Rabu, 18 November 2009

MK Tafsir UU Pemda : Masa Jabatan Separuh Dianggap Satu Periode

MK Tafsir UU Pemda
Masa Jabatan Separuh Dianggap Satu Periode

Rabu, 18 November 2009 | 03:08 WIB

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir baru tentang bagaimana menghitung masa jabatan satu kali periode. Dengan mendasarkan diri pada asas proporsionalitas dan rasa keadilan, MK menyatakan, masa jabatan dihitung satu periode jika sudah dijalani setengah atau lebih.

Misalnya, untuk masa jabatan lima tahun, seorang kepala daerah yang sudah menjalani separuh (2,5 tahun) atau lebih dari masa jabatannya bisa dikategorikan sudah menjalani satu kali periode masa jabatan.

Sebaliknya, jika yang bersangkutan belum memangku jabatan selama 2,5 tahun, itu tidak dapat dihitung satu kali periode masa jabatan.

Hal tersebut terungkap dalam putusan uji materi atas Pasal 58 Huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dibacakan pada Selasa (17/11).

Putusan itu dikeluarkan atas permohonan Bupati Jembrana, Bali, I Gede Munarsa dan Bupati Karimun, Kepulauan Riau, Nurdin Basirun. Dua pemimpin daerah lainnya, yaitu Bupati Timor Tengah Utara Gabriel Manek dan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, juga mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara tersebut.

Persoalan tersebut bermula dari keinginan para pemohon untuk kembali mengikuti pemilihan kepala daerah yang akan dilangsungkan pada 2010 (Jembrana) dan 2011 (Karimun).

Sebelum menjabat Bupati Karimun, Basirun yang semula wakil bupati terpaksa meneruskan jabatan bupati (yang berhalangan tetap) selama sembilan bulan. Cerita yang sama juga dialami oleh Bambang Dwi Hartono dan Gabriel Manek.

Bedanya, Bambang Dwi meneruskan jabatan wali kota selama 2 tahun 9 bulan, sementara Gabriel Manek hanya sembilan bulan.

Tidak adil

Dalam pertimbangannya, MK menilai, tidak adil apabila seseorang menjabat kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan yang menjabat setengah atau lebih dari masa jabatan.

”Oleh karena itu, berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa keadilan, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan,” ujar hakim MK.

Putusan itu dijatuhkan apalagi undang-undang tidak mengatur hal tersebut secara tegas.

MK mengakui bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk mengubah atau memperbaiki Pasal 58 Huruf o UU No 32/2004.

Namun, MK mengaku dituntut untuk memilih satu di antara alternatif-alternatif karena kebutuhan pelaksanaan hukum yang harus segera diisi (judge made law).

Tidak proporsional

Terkait dengan hal itu, kuasa hukum pemohon, Andi Asrun, mengkritik putusan tersebut. Menurut dia, putusan tersebut sangat tidak proporsional dan bertentangan dengan asas masa jabatan.

”Suatu masa jabatan ditetapkan lima tahun, maka harus lima tahun. Tidak ada pilihan lain,” ujar Asrun.

Ia menambahkan, pihaknya akan menyarankan Wali Kota Surabaya untuk meminta pendapat hukum ke Mahkamah Agung mengenai definisi masa jabatan. MA, lanjutnya, dapat memberikan definisi soal itu.

”Putusan ini mengandung inkonsistensi dan melanggar keadilan,” kata Asrun. (ana)

Sumber : Kompas

Sabtu, 14 November 2009

Cicak vs Buaya: Yang Mencuat, Yang Tenggelam

(berpolitik.com): Kasus Bibit-Chandra (cicak versus buaya) sudah seminggu lebih menjadi headline sejumlah media massa nasional. Tak sekadar jadi headline, media memberi intensitas yang tinggi. Ada grafik. Ada foto. Ada berita-berita terkait. Tak ketinggalan tajuk dan artikel tentang soal yang sama.

Tone beritanya tak sulit diduga: negatif terhadap aparat hukum, utamanya yang kena bidik adalah kepolisian. Mereka yang menunjukkan simpati kepada polisi tak ayal kena getahnya juga..

Komisi III DPR adalah contoh sempurna. Membiarkan raker jadi ajang pembelaan polisi membuat mereka menuai celaan.Dari stempel 'Humas Polisi', Hilang kekritisannya hingga sangkaan pun mengalir.

Salah satunya sangkaan itu adalah bahwa DPR memang tak nyaman dengan KPK. Maklum, pada periode lalu, banyak wakil rakyat jadi narapidana. Yang lebih serem dan lengkap dengan siapa aktor yang berada di belakang layar terkait sikap Komisi III juga beredar.

Karena polisi tampaknya keukeuh dengan sikapnya sendiri, pemerintah pun mulai kecipratan noda. SBY selaku atasan kepolisian menuai kritikan nan tajam. Karena Komisi III begitu antusias terhadap polisi, citra DPR secara kelembagaan pun kian terbenam.

Bila DPR dan SBY terkena imbas negatifnya, ada sejumlah isu penting yang mendapat berkah (malapetaka). Hal ini benar-benar tergantung siapa yang melihatnya.

Sebut saja kasus dugaan suap kepada anggota DPR terkait pemilihan Deputi BI yang akhirnya dimenangkan Miranda Gultom. Di waktu lampau, kesaksian Agus Condro (politisi PDIP) telah membuat 'sibuk' banyak pihak dan memeriahkan media massa.

Rupanya, kasus ini masih terus didalami KPK. Miranda sudah dua kali datang. Media memang memberitakannya, tapi nyaris tak ada blow up lagi. Bantahan Miranda dan Tjahjo Kumolo melenggang tanpa sanggahan.

Dalam sepekan ini juga ada isu terkait revisi pilkada. Usulan pilkada serentak makin kecang digulirkan. Meski baru akan berlangsung secepat-cepatnya pada 2011, tak banyak mendapat perhatian.

Padahal, kalau ini terwujud, banyak kepala daerah bakal lungsur sebelum waktunya. Apalagi kalau kemudian wacananya melebar ke pembagian pemilu: pemilu lokal dan nasional. Jika dilaksanakan, anggota DPRD juga bakal dimundurkan sebelum waktunya. Pergolakan bakal terjadi di tingkat lokal, sepertinya. Dan, beruntung, media tak meliriknya sebagai calon berita 'panas'.

Dan, tentu saja, juga ada program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Meski masih terberitakan, fokus publik tidak terlalu mengarah pada hal ini. Padahal, lazimnya, isu program 100 hari lumayan 'seksi' untuk mengomentari pemerintah secara pedas.

Kalau ada isu yang terkesan diabaikan, ada pula yang coba-coba terus dibangkitkan. Yakni, menyambungkan kasus Century dengan perseteruan cicak versus buaya ini. Kasus Century mau diplot sebagai biang kisruh polisi versus KPK.

Dalam hal mengulas sebuah isu, media sengaja atau tidak selalu meminggirkan beberapa fakta. Dalam urusan cicak versus buaya, media sepertinya enggan melakukan pemilahan.

Sebagaian pihak memang mendukung KPK sebagai institusi, tapi tak mau terlalu jauh hingga mendukung individu. keprihatinan dan perjuangan mereka adalah untuk memastikan KPK tak dilemahkan. Tapi, oleh media, ini digelondongkan semuanya sebagai barisan pendukung Bibit-Chandra. Mungkin untuk mudahnya, media mengabaikan saja fakta kecil ini.

Persis di seberangnya, tak semua polisi dikabarkan "happy" dengan situasi ini. Tapi, suara lain di kepolisian sepertinya enggan diendus dan diwacanakan. Akibatnya, seolah-olah polisi sudah satu sikap pula.

Keengganan atau kegagalan mengendus ini tentu saja punya implikasi yang serius. Hm...
Sumber : berpolitik.com

Jumat, 09 Oktober 2009

Mendukung Keotoriteran SBY


Jumat, 9 Oktober 2009 | 03:10 WIB

Oleh SUJIWO TEJO

Sebentar lagi dikukuhkan penguasa periode 2009 sampai direncanakan 2014. Banyak yang waswas, SBY nanti akan memimpin tanpa oposisi. Mereka berandai-andai, dukungan yang sama sekali tanpa pembantah kelak akan memaksa SBY memegang tampuk kekuasaan secara otoriter.

Penulis sebaliknya justru mendukung keotoriteran SBY sejauh ia kembali teguh memegang nilai-nilai yang sekarang mungkin telah kita anggap basi, kedaluwarsa, dan tidak ”seksi”: Pancasila. Tanpa keteguhan SBY kepada Pancasila, dasar negara yang kini tidak saja kita anggap kedaluwarsa tetapi malah kita tertawakan, totalitas dukungan kepada SBY sesungguhnya justru menjadi perangkap.

SBY diperosokkan menjadi tumbal kehancuran Nusantara. Dasar pikiran kaum penjebak masuk akal. Negeri ini memang harus dibiarkan hancur lebih dahulu untuk bangkit dan jaya memasuki babak baru Nusantara setelah tahun 2012.

Titik jumpa

Jalur ilmiah dan nirilmiah seakan mencapai titik jumpa dalam menjelaskan kebangkitan Nusantara itu. Buku Prof Arysio Nunes dos Santos, Atlantis: The Lost Continent Finally Found (2005), menunjukkan bahwa kerajaan Atlantik yang pernah berjaya dan sampai sekarang masih misterius bisa jadi tempatnya tidak di mana-mana, melainkan, ya, Nusantara ini. Temuan pakar asal Amerika Latin itu seakan memperkukuh studi selama kurang lebih 30 tahun Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.

Antropologiman Perancis itu menggarisbawahi lebih rinci dan meyakinkan suatu hal yang sebenarnya sama-sama kita sudah tahu sejak di bangku sekolah. Yaitu, tentang betapa istimewa kedudukan Nusantara dulu maupun—seharusnya—nanti. Lalu, para sejarawan banyak yang bilang bahwa setiap tempat punya periode atau siklus sejarahnya sendiri. Nusantara menurut mereka berperiode 700 tahunan.

Seputar tahun 2012 adalah 700 tahun setelah jaya Majapahit dan dua kali 700 tahun setelah jaya Sriwijaya. Rekan-rekan dari dunia paranormal sudah banyak berkasak-kusuk: rentang 2012 ke 2016 adalah tahun-tahun yang patut diramalkan sebagai pemunculan kembali Sabdo Palon- Noyo Genggong. Dalam ramalan Jayabaya disebutkan bahwa sirna Sabdo Palon-Noyo Genggong akan menandai runtuh Majapahit dan kelak Nusantara meraih jayanya kembali sekembali pasangan misterius Sabdo Palon- Noyo Genggong.

”Kalatida” dan ”Kalabendu”

Titik temu jalur ilmiah dan nirilmiah itu bisa dipadukan juga dengan dasar pikiran ramalan Ronggowarsito. Pujangga keraton Surakarta ini membuat siklus tiga zaman. Urutan ketiga adalah zaman kekacauan pribadi, Kalatida, zaman kekacauan pribadi yang memuncak menjadi kekacauan kolektif, Kalabendu, lalu ketenteraman, Kalasuba. Algoritmanya cocok dengan prinsip chaos dalam fisika modern, temuan 1,5 abad berikutnya.

Bahwa chaos akan terdorong ke arah chaos lebih lanjut sampai pada akhirnya ke puncak chaos, Kalabendu karena hanya di dalam Kalabendu-lah terkandung energi internal mendorong keadaan kembali normal. Ekstremnya, bisa dikatakan bahwa tak perlu campur tangan eksternal buat mengembalikan Kalabendu kepada Kalasuba.

Mudah dipahami ketotaliteran SBY nantinya, yang melebihi ketotaliteran Soeharto, akan dipakai para oknum mendorong keadaan Kalatida ke Kalabendu. Soeharto cuma memegang angkatan bersenjata dan Golkar melalui pemilu yang terkesan tak demokratis. Bayangkan, SBY memegang angkatan bersenjata, kepolisian, dan seluruh partai melalui pemilu yang terkesan demokratis.

Pada Kalabendu itu nanti akan muncul energi internal membalik sejarah kepada seputar tahun 2012. Kalau dipas-paskan dengan ramalan suku Maya yang pernah hidup di selatan Meksiko dan prediksi mereka mengguncang dunia ilmiah tahun lalu, bahwa akan terjadi kebangkitan besar di dunia pada 21 Desember 2012, berarti, ya, saat itulah tampil pemimpin agung pengusung babak baru Nusantara, babak Kalasuba.

”Kalasuba”

Dengan dukungan mutlak dan mau tak mau berarti kekuasaan di satu tangan, SBY sesungguhnya bisa berbalik menjebak kaum penjebak. Kaum penjebak menjerumuskan SBY menjadi faktor akseleratif peningkatan Kalatida ke Kalabendu. Namun, pada saat yang sama, dengan keotoriterannya, SBY dapat ”menyihir” diri sendiri menjadi energi internal pembalikan Kalabendu menjadi Kalasuba.

Dengan keotoriterannya, SBY bisa menjadikan diri sebagai teladan yang wajib dicontoh dalam menafsirkan maupun melaksanakan Pancasila yang belakangan ini telah kita anggap basi.

Pancasila

Sekadar usul yang mungkin bisa dipertimbangkan, berikut adalah tafsir Pancasila atas dasar Hasta Brata dari tradisi wayang, tradisi yang oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia.

Ketuhanan Yang Maha Esa berarti seluruh warga, terutama para pemimpinnya, lebih-lebih pemimpin puncaknya, yakni kepala negara, harus suwung. Suwung itu zero, tetapi bukan empty. Pemimpin hanya melekat kepada Tuhan. Ia tidak melekat kepada yang lain, termasuk pada harta benda miliknya. Pemimpin boleh kaya dan berkuasa (berisi), tetapi tak boleh punya kemelekatan pada harta-benda dan kekuasaan tersebut (kosong).

Kemanusiaan yang adil dan beradab berarti manakala kemaslahatan bersama dunia membutuhkan harta benda dan kekuasaannya, pemimpin—terutama pemimpin tertinggi—yang telah suwung harus merelakannya. Ini bagai Prabu Yudistira yang bahkan merelakan darah dagingnya sendiri diiris, bagaikan Nabi Ibrahim yang bahkan merelakan anak sendiri buat disembelih.

Persatuan Indonesia berarti pembatasan wilayah imajiner kepedulian kita terhadap seluruh makhluk agar keanekaragaman di dunia tetap terpelihara. Tak bisa seluruh dunia kita jadikan satu negara dan satu bangsa. Ini akan menyalahi kodrat lima unsur sumber daya alam: materi, waktu, energi, ruang, dan keanekaragaman.

Selanjutnya, hanya orang- orang yang terbukti mampu menjaga keanekaragaman dunia melalui persatuan Indonesia dalam ranah kemanusiaan atas dasar ketuhanan itulah yang berhak memimpin musyawarah mufakat. Itulah seyogianya makna sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Dengan keotoriterannya, SBY nanti bisa berfatwa: tak boleh ada musyawarah apa pun yang agendanya bukan untuk sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

SUJIWO TEJO Dalang

Sumber : Kompas.com

Jumat, 02 Oktober 2009

TATIB DPR RI

http://www.dpr.go.id/id/ruu/44/PERATURAN-DPR-RI-TTG-TATA-TERTIB

Rabu, 30 September 2009

Mahkamah Konstitusi Punya Peluang Uji Perppu No 4/2009

PERUNDANG-UNDANGAN
Mahkamah Konstitusi Punya Peluang Uji Perppu No 4/2009

Rabu, 30 September 2009 | 03:25 WIB

Jakarta, Kompas - Hakim konstitusi Akil Mochtar, Selasa (29/9) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, mengatakan, terbuka peluang bagi MK untuk menguji peraturan pemerintah pengganti undang-undang. MK tidak boleh terpaku dengan ketentuan, perppu hanya bisa diuji melalui political review oleh Dewan Perwakilan Rakyat. MK harus mengikuti perkembangan hukum ketatanegaraan.

Sebelumnya, Ketua MK Mahfud MD menegaskan, MK tidak akan menerima pengujian terhadap Perppu Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diterbitkan 22 September lalu. Alasannya, MK hanya bisa menguji UU dalam arti formil (Kompas, 29/9).

Akil menyatakan, MK sebagai pengawal konstitusi sekaligus pelindung hak konstitusional warga negara seharusnya dapat menguji perppu. Apalagi, saat ini tidak ada lembaga negara yang dapat mengontrol penerbitan perppu.

MK dalam putusannya terdahulu memang menyatakan, penerbitan perppu adalah hak subyektif Presiden. Ini sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden jika ada kegentingan memaksa. Namun, kata Akil, tak ada satu ketentuan pun mengenai kriteria kegentingan memaksa, baik di UUD 1945 maupun UU.

”Perppu memang dibahas oleh DPR pada masa sidang berikutnya. Bisa diterima atau ditolak. Tetapi, tidak dijelaskan masa sidang mana. Padahal, kemungkinan terjadi kerugian konstitusional warga negara sejak perppu itu diterbitkan. Tugas MK itu melindungi hak konstitusional warga,” kata Akil.

Secara terpisah, ahli hukum tata negara, Taufiqurrohman Syahuri, dan pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai bahwa perppu bisa dibawa ke MK. Secara materiil, perppu sama dengan UU.

Selain itu, kata Taufiqurrohman, sekarang adalah saat tepat untuk membuat kriteria tentang ihwal kegentingan memaksa untuk penerbitan perppu.

Selain putusan MK, kata dia, pengaturan kriteria kegentingan memaksa juga dapat dimuat dalam UU tersendiri atau dimasukkan dalam revisi atas UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Charles juga mendorong hakim konstitusi membuat terobosan hukum terkait pengujian perppu itu. ”MK harus memastikan, apakah perppu bisa diuji di lembaga itu atau tidak. Ini diperlukan demi adanya kepastian hukum,” ujarnya.

Berpotensi komplikasi

Di Bandung, Jawa Barat, Selasa, mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menilai, Perppu No 4/2009 prematur. Bahkan, perppu itu dikhawatirkan akan menimbulkan komplikasi hukum di kemudian hari.

Bagir, yang juga guru besar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, menjelaskan, perppu semestinya cuma mengatur ranah eksekutif atau pemerintahan. ”Tidak bisa menyangkut soal kelembagaan negara semacam DPR atau MA. Ini lembaga independen. KPK juga lembaga independen,” tuturnya.

Jika perppu yang dikeluarkan menyangkut langsung keberadaan lembaga negara atau lembaga independen lain, itu akan menghilangkan esensi independensi lembaga itu. ”Istilahnya, constutional dictatorship (kediktatoran konstitusional),” ujarnya.

Di Jakarta, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin juga menilai, penerbitan Perppu No 4/2009 merupakan langkah melemahkan pemberantasan korupsi.

”Perppu itu bentuk intervensi pemerintah sekaligus melemahkan independensi KPK,” katanya. Perppu itu juga menunjukkan, pemerintah masih setengah hati dalam pemberantasan korupsi. (ana/jon/nta)

Senin, 14 September 2009

DPR Kejar Tayang, Tiga Hari Sahkan 11 RUU

| Senin, 14 September 2009, 12:37:17 WIB
Jakarta, RMOL. Jelang pelantikan anggota dewan baru pada 1 Oktober 2009, DPR ngebet menelurkan sejumlah UU.

Seperti jadwal yang diterima Rakyat Merdeka Online pada hari ini (Senin,14/9), sidang Paripurna DPR RI yang dimulai pukul 09.00 WIB dijadwalkan menetapkan empat RUU yaitu Narkotika, Kesehatan, Perpu 2/2009 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Perppu 3/2009 tentang Keimigrasian.

Hari kedua (Selasa, 15/9) sidang paripurna diagendakan dengan penyampaian ikhtisar hasil pemeriksaan BPK semester I tahun anggaran 2009, yang dilanjutkan penetapan RUU Kepemudaan, Kawasan Ekonomi Khusus, dan Perposan. Kemudian diakhiri dengar pendapat fraksi-fraksi dan penetapan RUU usul inisiatif anggota DPR tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 2004 tentang Perikanan

Untuk hari ketiga, (Rabu, 16/9), DPR dijadwalkan mengesahkan RUU tentang Pajak Penambahan Nilai dan Pajak Penjualan barang mewah, penetapan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.Namun, dari 11 RUU yang rencananya akan disahkan menjadi UU oleh DPR tersebut tidak ada a RUU Pengadilan Tipikor dan RUU Rahasia Negara yang disahkan.


Sumber :myrmnews.com dalam berpolitik.com

Kamis, 20 Agustus 2009

BPK, Potensi Korupsi di Daerah, dan KPK


Kompas.com : Kamis, 20 Agustus 2009 | 05:02 WIB

Bambang Widjojanto

Ada kontradiksi antara peningkatan jumlah aliran dana ke daerah dan akuntabilitas penggunaan keuangan daerah yang dinilai terus merosot.

APBN Perubahan 2009 menetapkan, jumlah dana APBN Rp 1.005,7 triliun dan ada sekitar 60 persen diserahkan ke daerah. Di sisi lain, laporan keuangan pemerintah daerah yang mendapat opini dengan penilaian tidak wajar meningkat tajam dari 10 daerah (2004) menjadi 59 daerah (2007).

Sementara itu, hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 2008 menyebutkan, ada 93.481 rekomendasi senilai Rp 764 triliun yang perlu ditindaklanjuti. Dari jumlah itu, 38.010 rekomendasi senilai Rp 205 triliun belum ditindaklanjuti.

Merosotnya akuntabilitas

Menteri Keuangan beberapa waktu lalu dengan merujuk laporan BPK mengemukakan kian merosotnya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Penjelasan menteri dan laporan itu menyatakan, pertama, ada 21 daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian tahun 2004 dan merosot menjadi hanya 8 daerah tahun 2008. Kedua, ada 249 daerah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian tahun 2004 merosot menjadi 137 daerah (2008). Ketiga, ada 7 daerah tahun 2004 yang diberikan opini tidak memberikan pendapat menjadi 120 daerah (2008).

Uraian tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, ada kecenderungan kian merosotnya kinerja daerah dalam mengelola keuangan. Kedua, ada 157 daerah yang pengelolaan keuangannya dinilai membahayakan dan 249 daerah potensial membahayakan karena dapat merugikan keuangan negara. Ketiga, ketidakmampuan mengelola keuangan membuka peluang terjadinya fraud serta penyalahgunaan kewenangan yang dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keempat, potensi kerugian negara cenderung meningkat sesuai dengan kian memburuknya kualitas pengelolaan keuangan negara.

Laporan BPK juga menyatakan, pada tahun 2008 ada 31 laporan hasil pemeriksaan (LHP) meliputi 40 kasus senilai Rp 3,67 triliun dan 26,37 juta dollar AS yang mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada instansi berwenang. Dari jumlah itu, ada 24 LHP terdiri 37 kasus senilai Rp 3,59 triliun dan 26,37 juta dollar AS diserahkan kepada KPK; sisanya diserahkan kepada kepolisian satu LHP dan kejaksaan enam LHP terdiri tiga kasus senilai Rp 84,42 miliar. Laporan itu melengkapi laporan lain BPK yang menyatakan, tahun 2003-2008 ada 90 LHP yang terdiri 210 kasus senilai Rp 30,18 triliun dan 470,31 juta dollar AS.

Penyimpangan meningkat

Ada dugaan potensi penyimpangan pengelolaan keuangan negara akan meningkat seiring diadakan pemilihan kepala daerah di lebih dari 240 daerah tahun 2010. Asumsinya, pejabat di daerah akan lebih memberi perhatian pada pemilihan kepala daerah, kontrol pengelolaan keuangan daerah akan berkurang, serta sebagian pejabat potensial tergoda untuk menggunakan kewenangan dan keuangan daerah bagi kepentingan sendiri dalam pemilihan kepala daerah.

Berdasar uraian itu, ada dua upaya yang harus berjalan paralel, yaitu pencegahan penyimpangan penggunaan kewenangan melalui peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara serta upaya penindakan dengan memberi sanksi tegas dan keras guna menimbulkan efek jera atas tiap penyimpangan.

Pada konteks penindakan, sinergitas dan konsolidasi lembaga penegakan hukum untuk meminimalkan potensi korupsi dan penindakan atas kasus korupsi menjadi amat penting. Peran KPK dalam penindakan menjadi material dan relevan karena penindakan harus mendapat dukungan publik. KPK adalah lembaga penegakan hukum yang mendapat kepercayaan publik. Karena itu, tindakan mendekonstruksi konsolidasi lembaga penegakan hukum adalah naif.

Apalagi, tindakan ditujukan untuk mendelegitimasi keberadaan KPK dengan mengkriminalisasi pimpinan KPK tanpa dasar dan bukti hukum kuat. Tindakan itu adalah sabotase dan dapat dituding sebagai dekonstruksi pemberantasan korupsi karena membiarkan puluhan ribu temuan dan rekomendasi BPK dengan nilai kerugian ratusan triliun rupiah yang ”dicuri” di depan mata. Ini adalah konspirasi besar yang melegalisasi penyimpangan pengelolaan keuangan negara dan pesta akbar para koruptor yang dipastikan akan membangkrutkan negara dan menyengsarakan rakyat.

Siapa pun penegak hukum yang terbukti bersalah harus dihukum, tetapi itu tidak berarti menghancurkan eksistensi salah satu lembaga penegakan hukum. KPK harus terus dituntut untuk meningkatkan akuntabilitas penggunaan kewenangannya agar tetap amanah dalam mengelola integritas dan profesionalitasnya sehingga tidak ada peluang bagi setiap pimpinan dan staf di KPK dapat menyalahgunakan kewenangan.

Pada akhirnya, prioritas harus diberikan pada upaya pencegahan dan penindakan dengan menyinergikan dan mengonsolidasi lembaga penegakan hukum bukan malah mendekonstruksi peran KPK yang hingga kini masih dipercaya publik.

Bambang Widjojanto Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Advisor Partnership for Governance Reform

BPK, Potensi Korupsi di Daerah, dan KPK


Kompas.com : Kamis, 20 Agustus 2009 | 05:02 WIB

Bambang Widjojanto

Ada kontradiksi antara peningkatan jumlah aliran dana ke daerah dan akuntabilitas penggunaan keuangan daerah yang dinilai terus merosot.

APBN Perubahan 2009 menetapkan, jumlah dana APBN Rp 1.005,7 triliun dan ada sekitar 60 persen diserahkan ke daerah. Di sisi lain, laporan keuangan pemerintah daerah yang mendapat opini dengan penilaian tidak wajar meningkat tajam dari 10 daerah (2004) menjadi 59 daerah (2007).

Sementara itu, hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 2008 menyebutkan, ada 93.481 rekomendasi senilai Rp 764 triliun yang perlu ditindaklanjuti. Dari jumlah itu, 38.010 rekomendasi senilai Rp 205 triliun belum ditindaklanjuti.

Merosotnya akuntabilitas

Menteri Keuangan beberapa waktu lalu dengan merujuk laporan BPK mengemukakan kian merosotnya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Penjelasan menteri dan laporan itu menyatakan, pertama, ada 21 daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian tahun 2004 dan merosot menjadi hanya 8 daerah tahun 2008. Kedua, ada 249 daerah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian tahun 2004 merosot menjadi 137 daerah (2008). Ketiga, ada 7 daerah tahun 2004 yang diberikan opini tidak memberikan pendapat menjadi 120 daerah (2008).

Uraian tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, ada kecenderungan kian merosotnya kinerja daerah dalam mengelola keuangan. Kedua, ada 157 daerah yang pengelolaan keuangannya dinilai membahayakan dan 249 daerah potensial membahayakan karena dapat merugikan keuangan negara. Ketiga, ketidakmampuan mengelola keuangan membuka peluang terjadinya fraud serta penyalahgunaan kewenangan yang dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keempat, potensi kerugian negara cenderung meningkat sesuai dengan kian memburuknya kualitas pengelolaan keuangan negara.

Laporan BPK juga menyatakan, pada tahun 2008 ada 31 laporan hasil pemeriksaan (LHP) meliputi 40 kasus senilai Rp 3,67 triliun dan 26,37 juta dollar AS yang mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada instansi berwenang. Dari jumlah itu, ada 24 LHP terdiri 37 kasus senilai Rp 3,59 triliun dan 26,37 juta dollar AS diserahkan kepada KPK; sisanya diserahkan kepada kepolisian satu LHP dan kejaksaan enam LHP terdiri tiga kasus senilai Rp 84,42 miliar. Laporan itu melengkapi laporan lain BPK yang menyatakan, tahun 2003-2008 ada 90 LHP yang terdiri 210 kasus senilai Rp 30,18 triliun dan 470,31 juta dollar AS.

Penyimpangan meningkat

Ada dugaan potensi penyimpangan pengelolaan keuangan negara akan meningkat seiring diadakan pemilihan kepala daerah di lebih dari 240 daerah tahun 2010. Asumsinya, pejabat di daerah akan lebih memberi perhatian pada pemilihan kepala daerah, kontrol pengelolaan keuangan daerah akan berkurang, serta sebagian pejabat potensial tergoda untuk menggunakan kewenangan dan keuangan daerah bagi kepentingan sendiri dalam pemilihan kepala daerah.

Berdasar uraian itu, ada dua upaya yang harus berjalan paralel, yaitu pencegahan penyimpangan penggunaan kewenangan melalui peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara serta upaya penindakan dengan memberi sanksi tegas dan keras guna menimbulkan efek jera atas tiap penyimpangan.

Pada konteks penindakan, sinergitas dan konsolidasi lembaga penegakan hukum untuk meminimalkan potensi korupsi dan penindakan atas kasus korupsi menjadi amat penting. Peran KPK dalam penindakan menjadi material dan relevan karena penindakan harus mendapat dukungan publik. KPK adalah lembaga penegakan hukum yang mendapat kepercayaan publik. Karena itu, tindakan mendekonstruksi konsolidasi lembaga penegakan hukum adalah naif.

Apalagi, tindakan ditujukan untuk mendelegitimasi keberadaan KPK dengan mengkriminalisasi pimpinan KPK tanpa dasar dan bukti hukum kuat. Tindakan itu adalah sabotase dan dapat dituding sebagai dekonstruksi pemberantasan korupsi karena membiarkan puluhan ribu temuan dan rekomendasi BPK dengan nilai kerugian ratusan triliun rupiah yang ”dicuri” di depan mata. Ini adalah konspirasi besar yang melegalisasi penyimpangan pengelolaan keuangan negara dan pesta akbar para koruptor yang dipastikan akan membangkrutkan negara dan menyengsarakan rakyat.

Siapa pun penegak hukum yang terbukti bersalah harus dihukum, tetapi itu tidak berarti menghancurkan eksistensi salah satu lembaga penegakan hukum. KPK harus terus dituntut untuk meningkatkan akuntabilitas penggunaan kewenangannya agar tetap amanah dalam mengelola integritas dan profesionalitasnya sehingga tidak ada peluang bagi setiap pimpinan dan staf di KPK dapat menyalahgunakan kewenangan.

Pada akhirnya, prioritas harus diberikan pada upaya pencegahan dan penindakan dengan menyinergikan dan mengonsolidasi lembaga penegakan hukum bukan malah mendekonstruksi peran KPK yang hingga kini masih dipercaya publik.

Bambang Widjojanto Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Advisor Partnership for Governance Reform

Rabu, 12 Agustus 2009

SUMUT : Pelanggaran Diduga Dilakukan Tiga KPU Daerah

DK KPU Kantongi Bukti
Pelanggaran Diduga Dilakukan Tiga KPU

Rabu, 12 Agustus 2009 | 02:58 WIB

Medan, Kompas - Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum mengantongi bukti permintaan uang oleh anggota Komisi Pemilihan Umum di tiga kabupaten, yakni Nias Selatan, Tapanuli Tengah, dan Padang Lawas Utara, kepada calon anggota legislatif untuk DPRD setempat.

Rekomendasi sanksi dari Dewan Kehormatan (DK) paling lambat dikeluarkan pada pekan depan.

Menurut salah seorang anggota Dewan Kehormatan KPU Sumut, Surya Perdana, DK telah mengantongi bukti tentang adanya permintaan uang oleh anggota KPU di tiga kabupaten, yakni Nias Selatan, Tapanuli Tengah, dan Padang Lawas Utara, kepada calon legislatif DPRD setempat.

”Bukti tersebut kini disimpan oleh salah seorang anggota DK. Rencananya mulai Rabu hingga Jumat kami akan mengonfrontasi bukti ini dengan anggota KPU dari Nias Selatan, Tapanuli Tengah, dan Padang Lawas Utara,” ujar Surya di Medan, Selasa (11/8).

Selesai mengonfrontasi, Surya mengatakan, DK akan segera menerbitkan rekomendasi sanksi terhadap dugaan pelanggaran berat kode etik penyelenggara pemilu tersebut. ”Kami akan keluarkan rekomendasi sanksi tersebut paling lambat pekan depan. Selanjutnya, sanksi akan diputuskan oleh KPU Sumut,” katanya.

DK KPU Sumut, kata Surya, telah selesai memeriksa keterangan dari para pelapor dugaan kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan ketiga KPU kabupaten itu. Terkait dengan dugaan pelanggaran oleh KPU Langkat, Batubara, dan Mandailing Natal, menurut Surya, berdasarkan pemeriksaan DK KPU Sumut belum ada bukti yang kuat mereka melanggar kode etik.

”Kalau KPU Langkat hanya soal gaya kepemimpinan ketuanya yang katanya suka mengancam PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) kalau melanggar akan dipidana. Untuk KPU Batubara dan Mandailing, dugaan tersebut hanya berdasarkan katanya. Tidak ada laporan resmi ataupun bukti-bukti pelanggaran kode etik yang masuk ke KPU Sumut,” kata Surya.

Ketua KPU Sumut Irham Buana Nasution belum bisa memastikan, apakah pelanggaran yang diduga dilakukan ketiga KPU kabupaten itu merupakan pelanggaran kolektif atau individual. ”Kami belum bisa memastikan apakah yang melanggar hanya individu-individu anggota KPU atau telah terjadi pelanggaran yang sifatnya kolektif, dilakukan semua anggota KPU kabupaten tersebut,” kata Irham.

Irham memastikan, jika terbukti ada pelanggaran berat kode etik, seperti permintaan uang kepada calon legislatif, anggota KPU yang bersangkutan bisa dipecat. (BIL)

Jumat, 07 Agustus 2009

Akhirnya MK 'Mentahkan' MA Soal Kursi

INILAH.COM, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan bahwa Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Dengan adanya putusan itu, otomatis Putusan Mahkamah Agung (MA) menjadi mentah.

"Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi parpol peserta Pemilu dilakukan dengan cara menentukan kesetaraan 50%suara sah dari angka BPP, yaitu 50%dari angka BPP di setiap daerah pemilihan Anggota DPR," ujar Ketua MK Mahfud MD saat membacakan amar putusannya di Gedung MK, Jakarta, Jumat (7/8).

Cara kedua, sambungnya, membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR kepada Partai Politik peserta Pemilu Anggota DPR. Dengan ketentuan, apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota DPR mencapai sekurang-kurangnya 50% dari angka BPP, maka Partai Politik tersebut memperoleh 1 (satu) kursi.

"Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota DPR tidak mencapai sekurang-kurangnya 50% dari angka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga dan sisa suara partai politik yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga," paparnya.

Dengan dikabulkannya permohonan PKS, Hanura dan PPP ini, maka putusan MA yang membatalkan beberapa pasal dalam peraturan KPU No 15/2009 menjadi mentah. Namun, Mahfud menegaskan gugatan yang didaftarkan itu bukan untuk membatalkan putusan MA. [mut]

Kamis, 06 Agustus 2009

SERANGAN JANTUNG


Keringat Dingin Bisa Bawa Kematian

Kompas - Kamis, 6 Agustus 2009 | 04:57 WIB

Oleh A Fauzi Yahya, SpJP

”If the heart trembles, has little power and sinks, the disease is advanced and death is near.” Ebers papyrus, 1500 SM. Urip Achmad Rijanto atau yang dikenal dengan nama Mbah Surip, pelantun lagu Tak Gendong yang fenomenal, meninggal dunia mendadak.

Seminggu sebelumnya, Mbah Surip telah mengeluh sesak napas, tetapi padatnya jadwal acara membuat keluhan tersebut terabaikan. Sehari sebelum kematian, seniman berambut gimbal itu merasa sudah begitu lelah sehingga ia mengungsi ke rumah pelawak Srimulat, Mamik Prakoso.

Di kediaman Mamik, Mbak Surip tampak pucat, lemas, bahkan sempat pingsan sehari sebelum meregang nyawa. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit, tetapi dalam perjalanan, nyawa Mbah Surip yang berusia 52 tahun itu tak tertolong lagi. Penyebab kematian si Mbah yang gemar merokok dan menyeruput kopi itu diduga adalah serangan jantung.

Serangan jantung

Serangan jantung yang dalam terminologi medis disebut sebagai infark miokard akut (IMA) memang kerap dituding sebagai penyebab kematian mendadak. Hal ini bisa dimengerti karena sepertiga penderita serangan jantung meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Serangan jantung terjadi karena adanya sumbatan gumpalan darah di pembuluh koroner.

Pembuluh koroner adalah pembuluh yang memperdarahi otot jantung. Melalui pembuluh inilah, jantung mendapat oksigen dan nutrisi sehingga otot- otot jantung dapat berkontraksi terus-menerus sepanjang hari tanpa henti.

Pembuluh koroner normal memiliki dinding dalam yang mulus. Pada koroner yang tidak sehat, lapisan dinding dalam pembuluh darah itu mengeras dan menebal karena adanya kerak-kerak (aterosklerosis). Kerak-kerak itu berintikan kolesterol dan berbagai sel, termasuk sel-sel radang.

Kebanyakan serangan jatuh terjadi manakala kerak-kerak itu retak atau pecah, lalu kerak tersebut memicu keping-keping darah (platelet) untuk menempel dan bergerombol membentuk gumpalan darah yang berpotensi menyumbat liang koroner.

Keluhan serangan

Keluhan serangan jantung tidak selalu seperti yang kita saksikan di layar sinetron saat aktor berakting memegang dada kiri sambil mata mendelik dan membungkukkan badan lalu tersungkur ke lantai.

Terdapat berbagai ragam keluhan serangan jantung. Pada umumnya, penderita serangan jantung mengeluhkan dada seperti tertekan benda berat disertai rasa kebas yang menjalar ke bagian lengan.

Kadang penjalaran rasa sakit ke punggung dan rahang. Ada pula yang mengeluh leher seperti tercekik. Pada sebagian penderita, keluhan itu tidak khas, yaitu rasa tidak enak di ulu hati, sehingga disangka penyakit lambung. Manifestasi serangan jantung pada orang lanjut usia malah sering tidak jelas, seperti badan lemas disertai pandangan yang kabur, bahkan pingsan.

Keluhan serangan jantung biasanya disertai keluar keringat dingin, rasa mual, bahkan hingga muntah. Keluhan demikian ini kadang disalahartikan sebagai masuk angin sehingga penderita bukannya segera dibawa ke rumah sakit malah dikerok— akibatnya pertolongan yang semestinya diberikan segera menjadi terlambat.

Serangan jantung dapat mengenai mereka yang sebelumnya dikenal sebagai penderita penyakit jantung koroner, tetapi dapat pula terjadi pada mereka yang tidak diketahui menderita penyakit jantung sebelumnya.

Penderita dengan pola hidup yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, rentan mengalami serangan jantung.

Penderita kencing manis, hipertensi, hiperkolesterol, dan adanya riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner berisiko lebih tinggi mengalami serangan jantung dibandingkan mereka yang tak punya faktor- faktor risiko tersebut. Pada mereka dengan faktor risiko yang lebih banyak, risiko serangan jantung semakin meningkat.

Gangguan irama ganas

Kematian akibat serangan jantung bisa karena serangan masif yang membuat jantung gagal memompa dengan baik. Serangan masif terjadi bila sumbatan mengenai pangkal pembuluh koroner utama. Biasanya penderita serangan seperti ini mengeluh sesak napas berat.

Penyebab tersering kematian mendadak penderita serangan jantung adalah gangguan irama ganas yang disebut ventrikel fibrilasi. Irama jantung yang kacau ini membuat jantung hanya bisa bergetar hingga 300 kali per menit, tetapi tidak mampu berkontraksi.

Hipotesis terkuat menyebutkan, kekacauan irama ini disebabkan arus bolak-balik (reentry) pada area jantung dengan inhomogenitas elektrik lantaran suplai oksigen yang terganggu.

Bila tak segera diatasi, gangguan irama demikian ini dapat menyetop kerja jantung sehingga pasokan darah ke seluruh tubuh, termasuk otak, akan terhenti. Beberapa saat sebelum mengalami kematian, penderita dengan irama fatal ini biasanya mengalami pingsan kemudian kejang diikuti henti napas dan henti jantung.

Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam waktu 4 hingga 6 menit setelah henti jantung. Begitu cepatnya serangan fatal sehingga penderita tidak sempat dibawa ke rumah sakit lantaran meregang nyawa di tempat kejadian atau saat dalam perjalanan.

Pertolongan tepat

Gangguan irama ini berpeluang dinormalkan kembali bila dalam hitungan menit dilakukan kejut jantung (defibrilasi). Alat kejut jantung yang ditempelkan di dada ini akan mengalirkan energi listrik yang berfungsi me-reset irama jantung. Setiap menit keterlambatan pertolongan, kesempatan korban selamat turun 10 persen.

Pertolongan akan sia-sia bila dilakukan lebih dari 10 menit pascakejadian.

Di negara-negara maju, alat kejut jantung mudah dijumpai di berbagai sudut keramaian publik, seperti di bandara udara, stasiun kereta, terminal bus, hingga mal-mal. Alat kejut jantung otomatis ini mudah digunakan oleh orang awam sekalipun.

Penderita dengan keluhan yang mengarah ke serangan jantung semestinya segera dibawa ke rumah sakit. Aliran darah koroner yang tersumbat harus dialirkan kembali (reperfusi), baik melalui obat penghancur gumpalan darah (thrombolitik) maupun segera dilakukan tindakan intervensi koroner dengan balonisasi disertai pemasangan stent (primary percutaneous coronary intervention).

Tindakan reperfusi ini dapat menurunkan risiko kematian dan gagal jantung serta mengurangi kejadian irama fatal yang menyertai serangan jantung.

Bila kematian Mbah Surip memang dikarenakan serangan jantung, sangat disayangkan bahwa keluhan awal yang dirasakan dalam satu minggu itu atau paling tidak sehari sebelumnya tidak sempat mendapatkan pertolongan medis yang tepat sehingga nyawa seniman nyentrik itu tak tertolong....

Selamat ”tidur” Mbak Surip....

Dr A FAUZI YAHYA, SpJP Dokter Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di RSUP Dr Hasan Sadikin/FK Universitas Padjadjaran Bandung

Senin, 03 Agustus 2009

Inilah Hasil Pleno KPU Terkait Putusan MA

Senin, 3 Agustus 2009


Liputan6.com, Jakarta: Setelah mempelajari dan menelaah berbagai aspek tentang putusan Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menetapkan sikap menghargai, menghormati dan siap menjalankan putusan dari MA. Hal tersebut disampaikan saat jumpa pers usai rapat pleno KPU yang digelar di Gedung KPU, Jakarta, Sabtu (1/8) malam.

Ada beberapa poin keputusan yang dihasilkan. Di antaranya penundaan pemberlakuan Surat Keputusan (SK) KPU No. 259, penundaan penetapan jumlah perolehan kursi. Selanjutnya melakukan revisi pada waktunya sesuai tenggat waktu peraturan MA, yaitu selama 90 hari sejak putusan itu dikirim, yang berarti jatuh pada 20 Oktober mendatang.

Sementara terkait revisi SK No. 259 tentang penetapan anggota DPR RI, KPU akan lakukan sinkronisasi pembagian kursi tahap ketiga. Sebab, pasal 205 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Legislatif yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, harus menyesuaikan penghitungan suara yang dilakukan KPUD. Termasuk judicial review atau hak uji materi yang disampaikan sejumlah partai politik pada pekan ini.

Selain itu, putusan MA berlaku sejak ditetapkan pada 20 Juli lalu. Dengan demikian, segala peraturan KPU dinyatakan sah dan berlaku sebelum diadakan revisi atau perubahan. Karena itu, putusan MA tidak berlaku surut. Alhasil, proses pelantikan anggota DPRD di daerah tetap bisa dilaksanakan dan dianggap sah.

Adapun pernyataan lengkap yang disampaikan KPU adalah sebagai berikut:

1. KPU menghargai setiap putusan hukum yang diputuskan oleh MA. Pada prinsipnya KPU siap melaksanakan putusan MA.

2. KPU berpendapat bahwa putusan MA No.57/P.PTS/VII/12P/HUM/Tahun 2009, No.58/P.PTS/VII/12P/HUM/Tahun 2009, No.59/P.PTS/VII/12P/HUM/Tahun 2009, No.60/P.PTS/VII/12P/HUM/Tahun 2009 dan No.61/P.PTS/VII/12P/HUM/Tahun 2009 tidak berlaku surut. Oleh karenanya putusan MA akan dilaksanakan KPU dalam rentang waktu paling lambat 90 hari atau 20 Oktober sejak putusan MA dikirim ke KPU pada 22 Juli 2009, sesuai dengan pasal 8 Peraturan MA No.01 Tahun 2004.

3. Sepanjang belum adanya peraturan KPU hasil revisi sesuai dengan amar putusan MA, maka Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan KPU No. 26 Tahun 2009 dan Keputusan KPU No. 259 tahun 2009 dinyatakan tetap berlaku.

4. KPU menunda pelaksanaan keputusan KPU No. 259 Tahun 2009 sesuai dengan amar putusan MA

(UPI/ANS)


berita.liputan6.com

Minggu, 02 Agustus 2009

KPU Tak Ubah Jatah Kursi

INILAH.COM, Jakarta - Menyikapi putusan MA, KPU memutuskan tidak akan mengubah perhitungan kursi DPR dan DPRD tahap II. Namun KPU akan merubah peraturan KPU no 15 tahun 2009 tentang pedoman teknis perhitungan suara dan kursi DPR dan DPRD.

"Putusan MA tidak berlaku surut dan tenggang waktu yang diberikan untuk perubahan dalam waktu 90 hari maka semua keputusan maupun peraturan, KPU menyatakan tetap sah," tegas Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary saat jumpa pers di KPU, Jakarta, Sabtu (1/8)

Menurut Hafiz, batas 90 hari akan habis pada 22 Oktober 2009, bila KPU tidak melaksanakan putusan tersebut maka secara otomatis putusan MA tersebut berlaku. Oleh karenanya, tutur Hafiz, sebelum tenggang waktu habis KPU akan melakukan revisi peraturan KPU terkait dengan mekanisme perhitungan kursi tahap dua DPR dan DPRD.

Jadi keputusan dan peraturan KPU tetap berlaku sebelum ada revisi atau perubahan yang dilakukan KPU. Dengan begitu maka tahapan pemilu legislatif yang terakhir yaitu pelantikan anggota DPR, DPRD, DPD terpilih dapat dilaksanakan sesuai pada jadwalnya masing-masing.

"Tidak ada perubahan apa-apa, jadi selama tidak ada revisi maka yang berlaku sekarang tetap berlaku," ujarnya.

Sebagaimana diketahui pelantikan anggota DPRD terpilih dijadwalkan mulai awal Agustus ini. [ton] Windi Widya Ningsih

Sabtu, 01 Agustus 2009

Anggota DPRD Terpilih Tetap Dilantik


Jumat, 31 Juli 2009


JAKARTA (SI) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) memerintahkan jajarannya di daerah tetap meneruskan proses pelantikan anggota DPRD terpilih dan tidak terpengaruh putusan Mahkamah Agung (MA).

Alasannya, peraturan KPU yang mengatur tentang penghitungan kursi DPRD masih menjadi norma hukum positif. “KPU daerah bisa jalan terus melantik anggota DPRD,” kata Anggota KPU I Gusti Putu Artha di Gedung KPU,Jakarta,kemarin.

KPU provinsi dan kabupaten atau kota tidak perlu menunggu eksekusi putusan MA terkait penghitungan kursi DPRD.“Belum ada peraturan yang dicabut atau dibatalkan, sehingga sampai sekarang (Peraturan KPU No 15/ 2009) masih berlaku,”ujarnya.

Dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 8 disebutkan, putusan baru berlaku setelah KPU melaksanakan putusan atau setelah lewat masa transisi 90 hari. Artinya,sampai saat ini belum ada peraturan atau keputusan KPU yang dibatalkan. Pelantikan anggota DPRD oleh KPU di daerah pun tetap sah.

Pelantikan anggota DPRD, baik provinsi maupun kabupaten atau kota,tidak berjalan serentak. Ada daerah yang harus melaksanakan pelantikan pada Agustus karena masa jabatan anggota lama sudah habis. Adapun pelantikan anggota DPR akan dilaksanakan pada 1 Oktober 2009. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary memastikan segera menyikapi putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU No 15/2009 tentang penetapan kursi anggota DPR dan DPRD tahap kedua DPR dan penghitungan kursi DPRD provinsi dan kabupaten atau kota.

Penyikapan dilaksanakan setelah proses persiapan sengketa hasil pemungutan suara pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). “Saya ingin melihat persiapan kawan-kawan menghadapi proses di MK.Kalau misal ini (persiapan di MK) sudah rampung semua, mungkin sekitar Sabtu (1/8) bisa pleno untuk menyikapi putusan MA,” ungkapnya di Gedung KPU kemarin.

Dari lima putusan MA tentang hak uji materi Peraturan KPU No 15/2009, dua di antaranya merupakan putusan tentang pembatalan cara penghitungan kursi di tingkat DPRD. Putusan pertama No 58/P.PTS/VII/13P/HUM/2009 dari pemohon DPD tingkat I Golkar Sulsel dengan pokok perkara uji materi Pasal 38 ayat 2 huruf b dan Pasal 37 huruf b Peraturan KPU No 15/2009.

Putusan kedua ialah No 60/P.PTS/VII/16P/HUM/2009 dari pemohon Rusdi dengan pokok perkara uji materiil Pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat 2 huruf b Peraturan KPU No 15/2009.MA mengabulkan dua permohonan uji materi itu. Pasal-pasal yang diujikan dianggap bertentangan dengan UU No 10/2008, sehingga KPU harus mencabut dan membatalkan pasal-pasal itu.

MA juga mengabulkan permohonan calon anggota legislatif dari Partai Demokrat Zaenal Ma’arif dkk untuk membatalkan pasal tentang penghitungan kursi tahap kedua yang tercantum dalam Peraturan KPU No 15/2009. Dari putusan tersebut, imbas perubahan kursi diprediksi akan terjadi di DPR dan DPRD.

Spekulasi yang muncul terkait putusan tersebut telah menyebabkan munculnya interpretasi adanya perubahan perolehan kursi parpol hasil Pemilu 2009. Partai Demokrat,yang berdasarkan penghitungan KPU mendapatkan 150 kursi,berubah menjadi mendapatkan 181 kursi.Golkar dari 107 kursi bertambah menjadi 132 kursi.

PDIP dari 95 kursi menjadi 111 kursi.PKS dari 57 kursi menjadi 47 kursi. PKB dari 27 tetap 27 kursi. Kemudian,PPP dari 37 menjadi 21. PAN dari 43 kursi menjadi 28 kursi. Gerindra dari 26 kursi menjadi 8 kursi. Terakhir, Hanura dari 18 kursi menjadi 5 kursi.

Di tempat terpisah,Ketua MA Harifin Andi Tumpa menegaskan bahwa alasan MA mengabulkan uji materi peraturan KPU tersebut yang diajukan Zaenal Ma’arif dkk dari Partai Demokrat itu supaya sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Putusan yang belakangan ini ada fakta baru, yaitu mempertimbangkan putusan MK,” kata Harifin di Gedung MA,Jakarta,kemarin. Menurut Harifin,permohonanpermohonan sebelum itu ditolak karena belum ada putusan MK yang dimaksud. Menurutdia, apa bila MA menolak permohonan uji materi setelah putusan MK, nantinya malah akan saling bertentangan.

MK dalam putusan PHPU (perselisihan hasil pemilihan umum) legislatif membatalkan tata cara penghitungan tahap tiga yang ada di dalam peraturan KPU karena bertentangan dengan UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif. Harifin juga menegaskan, putusan MA mengenai uji materi bersifat final dan mengikat.

Tak ada cara lagi untuk melawan putusan uji materi peraturan di bawah undang-undang atas undangundang itu. “Putusan hak uji materi itu final dan mengikat,” tekannya. Sebagai bentuk mengikatnya, 90 hari setelah putusan tersebut diterima pihak yang bersangkutan, langsung berlaku. Dalam hal putusan 15P/HUM/2009 dan 16P/ HUM/2009,berarti berlaku 90 hari setelah 22 Juli 2009, hari KPU menerima salinan putusan. “Nanti silakan KPU melaksanakan.

Kalau tidak (dilaksanakan), maka (berlaku aturan) dalam peraturan MA itu dikatakan, dalam waktu 90 hari Peraturan KPU (yang diujikan) tidak berlaku,” kata Harifin. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie juga menegaskan perubahan aturan peraturan KPU tidak berlaku surut,tetapi berlaku ke depan.

Menurut dia, di seluruh dunia tidak pernah ditemui putusan uji materi berlaku surut. “Dalam sistem hukum apa pun,pasti uji materi itu berlaku ke depan,”kata Jimly saat dihubungi tadi malam. Jimly menjelaskan, kalau ada sejumlah pihak yang masih bingung mengenai akibat putusan MA tersebut, berarti kurang memahami amar putusan MA yang dinilai kurang sempurna.

“Tapi ketidaksempurnaan itu tidak boleh jadi alasan untuk melaksanakan putusan itu secara salah.Misalnya dengan mengubah kembali penetapan hasil pemilu yang sudah selesai di MK,”urainya. Dia menambahkan, putusan hakim harus dipahami secara hukum, tidak boleh dipahami secara politis.

Karena itu, putusan hukum tidak bisa dicampuradukkan dengan kepentingan politis. “Ini keputusan hukum, bukan politis,”kata Jimly. Atas putusan MA tersebut, dia meminta agar KPU segera melaksanakan putusan.

Sementara itu, sejumlah politisi lintas partai yang merasa dirugikan dengan Peraturan KPU No 15/2009 membentuk Koalisi Konstitusi dan Keadilan (K3) dan mereka mendesak KPU segera menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) tentang penghitungan tahap kedua perolehan kursi DPR.

(m purwadi/kholil)


www.seputar-indonesia.com

Putusan MA Munculkan Kerumitan di Daerah

Sabtu, 1 Agustus 2009 | 03:33 WIB

Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Agung menimbulkan kerumitan penghitungan kursi di daerah. Di beberapa daerah pemilihan, jatah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bisa dibagi lagi. Hal itu, di antaranya, karena tidak ada partai politik yang mampu memenuhi bilangan pembagi pemilih.

Selain itu, juga karena ada dua parpol yang memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP) sehingga menyisakan jatah kursi kosong.

”Misalnya, di dapil Kabupaten Kulon Progo, tak satu pun parpol bisa memenuhi BPP (36.609 suara). Padahal, ada enam kursi DPRD DIY tersedia di sana. Lha, enam kursi kosong ini akan diberikan ke siapa? Kalau diberikan kepada peraih suara terbanyak juga harus ada aturannya,” ungkap Any Rohyati, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Yogyakarta, Jumat (31/7) di Yogyakarta.

Seperti diberitakan sebelumnya, MA telah mengeluarkan keputusan yang membatalkan Pasal 45 huruf b dan Pasal 46 Ayat 2 huruf b Peraturan KPU Nomor 15/2009. Dengan pembatalan pasal itu, parpol yang tidak memperoleh kursi pada tahap pertama karena tidak memenuhi BPP tidak dapat mengikuti penghitungan kursi tahap kedua.

Dicontohkan juga, di dapil Kota Yogyakarta dengan jatah tujuh kursi, hanya ada dua parpol yang bisa memenuhi BPP 28.596 suara, yaitu Partai Demokrat (50.405 suara) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (42.554 suara). Pada pembagian pertama sesuai dengan BPP, dua parpol masing-masing mendapat satu kursi. Karena masih memiliki sisa suara, keduanya mendapatkan satu kursi lagi. ”Sisa tiga kursi berikutnya akan dibagi untuk siapa? Ini, kan, belum ada aturannya,” ujarnya. Adapun kursi DPR dari dapil DIY tidak berpengaruh karena DIY hanya satu dapil.

KPU DIY sampai kini masih menunggu instruksi KPU Pusat. Namun, sampai kemarin belum ada perintah baru selain hanya diminta pasif. Pihaknya berharap KPU Pusat segera memberikan kepastian akan melaksanakan putusan MA atau tidak. Ini karena agenda pelantikan anggota DPRD kabupaten/kota 2009-2014 makin dekat, yaitu pertengahan Agustus, dan pelantikan anggota DPRD terpilih 31 Agustus.

Ketua Panitia Pengawas Pemilu DIY Agus Triyatno mengingatkan, putusan MA bila diterapkan akan membawa rentetan dampak politik yang pelik. Dikhawatirkan, ini akan memunculkan kondisi sosial politik yang tidak baik akibat kekecewaan calon anggota legislatif yang semula dinyatakan lolos, tetapi kemudian dinyatakan batal terpilih.

Di Temanggung, KPU Kabupaten Magelang dan Temanggung di Jawa Tengah mulai didatangi para calon anggota legislatif yang memperoleh kursi dalam Pemilu 2009 atau tidak. Mereka semua mempertanyakan tentang kejelasan posisi masing-masing terkait dengan putusan MA tentang pembatalan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009.

”Mereka yang terpilih menanyakan apakah dengan adanya putusan MA, posisinya tergeser atau tidak. Sedangkan yang tidak terpilih bertanya apakah mereka berpeluang memperoleh kursi atau tidak,” ujar Ketua KPU Kabupaten Magelang Ahmad Majidun.

Bakal adanya kursi kosong juga dialami KPU Jawa Barat yang diperkirakan bakal ada kursi kosong di DPRD Jabar bila putusan MA itu dilaksanakan.

”Bila pembagian sesuai BPP itu dilakukan, akan ada banyak kursi kosong, yakni sisa kursi yang tidak bisa lagi diisi karena sisa suara dari penghitungan tahap pertama sudah dibagi habis,” kata Ketua KPU Jabar Ferry Kurnia Rizkiyansyah.

Sementara KPU Kabupaten/Kota Denpasar menunggu keputusan pusat soal perubahan penghitungan kursi DPRD. Meski demikian, pelantikan anggota DPRD di sejumlah kabupaten di Bali tak mungkin ditunda.

Ketua KPU Badung Wayan Gendra mengatakan, pihaknya bingung karena tidak ada instruksi apa pun dari pusat. ”Kami tidak mungkin menunda pelantikan. Tetapi, kami juga belum menyiapkan apa pun jika ada perubahan,” kata Gendra. (RWN/EGI/AHA/REK/AYS/WIE)

Batalkan Putusan MA, PPP Akan Uji Materi UU Pemilu

Jakarta - Keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) No 15P/HUM/2009 tentang pembatalan penghitungan suara tahap kedua harus ditempuh secara hukum. Pasalnya, MA secara konstitusional memiliki kewenangan menguji peraturan KPU.

"Dengan senantiasa menjunjung tinggi prinsip negara hukum, keberatan atas putusan MA harus ditempuh dengan langkah hukum. Yang dapat membatalkan putusan hukum adalah putusan hukum, bukan politik," kata Ketua Pengurus Harian DPP Partai Persatuan Pembangunan Bidang Hukum dan HAM, Lukman Hakim Saifuddin dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (31/7/2009).

Dikatakan Lukman, untuk membatalkan putusan MA, PPP akan mengajukan pengujian materi pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menyampaikan 9 dasar pengajuan uji materiil tersebut.

"Pertama, UU 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan untuk memilih wakil rakyat dan membentuk pemerintahan yang mencerminkan aspirasi rakyat sesuai dengan prinsip kedaulatan. Karenanya pemilu harus dilaksanakan secara jujur dan adil," kata Lukman.

Kedua, lanjut Lukman, guna mewujudkan amanah konstitusi UU No 10/2008 mengatur aspirasi rakyat dalam bentuk suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi di DPR. Ketiga, pengaturan tentang penentuan kursi DPR tahap kedua diatur dalam pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 dan berdasarkan pasal itu, KPU membuat Peraturan KPU Nomor 15/2009. Dalam pasal 22 huruf c dan padal 23 ayat 91) dan ayat (3) disebutkan parpol yang ikut dalam penghitungan tahap kedua adalah parpol yang mempunyai "sisa suara" lebih dari 50 persen BPP.

Keempat, berdasarkan ketentuan itu, suara yang telah dihitung dalam tahap pertama tidak lagi dihitung dalam tahap kedua. Dengan demikian, prinsip satu suara hanya hanya bermakna untuk penentuan satu kursi bisa diterapkan dan sejalan denan maksud pasal 205 ayat (5) UU No 10/2008. Pasal tersebut menentukan yang menjadi dasar pembagian adalah sisa suara sah dari penghitungan tahap kedua.

"Kelima, akan tetapi putusan MA, peraturan KPU No 15/2009 dibatalkan. Putusan tersebut menyatakan dasar penghitungan untuk tahap kedua bukan sisa suara dari penghitungan tahap pertama yang sekurang-kurangnya 50 persen, tetapi yang secara total memperoleh 50 persen," cetusnya.

Keenam, lanjut Lukman, bahwa dengan putusan MA, maka tafsir terhadap pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 yang dibuat KPU melalui Peraturan KPU No 15/2009 menjadi tidak berlaku, dan tafsir formal yang berlaku adalah sebagaimana putusan MA.

"Namun, putusan MA itu bertentangan dengan pasal 1 ayat (2) dan pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 karena menyebabkan terjadinya perbedaan nilai antara suara yang satu dengan pemilih lainnya dan merugikan hak konstitusional pemilih dan calon wakil rakyat," imbuhnya.

"Kedelapan, berdasarkan uraian itu, maka pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008) harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Atau setidaknya, sembilan, pasal tersebut dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (Conditionally consitutional)," pungkasnya.
( irw / irw )Muhammad Nur Hayid - detikPemilu

Kamis, 30 Juli 2009

DPRD Tolak Putusan Mahkamah Agung

Kamis, 30 Juli 2009 | 03:19 WIB

Jakarta, Kompas - Asosiasi DPRD Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia menolak putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 yang terkait dengan penghitungan kursi DPRD kabupaten/kota. Alasannya, anggota DPRD kabupaten/kota periode 2009-2014 akan segera dilantik.

Direktur Eksekutif Asosiasi DPRD Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (Adkasi) Iwan Soelasno, Rabu (29/7), mengatakan, saat ini calon anggota DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia, yang sudah ditetapkan sebagai calon terpilih oleh KPU kabupaten/kota, sedang menyiapkan upacara pelantikan yang direncanakan bulan Agustus 2009. Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota berbeda-beda di seluruh Indonesia sehingga upacara pelantikan tergantung dari habisnya masa jabatan mereka.

MA telah mengeluarkan putusan yang membatalkan Pasal 45 Huruf b dan Pasal 46 Ayat 2 Huruf b Peraturan KPU No 15/2009. Uji materi terhadap pasal-pasal itu diajukan oleh Tudsi, calon anggota DPRD Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dengan pembatalan pasal itu, parpol yang tidak memperoleh kursi pada tahap pertama karena tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih tidak dapat mengikuti penghitungan kursi tahap kedua.

”Masa jabatan mereka harus pas lima tahun, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Untuk itu, sebagian besar anggota Adkasi menolak putusan MA sekalipun harus berseberangan dengan DPP parpolnya masing-masing,” kata Iwan.

Untuk itu, lanjut Iwan, KPU harus segera berkoordinasi dengan MA. ”Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi gejolak politik di kabupaten/kota. Adkasi khawatir putusan MA akan membuat konflik politik horizontal, baik internal parpol maupun antarparpol,” ujar Iwan.

Secara terpisah, anggota KPU, Andi Nurpati Baharuddin, mengungkapkan, KPU akan segera melakukan rapat pleno pekan ini untuk membicarakan lima putusan MA terkait dengan Pemilu Legislatif 2009. ”Kami semua mempunyai niat untuk segera mengambil keputusan terkait putusan MA dan MK (Mahkamah Konstitusi). Apalagi, anggota DPRD akan segera dilantik mulai bulan depan. Kalau pelantikan anggota DPR, masih tanggal 1 Oktober, sehingga KPU punya waktu dua bulan lagi,” katanya.

Andi melanjutkan, pada prinsipnya KPU menghormati dan menghargai putusan MA. Karena itu, KPU harus mempunyai dasar yang kuat apabila akan mengambil keputusan.

KPU temui pimpinan MA

Wakil KPU, kemarin, bertemu dengan pimpinan MA di kantor MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. KPU meminta penjelasan terkait putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU No 15/2009 khusus terkait pembagian kursi tahap kedua. ”Kami cuma menyampaikan inilah putusan MA,” ujar juru bicara MA, Hatta Ali. Dalam pertemuan itu, ungkap Hatta, KPU sama sekali tidak menyampaikan keberatan. Mereka hanya bertanya bagaimana penerapannya.

Menurut Hatta, MA menjelaskan, putusan mereka adalah putusan terhadap perkara hak uji materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pengujian itu memang merupakan wewenang MA.

”Inilah (Peraturan KPU) yang majelis hakim uji. Ternyata majelis melihat ada pertentangan antara Peraturan KPU Pasal 22 dan 23 dengan UU No 10/2008 Pasal 205 Ayat 4. Kami tidak lihat perhitungan suaranya. Itu bukan wewenang kami,” ujar Hatta.

Ditanya mengenai revisi hasil penghitungan, Hatta menjelaskan, hal itu tergantung KPU. Namun, putusan MA tersebut tidak berlaku surut. Putusan MA berlaku ke depan. ”Peraturannya yang dibatalkan, dan MA memerintahkan untuk merevisi peraturannya,” ujar Hatta.

Dalam pengujian itu, Hatta menegaskan bahwa MA semata-mata melihat dari segi hukum. ”MA tidak melihat aspek politis. Karena waktu perkara diputus, kami tidak tahu siapa yang diuntungkan dan dirugikan. MA semata-mata hanya melihat ada pertentangan. Kami tidak melihat soal angka. Kami tidak tahu. Kalau kami tahu, itu justru tidak obyektif,” ujar Hatta.

Masih mengenai persoalan yang sama, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie meminta KPU segera melaksanakan putusan tersebut.

”Saya anjurkan putusan hukum harus dihormati dan dilaksanakan. Soal bagaimana caranya, substansi apa yang mau dimuat, itu pandai-pandai KPU. Sebab, implikasi dari kesimpangsiuran bisa menimbulkan masalah yang serius sekali. Jadi, KPU jangan memberi kesan tidak menghormati hukum. Mereka itu institusi resmi,” ujar Jimly.

Secara terpisah, mantan hakim agung MA, Benjamin Mangkoedilaga, menilai beberapa putusan MA terkait pembagian tata cara pembagian kursi anggota DPR dan DPRD hasil pemilu legislatif lalu sudah sesuai dengan aturan dan kewenangan yang dimiliki MA. Hakim MA pun dianggap sudah bekerja secara profesional dan tidak berpolitik. ”Lembaga peradilan tidak berpolitik. Itu memang kewenangannya,” katanya.

Menurut Benjamin, MA pernah membatalkan sejumlah kasus bernuansa politik tanpa dipengaruhi oleh putusan politik. MA pernah membatalkan keputusan presiden tentang pengangkatan Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Kepala Polri pada 2001 dan membatalkan keputusan Menteri Penerangan yang membredel majalah Tempo pada 1995.

Sesuai Pasal 31 Ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA, salah satu kewenangan MA adalah melakukan uji materi (judicial review) untuk menguji peraturan perundang-undangan dengan UU di atasnya. Pengajuan uji materi itu dapat dilakukan melalui gugatan di pengadilan tata usaha negara ataupun mengajukan uji materi langsung ke MA.

”Sekarang terserah KPU, mau melaksanakan putusan MA atau jika tidak puas, silakan mengajukan PK (peninjauan kembali),” katanya menambahkan. (MZW/ANA/SIE)

Sumber : Kompas.com

Rabu, 29 Juli 2009

CETRO: Saya Kira Hakim MA Enggak Ngerti...

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif CETRO Hadar N Gumay menilai Hakim Agung yang mengeluarkan putusan mengenai pembatalan tata cara penghitungan perolehan kursi tahap II DPR RI tidak mengerti dengan benar sistem proporsional yang dibangun dalam pemilihan umum kali ini, apalagi kemudian dilanjutkan dengan penghitungan perolehan kursi untuk DPRD.

Hadar mengatakan, sistem pemilu yang dibangun sudah mencerminkan proporsionalitas. Namun, sekarang diubah bahwa hanya partai yang memperoleh bilangan pembagi pemilih (BPP) penuh yang dapat memperoleh jatah kursi. Misalnya, di satu dapil tersedia jatah lima kursi. Dua partai meraih dua kursi di tahap pertama.

"Nah, kalau menurut putusan MA, yang berhak mendapat sisa kursi ya partai itu-itu juga. Kelihatan sekali hakim ini enggak ngerti apa yang mereka putuskan. Menurut saya, MA stop dulu deh terima judicial review. Kalau enggak akan hancur ini sistem pemilu kita," ujar Hadar dalam diskusi Charta Politika bertajuk "Kontroversi Putusan MA", Rabu (29/7).

Hadar menilai, persoalannya memang ada di Mahkamah Agung (MA). Menurut Hadar, lembaga ini seharusnya tidak menerima judicial review karena hasil ini digunakan untuk menetapkan hasil pemilu yang sudah ditetapkan. "Aneh kan? Saya kira ini kekeliruan MA melayani proses judicial review. Di sini, KPU sulit menghindarinya karena pascaputusan, KPU harus menghitung ulang. Tidak bisa tidak, putusan MA harus mereka perhatikan," tandas Hadar.

Hadar mendorong agar dibuat sebuah terobosan hukum untuk mengakhiri putusan untuk kepentingan bersama, bukan sekadar kepentingan politik.

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik

Putusan MA Juga Mengubah Konstelasi Kursi di DPRD

Jakarta - Jika Putusan MA No 15 P/HUM/2009 membuat gonjang-ganjing perolehan kursi di DPR, maka putusan MA yang lain, yakni Nomor 16 P/HUM/2009, bisa membuat berantakan perolehan kursi di DPRD Kabupaten/Kota. Uji material yang diajukan oleh caleg DPRD Kabupaten Malang, M Rusdi, itu juga diputuskan pada 18 Juni 2009 lalu.

Jika putusan ini diterapkan sekarang, ratusan bahkan ribuan kursi DPRD kabupaten/kota terancam ganti pemilik.

Dalam permohonannya tertanggal 2 Juni itu, Rusdi mempermasalahkan penghitungan kursi DPRD Kabupaten/Kota tahap kedua. Aturan yang dipermasalahkan Rusdi tercantum dalam pasal 45 huruf b dan pasal 46 ayat (2) huruf b Peraturan KPU Nomor 15/2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan Kursi dan Caleg.


Aturan KPU

Dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), penghitungan kursi di Kabupaten/Kota dibagi ke dalam 2 tahap. Tahap pertama dilakukan dengan cara mencari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di tiap dapil.

Seperti di tingkat nasional, di tingkat kabupaten/kota juga terdapat dapil. BPP diperoleh dengan cara membagi jumlah seluruh suara parpol di dapil dengan jumlah kursi.

Parpol yang memperoleh suara di atas BPP otomatis menapatkan kursi. Jika suaranya berjumlah 2 kali lipat BPP, maka parpol itu memperoleh 2 kursi. Demikian seterusnya.

Perlu dicatat, untuk penghitungan kursi DPRD baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota tidak menggunakan parliamentary threshold (PT). Itulah mengapa seluruh suara dari semua parpol diikutkan dalam penghitungan kursi.

Setelah parpol yang suaranya melampaui BPP mendapatkan kursi, maka sisa suaranya akan diikutkan di penghitungan tahap kedua. Adapun parpol yang di tahap pertama tidak memperoleh kursi, suaranya juga akan diikutkan dalam
penghitungan tahap kedua. Suara parpol yang belum dapat kursi itu dikategorikan sebagai 'sisa suara.'

Penghitungan tahap kedua dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada
parpol berdasarkan perolehan sisa suara terbanyak. Misalnya masih ada 7 kursi yang belum terbagi, maka 7 kursi itu dibagikan kepada 7 parpol
yang mempunyai sisa suara paling besar.


Putusan MA

Aturan yang dipersoalkan Rusdi adalah mengenai pengkategorian suara parpol yang tidak memperoleh kursi di tahap pertama sebagai sisa suara.

Merujuk pada pasal 213 ayat (3) UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu, Rusdi
berpendapat bahwa sisa suara itu hanya dimiliki oleh parpol yang telah memperoleh kursi di tahap pertama.

Adapun suara parpol yang tidak mendapatkan kursi di tahap pertama tidak bisa dikategorikan sebagai 'sisa suara,' dan karenanya tidak bisa diikutsertakan dalam penghitungan tahap kedua.

Dalam pasal 213 ayat (3) UU Pemilu disebutkan, dalam hal masih terdapat sisa
kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP, maka penghitungan kursi dilakukan dengan cara membagi sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak
satu per satu sampai habis. Dengan demikian, hanya sisa suara saja yang bisa diikutkan dalam penghitungan tahap kedua.

Dalam penafsiran Rusdi, yang namanya sisa suara itu hanyalah sisa suara dari
parpol yang telah memperoleh kursi, tidak termasuk suara parpol yang belum mendapatkan kursi sebagaimana ditafsirkan KPU dalam Peraturan KPU No
15/2009 pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat (2) huruf b.

Karena itu Rusdi beranggapan pengkategorian suara parpol yang belum memperoleh kursi di tahap pertama sebagai sisa suara adalah hal yang salah.

Dengan mengkategorikan suara parpol yang belum memperoleh kursi di tahap pertama itu sebagai suara sisa, menurut Rusdi, KPU telah memberi hak kepada parpol itu untuk mengikuti penghitungan di tahap kedua. Padahal
sebenarnya parpol itu tidak berhak ikut karena sejatinya tidak memiliki sisa suara.

Dalam permohonannya itu Rusdi mengatakan KPU masih terjebak dengan aturan yang ada di UU Nomor 12/2003 tentang Pemilu. Dalam Pasal 106 huruf b UU tersebut dikatakan, jika suara parpol di penghitungan tahap pertama lebih kecil dari angka BPP, maka suara itu akan dikategorikan sebagai sisa suara dan diikutkan dalam penghitungan tahap ketiga.

Padahal UU Nomor 12/2003 itu telah dinyatakan batal dengan berlakunya UU Nomor 10/2008. Karena itu KPU dianggap telah berpedoman pada UU yang sudah kadaluwarsa.

Pendapat Rusdi itu diamini oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan uji material Rusdi. Karena itulah MA memerintahkan KPU membatalkan dan mencabut Peraturan KPU No 15/2009 pasal 45 huruf b dan pasal 46 ayat (2) huruf b.

Hakim agung yang memutus perkara ini sama dengan yang memutus uji materi yang diajukan Zainal Ma'arif, yakni Ketua MA sebagai Ketua Majelis dengan anggota Imam Soebechi dan Marina Sidabutar.


Implikasi

Implikasi dari putusan MA ini, parpol yang di penghitungan tahap pertama tidak mendapatkan kursi secara otomatis tidak bisa diikutkan dalam penghitungan tahap kedua. Itu artinya selamanya mereka tidak akan mendapatkan kursi.

Dengan perubahan cara menghitung ini, bisa dipastikan ratusan atau bahkan ribuan kursi DPRD kabupaten/kota bakal ganti majikan.

Jumlah kursi untuk DPRD kabupaten/kota berkisar antara 20-50 kursi. Dengan
jumlah kabupaten/kota yang mencapai angka 471, bisa dibayangkan berapa kursi yang akan mengalami pergeseran pemilik.

Namun ada yang perlu diperhatikan di sini. Dalam amar putusannya, MA tidak memerintahkan KPUD merevisi SK penetapan caleg di kabupaten/kota.

Ini lain dengan Putusan MA No 15P/HUM/2009 yang memerintahkan KPU merevisi SK No 259/Kpts/KPU/Tahun 2009. Karena itu masih menjadi tanda tanya apakah KPUD kabupaten/kota di seluruh Indonesia harus mengubah perolehan kursi DPRD yang telah mereka tetapkan atau tidak.

( sho / nwk ) Shohib Masykur - detikPemilu

Sabtu, 25 Juli 2009

Babak Baru Geger Kursi DPR

INILAH.COM, Jakarta - Keputusan Mahkamah Agung (MA) terhadap Peraturan KPU tentang penghitungan kursi DPR berdampak serius atas komposisi kursi di parlemen. Keputusan ini tak ubahnya bom yang meledak menjelang berakhirnya rangkaian Pemilu 2009.

Keputusan MA yang membatalkan Peraturan KPU No 15/2008 Pasal 22 huruf C dan pasal 23 ayat (1) dan (3) tentang pedoman teknis penetapan, dan pengumpulan hasil pemilu tata cara perolehan kursi, bedampak tak kecil atas komposisi kursi di parlemen.

Sedikitnya terdapat perubahan kepemilikan 66 kursi DPR RI. Permohonan uji materi ini diajukan oleh empat caleg Partai Demokrat, yakni Zaenal Ma’arif, Yosef B Badeoda, M Utomo A Karim, dan Mirda Rasyid.

Dampak dari keputuasn MA tersebut, penghitungan tahap kedua yang mempertimbangkan seluruh suara parpol, bukan sisa suara setelah dibagi dengan bilangan pembagi pemilih (BPP) 100% pada tahap pertama.

Karena, jika merujuk di peraturan KPU tersebut dalam penghitungan tahap kedua sisa suara dari tahap pertama masuk pada penghitungan tahap kedua dengan sisa suara yang mencapai 50% BPP akan memperoleh kursi.

Dalam perhitungan Centre for Electoral Reform (Cetro) putusan MA itu akan mengakibatkan perubahan jumlah kursi sembilan partai yang lolos parliamentary threshold (PT). Empat partai di antaranya akan mendapat ‘berkah’ atas putusan itu, namun sisanya mendapat ‘musibah’.

Keempat partai politik tersebut yaitu Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, dan Partai Kebangkian Bangsa (PKB). Sedangkan partai yang mengalami penurunan kursi yaitu Hanura, PKS, Gerindra, PPP, dan Partai Gerindra.

Partai Demokrat dari 150 kursi menjadi 180 kursi, Partai Golkar menjadi 125 kursi dari sebelumnya 107 kursi, PDIP dari 95 kursi menjadi 111 kursi, dan PKB dari 27 kursi menjadi 29 kursi.

Sedangkan partai yang kehilangan kursi yaitu Partai Hanura yang awalnya mendapat 18 menjadi tersisa 6 kursi. PKS berkurang tujuh dari sebelumnya 57 kursi. PAN menjadi 28 dari sebelumnya 43 kursi. Sedangkan PPP menjadi 21 dari sebelumnya 37 kursi.

Merespons keputusan MA, Juru Bicara Partai Hanura Jogi Soehandoyono menegaskan, pihaknya akan mempelajari dengan seksama keputusan MA tersebut. Sekaligus mencari celah hukum yang dapat digunakan untuk melakukan gugatan.

“Keputusan MA itu sangat berpengaruh terhadap partai-partai politik dan dapat menimbulkan konflik di internal partai. Apalagi jika ada para calon legislatif yang terpaksa terdepak, dengan putusan MA itu,” tutur Soehandoyo, di Jakarta, Jumat (24/7).

Cukup wajar reaksi Partai Hanura. Karena dengan menggunakan keputusan MA, maka partai yang dibesut Wiranto itu akan kehilangan kursi cukup banyak sekitar 12 kursi. Tampaknya sikap serupa akan dilakukan oleh partai politik yang dirugikan dengan keputusan MA tersebut.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai, dampak dari keputusan MA membuat bangsa Indonesia menjadi repot. Menurut dia, jika keputusan MA dijalankan jelas akan berdampak dengan pilpres yang telah digelar.

“Bagaimana pilpres itu nasibnya, Hanura dan Gerindra tidak layak mencalonkan presiden,” tegasnya. Kondisi demikian, sambung Ray, tidak terlepas dari sikap KPU yang selama ini sering mengindahkan masukan dari pihak luar.

Sementara peneliti senior Cetro Refly Harun meminta agar KPU mengindahkan keputusan MA dan menempuh jalur hukum. “Kita menyarankan KPU tidak terima saja untuk kemudian menempuh upaya hukum ini,” katanya di kantor KPU.

Selain menyarankan KPU menempuh jalur hukum, Refly juga berharap caleg dan partai yang dirugikan atas keputusan MA agar menempuh jalur hukum.

Keputusan MA tak ubahnya bom menjelang usainya hajatan demokrasi lima tahun. Implikasi atas keputusan MA tersebut tidak kecil. Mulai dari pilpres, peta koalisi di parlemen, hingga dinamika di parlemen dalam lima tahun ke depan. [E1] R Ferdian Andi R

Artikel terkait : Bedah Editorial Media Indonesia 25 Juli 2009

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD