Rabu, 25 Februari 2009

Prof. Yusril Ihza Mahendra Pesimistis Jadi Capres


JAKARTA (SINDO) - Akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK),Ketua Majelis Syura Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra pesimistis maju sebagai calon presiden.

"Kami tidak bisa ngotot pakai hitungan matematika. Tapi soal rencana lain, nanti dibahas," ungkap mantan Menteri Sekretaris Negara ini kepada SINDO di Jakarta tadi malam.

Ketidaksiapan Yusril maju sebagai capres tersebut dipicu keputusan MK yang menolak pengajuan uji materi UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, terkait syarat pengajuan pasangancapres- cawapresolehpartai politik (parpol) atau gabungan parpol sebanyak 20% perolehan kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional berdasarkan hasil Pemilu Legislatif.

Dengan putusan MK tersebut, menurut dia, semua capres harus menunggu perkembangan politik yang akan terjadi. Salah satunya dengan menanti hasil perolehan suara Pemilu Legislatif 9 April mendatang. "Semua kandidat,termasuk SBY,sedang pusing untuk mendapat dukungan syarat capres itu," imbuh Yusril yang pada 16 Juli 2008 dicalonkan sebagai presiden dalam musyawarah kerja nasional (Mukernas) PBB.

Terkait kemungkinan mengubah keputusan pencalonannya, Yusril mengakui hal itu sangat mungkin terjadi. Namun,belum ada putusan resmi partainya untuk tidak mencalonkan dirinya sebagai capres.Dia juga mengakui bahwa rencana awal PBB memang mengusung dirinya sebagai capres.Namun, bagi dia,fakta di lapangan berubah setelah putusan MK menolak uji materi UU Pilpres yang diajukan DPP PBB.

Sebelumnya Ketua Umum DPP PBB Malam Sambat Kaban mengatakan, pencalonan Yusril dari PBB bisa ditinjau kembali dalam Mukernas PBB setelah pemilu legislatif. Meski demikian,dia masih mengakui Yusril sebagai calon internal PBB karena sudah diputuskan dalam Mukernas.

Namun, syarat dukungan capres berdasarkan UU Pilpres mengharuskan parpol atau gabungan parpol memperoleh dukungan 20% jumlah kursi DPR.Dalam Mukernas mendatang, PBB akan memutuskan dukungan politiknya kepada salah satu capres yang diusung partai lain. Menurut Wakil Sekjen DPP PBB Jurhum Lantong, partainya lebih cenderung memilih SBY pada Pilpres mendatang.

Hal ini juga menunjukkan bahwa antara SBY dan Yusril masih terjalin hubungan yang harmonis. "Kami cenderung memilih SBY dibanding JK (Jusuf Kalla), tapi bukan berarti secara resmi kami sudah mendukung SBY," ujar Jurhum di Jakarta kemarin.

Pernyataan Jurhum disampaikan seusai mengikuti pertemuan tertutup antara Majelis Syura (MS) PBB dengan jajaran DPP PBB di sela acara lokakarya nasional "Membangun Bangsa yang Demokratis dan Bermartabat melalui Pemilu 2009" di Hotel Sahid Jaya.Pertemuan itu terjadi sekitar pukul 14.30 dan berdurasi 30 menit. Hadir antara lain Ketua Majelis Syura PBB Yusril Ihza Mahendra, Jurhum yang juga merupakan Sekretaris MS PBB, Sekjen DPP PBB Sahar L Hassan,dan Wakil Ketua Umum DPP PBB Hamdan Zoelva.

Jurhum menyatakan, isu capres menjadi hal yang krusial dibicarakan oleh partainya. Maka itu,pertemuan tertutup itu juga membicarakan beberapa nama calon seperti SBY, Megawati Soekarnoputri, Kalla,Prabowo Subianto, dan capres lain. "Tapi kami belum mengerucutkan siapa yang akan kami dukung.Soal kecenderungan kepada SBY, tentu kami melihat dinamikanya juga," paparnya.

Diketahui, PBB memiliki tiga skenario untuk pencalonan presiden,yakni mengusulkan Yusril sebagai capres. Namun,jika syarat dukungan tidak bisa terpenuhi, maka PBB akan menurunkan posisi tawarnya dengan menjadi cawapres.

Sekjen DPP PBB Sahar L Hassan menambahkan, dalam pertemuan tertutup tadi malam, pembicaraan mengenai Pilpres 2009 memang cukup hangat.Namun,skenario lain selain pencalonan Yusril belum final diputuskan. "Tapi kalau suara PBB kurang signifikan, mungkin plan B bisa terjadi," ungkap Sahar.

Sindo | Wednesday, 25 February 2009 http://www.berpolitik.com/news.pl?n_id=20003&c_id=6&param=nLJ7JqYmhlhuyO0Qv6UC

Jumat, 20 Februari 2009

Membubarkan KPUD?

Jumat, 20 Februari 2009 | 00:32 WIB

Yohanes Usfunan

Pilkada yang digelar sejak 2005 hingga kini terus menimbulkan kericuhan dan sesekali diimbuhi tindakan anarki. Dari analisis diketahui, itu semua disebabkan kecurangan dan kegagalan KPUD menjaga independensi.

Akibatnya, berbagai gugatan, demonstrasi, serangan fisik, pembakaran gedung, dan konflik horizontal antarmassa pendukung calon terjadi di berbagai daerah. Eksistensi KPUD pun mulai dipersoalkan, seperti dalam seminar nasional yang diselenggarakan forum dekan fakultas hukum perguruan tinggi negeri se-Indonesia di Jambi, pertengahan Desember lalu.

"Ad hoc"

Dalam seminar itu, salah satu kesimpulan saya adalah membubarkan KPUD sebagai lembaga permanen dengan masa jabatan lima tahun. Berikutnya dibentuk KPUD baru atau nama lain yang bersifat ad hoc, khusus menyelenggarakan pemilu dan pilkada. Mungkinkah membubarkan KPUD?

Identifikasi dan pengamatan pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah menunjukkan hal-hal berikut. Pertama, ada oknum-oknum anggota KPUD melanggar asas independen, disinyalir "ikut bermain" untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Hal itu sebagai konsekuensi jabatan anggota KPUD yang terlalu lama sehingga terjadi persekongkolan dengan calon kepala daerah.

Kedua, faktor demoralisasi mengakibatkan oknum-oknum anggota KPUD gampang "dibeli" calon kepala daerah, terlebih oleh incumbent. Selain itu, ketidakcermatan anggota KPUD kerap mengecewakan masyarakat dan merugikan calon kepala daerah tertentu. Misalnya, adanya warga yang mendapat kartu ganda atau munculnya nama-nama orang yang telah meninggal. Kasus lain, mendaftar dan menetapkan konstituen yang telah pindah ke daerah lain atau distribusi kartu pemilih tidak merata dan adil kepada semua konstituen di seluruh daerah pemilihan.

Para oknum anggota KPUD yang menjadikan institusi ini sebagai lembaga politik bersikap curang dan diskriminatif dalam distribusi suara. Caranya, mengistimewakan konstituen pendukung calon yang diidolakan. Sedangkan distribusi kartu serupa kepada konstituen pendukung calon lain yang merupakan lawan, jumlahmya dikurangi atau tidak kebagian kartu pemilih.

Konsekuensinya, ratusan hingga ribuan konstituen tidak mendapat kartu pemilih, seperti terjadi dalam pilkada di Provinsi NTT, NTB, Bali, Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Dampak negatifnya, KPUD menambah jumlah golput dan melanggar HAM politik konstituen.

Ketiga, seleksi anggota KPUD yang menjadi wewenang anggota DPRD sesuai dengan Pasal 57 UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU No 32/2004 tentang Pemda, sarat interes politik yang berpengaruh signifikan terhadap netralitas anggota KPUD dalam pilkada. Akibatnya menyuburkan politik uang, diskriminatif, serta mengorbankan kesadaran politik dan kesadaran hukum masyarakat. Oknum-oknum kontraktor yang mempunyai andil dalam politik uang dengan "restu" oknum-oknum anggota KPUD menambah kecurangan pilkada yang melumpuhkan kedaulatan rakyat sesuai teori demokrasi populis, kedaulatan di tangan rakyat.

Keempat, oknum-oknum anggota KPUD yang mendukung incumbent berimplikasi menyuburkan penyalahgunaan wewenang, KKN, merugikan negara, dan menghambat peningkatan kesejahteraan rakyat. Pembiayaan bagi oknum-oknum pejabat daerah, PNS, dan kepala desa yang mendukung incumbent menggunakan dana APBD merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang. Akibat lain, oknum-oknum PNS yang bersekongkol dengan oknum-oknum anggota KPUD mengintimidasi konstituen akar rumput untuk mencoblos incumbent, kendati melanggar asas netralitas, asas legalitas menurut konsep negara hukum dan pemerintahan yang bersih.

Wewenang

Secara konstitusional, KPUD tak memiliki wewenang atribusi (asli) dalam UUD 1945 untuk menyelenggarakan pilkada, termasuk masa jabatan anggota KPUD. Hal ini berbeda dengan kedudukan KPU sesuai dengan Pasal 22E Ayat 5 UUD 1945 bahwa "pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pilkada menentukan, gubernur, bupati, dan wali kota sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Ketentuan ini tidak mengatur eksistensi KPUD sebagai penyelenggara pilkada. Pasal 57 Ayat 1 UU Pemda menentukan, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD. Karena itu, mengubah status KPUD permanen menjadi lembaga ad hoc amat dimungkinkan demi efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pilkada dan pemilu.

Guna mewujudkan pilkada yang jurdil, ke depan KPUD cukup bersifat ad hoc dengan masa kerja untuk pilkada, semisal 6-9 bulan dan penyelenggaraan pemilu dengan kurun waktu sama. Tujuannya menciptakan efisiensi, efektivitas kerja, menutup "perselingkuhan" anggota KPUD dengan para calon kepala daerah, serta mencegah kecurangan dan korupsi yang menjadi musuh bangsa. Jumlah anggota KPUD provinsi se-Indonesia tercatat 165 orang dan anggota KPUD kabupaten/kota 2.250 orang, tak termasuk DKI Jakarta.

Dengan masa kerja lima tahun, anggota KPUD terkesan menerima gaji prodeo seusai menyelenggarakan pilkada dan pemilu. Padahal, dana relatif besar digunakan untuk menggaji anggota KPUD dan pembiayaan kegiatan operasional. Dengan demikian, biaya KPUD akan efisien dan efektif manakala para anggota institusi ini tugasnya sementara hanya menyelenggarakan pemilu dan pilkada.

YOHANES USFUNAN Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/20/00321231/membubarkan.kpud

Kamis, 19 Februari 2009

Keputusan MK Dinilai Tidak Tepat

Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Konstitusi (MK) yang menolak permohonan untuk keseluruhan uji materi Pasal 9 UU Pilpres UU No 42/2008 tentang syarat untuk maju dalam pemilihan presiden 2009 yang mengatur capres/cawapres diusung oleh Parpol atau gabungan parpol yang mendapat suara 20 persen kursi DPR dan 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu legislatif dinilai keputusan yang tidak tepat.

Demikian pendapat pengamat hukum tata negara dari Universitas Indonusa Esa Unggul Irmanputra Sidin kepada pers di gedung Dewan perwakilan Daerah (DPD) RI di Senayan Jakarta, Rabu.

Dia menilai, MK salah memahami pengertian "legal policy" seperti yang menjadi landasan keputusan menolak gugatan ini.

Pertimbangan hukum yang dipakai MK untuk menolak uji materi tersebut, sebagaimana yang dibacakan Ketua MK Mahfud MD adalah Pasal 9 UU Pilpres tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena hal tersebut bersifat "legal policy" (kebijakan hukum) yang terbuka guna menciptakan sistem multipartai yang lebih sederhana sangat naif.

"Sekarang memang kebijakannya hanya batasan 20 persen kursi di DPR dan 25 perolehan suara nasional. Bagaimana kalau DPR membuat `legal policy` batasan 51 persen? Apa hal ini akan didukung juga oleh MK?," katanya.

Irman juga menganggap, MK telah mereduksi UUD karena telah memutuskan hal yang bertentangan dengan UUD. "Saya ingat ketika MK membatalkan satu pasal dalam UU tentang MK yang isinya adalah membatasi wewenang MK yang hanya dapat membatalkan produk UU pasca perubahan pertama atau UU yang dihasilkan setelah tahun 1999," katanya.

Ketika itu, kata dia, MK membatalkan pasal itu dengan alasan bahwa tidak ada batasan yang tertulis dalam UUD bahwa MK hanya dapat membatalkan UU pasca perubahan pertama itu.

Dengan demikian, MK telah bersikap tidak konsisten terhadap putusannya sendiri. Menurut Irman, dalam UUD juga tidak terulis mengenai pembatasan itu, namun MK mengabulkan pembatasan yang dibuat dalam UU.

"Ketika menyangkut dirinya yang dibatasi, MK berlandaskan UU namun ketika menyangkut pembatasan Parpol karena dalam UUD sudah jelas tertulis bahwa pengajuan Capres dan Cawapres adalah oleh Parpol atau gabungan Parpol peserta Pemilu dan tidak ada batasan 20-25 persen itu," kata Irman.(*)

COPYRIGHT © ANTARA

Sumber : http://pemilu.antara.co.id/view/?tl=keputusan-mk-dinilai-tidak-tepat&id=1234953891

Pengamat: MK Ambivalen

Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta Dr Alfan Alfian berpendapat, keputusan MK terkait Pemilu legislatif dan pemilihan presiden (Pilpres) bersifat ambivalen.

Hal itu diungkapkan Alfan Alfian dalam Dialog Kenegaraan "Fenomena Munculnya Capres-capres Baru dan Perubahan Politik" di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di Senayan Jakarta, Rabu.

Dia mengemukakan, dalam mengambil keputusan tentang calon independen, MK menegaskan bahwa secara tekstual hal itu tidak tertulis dalam UUD, namun mengenai syarat dukungan MK tidak menegaskan hal itu secara tekstual.

"Disini terlihat ambivalensi MK, yaitu ketika gugatan calon independen ditolak dengan alasan UUD tidak menulis hal itu. Itu bisa kita terima. Namun ketika UUD juga tidak menuliskan batasan pengajuan Capres harus 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah secara nasional dan hanya mensyaratkan Parpol atau gabungan Parpol peserta Pemilu, MK pun memutuskan lain," katanya.

Menurut dia, hal ini bisa terjadi sebagai konsekuensi memberikan kewenangan yang begitu luas terhadap MK, sementara beberapa anggota MKnya berasal dari partai politik yang membuat keputusan-keputusan pun banyak yang bernuansa politis.

Karena itu, dia menilai, wajar jika kemudian muncul kecurigaan-kecurigaan bahwa MK memiliki motivasi politik tertentu. Banyak kepentingan yang ada di MK terutama karena beberapa hakim MK berasal dari Parpol. Mereka juga diseleksi oleh Parpol melalui fraksi-fraksi di DPR. Hal itu menyebabkan nuansa politis dalam keputusan MK.

Dia mengemukakan, MK seharusnya dapat memutuskan secara rasional dan bisa dipahami oleh masyarakat luas. Dengan keputusan ini dirinya mengkhawatirkan munculnya hilangnya kewibawaan MK dimata publik karena MK tidak bersikap sebagai penjaga gawang konstitusi yang seharusnya dilakukannya. "Kalau sebelumnya ada yang mengatakan MK adalah lembaga `superbody` saya rasa jadi tepat," katanya.(*)

COPYRIGHT © ANTARA

Sumber : http://pemilu.antara.co.id/view/?tl=pengamat-mk-ambivalen&id=1234954925

Rabu, 18 Februari 2009

MK Tolak Permohonan Uji Materi UU Pilpres

MK Tolak Permohonan Uji Materi UU Pilpres

Anwar Khumaini - detikPemilu


 

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Pilpres. Alasannya, legal standing (hak konstitusional pemohon yang dilanggar) tidak terbukti.

"Menolak permohonan pemohon 1, 2 dan 3 untuk keseluruhan," ujar Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan di Kantor MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (18/2/2009).

Dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa Pasal 9 UU Pilpres tidak bertentangan dengan UUD 1945. Karena hal tersebut adalah legal policy atau kebijakan hukum yang bersifat terbuka yang bertujuan untuk menciptakan sistem multipartai yang sederhana.

Dengan ditolaknya permohonan uji materi ini, para capres yang juga hadir dalam sidang putusan ini yakni Yusril Ihza Mahendra dan Sutiyoso hanya bermimpi untuk menjadi capres dalam Pilpres 2009. Kecuali, jika mereka diusung oleh partai atau gabungan partai yang memperoleh 20 persen anggota DPR serta 25 persen suara sah dalam Pemilu 2009.

Pasal 9 UU Pilpres tentang syarat untuk maju dalam Pilpres 2009 menyebut, capres/cawapres diusung oleh parpol atau gabungan parpol yang mendapatkan suara 20 persen dari kursi DPR dan 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu legislatif. Ini dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Sementara, menurut para pemohon yakni Partai Hanura, PDP, PBB, dan beberapa partai gurem lain, ketentuan di atas tidak sesuai dengan amanat UUD 1945. Ketentuan tersebut juga dianggap menyebabkan hak para pemohon untuk memilih atau dipilih hilang.

Selain menganggap pasal 9 UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pilpres tidak bertentangan dengan UUD 1945, MK juga menganggap pasal 3 ayat (5) yang menyatakan pemilu DPR, DPRD, DPD serta Pilpres dilakukan secara terpisah

relevan. Karena, sulit untuk memperoleh suara 50 persen plus satu untuk syarat menjadi presiden bisa diraih hanya dalam sekali pemilu saja.

Sehingga, pendapat PBB yang meminta agar semua pemilu hanya berlangsung sekali juga ditolak oleh MK.

( anw / nik )

Sumber : http://pemilu.detiknews.com/read/2009/02/18/120905/1086622/700/mk-tolak-permohonan-uji-materi-uu-pilpres

Sabtu, 14 Februari 2009

Detik.com melakukan polling tentang Partai yang layak mendapat suara terbanyak dalam pemilu 2009.

Detik.com melakukan polling tentang Partai yang layak mendapat suara terbanyak dalam pemilu 2009.

Cara mengikuti polling via SMS:

Ketik: detik ‹spasi› pemilu no partai
Kirim ke 3845 (Telkomsel, Indosat, Three, Flexi)

Contoh:
detik pemilu 27
( untuk pilihan PBB )


Kirim ke 3845 (Telkomsel, Indosat, Three, Flexi)
Tarif Rp. 1000,-/sms (Belum termasuk PPN 10%)

Hingga hari ke 4, Partai Bulan Bintang Masih masuk dalam 5 (lima) besar. Malah pada saat posting berita ini posisinya pada peringkat kedua.
Berikut ini adalah hasil lengkap per tanggal 14 Pebruari 2009:Sumber : http://microsite.detik.com/pollingParpol/


DEMOKRASI : SUDAH MAHAL, KUFUR LAGI

Oleh Tri Martha Herawati, S.H.M.Si.

(Anggota AlPen ProSa Surabaya - Jawa Timur)

Tak henti-hentinya pesta demokrasi berlangsung di Indonesia. Sepanjang tahun di negeri ini berlangsung pemilihan kepala desa, bupati, walikota, gubernur, sampai presiden, juga anggota legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari tingkat kabupaten, kota, propinsi dan pusat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Daerah. Untuk melangsungkan sebuah pesta demokrasi, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan anggaran pembangunan dan belanja nasional maunpun daerah harus terkuras untuk membiayai pesta ini.

Menurut data yang dikeluarkan KPU, biaya pemilihan umum 2009 diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp 48 trilyun. Untuk Pilkada kisaran biayanya juga fantastis, tengok saja biaya Pilkada DKI tahun lalu, sebesar 124 milyar. Di Jawa Timur lebih fantastis lagi, karena terjadi dalam dua putaran anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 800 milyar lebih. Menurut hasil penelusuran Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), pilkada di seluruh Indonesia telah berlangsung sebanyak 350 pilkada. Jika kita asumsikan biaya Pilkada yang dikeluarkan untuk masing-masing daerah sebesar 70 Milyar, maka total dana pelaksanaan demokrasi ini telah menelan biaya hampir 25 Trilyun.

Biaya pemilu ini belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan setiap calon kepala daerah, calon presiden maupun calon anggota legislative untuk partai. Seorang calon anggota legislatif 'diwajibkan' membayar Rp 200-300 juta untuk "kursi jadi", nomor urut satu dan dua. Sedangkan untuk calon anggota DPR harus menyerahkan setoran uang Rp 400 juta. Setiap caleg juga diharuskan membayar biaya administrasi Rp 16 juta untuk pengganti biaya administrasi (kabarindonesia.com,7/10/2008). Belum lagi biaya kampanye. Untuk iklan di televisi misalnya jika rata-rata biaya beriklan secara excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per bulan adalah Rp 15 milyar. Sutrisno Bachir dan Rizal Malarangeng adalah contoh dua calon yang beriklan di TV secara excessive. Itu hanya untuk satu stasiun TV saja. Silahkan kalikan dengan 10 stasiun TV, misalnya. Angka ini hanya untuk di media TV, belum termasuk media lain seperti, radio, internet, bioskop, baliho, spanduk, bendera, kalender, brosur, kaos, dan material kampanye lainnya.

Jumlah biaya demokrasi itu tidak sebanding dengan biaya kesejahteraan rakyat yang dialokasikan dalam APBN. Susilo Bambang Yudoyono Presiden RI pernah membandingkan biaya demokrasi dengan anggaran untuk pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dalam APBN. Biaya dialokasikan di APBN untuk pengurangan kemiskinan di seluruh negeri, tahun 2004 sebesar Rp 17 trilyun, tahun 2005 naik Rp 24 trilyun, 2006 Rp 41 trilyun, dan tahun 2007 Rp 57 trilyun.

Dengan biaya pesta demokrasi yang sangat besar itu, benarkah mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas dan mampu mensejahterakan rakyat? Nampaknya kita masih harus menerima kenyataan, dari biaya demokrasi yang sangat mahal itu, tidak menjamin akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Pemimpin yang dihasilkan dari proses demokrasi itu ternyata justru menguras uang rakyat dengan melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan karena para pemimpin ini sebelum menduduki kursinya sudah mengeluarkan 'biaya investasi' yang cukup besar. Ketika mereka menduduki kursi yang diinginkan, maka saatnya investasi yang ditanam kini dituai dari dana APBN maupun APBD.

Said Amin, peneliti program The World Bank untuk kasus penanganan korupsi pemerintah tingkat lokal mengatakan, sampai Mei 2007 lalu, 967 anggota DPRD dan 61 kepala daerah terlibat tindak pidana korupsi. Para anggota DPRD dan kepala daerah dalam proses hukumnya kini ada yang masih tersangka, terdakwa dan ada pula telah divonis bersalah sebagai terpidana. Saat ini tercatat 159 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terjadi di Indonesia, jumlah kerugian negara yang diakibatkan kasus korupsi itu mencapai Rp 3 triliun (kapanlagi.com, 31/5/2007).

Demokrasi bukan hanya menguras uang rakyat dengan membutuhkan biaya yang mahal tapi juga menghasilkan sistem yang rusak. Abdul Qodim Zallum dalam bukunya Demokrasi Sistem Kufur menyatakan, ada empat kebebasan yang dilahirkan oleh demokrasi yang berdampak pada kerusakan:

1. Kebebasan Beragama (freedom of religion)

Konsep kebebasan beragama, justru merendahkan derajat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Kebebasan beragama berarti seseorang berhak meyakini suatu aqidah yang dikehendakinya atau memeluk agama yang disenanginya. Dia berhak meninggalkan aqidah yang diyakininya dan berpindah pada aqidah baru, agama baru atau kepercayaan non agama seperti animisme dan dinamisme. Dia juga berhak berpindah agama sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan dan paksaan.

Dampak dari kebebasan beragama, justru memunculkan aliran-aliran sesat dan nabi-nabi palsu. Di Amerika, negara pengemban demokrasi banyak lahir ajaran agama selain Kristen. Sebut aja ada Klu Klux Klan, sekte Charles Manson terkenal di tahun 60-an karena melakukan pembunuhan terhadap sejumlah wanita termasuk seorang aktris terkenal. Ada juga sekte Temple's People yang dipimpin pendeta Jim Jones. Muncul juga nabi bernama David Koresh yang kemudian melakukan baku tembak dengan polisi federal AS (FBI), dan terakhir adalah sekte Gerbang Surga yang melakukan aksi bunuh diri massal di tahun 1997.

Agama-agama baru itu lahir dengan restu demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Selama demokrasi dan HAM masih dipuja-puja, maka di masa mendatang akan terus berdatangan agama-agama baru dan nabi-nabi palsu. Kedatangan mereka bahkan akan dilindungi negara atas nama hak asasi manusia. Kalau nabi palsu dihujat karena membawa aliran sesat, seharusnya demokrasi dan HAM juga dihujat karena justru melindungi aliran-aliran sesat.

Padahal Allah SWT telah menegaskan dalam surat Al Maidah ayat 3 :

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmatKu, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian."

Dalam HR Muslim dan Ashhabus Sunan, Rasulullah SAW bersabda :

"Barang siapa mengganti agamanya (Islam) maka jatuhkanlah hukuman mati atasnya."

Sehingga upaya-upaya untuk melanggengkan sistem demokrasi yang menjamin kebebasan beragama sangat bertentangan dengan aturan syara'. Karena Allah SWT hanya mencukupkan Islam sebagai agama yang terbaik.

2. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)

Kebebasan berpendapat melahirkan pendapat-pendapat yang tidak mendasarkan pada standar halal haram. Pendapat yang liberal dan justru menjauhkan dari syariah dibebaskan. Tapi sebaliknya, pendapat-pendapat yang mengajak umat untuk kembali pada hukum-hukum Allah dan menegakkan kekhilafahan Islam, justru diberangus. Kebebasan berpendapat hanya diberikan untuk dukungan pada kebebasan itu sendiri tanpa aturan.

Bahkan atas nama kebebasan berpendapat, koran Nerikes Allehanda, Swedia, pada 18 Agustus 2007 lalu memuat kartun Nabi Muhammad dengan kepala manusia berserban dan tubuh seekor anjing. Masih atas nama kebebasan berpendapat, George Walker Bush mengajak pemimpin muslim untuk memerangi kembalinya syariah dan khilafah. "We should open new chapter in the fight againts enemies of freedom, againts who in the beginning of XXI century call muslims to restore caliphate and to spread sharia"(kita harus membuka bab baru perang melawn musuh kebebasan, melawan orang-orang yang di awal abad ke 21 menyerukan kaummuslim untuk mengembalikan khilafah dan menyebarluaskan syariah) (www.demaz.org)

Dalam Islam, kekebasan berpendapat tidaklah mutlak, tapi didasarkan aturan syara'. Seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat Al Ahzab 36 :

"Dan tidaklah patut bagi laki0laki yang mukmin, Apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka."

Di ayat yang lain Allah memperingatkan dalam surat An Nisa 59 :

"Kemudian jika kalian (rakyat dan penguasa) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir."

3. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)

Ide kebebasan atas kepemilikan melahirkan para kapitalis. Kapitalisme juga melahirkan koruptor-koruptor yang menghalalkan segala cara untuk mengejar materi duniawi. Siapa memiliki modal, bisa berkuasa atas sesuatu termasuk sumber daya alam yang sebenarnya menjadi hajat hidup orang banyak. Misalnya, atas nama kebebasan kepemilikan, hak pengelolaan hutan, air, minyak, dan kekayaan alam lainnya diserahkan pada pihak-pihak tertentu. Karenanya rakyat tidak mendapat porsi yang seharusnya, tapi hanya menjadi penonton segelintir orang yang mengeruk kekayaan alam.

Ironisnya pemerintah justru memfasilitasi kebebasan kepemilikan ini dengan sejumlah aturan yang menjamin kebebasan kepemilikan atas sumber daya alam. Misalnya dengan menetapkan UU Penanaman Modal Asing, UU Sumber Daya Alam, dan lain-lain.

Atas nama kebebasan kepemilikan, negara-negara kapitalis berebut menguasai sumber daya alam negara lain. Akibatnya, rakyat menjadi korban krisis bahkan pertumpahan darah tak bisa dihindari. Seperti yang terjadi di negara-negara Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika, Asia, termasuk Indonesia.

Ajaran Islam sangat bertolak belakang dengan kebebasan kepemilikan. Islam memerangi ide penjajahan dan perampokan kekayaan bangsa-bangsa lain di dunia. Islam telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan harta, pengembangannya dan cara-cara pengelolaannya. Islam tidak memberikan kebebasan pada individu untuk sebebas-bebasnya mengelola harta yang dikehendakinya. Islam mengikat dengan hukum syara' misalnya larangan memiliki harta dengan cara-cara yang batil. Harta yang diperoleh dengan cara batil, pada pelakunya akan dikenai sanksi.

4. Kebebasan Berperilaku (personal freedom)

Kebebasan berperilaku sebenarnya telah merendahkan martabat umat. Ide ini telah menyeret orang pada perilaku yang serba boleh. Misalnya berjemur sambil menunggu matahari terbit tanpa berpakaian. Perilaku seksual yang menyimpang suka sesama jenis, pemuasan seksual pada anak-anak ataupun pada binatang. Dampak kebebasan perilaku, kasus perzinahan semakin merajalela, demikian pula aborsi, narkoba dan angka penderita HIV AIDS yang tidak pernah menurun karena bebas berperilaku.

Dalam sistem demokrasi, institusi keluarga telah dihancurkan. Rasa kasih sayang telah dicabut dari para anggota keluarga. Karena itu, menjadi pemandangan biasa di negara-negara barat, kehidupan single parent atau orang yang tinggal sendiri dan hanya ditemani binatang kesayangan.

Hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku. Tidak ada kebebasan bertingkah laku di dalam Islam. Setiap muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Jika seorang muslim melanggar perintah syara' maka ia telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman yang sangat keras.

Islam memerintahkan setiap muslim berakhlaq mulia dan terpuji. Menjadikan masyarakat sebagai masyarakat Islam yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilai-nilai kemuliaan.

Demikianlah demokrasi menghancurkan umat dengan kebebasan yang diagungkan. Ketika manusia membiarkan dirinya tanpa aturan, maka yang terjadi adalah kesengsaraan, kenistaan, dan kebodohan. Lalu mengapa demokrasi masih dibanggakan?

Haram Mengadopsi Sistem Kufur Demokrasi

Seluruh perbuatan manusia dan seluruh benda-benda yang digunakannya dan atau berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah SAW dan terikat dengan hukum-hukum risalahNya. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr ayat 7 :

"Apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepadamu maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah."

"Maka demi TuhanMu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan."(QS An Nisaa' 65)

"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah."

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul(Nya).

Sabda Rasulullah SAW :

"Siapa saja yang melaksanakan perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka parbuatan itu tertolak." (HR Muslim). Dalam hadis lain Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang mengada-adakan urusan (agama) kami ini, sesuatu yang berasal darinya, maka hal itu tertolak."

Dalil-dalil ini menunjukkan wajib hukumnya mengikuti syara' dan terikat dengannya. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu. Apakah hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Allah juga melarang kaum muslimin mengambil hukum selain hukum dari syariat Islam. Allah berfirman:

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada toghut (hukum dan undang-undang kufur), padahal mereka telah diperintahkan mengingkari toghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya."
(QS An Nisaa 60).

Berdasarkan penjelasan nash dan hadis maka kaum muslimin dilarang mengambil peradapan/kultur Barat, dengan segala aturan dan undang-undangnya. Sebab peradapan tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali peraturan dan perundang-undangan yang administratif yang bersifat mubah dan boleh diambil. Sebagaimana Umar Bin Khatab telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan Romawi.

Hal ini karena peradaban Barat itu memisahkan agama dengan kehidupan dan memisahkan agama dari negara. Peradaban Barat dibangun atas asas manfaat dan menjadikannya sebagai tolok ukur perbuatan. Sedangkan peradaban Islam didasarkan pada Aqidah Islamiyah yang mewajibkan pelaksanaannya dalam kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni hukum-hukum syara'. Peradaban Islam berdiri atas landasan spiritual yakni iman kepada Allah dan menjadikan prinsip halal haram sebagai tolok ukur seluruh perbuatan manusia berdasarkan perintah dan larangan Allah.

Peradaban Barat menganggap kebahagiaan adalah yang memberikan kenikmatan jasmani yang sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya. Sementara peradaban Islam menganggap kebahagiaan adalah teraihnya ridla Allah SWT, yang mengatur pemenuhan naluri dan jasmani manusia berdasarkan hukum syara'.

Atas dasar itulah, kaum muslimin tidak boleh mengambil sistem demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, sistem kebebasan individu yang ada di negeri-negeri Barat. Karena itu kaum muslimin tidak boleh mengambil konstitusi dan undang-undang demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan republik, bank-bank riba, sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum muslimin tidak boleh mengambil semua hukum dan peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan Islam.

Syariah untuk Kepentingan Rakyat

Mengutip tulisan Budi Mulyana, dosen FISIP UNIKOM Bandung, syariah Islam berbeda dengan demokrasi. Dalam tataran individu, syariah Islam mendidik individu agar bertakwa. Keinginan untuk melakukan pelanggaran syariah akan diminimalkan dengan nilai-nilai ketakwaan yang ditanamkan. Pribadi-pribadi yang salih akan terbentuk dengan keimanan bahwa hidup tidak hanya di dunia, tetapi ada pertanggungjawaban di akhirat yang akan menghisab apa yang dilakukan di dunia.

Dalam tataran sistem, Islam sebagai risalah ilahi yang sempurna akan menjamin kemaslahatan (rahmat) bagi semua pihak, bahkan bagi seluruh alam. Dalam konteks kesejahteraaan, Islam membagi bumi Allah dengan kepemilikan individu, masyarakat dan negara dengan tepat sesuai dengan realitas faktanya. Dengan begitu, kebutuhan pribadi dapat dijamin; keinginan untuk menikmati kebahagiaan duniawi juga tetap bisa dilakukan; penyelenggaraan kehidupan masyarakat yang menjamin hajat hidup orang banyak pun dapat dipastikan dijamin oleh negara.

Islam memberikan jaminan kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga Negara Islam. Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk pada perintah dan larangan Allah Swt., memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berpikir Islami, serta memiliki keterampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat. Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik sekolah universitas, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah saw. menerima tebusan tawanan Perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum Muslimin di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Qibti Mesir, lalu oleh Beliau dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat secara gratis (Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah; Abdul Aziz al-Badri, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Islam).

Dengan jaminan tersebut, pendidikan, kesehatan dan keamanan sudah dapat dipastikan dijamin oleh negara dengan alokasi pendanaan yang jelas, tanpa perlu lagi persetujuan wakil rakyat yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik individu, partai juga para pemilik modal yang haus terhadap harta milik masyarakat.

Jelaslah, syariah Islam adalah jawaban atas krisis dan kebuntuan yang terjadi selama ini. Jika kita ingin mengambil jalan keluar maka kita mesti tunduk dan takut kepada Allah Swt. serta bersungguh-sungguh kembali pada pelaksanaan syariah-Nya. Insya Allah, jalan keluar dan berkah Allah akan segera terbuka. Allah Swt. berfirman :

"Siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar"
(QS at-Thalaq [65]: 3).

Allah Swt. juga berfirman:

"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka karena perbuatan mereka itu"
(QS al-A'raf [7]: 96).

Alangkah ruginya negara ini, jika biaya besar yang telah dikorbankan untuk membiayai hajatan pesta demokrasi ternyata tidak menjamin kualitas pemimpin yang tebaik. Maka kegiatan ini hanya sia-sia belaka. Demokrasi jelas-jelas telah menyita pengorbanan rakyat sementara rakyat tidak memperoleh kesejahteraan tapi justru menuai kemiskinan. Sebaliknya, syariah Islam telah menjamin kesejahteraan rakyat. Penjaminnya adalah Allah SWT. Syariah Islam hanya bisa diterapkan dengan sistem khilafah. [tri.martha@yahoo.com This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it ]

Sumber : http://hafidz341.net76.net/Alpen-Prosa/Demokrasi-Mahal-dan-Kufur.html

http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=539&Itemid=47

Senin, 02 Februari 2009

Partai Bulan Bintang Tunggu Putusan MK Sebelum Bicarakan Pilpres

Jakarta, (ANTARA News) - Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengatakan pihaknya masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 42/2008, sebelum membicarakan langkah persiapan partai menghadapi pemilu presiden dan wakil presiden yang akan diselenggarakan pada 8 Juli 2009.

"Khusus untuk pemilu presiden dan wakil presiden kami sedang menunggu proses di MK. Kalau uji materi ini dikabulkan maka akan berimplikasi politik yang cukup besar," katanya, di Jakarta, Jumat, setelah diskusi yang diselenggarakan Institute For Development and Economics Studies (indepth), dengan tema "Haruskah Pemilu Serempak".

Menurut Yusril, saat ini pengurus PBB sedang melakukan konsolidasi internal untuk menghadapi pemilu legilatif yang dilaksanakan pada 9 April 2009.

PBB mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke MK, pada awal Desember 2008. Pasal yang diajukan untuk uji materi yakni pasal 9 dan Pasal 3 Ayat (5) UU Pilpres. Pasal-pasal ini dianggap bertentangan dengan ketentuan dengan pasal 6A Ayat (2) dan pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Pasal 9 UU Pilpres, menyebutkan "Pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Kemudian, Pasal 3 Ayat (5) UU Pilpres, berbunyi "Pemilu Presden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD".

Pengaturan pelaksanaan pemilu itu, kata Yusril, bertentangan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang memerintahkan untuk melaksanakan Pemilu secara serentak setiap sekali dalam lima tahun.

Setelah ada kepastian mengenai uji materi UU Pilpres, PBB akan segera menegaskan langkahnya. Ketika ditanya tentang kesiapan dicalonkan sebagai capres, Yusril mengatakan terbuka peluang baginya untuk dicalonkan baik sebagai calon presiden maupun cawapres dari PBB.

Ketika ditanya tentang kemungkinan PBB berkoalisi dengan partai lain, Yusril mengatakan partainya tidak berhenti menjalin komunikasi politik.

"Pembicaraan politik ini tidak bisa dibuka ke publik sebelum matang," katanya.

Pemilu Serentak

Sementara itu, dalam diskusi yang dilaksanakan Indepth tersebut, dibahas mengenai kemungkinan pemilu di Indonesia dilaksanakan serentak baik pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden.

Menurut Yusril, jika uji materi yang diajukan partainya dikabulkan, maka pemilu dapat dilaksanakan serentak. Ia mengatakan pelaksanaan pemilu serentak telah dijamin oleh konstitusi. Selain itu, penyatuan pemilu ini dinilai dapat meringankan beban anggaran belanja negara

"Penyatuan pemilu itu amanat konstitusi. Kalau pemilu disatukan akan menghemat uang negara," katanya.

Efek positif yang dapat timbul karena penyatuan pemilu, kata Yusril, yakni adanya perubahan peta koalisi partai. Jika sebelumnya koalisi dibangun menjelang pemilu presiden dan wapres dengan motif oportunis, maka dengan penyatuan pemilu ini koalisi dilakukan sebelum pemilu berlangsung. Dengan demikian akan terbangun koalisi yang kuat.

Hal senada juga disampaikan anggota DPR dari Partai Golkar Slamet Effendy Yusuf. Menurut dia, koalisi yang dijalin sebelum pilpres cenderung bersifat pragmatis saja, bukan didasarkan pada kesamaan ide politik.

"Koalisi seharusnya menjadi bagian untuk membangun sistem...Sistem kepartaian yang cocok yakni yang sederhana," katanya.

Menurut pengamat politik J. Kristiadi, pada prinsipnya pemilu dilaksanakan untuk mendapatkan pemerintahan yang beradab sehingga rakyat dapat hidup sejahtera. Ia mengatakan pemilu serentak bukan sesuatu yang harus dipaksakan karena pelaksanaan pemilu berkaitan juga dengan kesiapan lembaga penyelenggara pemilu.(*)

COPYRIGHT © ANTARA

Sumber : http://pemilu.antara.co.id/print/?tl=pbb-tunggu-putusan-mk-sebelum-bicarakan-pilpres&id=1233314013

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD