Rabu, 27 Januari 2010

'Tak Ada Untungnya Indonesia Masuk CAFTA'

NILAH.COM, Jakarta - Bagi buruh keikutsertaan Indonesia dalam lingkaran perdagangan bebas yang dikonsepkan CAFTA tidak menguntungkan. Karena lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.

"Pemerintah Indonesia harus menolak CAFTA dengan menarik diri dari perjanjian dagang tersebut," ujar Sekjen Komando Buruh Revolusioner (Kobar) Syahganda Nainggolan di Jakarta, Rabu (27/1).

Karena itu, ia mengharapkan, pemerintah harus meminta maaf kepada buruh atas ketidaksiapan Indonesia memasuki perdagangan CAFTA. "Pemerintah Indonesia harus melibatkan seluruh kekuatan Serikat Buruh dalam perundingan-perundingan yang terkait dengan perdagangan bebas," imbuhnya.

Dijelaskan Syahganda, pemerintah Indonesia juga harus melakukan langkah-langkah terukur. Itu terkait antisipasi ketidakpastian hidup kaum buruh karena perdagangan bebas melalui penguatan sitem jaminan sosial tenaga kerja Indonesia.

"Pemerintah perlu mereformasi rezim ekonomi neoliberal yang bercokol dalam kekuasaan akibat ketidakbecusan kerja mereka dalam mempersiapkan era perdagangan bebas. Serta mengutamakan kepentingan kaum buruh dalam pembangunan ekonomi nasional," tandas Syahganda.

CAFTA adalah suatu perjanjian dagang yang ditandatangani menteri-menteri negara Asean dan China pada 2004. Usulan CAFTA ini dimulai dengan proposal yang ditawarkan Hujianto (PM CHINA) pada tahun 2001 dan ditandatangani dua tahun kemudian (2004) dalam Asean Summit ke-10 di Vientiane, Lao PDR.

Dengan berlakunya CAFTA maka CEFT yang mengatur tariff masuk barang-barang ke Indonesia, Thailand, Malaysia, Brunei dan Singapore dan sebaliknya dibebaskan dari pungutan taif, pada Januari 2010 dan untuk 5 anggota Asean lainnya berlaku pada 2015. [jib]

Sumber : INILAH.COM

Selasa, 19 Januari 2010

Peliharalah Rasa Malumu!

Berbeda dengan malu dalam pengertian umum, Al-haya’, adalah malu yang didorong oleh perasaan terhina atau melanggar prinsip syariat


Hidayatullah.com--
Seorang teman, sedang memamerkan foto bersama sang kekasihnya di laman Facebook dan jejaring sosial. Foto-fotonya yang nampak mesra ditampilkan begitu sangat terbuka dan bisa dilihat atau diakses pihak lain. “Aku jika punya pacar selalu aku publish, “ujarnya suatu ketika ditanya alasannya. Padahal, mereka belum terikat sebagai pasangan suamu istri yang sah.

Suatu kali seorang pejabat tinggi di Jawa Timur pernah berangkat haji dengan rombongan besar. Bersama istri, anak, keluarga dan kerabatnya mengunjungi tanah suci, ia tanpa malu menggunakan fasilitas negara yang diambil dari pajak rakyatnya.


Di TV masyarakat sering menyaksikan, di ruangan rapat anggota DPR (DPRD) banyak yang kosong. Sebagian sering menguap karena ngantuk, bahkan ada yang tidur-tiduran. Sedih juga melihatnya. Padahal digaji besar dari uang rakyatnya, namun ia tak merasa malu disaksikan jutaan orang.

Masih di TV, seorang terdakwah koruptor kelas kakap, yang telah menilap dan merugikan uang negara masih bisa tersenyum ketika para wartawan TV menyorot wajahnya.

Di akhir zaman seperti ini, istilah malu mungkin hanya slogan. Orang yang masih memiliki rasa malu mungkin sangat langka. Yang ada justru sebaliknya. Yang dapat kita jumpai di hampir semua lapisan sosial, baik, individu, keluarga, masyarakat atau institusi sosial atau dalam hidup bernegara.

Tiap hari, kita disuguhkan dengan cerita, pemandangan dan laporan yang seolah telah menguras habis naluri dan perasaan kita.

Karyawan yang sudah memiliki pasangan suami-istri tugas berdua dengan teman sekantor, kakek melecehkan cucunya, ayah menghamili anaknya, kakak bersingkuh dengan adik iparnya, Bupati atau mantan ketua organisasi besar melakukan korupsi, anak-anak para pejabat mabuk harta ketika orantuanya sedang berkuasa, para penegak hukumnya mudah disuap, semua telah ada nyata di depan mata kita.

Boleh dikata, kejahatan moral berjalan secara sistematis dari kamar-kamar keluarga hingga ke ruang-ruang Istana.

***

Rasa malu (al haya’) dalam Islam adalah salah satu cabang iman. Dalam sebuah hadits Rasulullah Muhammad mengatakan, “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan 'La ilaha illallah' (tauhid), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman." [HR. Bukhari, Muslim]

Dari sa’id bin Zaid ra bahwa seorang lelaki berkata: “Wahai Rasulullah berilah aku wasiat. Rasulullah saw bersabda: "Aku berwasiat kepadamu agar kamu malu kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada seorang lelaki shaleh dari kaummu”. [Al-Zuhd, Imam Ahmad hal: 46 dan Al-Syu’ab karangan Al-Baihaqi : 6/145-146 no: 7738]

Al-haya’, sangat berbeda dengan pengertian malu dalam kamus umum atau kamus psikologi yang mengambil istilah dari Barat, di mana mengartikan malu sebagai sesuatu rasa bersalah.

Al-haya’ adalah malu yang didorong oleh rasa hormat dan segan terhadap sesuatu yang dipandang dapat membuat dirinya terhina atau melanggar prinsip syariat. Jika seseorang hendak melakukan sesuatu perbuatan tetapi kemudian mengurungkan niatnya karena terdapat akibat jelek yang bisa menurunkan harkat dirinya dimata orang yang dihormati, maka dia telah memiliki sifat Al-haya’.

Dalam Islam, rasa malu termasuk dalam katagori akhlaq mahmudah (akhlaq terpuji). Karena itulah Nabi mengatakan, malu adalah sebagian dari iman. Rasulullah mengatakan, “Seseorang tidak akan mencuri bila ia beriman, tidak akan berzina bila ia beriman.” Bahkan Rasulullah juga menjelaskan qalilul haya’ (sedikit dan kurangnya malu), menyebabkan nilai ibadah menjadi hilang dan hapus.

Dalam kajian akidah-akhlaq malu itu dibagi tiga. Pertama, malu terhadap diri sendiri. Merasa malu bila tidak menjalankan perintah dan tidak menjauhi larangan Allah swt. Kedua, malu terhadap masyarakat. Merasa malu bila melakukan kemaksiatan atau kemungkaran. Ketiga, malu kepada Allah. Di manapun kita berada, kita malu tidak menaati-Nya. Sebab di manapun semua kita yakin Allah pasti melihat dan mengawasi hamba-Nya.

Dr. Amin Abdullah Asy-Syaqawy dalam kitabnya “Al-Haya’ ” (Rasa Malu) mengatakan, di antara sifat terpuji yang diseru oleh syara’ adalah sifat malu.

Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata: “Dan akhlak malu ini termasuk akhlak yang paling baik mulia, agung., lebih banyak manfaatanya, sifat ini merupakan sifat khsusus bagi kemanusiaan, maka orang yang tidak memiliki rasa malu berarti tidak ada bagi dirinya sifat kemanusiaan kecuali dagingnya, darahnya dan bentuk fisiknya. Selain itu, dia tidak memiliki kebaikan apapun, dan kalaulah bukan karena sifat ini, yaitu rasa malu maka tamu tidak akan dihormati, janji tidak ditepati, amanah tidak ditunaikan dan kebutuhan seseorang tidak akan pernah terpenuhi, serta seseorang tidak akan berusaha mencari sifat-sifat yang baik untuk dikerjakan dan sifat-sifat yang buruk untuk dijauhi, aurat tidak akan ditutup dan seseorang tidak akan tercegah dari perbuatan mesum, sebab faktor utama yang mendorong seseorang melakukan hal ini baik faktor agama, yaitu dengan mengharapkan balasan dan akibat yang baik (dari sifat yang mulia ini) atau faktor duniawi yaitu perasaan malu orang yang melakukan keburukan terhadap sesama makhluk. Sunnguh telah jelas bahwa kalaulah bukan karena rasa malu terhadap Allah, Al-Khalik dan sesama makhluk maka pelakunya maka kebaikan tidak akan pernah tersentuh dan keburukan tidak akan pernah dijauhi…..dan setererusnya.” [Dikutip dari kitab Al-Haya’ Dr. Amin Abdullah Asy-Syaqawy, dari Darus sa’adah, Ibnul Qoyyim halaman: 277 di kitab: Nudhratun Na’im: 5/1802]

Dari Abi Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda: "Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang menampakkan kemaksiatannya, termasuk menampakkan kemaksiatan adalah bahwa seseorang berbuat mesum pada waktu malamnya lalu pada waktu paginya padahal Allah telah menutupi kemaksiatannya, namun dia mengatakan: Wahai fulan tadi malam aku telah berbuat ini dan ini, kemaksiatannya telah ditutupi oleh Allah lalu pada waktu pagi dia menyingkap apa yang telah disembunyikan oleh Allah”. [Shahih Bukhari]

Mereka ini mendapatkan bagian dari apa yang disebutkan oleh firman Allah swt:

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” [QS. Al-Nur: 19]

Jenis Malu

Dalam kitab “Madarijus Saalikin”, Ibnul Qayyim membagi malu menjadi 10 kriteria malu. Pertama, malu karena berbuat salah, sebagaimana malunya Nabi Adam As yang melarikan diri dari surga, seraya ditegur oleh Allah SWT: "Mengapa engkau lari dari-Ku wahai Adam?" Adam kemudian menjawab: "Tidak wahai Rabbi, hanya aku malu terhadap Engkau."

Kedua, malu karena keterbatasan diri seperti malunya para malaikat yang senantiasa bertasbih siang dan malam. Pada hari kiamat mereka berkata: "Maha suci Engkau, kami tidak menyembah kepeda-Mu sebenar-benarnya."

Ketiga, malu karena ma'rifah yang mendalam kepada Allah SWT karena keagungan Allah SWT atas seorang hamba seperti malunya Nabi Nuh As ditegor Allah karena meminta keselamatan anaknya yang kafir.

Keempat, malu karena kehalusan budi, seperti malu Rasulullah Saw kepada para Sahabat dalam walimahnya dengan Zainab.

Kelima, malu karena kesopanan, seperti Ali bin Thalib malu bertanya kepada Rasulullah tentang hukum madzi.

Keenam, malu karena merasa hina kepada Allah SWT, seperti malunya para Rasul ulul azhmi untuk meminta syafaat kubra di padang mahsyar karena kebijakan / kesalahan yang pernah diperbuatnya.

Ketujuh, malu karena cinta kepada Allah SWT, bahkan ketika sendirian tidak ada seorangpun, sehingga ia selalu melakukan muraqabah, seperti kisah Nabi Musa As untuk tidak mandi dalam keadaan telanjang.

Kedelapan, malu karena 'ubudiyah yang bercampur antara cinta, harap, dan takut. Seorang hamba akan malu karena yang disembahnya terlalu Agung padahal dirinya terlalu hina, sehingga mendorongnya untuk selalu ibadah.

Kesembilan, malu karena kemulian seorang hamba yang wara' dan muru'ah sehingga biarpun ia telah memberi dan berkorban dengan mengeluarkan sesuatu yang baik, toh ia masih marasa malu kerena kemuliaan dirinya. Seperti malunya Umar bin Khattab melihat kedermawanan Abu Bakar.

Kesepuluh, malu terhadap diri sendiri karena keagungan jiwa seorang hamba atas keridhaan perbuatan baik dirinya dan merasa puas terhadap kekurangan orang lain. Seolah-olah mereka mempunyai dua jiwa, yang satu malu dengan yang lainnya.

Tip Menjaga Sifat Malu

Dari Abu Mas'ud Uqbah bin Amr Al Anshary Al Badry r.a dia berkata, Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu perbuatlah apa yang engkau suka.” [HR Bukhori]

Hadits di atas mengisyaratkan bila rasa malu telah hilang dalam hati seseorang, maka alamat dia telah terjerumus menjadi manusia yang hilang akalnya, sehingga berbuat sesuka hatinya tanpa mengindahkan lagi aturan Allah SWT maupun kehormatan dirinya.

Di bawah ini beberapa cara agar sifat malu masih tertanam dalam diri kita.


1. Berdoa tiap saat agar Allah terus memberi hidayah dan taufiq nya. Serta berharap agar terus-menerus dalam pengawasan dan lindungan Allah

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: ''Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung, bila berkehendak menjatuhkan seseorang maka Allah cabut dari orang itu rasa malunya. Ia hanya akan menerima kesusahan (dari orang banyak yang marah kepadanya). Melalui ungkapan kemarahan itu, hilang pulalah kepercayaan orang kepadanya.

Mudah-mudahan diri dan keluarga kita terhindar dari tercerabutnya rahmat Allah, sehingga Allah tidak mencabut rasa malu yang kita miliki.

2. Munculkanlah setiap saat perasaan malu jika ingin melakukan hal-hal yang dilarang Allah

Rasa malu pada sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.

Hendaklah tertanam setiap saat perasaan malu kepada Allah Ta’ala, dan kalau pun sudah tidak malu kepada Allah Ta’ala, setidaknya malul kepada malaikat yang tiap saat mencatat amal pebuatan kita. Jika tidak malu kepada malaikat, malulah kepada manusia, atasn kita, teman-teman kita. Jika tidak malu kepada manusia, malulah kepada keluarga di rumah, kalau pun tidak malu kepada keluarga, maka malulah kepada diri sendiri dan hendaklah jujur bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan, minimal meragukan. Namun malu yang benar, pamrihnya hanya kepada Allah, bukan pada yang lain.

3. Pupuklah iman dalam hati dan diri kita. Sebab antara iman dan rasa malu itu saling bergandengan

Nabi bersabda, الحياء و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر

“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain juga akan hilang.” [HR. Hakim]

4. Ingatlah kematian jikan akan melakukan maksiat

Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah. Mengingat kematian, adalah cara tepat mencegah perbuatan maksiat.

"Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wajalla dengan sebenar-benarnya malu. Barangsiapa malu kepada Allah Azza wajalla dengan sebenar-benarnya malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sesungguhnya ia telah malu kepada Allah Azzawajalla dengan sebenar-benarnya malu." [HR. at-Tirmidzi, Ahmad, al-Hakim].

Semoga, kita termasuk diantara segelintir manusia yang masih memilih rasa malu. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

sumber : Hidayatullah.com

Jumat, 08 Januari 2010

Merombak Pengelolaan Anggaran

BURUKNYA perencanaan dan penggunaan anggaran di negeri ini nyaris bukan kisah baru. Ia seperti penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh kendati sudah diketahui penyebabnya.

Begitulah yang terjadi setiap kita mendengar tidak tuntasnya penyerapan anggaran, baik oleh pemerintah pusat, lebih-lebih pemerintah daerah.

Begitu pula ketika kita menyaksikan anggaran itu amat lamban terserap dalam sepuluh bulan, lalu tiba-tiba secara cepat bisa terserap signifikan hanya dalam kurun dua bulan di akhir tahun.

Padahal, banyak yang mafhum bahwa penyerapan anggaran berarti belanja dan belanja merupakan penggerak roda perekonomian. Toh tetap saja, pengelola anggaran seolah tak mau ambil pusing.

Sudah tak berbilang ancaman sanksi pemotongan anggaran didengungkan bagi departemen, lembaga, atau pemerintah daerah yang gagal menyerap anggaran.

Tapi, angka penyerapan anggaran bergeming di level 80% sampai 90%, tidak pernah sampai 100%. Bahkan, mulai ada kegemaran di sejumlah daerah untuk menaikkan besaran sisa lebih penggunaan anggaran atau silpa.

Lalu, silpa itu dianggap sebagai prestasi dalam mendongkrak pendapatan asli daerah. Masih amat jauh untuk berharap bahwa anggaran merupakan mata rantai penting penggerak ekonomi.

Dengan mental pengelolaan yang buruk, anggaran berlebih justru bisa menjadi malapetaka baru, yakni pemanfaatan anggaran untuk kepentingan di luar hakikat penggunaan sebuah anggaran.

Itu pula yang harus dicermati menyikapi penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran atau DIPA oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para menteri, pemimpin lembaga, dan gubernur, Selasa (5/1) lalu.

Penyerahan DIPA mestinya diartikan sebagai pelaksanaan anggaran secara serius melalui program kerja yang konkret dan langsung menyentuh hajat hidup masyarakat.

Selain itu, penyerahan DIPA mestinya merupakan amanah bagi pengelola anggaran untuk menggunakan dana secara jujur, transparan, dan akuntabel.

Teramat mahal ongkosnya jika amanah mengelola anggaran sebesar Rp1.047,7 triliun itu ditunaikan secara main-main, bahkan buruk. Karena itu, mesti ada parameter yang jelas soal mekanisme hukuman dan apresiasi terkait dengan pengelolaan anggaran.

Mereka yang mampu menggerakkan anggaran menjadi stimulus ekonomi dan terserap secara penuh amat berhak mendapat apresiasi berupa penambahan dana tahun berikutnya.

Sebaliknya, mereka yang hanya menumpuk anggaran dan menyimpannya di Sertifikat Bank Indonesia demi dinikmati bunganya harus menerima hukuman pemotongan anggaran tahun berikutnya.

Mekanisme itu mesti dilaksanakan secara konkret, bukan hanya menjadi aturan resmi pelengkap manajemen pemerintahan. Terlalu banyak modal yang disia-siakan akibat buruknya pengelolaan anggaran. Mulai kali ini, demi kesejahteraan rakyat, sudahi itu semua.

Sumber : MI Online
Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD