebut, DPR tidak perlu menghalangi partai baru mengikuti pemilu. Adalah hak warga negara untuk mendirikan partai yang mampu mengartikulasikan kepentingan mereka. Biarkanlah partai-partai itu tumbuh, hidup, dan bersaing merebut kepercayaan publik.

Biarlah rakyat sendiri yang menjadi hakim yang memvonis partai mana yang boleh hidup dan mana yang harus mampus. Bukan partai-partai di DPR yang menjadi algojo memenggal hak berserikat warga.

Kita kecewa dengan sikap partai-partai yang kini bersinggasana di DPR.

Kecewa karena DPR yang semestinya mendorong proses demokrasi melalui pembentukan undang-undang telah beralih menjadi tukang jagal yang memotong hak hidup partai baru.

Sumber : Media Indonesia.com

Senin, 17 Mei 2010

Senyuman Pahit untuk Reformasi

OLEH INDRA TRANGGONO

Bagi kelas menengah, gerakan reformasi 1998 adalah berkah. Reformasi yang kini telah berusia 12 tahun itu telah melahirkan keterbukaan dan kebebasan yang mengakhiri represi rezim Orde Baru. Namun, bagi rakyat jelata, reformasi cenderung dipahami sebagai ”kutukan” yang menyodorkan menu derita.

Menu derita itu diproduksi mesin ”kuliner” kekuasaan yang diprogram untuk melakukan diet kesejahteraan bagi rakyat jelata. Rupanya para pengelola negeri ini masih memelihara keyakinan bahwa hidup prihatin merupa- kan kodrat sosial rakyat. Dengan hidup prihatin, jiwa dan raga rakyat akan selalu tergembleng.

Ironisnya, pemerintah seolah masih merasa perlu ”mempertahankan” status quo kemiskinan, sempitnya lapangan pekerjaan, biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi, dan harga-harga kebutuhan pokok yang sulit dijangkau. Pemerintah sangat yakin, watak utama rakyat adalah kesabaran dan pemaaf. Selain itu, rakyat juga tangguh: semakin mendapatkan tekanan, rakyat akan semakin kreatif.

Kondisi sosial dan ekonomi yang lumayan kuat menjepit itu tentu bertolak belakang dengan harapan rakyat ketika reformasi bergulir. Di benak mereka terbentang horizon harapan perubahan nasib. Namun, janji perubahan menuju kesejahteraan itu hanya menjadi dongeng pelipur lara.

Bisa dipahami jika terhadap reformasi rakyat cenderung memberikan senyuman pahit. Hal itu bukan karena mereka tidak menghargai jasa berbagai pihak yang telah melahirkan reformasi. Ketika reformasi bergulir, rakyat memberikan dukungan yang luar biasa, baik fisik maupun moral. Dengan sangat mengharukan, mereka menyediakan makanan dan minuman di sepanjang jalan untuk para pejuang reformasi. Mereka menyambut para demonstran bak pahlawan kemerdekaan.

Reformasi yang pada awalnya sangat menggetarkan hati itu ternyata menyesakkan dada dalam perkembangan selanjutnya. Setelah cukup lama rakyat ikut berjoget diiringi musik kebebasan, mereka pun akhirnya lelah dan lapar. Kepahitan ini mendorong mereka putus asa. Dalam keputusasaan itu mereka pun mulai merindukan kehidupan pada masa lalu di era Orde Baru. Waktu itu, detak ekonomi mereka jauh lebih baik daripada sekarang. Bagi mereka ”lebih baik dibungkam tapi perut kenyang daripada bebas tapi lapar”.

Reformasi tidak salah

Kaum intelektual tentu menganggap rakyat naif ketika membenturkan demokrasi dan kesejahteraan. Alasannya, demokrasi merupakan jalan, laku atau exercise politik untuk melahirkan sis- tem kekuasaan adil, transparan dan menjunjung hak asasi manusia, sedangkan kesejahteraan adalah cita-cita sosial yang wajib diwujudkan oleh rezim yang diberi mandat untuk memerintah.

Kesejahteraan merupakan buah pengelolaan yang baik atas ne- gara. Di situ, kekuasaan didistribusikan secara adil dan mera- ta. Jadi, jika saat ini rakyat hidup susah, maka yang salah bukan gerakan reformasi, melainkan pengelola kekuasaan negara.

Politikus muda yang populis, Budiman Sujatmiko (2010), melihat Orde Reformasi semestinya merupakan kelanjutan sejarah pembangunan peradaban bangsa. Soekarno (Orde Lama) menitikberatkan perjuangannya pada pembangunan karakter bangsa. Soeharto (Orde Baru) melanjutkannya dengan membangun negara, khususnya stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Orde Reformasi semestinya membangun kesejahteraan masyarakat. Namun, orientasi itu berbelok atau sengaja dibelokkan menjadi memperkaya individu. Negara pun tersubordinasi kepentingan individual para pengelola kekuasaan, politisi, dan pengusaha.

Orientasi perubahan yang terjadi bukan untuk memberdayakan potensi-potensi publik sekaligus membuka akses bagi publik, melainkan cenderung berpihak pada kepentingan individu pengelola negara dan sekutu-sekutunya. Celakanya, semua kebijakan itu dilakukan dengan mengatasnamakan publik. Ungkapan ”demi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara” selalu bertaburan dalam pidato para elite politik, tetapi yang terjadi adalah ”demi kepentingan pribadi atau kelompok”.

Maka, jangan heran jika muncul sebutan Indonesia adalah ”negara persekongkolan” yang turunannya antara lain mafia politik, mafia hukum, dan mafia ekonomi. Negara yang tersubordinasi individu/kelompok telah memunculkan bahaya lain: korupsi seperti yang sangat meriah saat ini. Mereka memperkaya diri tanpa takut sanksi hukum karena hukuman untuk para koruptor rendah, apalagi fasilitas penjara bak hotel berbintang.

Merasakan berbagai kenyataan ini, rakyat hanya bisa mengelus dada. Reformasi yang sarat nuansa heroisme itu pun akhirnya hanya melahirkan narasi-narasi kepedihan bagi rakyat.

Rakyat hanya bisa tersenyum pahit, sambil mengucap, ”Negeri ini telah kehilangan negarawan.”

INDRA TRANGGONO Pemerhati Budaya; Bermukim di Yogyakarta

Sumber : Kompas Online

Selasa, 04 Mei 2010

Apa Kabar, Otda?

BERDASARKAN Keppres No 11 Tahun 1996, 25 April diperingati sebagai Hari Otonomi Daerah (otda). Kita baru melaluinya lima hari lalu, tanpa sambutan gegap gempita oleh masyarakat, sekalipun otda dicita-citakan mampu mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan bagi segenap warga NKRI. Mungkin publik umumnya tidak sadar. Perjalanan otda ternyata relatif tenang di tengah pergolakan mencari jati diri bangsa yang tidak pernah sepi. Betapa pun karut marutnya situasi sekarang, otda tidak bergolak, NKRI aman. Di sisi lain, kita patut bertanya apakah otda sudah ideal? Jangan sampai dia tenang-tenang menghanyutkan akibat kekecewaan karena tekanan-tekanan ekonomi atau rasa ketidakadilan.
Cita-cita founding fathers tentang otonomi daerah masih jauh panggang dari api. Padahal, seperti kata negarawan Inggris, Margaret Thatcher, dalam buku Statecraft, walaupun ancaman komunis di Asia Tenggara telah tercabut, ancaman lain masih menghadang, yaitu ancaman disintegrasi. Mantan Perdana Menteri Inggris berpendapat demikian karena menyadari betapa besarnya Indonesia, dengan penduduk keempat terbesar di dunia yang hidup tersebar di ribuan pulau yang terserak di wilayah luas membentang. Kata Thatcher, "Selama eksistensinya sebagai negara merdeka, yang paling dipikirkan para pemimpinnya adalah bagaimana menggalang persatuan nasional. Itulah alasannya mengapa Pancasila termaktub dalam UUD-nya sebagai falsafah pemandu bangsa."
Pendapat Thatcher benar. Maka, berbagai letupan kekerasan dalam bulan-bulan terakhir ini patut kita waspadai dan risaukan karena pastinya menandakan rasa kecewa, terutama di kalangan akar rumput.

Otda sebagai pemersatu
Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo (alm) tahun 1980-an pernah menyatakan, kita seharusnya berupaya mendirikan pusat-pusat pertumbuhan di berbagai daerah untuk menarik penduduk datang ke sana dan ikut membangun. Pembangunan jangan hanya terpusat di daerah tertentu. Tetapi terbukti, sampai sekarang pun investasi terbesar mengalir ke tempat-tempat itu juga--DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten--seperti diberitakan Media Indonesia awal minggu ini.
Pak Mitro, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, sebenarnya sudah mulai melihat ketimpangan antara pusat dan daerah. Dia bergabung dengan kelompok yang memberikan ultimatum kepada pemerintah pusat pada Februari 1958, dan beberapa hari kemudian, 15 Februari 1958, mereka mendirikan pemerintahan tandingan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tentang hal itu nantinya dia menjelaskan, semula mereka hanya mengingatkan pusat bahwa daerah memerlukan otonomi dan pengembangan. Namun, Sumitro meyakini Indonesia harus satu. Maka, tatkala PRRI hendak mendirikan Republik Persatuan Indonesia (RPI) tanpa memasukkan pulau Jawa, dia menolak tegas.

Distorsi Otda
Prof Dr Ryaas Rasyid, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, mendapat sebutan Arsitek Otonomi Daerah karena pemikiran dan kegigihannya memperjuangkan otda. Sejak 25 Januari 2010, dia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ryaas waktu itu mengatakan, memahami soal otonomi daerah bukan hanya dengan membaca undang-undang, tetapi harus tahu falsafah, konsep dasar, strategi pelaksanaan, serta monitoring-nya. Dalam kedudukannya yang strategis waktu itu, dia mengusulkan sekitar 200 keppres dan 30 peraturan pemerintah (PP) untuk mendukung pelaksanaan otda. Dia beranggapan, selain tidak ada bimbingan atau pengawasan, peraturan untuk menjalankan otonomi pun tidak mencukupi. Namun, usulnya tidak pernah ditindaklanjuti. "Pelaksanaan otonomi tak mungkin berjalan mulus tanpa bimbingan dan supervisi pemerintah pusat," katanya. Tambahnya, distorsi pelaksanaan otda bukan karena substansi undang-undangnya, tetapi pada pelaksanaannya.
Tentang pemilu kada yang juga menggambarkan perkembangan otda, Ryaas berpendapat, faktor-faktor emosional lebih banyak berbicara daripada berpikir rasional. "Tiap kali pemilu atau pilkada, selalu akan ada salah satu pihak yang tidak menerima hasilnya karena didasari emosi, bukan rasio," katanya.

Go East
Ada saran menarik dalam sekapur sirih buku Otonomi Daerah 1945-2010, Proses & Realita (2005; 2010) karya BN Marbun SH, "Kalau Amerika pada akhir abad XIX go west, mengapa kita di abad XXI tidak go east?--membangun pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia Timur?
Dalam buku komprehensif itu penulisnya menyimpulkan, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan, antara lain, sejumlah pemda tergoda untuk semakin menjauh dari Pancasila dan UUD '45; selama reformasi, banyak pimpinan DPRD terlibat kasus korupsi kronis; selama reformasi banyak peraturan daerah yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi; pemda lemah dalam pengelolaan keuangan.
Sebagai pemersatu, otda rasanya minta dan memang perlu ditelateni dan diawasi. Pimpinan masyarakat pusat ataupun daerah tentunya diharapkan lebih aktif melibatkan diri. Semuanya demi kelanggengan NKRI dan kesejahteraan warganya.

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group

Imunisasi Kejujuran

"Those who die for a cause awaken to life the dead among the living." (Syed Hussein Alatas, 1999)

Maraknya pemberitaan mengenai korupsi selama beberapa pekan terakhir ini mungkin menandakan telah bangkitnya kesadaran kolektif bangsa ini terhadap gelombang korupsi. Berbagai analisis ditawarkan narasumber yang merupakan ahli dalam bidang mereka masing-masing. Secara awam dapat disimpulkan, korupsi tidak dapat dihapuskan begitu saja dengan implementasi hukum dan pendirian badan super seperti KPK. Antikorupsi harus menjadi sebuah gerakan masyarakat sipil dan hal itu terutama sangat penting dilakukan sejak dini sejak dalam lingkungan sekolah dan keluarga.

Namun jika melihat dari praktik yang berlaku di sekolah-sekolah kita saat ini, sangat sulit untuk menemukan bibit penanaman gerakan antikorupsi sejak dini. Perilaku tidak jujur dalam hal-hal mendasar seperti mengerjakan pekerjaan rumah yang dilakukan sendiri terus berlaku. Perilaku itu bahkan menjadi sesuatu yang diterima dalam melaksanakan ujian nasional. Kejujuran dalam melakukan UN yang seharusnya menjadi tolok ukur awal keberhasilan pelaksanaan UN hilang ditelan kepentingan kelulusan siswa itu sendiri. Maraknya kasus plagiarisme yang dilakukan dosen di perguruan tinggi hanya menegaskan kembali bahwa kejujuran telah hilang dari lembaga yang seharusnya menyemai bibit kejujuran sejak dini.

Dari pengalaman penulis, sangat sulit untuk memutus mata rantai perilaku tidak jujur ini. Bahkan ketika kejujuran telah menjadi bagian dari budaya sekolah dan diimplementasikan secara konsisten dalam kegiatan sehari-hari baik untuk siswa, guru, maupun kepala sekolah. Hal itu hanya dapat dipertahankan hingga menjelang UN berlangsung. Kenyataannya, 'imunisasi' kejujuran yang telah diberikan belum mampu melawan 'virus' curang yang telah menyebar dalam masyarakat hingga tahap yang sangat mengerikan.

Gerakan antikorupsi di sekolah

Banyak faktor yang menyebabkan 'virus' curang ini sangat sulit untuk dibasmi, bahkan untuk di sekolah. Banyak pihak menuding kekurangan pada proses belajar yang disebabkan ketimpangan kemampuan guru, sarana, dan prasaran adalah salah satu alasannya. Dari pengalaman penulis, jika hal-hal tersebut diminimalkan serta lingkungan jujur diterapkan di sekolah, itu ternyata tidak cukup untuk membuat siswa menyadari bahwa kejujuran adalah di atas segalanya. Diperlukan kerja sama yang baik dengan orang tua dan stakeholder sekolah lainnya yang mempunyai misi yang sama, agar lingkaran kejujuran juga dapat diciptakan di rumah. Namun jika berkaca dari hasil terakhir UN di sekolah, masih banyak yang tidak berani menghadapi kenyataan bahwa kegagalan adalah bagian dari hidup. Sebagian pendidik yang memiliki idealisme pasti akan merasa gagal dalam mengadvokasi kejujuran sebagai 'way of life' di lingkungan sekolah, baik disebabkan persoalan relasi sekolah-masyarakat yang kurang baik, juga disebabkan sistem pendidikan kita yang tidak pro pada praktik kejujuran.

Hal itu tentu saja dapat menjadi tolok ukur sejauh mana bangsa ini akan dapat melepaskan diri dari jeratan korupsi di masa depan. Syed Hussein Alatas dalam bukunya Corruption and the Destiny of Asia (1999) menggambarkan efek korupsi terhadap individu dan masyarakat ketika mereka harus berhadapan dengan pelayanan publik yang korup. 'The first effect is the rise of a pessimistic attitude. The future is full of uncertainty. The law and ethical norms are not there to protect the individual. Honesty, hard work and self development do not help to increase happiness, security and welfare'. Efek awal korupsi adalah timbulnya sikap pesimistis. Masa depan penuh dengan ketidakpastian. Hukum dan norma etis tidak dapat melindungi individu. Kejujuran, kerja keras, dan perbaikan diri tidak meningkatkan rasa bahagia, aman, dan kesejahteraan. Beliau menekankan jika hal itu berlangsung selama beberapa tahun, keadaan korup menjadi fenomena seperti iklim itu sendiri, sesuatu yang mutlak dan di luar kemampuan manusia untuk dapat mengubahnya. Ketika hal ini menyebar di antara populasi satu negara, masyarakat menjadi pasif dan lembam. Mereka menerima kehidupan yang didominasi kejahatan.

Keadaan tersebut menggambarkan dengan tepat keadaan Indonesia saat ini. Jika kita tidak dapat memutus mata rantai ketidakjujuran ini sedini mungkin melalui gerakan sipil, perubahan tidak akan terjadi. Sekolah seharusnya berada di garda depan gerakan ini. Namun jika melihat dari maraknya beredar kunci jawaban UN dan praktik kecurangan dalam pelaksanaannya, masih adanya keluhan orang tua akan pungutan liar di sekolah sendiri, tidak transparannya penggunaan dana bantuan yang disalurkan hingga transparansi dalam penilaian pencapaian siswa sendiri menjadi indikasi bahwa sekolah juga telah terjangkit virus ini. Hal itu menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi sekolah. Ketidakpercayaan inilah yang menyebabkan sulitnya virus 'curang' untuk hilang dari dunia pendidikan kita.

Apa yang dapat dilakukan pendidik?

Kejujuran tetap harus menjadi falsafah integral dari proses pendidikan, hal itu tidak dapat ditawar-tawar lagi jika kita ingin hidup bebas dari korupsi. Kejujuran tidak hanya diterapkan kepada siswa, tetapi juga berlaku untuk guru, kepala sekolah, serta masyarakat sekolah pada umumnya. Imunisasi 'kejujuran' harus berlaku untuk semua komponen sekolah untuk mendukung pembentukan karakter yang jujur.

Dimulai dari transparansi akan proses sekolah termasuk mengenai dana, penilaian siswa dan proses belajar di kelas itu sendiri. Jadikan akuntabilitas sebagai bagian dari proses pengelolaan sekolah. Berikan siswa keyakinan bahwa mendapat nilai rendah, tetapi jujur, lebih dapat diterima daripada mendapat nilai bagus, tetapi curang. Guru harus transparan mengenai penilaian dan proses belajar sehingga siswa dapat mengukur kerja keras dan hasil setimpal yang didapatnya dari proses belajar. Hal itu akan menumbuhkan etos kerja keras dan kepercayaan akan diri sendiri.

Guru harus dapat menerima jika sumber pembelajaran tidak hanya dari dirinya semata, tetapi secara jujur menerima dan mengakui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah demikian majunya hingga terus-menerus belajar adalah keniscayaan jika ingin terus berkiprah dalam pendidikan. Kepala sekolah harus jujur dalam mengelola keuangan, mempertanggungjawabkan penggunaan dana, dan proses manajemen sekolah lainnya. Kepemimpinan sekolah harus memberikan model dari perilaku yang ingin ditanamkan. Kejujuran adalah syarat mutlak dari kepercayaan dan komunikasi yang baik agar proses pendidikan dapat dilakukan dengan maksimal untuk membentuk karakter jujur.

Kampanye dari budaya sekolah yang mengedepankan kejujuran juga harus senantiasa dilakukan, baik dalam pertemuan internal sekolah, dengan orang tua murid dan komite sekolah. Galang kerja sama dengan stakeholder sekolah untuk menanamkan kejujuran tidak hanya di dalam, tetapi juga di luar lingkungan sekolah. Lakukan kegiatan dengan nilai kejujuran menjadi salah satu tolok ukur berhasil-tidaknya kegiatan tersebut. Berikan reward dan apresiasi kepada semua warga sekolah yang dapat memberikan contoh kejujuran. Jadikan mereka model dari budaya sekolah yang jujur. Hal itu harus dilakukan secara terus-menerus karena model korupsi yang diberitakan di media telah telanjur tertanam dalam benak masyarakat kita, dengan proses terhadap kasus korupsi tidak pernah berakhir dengan kejelasan. Hal itu menyiratkan melakukan korupsi tidak apa-apa dan jika ketahuan pun, hukuman yang diberikan tidak akan terlalu berat.

Pada akhirnya, perang melawan korupsi dan menanamkan kejujuran adalah perang yang akan terus-menerus dilakukan hingga akhir hayat. Panggilan untuk kejujuran tidak akan pernah hilang dan akan selalu hidup. 'Man is freer than he is commonly thought to be. He is greatly dependent upon his environment, but not to the degree of being subjugated to it. The greater part of our destiny lies in our own hands--provided we understand this and do not let it go (Alexander Herzen)'--manusia sebenarnya memiliki lebih banyak kebebasan dari yang dia perkirakan. Manusia bergantung kepada lingkungannya, tetapi tidak sampai tahap dia ditaklukkan lingkungan itu sendiri. Sebagian besar masa depan kita ada di tangan kita sendiri--selama kita memahami ini dan tidak melepaskannya. Sebagai penyemai bibit masa depan, sudah seharusnya para pendidik percaya akan hal ini sehingga sekolah dapat menjadi tempat 'imunisasi' kejujuran dapat diberikan sejak dini dan sepanjang masa. Semoga ada keberanian pihak otoritas pendidikan kita untuk memikirkan pendekatan dan strategi yang lebih berorientasi pada pembangunan karakter jujur siswa dan pengelola sekolah. Media Indonesia OL

Oleh Satia Prihatni Zen Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, Aceh

Jumat, 23 April 2010

MS Kaban : PBB Konsisten Perjuangkan Syariat Islam

INILAH.COM, Jakarta - Muktamar Partai Bulan Bintang (PBB) di Medan digelar mulai Jumat (23/4) malam di Medan. Selain memilih ketua umum baru, muktamar juga akan menentukan arah partai ke depan.

Ketua Umum PBB periode 2005-2015 MS Kaban menyatakan, partainya akan tetap konsisten memperjuangkan berlakunya syariat Islam. Kaban mengakui bahwa perjuangan syariat Islam tampak tidak popular dan kurang mendongkrak perolehan suara PBB selama tiga pemilu.

"Tapi, syariat Islam itu sangat penting sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara," ujar Kaban. Berikut adalah wawancara INILAH.COM dengan MS Kaban yang kini maju kembali sebagai salah satu kandidat Ketua Umum PBB.

Apa yang menjadi asalan bagi PBB untuk tetap memperjuangkan syariat Islam? Bukankah isu syariat Islam kurang mendapat tempat di masyarakat, termasuk masyarakat muslim Indonesia?

Syariat Islam yang kami perjuangkan itu merupakan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara. Kalau ditanya syariat Islam untuk apa, ya jawabannya untuk kemakmuran rakyat, untuk kemaslahatan umat, untuk mengokohkan nilai moral bangsa, untuk memperteguh etika kita dalam berbangsa. Syariat Islam yang bersumber dari nilai-nilai agama sangat diperlukan.

Tapi, oleh kebanyakan orang di Indonesia, termasuk oleh kalangan Islam sendiri, syariat Islam dianggap sebagai sesuatu yang 'serem' atau menakutkan?

Ya mungkin saja masih ada yang menganggap syariat Islam sebagai sesuatu yang menakutkan atau serem. Tapi itu tak lepas dari pihak-pihak tertentu yang mengembangkan opini bahwa syariat Islam itu menyeramkan, mereka yang phobia terhadap syariat Islam selalu mengembangkan opini bahwa syariat Islam itu sama dengan perang.

Faktanya, sudah banyak yang mengakui bahwa syariat Islam itu merupakan bagian dari solusi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam bidang ekonomi, orang sudah mengakui keunggulan syariat Islam yaitu ekonomi berbasis syariah. Dalam system perbankan, misalnya, kini orang mulai berbondong-bondong memilih sistem perbankan syariah dan meninggalkan sistem perbankan konvensional.

Sepertinya baru ekonomi syariah yang banyak diakui keunggulannya?

Bukan cuma ekonomi syariah yang bisa diterapkan. Dalam hal penegakan hukum, syariat Islam juga bisa menjadi solusi. Kini, publik sudah mulai mewacanakan pemberlakukan hukuman mati bagi para koruptor. Hukuman mati itu bagian dari syariat Islam. Kalau hukuman mati diterapkan dalam memberantas korupsi, orang akan takut melakukan korupsi.

PBB sebagai partai Islam yang berkomitmen memperjuangkan syariat Islam akan memberikan support dalam bentuk pembuatan regulasi dan undang-undang agar pelaksanaan ekonomi syariah memiliki fondasi yang kuat.

Di Singapura ada pemberlakukan hukuman cambuk terhadap pelajar yang terlibat tawuran. Karena ada pemberlakukan hukuman cambuk, pelajar-pelajar di Singapura takut kalau berkelahi. Jadi jangan menganggap hukuman cambuk itu tidak manusiawi.

PBB adalah pendukung utama pencalonan SBY-Boediono. Tapi setelah SBY-Boediono terpilih, PBB ditinggal. Bagaimana sikap PBB?

Kami kan punya komitmen etik dalam koalisi, sebaliknya partai-partai dalam koalisi juga terikat oleh etika.

Maksud Anda?

Ya, artinya harus selalu menjunjung etika yang mengikat kita. Tapi, meskipun kata orang PBB ditinggal setelah Pilpres, saya kira tidak mempermasalahkannya. Kami tidak ngoyo. Bagi kami ukuran perjuangan bukan hanya balasan kekuasaan. Diajak, ya silakan. Tidak diajak ya tidak apa-apa. Kami tidak akan berkhianat.

Anda optimis PBB akan ikut Pemilu 2014?

Optimis. Itu kan amanat Undang-undang. Undang-undang masih memungkinkan PBB ikut Pemilu lagi.

Kalau persyaratan untuk lolos ke parlemen atau parliamentary threshold masih 2,5% atau mungkin dinaikkan lagi?

Makanya harus dilakukan penggabungan suara sebelum pemilu. Jadi, tidak akan ada suara yang hilang. Kalau dalam pemilu 2009 kan banyak suara rakyat yang tidak dihargai gara-gara partainya tidak lolos parliamentary threshold sebesar 2,5%.

Anda setuju kalau Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali diisi perwakilan partai politik?

Saya setuju. Pengalaman menunjukkan bahwa pemilu 2009 merupakan pemilu terburuk dalam sejarah. Banyak suara rakyat yang diabaikan. KPU yang terdiri atas orang-orang non-partai memungkinkan tidak independen, dapat diintervensi pihak luar.

Sebaliknya, kalau anggota KPU berasal dari partai politik akan terjadi saling kontrol. Susah bagi orang luar untuk mengintervensi KPU yang terdiri atas partai-partai peserta pemilu. [mdr]Kawiyan

Kamis, 22 April 2010

Revisi UU No 32/2004, Ada Hidden Agenda Birokrat?

21/04/2010 - 17:45

INILAH.COM, Jakarta — Rencana revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah terkait penambahan persyaratan calon kepala daerah terus memancing reaksi publik. Selain persoalan moralitas, persyaratan pengalaman kandidat juga dipersoalkan. Ada agenda terselubung dari kalangan birokrat?

Rencana Kementrian Dalam Negeri merevisi UU No 32/2004 terkait penambahan persyaratan calon kepala daerah terus menuai kontroversi. Soal moralitas seperti tidak pernah berzina dan berpose porno mendapat banyak tentangan, karena soal moralitas sulit untuk mengukurnya. Hal yang sama soal pernah memiliki pengalaman, juga mendapat sorotan.

Seperti menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti yang mengatakan bahwa penyebutan persyaratan berpengalaman tak lebih upaya menyempitkan peluang masyarakat secara luas untuk tampil dalam pilkada.

"Pengalaman organisasi menyempitkan masyarakat untuk tampil menjadi kepala daerah. Justru persyaratan ini memberi ruang kepada para birokrat,” ujarnya dalam diskusi 'Kontroversi Rekam Jejak Kandidat dalam Pilkada', di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (21/4).

Hal senada ditegaskan mantan anggota Komisi II DPR Ferry Mursidan Baldan. Ia menduga, persyaratan soal calon harus berpengalaman jangan-jangan menjadi agenda birokrat.

"Karena kalau para birokrat maju dalam pilkada, harus mundur dari jabatannya. Kalau kalah tidak bisa kembali lagi di posisi semula," ujarnya yang juga Ketua DPP Nasional Demokrat (Nasdem).

Menurut dia, kepala daerah merupakan jabatan elected yang tidak perlu dicantumkan soal berpengalaman, yang penting calon bisa melakukan komunikasi dengan publik.

Sementara, menurut anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu, persyaratan pengalaman yang sedianya dicantumkan dalam persyaratan calon kepala daerah harus lebih didetailkan lagi sehingga tidak memunculkan spekulasi di publik.

"Pengalaman harus lebih detal, tidak sekadar diasumsikan pengalaman politik saja. Harus lebih luas dan lebih deskriptif,” sarannya.

Terkait dengan usulan penambahan persyaratan calon kepala daerah, mayoritas menolak adanya pengaturan persyaratan calon kepala daerah melalui revisi UU No 32/2004. Selain tidak jelas indikatornya terkait moralitas, soal persyaratan lebih baik dikembalikan ke masing-masing partai politik. Hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan diri partai politik dalam mencalonkan kadernya karena gagal dalam proses kaderisasi.

Ray menegaskan, fenomena munculnya artis dalam kontestasi pilkada merupakan bentuk ketidakpercayaan partai menjagokan kader sendiri. Maka cara yang dilakukan, imbuh Ray, menggantungkan nama besarnya pada nama besar orang lain.

"Dicarilah tokoh-tokoh popular, karena partai yang tidak cukup kuat dan mengakar,” ujarnya seraya menyebutkan hingga saat ini telah muncul 10 nama selebritas yang berencana maju dalam pemilu kepala daerah di seluruh Indonesia.

Anggota DPD dari Provinsi Jawa Tengah Poppy Susanti juga memiliki pendapat senada. Menurut dia, masuknya selebritas dalam jajaran kandidat kepala daerah menunjukkan pendidikan politik tidak berjalan.

“Yang sederhana dan berbobot tidak pernah bisa masuk, kalah sama yang transaksional,” katanya seraya mengaku dirinya pernah ditawari menjadi calon kepala daerah dengan bayaran hingga Rp5 miliar. [mor]

Oleh : R Ferdian Andi R

Senin, 12 April 2010

Parpol Tak Lepas dari Jerat Korupsi

Marwan Jafar: Korupsi untuk Kepentingan Pemilih

Senin, 12 April 2010 | 03:24 WIB

Jakarta, Kompas - Partai politik ternyata tidak lepas dari kasus korupsi, seperti yang terjadi pada instansi pemerintah. Bahkan, korupsi juga dinilai menggurita di tubuh partai politik dan parlemen, seperti terungkap dalam hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia.

Data hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia, selama empat tahun, yakni 2003, 2004, 2007, dan 2008, menempatkan partai politik dan parlemen pada peringkat ketiga besar lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia.

Dalam tiga tahun terakhir, sejak tahun 2008, secara berturutturut Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap sejumlah politisi yang diduga terlibat korupsi. Penangkapan pertama dilakukan tahun 2008 terhadap Al Amin Nur Nasution dari Partai Persatuan Pembangunan. Kejadian itu terus berlanjut dan melibatkan politisi dari partai politik lainnya.

Mengutip data Transparency International, hasil survei pada 2003 menempatkan partai politik pada posisi kedua sebagai lembaga terkorup di negeri ini setelah lembaga peradilan. Tahun 2004, partai politik dan parlemen menjadi lembaga terkorup pertama. Bahkan, pada tahun yang sama, Transparency International mengumumkan, sebanyak 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan partai politik adalah lembaga terkorup.

Tahun 2007, posisi partai politik membaik, yaitu berada di urutan ketiga setelah polisi dan lembaga pengadilan. Namun, pada tahun berikutnya, posisi partai politik turun kembali, berada di urutan kedua, sebagai lembaga terkorup setelah parlemen.

Secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko dan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, Minggu (11/4) di Jakarta, sepakat, parpol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini. Partai yang menjadi sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi episentrum korupsi. Dalam partai, koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk melakukan korupsi politik secara beramai- ramai.

”Korupsi politik di negeri ini seperti lingkaran setan, dan parpol berada di titik pusatnya,” kata Danang.

Proses deparpolisasi

Namun, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR Marwan Jafar menyangkalnya. ”Ada proses untuk melakukan deparpolisasi secara masif. Kami sangat meragukan survei semacam itu (terkait persepsi korupsi). Kita semua tahulah, kadang ada survei yang benar, kadang rekayasa, dan kadang dibuat-buat. Itu proyek saja, untuk dijual ke luar negeri,” ujarnya di Jakarta.

Hasil survei semacam ini, kata Marwan, menyebabkan masyarakat dibuat menjadi tidak percaya kepada partai dan DPR, pemerintah, atau lembaga lain.

Ia mengakui, penyalahgunaan kewenangan memang terjadi di sana-sini. ”Namun, yang dibutuhkan adalah perbaikan. Bukan diremuk institusinya, dihajar institusinya,” katanya.

Marwan juga mengajak semua pihak melihat perbedaan perilaku korupsi antara eksekutif dan legislatif. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat/pegawai pemerintah (eksekutif) selalu dinikmati sendiri. Berbeda dengan Senayan, kata Marwan, uang itu (kalaupun benar ada korupsi) tidak dinikmati sendiri.

”Kalau toh ada yang dianggap nyolong (mencuri), itu bukan untuk pribadi, melainkan juga dipakai untuk kepentingan konstituen,” ujarnya.

Benahi parpol

Sebastian menambahkan, untuk membereskan korupsi di Indonesia, yang pertama harus dilakukan adalah membenahi parpol karena proses perekrutan terhadap pejabat publik dimulai dari parpol. ”Nah, kalau parpolnya tidak bersih, berarti proses kaderisasi pejabat publik juga pasti korup,” katanya.

Posisi partai sebagai pusat korupsi itu, tutur Danang, berawal dari kegagalan partai dalam menggalang dana dari publik. ”Partai butuh sumber dana yang besar untuk memenangi pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah,” katanya.

Masalahnya, partai tak memiliki kemampuan keuangan secara mandiri sehingga jalan pintasnya adalah mereka meminta dari penyumbang besar, baik dari kalangan pengusaha maupun kader yang mau masuk ke birokrasi.

”Ketika kader itu menjadi penguasa, ia terobsesi untuk mengembalikan modal yang ditanamkannya dengan menyetor ke partai. Demikian halnya jika kemenangannya didanai dari pihak ketiga, ia pun harus mengembalikan utang ke pemodal itu. Di situ peluang terjadi korupsi,” kata Danang.

Sebastian menambahkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebenarnya telah menggariskan sumber pendanaan parpol bisa berasal dari anggota, pendapatan yang sah, dan dari negara. ”Tetapi, berharap dari negara sepertinya tidak mungkin karena sangat kecil jumlahnya. Pendapatan yang sah juga nilainya kecil. Akibatnya, parpol mengandalkan kadernya yang duduk di lembaga pemerintahan. Dari sinilah korupsi terjadi,” katanya.

Danang menambahkan, kasus korupsi di Indonesia, khususnya yang berskala besar, kebanyakan bersinggungan dengan kepentingan parpol. Ia mencontohkan korupsi berupa suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom pada tahun 2004, yang saat ini ditangani Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

”Hampir semua pihak yang menerima suap itu mengaku menggunakan sebagian uangnya untuk kepentingan kampanye partai. Beberapa kasus lain, termasuk Bank Century, juga berasal dari tidak transparannya pendanaan parpol,” kata Danang.

Terhadap maraknya korupsi politik ini, tutur Sebastian, parpol sangat sulit diharapkan mau membenahi diri. ”Saya tidak percaya parpol memiliki komitmen untuk membereskan pembusukan ini,” katanya. Anggota parpol yang jelas-jelas dinyatakan bersalah oleh pengadilan tetap dipertahankan partainya.

Sumber : (ANA/AIK/WHY/DWA/NWO/MZW)

Minggu, 28 Maret 2010

Langkah Jibaku Susno Duadji

Oleh : Ikrar Nusa Bhakti

MATANYA sipit dan sering berkedip, bak menggambarkan orang yang sulit ditebak pikiran dan langkahnya. Tutur katanya lembut tapi lepas bagaikan tanpa beban. Pangkatnya pun tak tanggung-tanggung, Komisaris Jenderal Polisi. Itulah Susno Duadji yang terus menjadi “news maker.”

Elan baru kini sedang melanda Polri. Jika dulu segalanya serba tertutup rapat dan amat rahasia, kini seorang jenderal polisi berbintang tiga pun berani buka mulut mengungkap kebrobokan institusinya sendiri.

Positif atau negatif langkah Susno tergantung dari mana kita memandangnya. Namun yang pasti, Susno Duadji sedang berjibaku (berani mati) untuk mengungkapkan sesuatu yang dianggapnya benar.

Tiupan terompetnya soal ada yang tak beres di tubuh Polri sungguh menggetarkan kalbu, baik bagi para pendukungnya maupun mereka yang anti. Sebagian besar orang tentunya menyambut baik langkah-langkah berani Susno Duadji. Sebuah langkah besar memang harus diambil, jika kita ingin reformasi dalam tubuh Polri bergerak positif.

Susno adalah pembuat berita (news maker) saat persoalan kriminalisasi terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeruak di 2009 lalu. Ucapannya mengenai “Cicak (KPK) koq mau melawan Buaya (polisi)” menimbulkan kontroversi. Saat itu, tidak sedikit pihak yang sebal dan benci pada dirinya. Tapi setelah itu, Susno justru menjadi “pembela kebenaran.”

Upaya Susno untuk membongkar aib di tubuh Polri berawal ketika secara mengejutkan ia justru menjadi saksi yang meringankan bagi Antasari Azhar, mantan Ketua KPK yang dituduh menjadi dalang pembunuh Nasruddin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putera Banjaran.

Susno juga bicara blak-blakan dalam setiap acara rapat kerja dengan DPR-RI yang terkait dengan posisinya dulu sebagai Kabareskrim Mabes Polri. Kini, ucapannya soal ada Mafia Kasus di tubuh Polri membuat mata kita terbelalak, kaget dan tak percaya.

Langkahnya untuk bicara apa adanya dalam acara Kick Andy di Metro TV bulan lalu, menambah daftar “dosa” Susno di mata kolega dan institusinya. Apalagi setelah ia menerbitkan berbagai testimoninya dalam buku berjudul Bukan Testimoni Susno (BTS).

Tapi, bagaimana kita menilai Susno Duadji? Apakah ia seorang yang jujur memihak kebenaran, ataukah seorang yang sedang sakit hati karena dicopot dari jabatannya setelah isu dirinya terlibat sebagai mediator salah satu aliran dana Bank Century.

Ada yang menduga Susno membongkar semua itu karena gagal menjadi Waka Polri. Susno kini memang perwira tinggi berbintang tiga Polri tanpa posisi jabatan. Ada juga yang menduga Susno bukan saja ingin menjadi Waka Polri melainkan Kapolri atau Ketua KPK.

Secara akal sehat, dua jabatan penting itu hampir-hampir tidak mungkin ia raih karena Susno pasti dipandang sebagai orang yang tidak dapat menutup rapat-rapat rahasia jabatan.

Orang yang akan mendudukkannya sebagai Kapolri atau Ketua KPK tentunya khawatir Susno akan “bernyanyi” lagi jika ia diperintahkan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya.

Hari Selasa, 23 Maret 2010, Susno Duadji resmi menjadi tersangka karena dianggap melakukan fitnah terhadap dua perwira tinggi Polri berbintang satu yang dituduhnya sebagai Makelar Kasus penggelapan pajak senilai Rp 24,6 Milyar.

Di mata Susno Duadji, seperti diutarakannya dalam wawancara dengan Radio Trijaya FM, Rabu, 24 Maret 2010, ia menjadi tersangka mungkin karena ia dianggap mencemarkan nama baik orang, nama baik institusi Polri dan menjadi pembuat masalah di tubuh Polri. Namun, penentuan dirinya sebagai tersangka merupakan langkah positif. Kita ingin kasus Susno diadili seadil-adilnya.

Apakah ia seorang “problems maker” atau “hero”, pengadilanlah yang akan membuktikan, asalkan prosesnya benar-benar transparan, terbuka untuk diketahui masyarakat dan akuntabel. Kita tidak ingin kasus Susno diselesaikan atasan hukum (Ankum) yang bersangkutan, yakni Kapolri. Kita juga tak ingin Polri mengajukan Susno ke semacam Dewan Kehormatan Perwira (DKP).

Tegaknya hukum di negeri ini antara lain juga tergantung pada Polri. Jika ada kebobrokan di tubuh Polri, sulit pula penegakan hukum dilaksanakan secara baik.

Ingatan kita melambung jauh saat Letjen TNI Prabowo Subianto dicopot dari dinas aktif militer setelah DKP memutuskan ia bersalah karena memerintahkan penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1997/1998. Prabowo saat itu tidak dapat membela diri karena tidak ada pengadilan militer untuknya.

Kasus Susno tidak boleh mengulang kasus Prabowo yang hanya diselesaikan secara internal melalui DKP. Seberapa berat pun kesalahan seorang perwira tinggi, ia harus mendapatkan keadilan hukum.

Akankah Susno Duadji mendapatkan keadilan hukum, kita lihat nanti di pengadilan. Jika ia ternyata terbukti memfitnah, ia harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Sebaliknya, jika ternyata yang diucapkan selama ini benar adanya, orang-orang yang dituduhnya tersebut yang sepatutnya masuk penjara. Citra Polri kini dipertaruhkan. [mdr]

Sumber : Inilah.com

Minggu, 28 Februari 2010

Moratorium Politik Century


Oleh : Im Sumarsono

Demokrasi liberal masa pemerintahan Soekarno, pernah memasuk masa paling dekonstruktif. Selama 8 tahun, terjadi pergantian kabinet sampai sebelas kali. Pemerintahan jatuh-bangun. Yang paling lama cuma Kabinet Djuanda, sekitar 23 bulan. Sisanya, ada yang bertahan cuma dua bulan.

Tahun 1959, Soekarno pun membubarkan Konstituante. Sistem pemerintahan berubah dari Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin. Konstitusi dikembalikan ladi menjadi: kembali ke Undang-undang Dasar 1945.

Saat itulah muncul istilah Moratorium Politik. Di mana, Presiden Soekarno berusaha melakukan pendinginan situasi politik melalui akomodasi politik terhadap hampir 55 partai di Indonesia.

Hasilnya, mengejutkan!

Di masa pemerintahan Soekarno pernah muncul Kabinet 100 Menteri. Oleh lawan-lawan politiknya, Kabinet ini kemudian diolok-olok sebagai Kabinet Kurawa -sekelompok tokoh antagonis dalam babad Mahabarata.

Tentu saja, Indonesia saat itu memasuki fase terseok-seok. Angka kemiskinan meningkat. Pembangunan tak bergerak, kecuali beberapa proyek Mercusuar yang dibangun untuk kepentingan politik luar negeri Soekarno. Utang luar negeri juga makin menebal.

Maka, konflik politik yang mengarah pada perebutan kekuasaan pun terjadi. Meletuslah Gerakan 30 September 1965, dan Republik Indonesia pun berganti sejarah!

Moratorium atau pendinginan politik, beberapa kali digunakan sebagai solusi saat ketegangan politik terjadi. Yang paling sering dilakukan adalah mengakomodasi kekuasaan, sebagai instrumen moratoruium.

Masalahnya, sejarah mencatat bahwa konflik politik selalu bersifat permanen!

Akomodasi representasi kekuatan politik sebagai suatu proses moratory, tak juga menyelesaikan masalah. Kabinet jatuh-bangun. Dan itu menjadi biaya politik yang harus dibayar begitu mahal!

Masa pemerintahan Soeharto, pendinginan politik dilakukan dengan cara lain: pembekuan! Potensi konflik dipadamkan dengan dua instrumen negara: alat kekuasaan dan alat ideologi.

Yang pertama dengan menggunakan tentara, birokrasi dan undang-undang. Kedua, melalui partai politik, media dan semua intrumen publik. Kekuasaan Orde Baru tak mengenal moratory.

Efeknya stabilitas semua lini terjaga. Tapi, pelanggaran hak mendasar manusia banyak terjadi. Dan, konflik politik kian mengental dan terbangun dalam sebuah gerakan penggulingan kekuasaan yang massif.

Ini, berbeda dengan pemerintahan Soekarno yang terguling karena gerakan elitis. Rezim Soeharto terguling karena karena gerakan massa, Soekarno terguling karena gerakan elit politiknya.

Tentu saja, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak sama dengan pemerintahan Soekarno. Apalagi Soeharto. Berbeda sama sekali!

Pemerintahan Susilo (paling tidak) terbangun melalui dua proses pendewasaan politik yang sangat berbeda dengan dua pemerintahan legendaris Indonesia sebelumnya: Soekarno dan Soeharto.

Pemerintahan Yudhoyono (dengan asumsi Kalla-Boediono benar-benar berfungsi sebagai Wapres), lahir melalui proses euphoria politik dan politik pencitraan (political branding).

Perjalanan lima tahun pertama, hampir mulus. Tak banyak konflik politik terjadi. Dua kekuatan besar terjaga, yaitu kekuatan ideologis dan kekuatan pragmatis.

Problem muncul justru di 100 hari pemerintahan lima tahun kedua. Pergantian komposisi kabinet dan pemerintahan, membuat elit politik bergerak cepat melakukan tekanan politik. Muncullah skandal Bank Century.

Semula pergerakannya wajar. Sampai kemudian, tiga bulan perjalanan Pansus, makin jelas apa sebenarnya yang terjadi. Bahwa, Pansus skandal Century bukan cuma mengungkap kejahatan perbankan. Juga, bukan cuma menelusuri aliran dana.

Hiruk-pikuk pandangan akhir Fraksi jelas menunjukkan telah terjadi perubahan geo-politik pasca Pilpres. Pasangan Yudhoyono-Boediono yang memenangi 62 persen suara, telah tereduksi secara politik dalam urusan bagi-hasil kekuasaan.

Lihat saja, skandal Century bukan lagi bicara soal siapa penggarong uang negara. Tapi, makin mengental kepada pilihan kocok-ulang hasil kekuasan: siapa yang akan diganti, siapa yang mengganti, bagaimana caranya mengganti?

Semua fraksi sepakat bahwa ada penyimpangan dalam skandal Century. Yang justru tidak ada kesepakatan di antara fraksi adalah: kesimpulan dan siapa yang bertanggungjawab dalam skandal ini?

Pertarungan politik telah dimulai!

Partai-partai melalui "alat-alat politiknya" di DPR, unjuk kekuatan. Yang koalisi atau non-koalisi, sama-sama unjuk gigi. Representasi suara di parlemen tak jadi ukuran. Politik telah menemukan konfliknya. Dan, luka karena konflik politik, bersifat permanen!

Sulit untuk tidak mengatakan, motif politik di balik tekanan ini adalah dendam. Dendam karena kalah bertarung, dendam karena bagi hasil kekuasaan yang tak merata, atau juga dendam karena tergusur dari kekuasaan.

Jadi, tanpa moratorium politik, pemerintahan Yudhoyono-Boediono sangat sulit melanjutkan pekerjaan. Kalaupun bisa, langkahnya terseok-seok.

Sejarah sudah membuktikan, 11 kabinet yang pernah dibentuk masa pemerintahan Soekarno, bukanlah kabinet sembarangan. Mereka tokoh-tokoh besar yang membangun fundamen republik ini. Ada Hatta, peletak dasar ekonomi kerakyatan.

Ada Syahrir, Si Kancil ahli diplomasi yang menyamakan derajat kebangsaan Indonesia sama di mata dunia. Ada Natsir, peletak dasar politik Islam modern Indonesia. Ada Aliwongso. Ada Djuanda.

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para tokoh yang sekarang ini berada di barisan pemerintahan Yudhoyono-Boediono, sekali lagi, tanpa moratorium politik, sulit membayangkan perjalanan pemerintahan akan berjalan baik. Ini republik sudah butuh pendinginan.

Atau, penguasa akan membiarkan ini terus menggelembung hingga kontraksi politik tak bisa dihindari. Ah, terlalu mahal biaya yang harus dibayar untuk sebuah demokrasi![*]

Sumber : http://parlemen.inilah.com/news/read/2010/02/27/369891/moratorium-politik-century-2/

http://parlemen.inilah.com/news/read/2010/02/26/369861/moratorium-politik-century-1/

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD