May 24, 2009 by pemiluindonesia.com
Isu neoliberalisme kembali menjadi sasaran empuk untuk menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Pasangan tersebut dinilai cenderung menganut kebijakan ekonomi mahzab tersebut.
Ekonom Kwik Kian Gie yang juga pernah menjadi kolega Boediono dimasa pemerintahan Megawati menilai mantan Menko Perekonomian tersebut merupakan penganut mahzab ekonomi neoliberalisme. “Bohong, kalau Boediono bukan neolib,” katanya dalam diskusi yang yang diselenggarakan Johans Fondation di Restoran Gado-gado Boplo, Jumat (22/05).
Kwik kemudian bercerita perihal kebijakan kontroversial seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), privatisasi perbankan dan penjualan Indosat yang menurutnya didukung oleh Boediono. Kwik bahkan menilai dipilihnya Boediono sebagai orang kedua memperkuat mafia barkeley.
Ekonom Dradjad Hari Wibowo menyatakan kebijakan ekonomi neolibera dicirikan oleh setidaknya tiga hal. Pertama, pengutamaan stabilisasi ekonomi makro dibanding faktor ekonomi yang lain. Kedua, liberalisasi perdagangan dan investasi dan ketiga privatisasi dan penjualan aset-aset strategis.
Salah satu akibatnya adalah arus dana keluar sangat besar untuk kebutuhan impor. Dengan demikian banyak devisa yang keluar. Nah, untuk menutup defisit kemudian dilakukan dengan utang luar negeri. “Ekonomi liberal diciptakan agar kita ketergantungan kepada negara asing,” katanya.
Dradjad mencontohkan jatuhnya pesawat Hercules di Madiun baru-baru ini sebagai salah satu bukti korban ekonomi liberal. Pasalnya, dalam sistem tersebut negara tak harus membangun industri strategisnya, termasuk industri alutsista. “Dengan terbukanya perdagangan negara bisa membeli alutsista dari negara lain dan kita dibuat tidak bisa membangun industri stratgis, toh bisa beli dari negara lain,” katanya.
Buruknya industri pertahanan dalam negeri, kata Dradjad, merupakan akibat selama bertahun-tahun ditekan oleh rezim ekonomi liberal. “Saya sudah berkali menyampaikan untuk menyelamatkan PT Dirgantara Indonesia, tetapi memang tak pernah nyambung ekonomi liberal,” katanya.
Ekonom Econit Hendri Saparini menilai pergelaran pemilihan presiden kali ini menjadi lebih menarik dibandingkan dengan tahun 2004. Saat ini mencuat ke permukaan diskusi mengenai pertentangan paradigma ekonomi. “Kalau dulu hanya soal elektabilitas yang diperdebatkan,” katanya.
Hendri pun menilai pemerintahan yang dipimpin oleh Yudhoyono selama hampir lima tahun ini tidak lepas dari paham neoliberalisme. Cirinya, sama dengan yang disebutkan Dradjad, diantaranya, pengurangan subsisidi, liberalisasi, privatisasi.
Sumber : GUNANTO E S tempointeraktif (dalam http://www.pemiluindonesia.com/opini-pemilu/kwik-kian-gie-boediono-neolib.html)
Isu neoliberalisme kembali menjadi sasaran empuk untuk menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Pasangan tersebut dinilai cenderung menganut kebijakan ekonomi mahzab tersebut.
Ekonom Kwik Kian Gie yang juga pernah menjadi kolega Boediono dimasa pemerintahan Megawati menilai mantan Menko Perekonomian tersebut merupakan penganut mahzab ekonomi neoliberalisme. “Bohong, kalau Boediono bukan neolib,” katanya dalam diskusi yang yang diselenggarakan Johans Fondation di Restoran Gado-gado Boplo, Jumat (22/05).
Kwik kemudian bercerita perihal kebijakan kontroversial seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), privatisasi perbankan dan penjualan Indosat yang menurutnya didukung oleh Boediono. Kwik bahkan menilai dipilihnya Boediono sebagai orang kedua memperkuat mafia barkeley.
Ekonom Dradjad Hari Wibowo menyatakan kebijakan ekonomi neolibera dicirikan oleh setidaknya tiga hal. Pertama, pengutamaan stabilisasi ekonomi makro dibanding faktor ekonomi yang lain. Kedua, liberalisasi perdagangan dan investasi dan ketiga privatisasi dan penjualan aset-aset strategis.
Salah satu akibatnya adalah arus dana keluar sangat besar untuk kebutuhan impor. Dengan demikian banyak devisa yang keluar. Nah, untuk menutup defisit kemudian dilakukan dengan utang luar negeri. “Ekonomi liberal diciptakan agar kita ketergantungan kepada negara asing,” katanya.
Dradjad mencontohkan jatuhnya pesawat Hercules di Madiun baru-baru ini sebagai salah satu bukti korban ekonomi liberal. Pasalnya, dalam sistem tersebut negara tak harus membangun industri strategisnya, termasuk industri alutsista. “Dengan terbukanya perdagangan negara bisa membeli alutsista dari negara lain dan kita dibuat tidak bisa membangun industri stratgis, toh bisa beli dari negara lain,” katanya.
Buruknya industri pertahanan dalam negeri, kata Dradjad, merupakan akibat selama bertahun-tahun ditekan oleh rezim ekonomi liberal. “Saya sudah berkali menyampaikan untuk menyelamatkan PT Dirgantara Indonesia, tetapi memang tak pernah nyambung ekonomi liberal,” katanya.
Ekonom Econit Hendri Saparini menilai pergelaran pemilihan presiden kali ini menjadi lebih menarik dibandingkan dengan tahun 2004. Saat ini mencuat ke permukaan diskusi mengenai pertentangan paradigma ekonomi. “Kalau dulu hanya soal elektabilitas yang diperdebatkan,” katanya.
Hendri pun menilai pemerintahan yang dipimpin oleh Yudhoyono selama hampir lima tahun ini tidak lepas dari paham neoliberalisme. Cirinya, sama dengan yang disebutkan Dradjad, diantaranya, pengurangan subsisidi, liberalisasi, privatisasi.
Sumber : GUNANTO E S tempointeraktif (dalam http://www.pemiluindonesia.com/opini-pemilu/kwik-kian-gie-boediono-neolib.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar