Minggu, 31 Mei 2009

SBY-Boediono Ulangi 'Tragedi' Mega-Hasyim?

Wawancara : Arbi Sanit

19/05/2009 - 01:14

INILAH.COM, Jakarta – Duet SBY-Boediono menjadi satu-satunya kandidat yang diusung suara mayoritas parpol peserta Pemilu 2009. Koalisi gajah ini mendapat dukungan 23 partai politik, yaitu lima parpol yang lolos Parliamentary Threshold (PT) dan 18 parpol yang tidak lolos PT. Namun, tidak mustahil duet ini keok dalam Pilpres. Mengapa?

Menurut pengamat politik Universitas Indonesia, Arbi Sanit, tak mustahil duet SBY-Boediono mengulangi nasib yang dialami pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam Pilpres 2004. “Bisa saja SBY-Boediono seperti Mega Hasyim, didukung banyak partai tapi kecil perolehan suaranya,” kata Arbi kepada INILAH.COM, Senin (18/5) di Jakarta.

Apa argumentasi Arbi? Bagaimana pula SBY-Boediono menghindari kekalahan yang dialami Mega-Hasyim dalam Pilpres 2009 ini? Berikut ini analisis Arbi Sanit:

Apakah pasangan SBY-Boediono akan mengulang cerita Mega-Hasyim saat Pilpres 2004, yang mendapat banyak dukungan partai, dukungan finansial yang kuat, namun keropos di dalam?

Ya tentu saja ada kemungkinan itu terjadi. Tapi itu sangat tergantung pada manajerial kampanye pada saatnya nanti dan manajerial koalisi. Nah, saat ini manajerial SBY-Boediono dipegang oleh PAN, yaitu Hatta Rajasa yang juga Mensesneg. Sedangkan Mega-Hasyim kala itu dipegang Said Aqil Siradj.

Hatta Rajasa kapasitasnya sebagai pelobi yang dipercaya oleh SBY, sebagai pelobi yang mengubungi berbagai partai untuk koalisi. Nah, koalisi SBY-Boediono ini ada kontrak politiknya. Saya menduga isi kontrak koalisi itu adalah pertama anggota koalisi berkewajiban memenangkan pilpres, minimal mempertahankan perolehan pemilu legislatif. Lalu minimal 45% sudah di tangan, tinggal menambah 6% untuk menang dalam putaran pertama.

Bagaimana perbandingan antara Megawati saat Pilpres 2004 dan SBY saat Pilpres 2009 terkait posisinya sebagai capres incumbent?

SBY sebagai incumbent jauh lebih efektif daripada Megawati dulu, karena banyak hasil yang dicapai SBY dibanding Megawati. Ketokohan SBY juga di atas Mega. Tapi saya kira tidak bisa dipersamakan begitu saja, harus dilacak unsur koalisinya seperti apa, kekuatannya seperti apa?

Bagaimana dengan indikasi yang muncul dengan tidak didukungnya keputusan elit partai oleh kader di daerah, seperti saat ini terjadi di PAN, PKS, PPP, dan PBB, yang telah menjatuhkan koalisi ke SBY-Boediono?

Memang tidak utuh, dukungan peserta koalisi ke pasangan SBY-Boediono. Sejak awal memang ada perpecahan di PAN, PKS, PPP, dan PBB. Tetapi, berapa pun keluarnya itu, masih ada cadangan dari partai non-DPR. Partai non-DPR, bisnisnya kan berapa suara yang dijual? Jadi itu lebih managable.

Misalnya, setengah dari kekuatan peserta koalisi SBY-Boediono (PKS,PAN,PPP,PBB, PKB) lari ke pasangan lainnya, kira-kira ada 10% hilang. Nah 18% dukungan dari parpol non-DPR, setidaknya 15% suara gabung ke SBY-Boediono, kan ada sisa suaranya. [P1]

Sumber : R Ferdian Andi R http://www.inilah.com/berita/wawancara/2009/05/19/108063/sby-boediono-ulangi-tragedi-mega-hasyim/

Jumat, 29 Mei 2009

Jilbab Loro Pembawa Berkah JK

INILAH.COM, Jakarta - Di Tugu Proklamasi, berdiri 2 wanita berjilbab mendampingi Jusuf Kalla dan Wiranto. Kebaya dan kerudung mereka seragam, merah putih. Itulah magnet JK Win yang mengantarkan elektabilitas capres- cawapres Golkar-Hanura itu meroket.

"Alhamdulillah. Dari lima persen sekarang hasil survei sudah 30 persen." Begitu ucap syukur Jusuf Kalla saat bersilaturahmi dengan masyarakat Minang di Perantauan.

Ya, elektabilitas suara JK Win terus meroket. Salah satunya berkat pesona jilbab loro dari Mufidah Kalla dan Rugaya Wiranto. Wakil Ketua Fraksi PKS Zulkieflimansyah bahkan membenarkan hal tersebut. Menurutnya, sebagian kader PKS kepincut JK Win karena pesona jilbab muslimah dua ibu calon RI-3 dan RI-4 itu. Bahkan dia menyampaikan selisih dukungan antar capres semakin menipis.

Kabar gembira ini juga sudah diterima JK. Dia mengaku kaget menerima hasil survei dua surat kabar nasional yang menunjukkan dukungan kepadanya mencapai 50 persen. Bukan cuma survei media massa dan PKS, survei di internal Golkar pun elektabilitas JK sebagai capres terus meningkat. Malah menurut survei itu, elektabilitas SBY yang menurun.

"Berdasarkan survei yang kami lakukan, 5 persen ada yang berbeda. SBY-Boediono sekarang turun, JK Win naik. Ini tren baru. Pasangan SBY-Boediono yang dianggap tangguh, pasangan raksasa, tapi kami melihat ada peluang dan harapan baru," kata Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Priyo Budi Santoso.

Mengapa JK bisa terus naik? Menurut Priyo, JK Win adalah pasangan yang dianggap seimbang sebagai representasi Nusantara. Sehingga, banyak kalangan yang menilai mereka sebagai pasangan yang ideal.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional Umar S Bakrie pun sepakat dengan Priyo. Menurutnya, JK memiliki potensi yang bisa dioptimalkan yang tidak dimiliki oleh pasangan capres lainnya. Di antaranya isu pasangan nusantara dan jilbab yang melekat pada istri Jusuf Kalla dan Wiranto. Hal ini pula yang bisa meningkatkan suara JK di Jawa.

"JK menyadari kelemahannya di Jawa. Makanya ia akan mencari di kantong-kantong suara yang terbesar khususnya pemilih muslim di Jawa," jelas kandidat doktor Universitas Penang Malaysia ini.

Melihat pesona jilbab yang membawa berkah buat pasangan JK Win, PKS yang merupakan mitra koalisi Demokrat membandingkan istri SBY dan Boediono yang tidak mengenakan penutup kepala wanita muslim itu. "Saya lihat waktu menerima dukungan dari Perti, Bu Ani pakai kerudung dan baju muslimah warna putih. Saat itu lebih terlihat memesona dan anggun," puji Ketua FPKS Mahfudz Siddiq.

Namun keinginan tersirat PKS agar istri SBY dan Boediono berjilbab ditampik Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok. "Keberagamaan itu sifatnya batiniah, jadi kalau sekarang pakai jilbab hanya untuk kampanye itu malah menunjukkan ketidakikhlasan," ujar Mubarok.

Menurut Guru Besar Psikologi Islam UIN Jakarta ini mengatakan, dalam Islam itu memakai jilbab tanpa keikhlasan tidak bagus. Karena dalam Islam itu memakai jilbab adalah sebuah kesempurnaan. Mubarok pun menyarakan agar sebaiknya Ibu Ani tetap menjadi seperti yang sekarang.

"Biarkan beliau memutuskan sendiri apakah akan memakai jilbab atau tidak. Jangan memakai jilbab itu karena menuruti keinginan orang. Kesannya jadi pura-pura, jadi biarkan saja begitu," imbuh Mubarok.

Begitulah pesona jilbab yang berpotensi menarik suara pemilih muslim di Indonesia. Dan menurut pakar komunikasi politik Ibnu Hamad, jilbab merupakan komunikasi yang mudah untuk pencitraan. "Seperti istri SBY-boediono dapat berjilbab dan kemudian difoto. Itu akan berhasil citranya kalau dikomunikasikan secara masif dan bisa berpengaruh. Dan karenanya elektabilitasnya ikut terdongkrak," terang Hamad.

Namun semua harus kembali ke hati nurani. Mufidah Kalla dan Rugaiya Wiranto berjilbab bukan karena keuntungan politis suami. Tentunya kalaupun Kristiani Herawati Yudhoyono dan Herawati Boediono ingin berjilbab, hendaknya lahir dari kesadaran diri sendiri. Sebab, jika istri SBY-Boediono berjilbab untuk kepentingan politik, bukan citra positif yang didapat SBY, melainkan kontra produktif. [L4] Ana Shofiana Syatiri

Sumber : http://www.inilah.com/berita/politik/2009/05/29/110945/jilbab-loro-pembawa-berkah-jk/


Minggu, 24 Mei 2009

Bahaya Neolibeberal


Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi liberal yang mengacu pada filosofi ekonomi-politik yang mengurangi atau menolak campur tangan pemerintah dalam ekonomi domestik, paham ini memfokuskan pada metode pasar bebas, pembatasan yang sedikit terhadap prilaku bisnis dan hak-hak pribadi.

Dalam kebijakan luar negeri, Neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasa luar negeri melaluli cara-cara politis, menggunakan tekanan/intervensi ekonomi, diplomasi, dan/ atau militer. pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas.

Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan/intervensi politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO, Bank Dunia, IMF dll. Ini mengakibatkan berkurangnya kebijakan pemerintah samapi titik minimum.

Bagi kaum neoliberal lebih baik inflasi rendah walaupun pengangguran tinggi daripada inflasi tinggi walaupun angka pengangguaran rendah. Tugas Pemerintah hanyalah menciptakan lingkungan yang nyaman dan stabil/ iklim insvestasi sehingga modal dapat bergerak. Pada titik ini kebijakan pemerintah mau tidak mau suka tau tidak suka akan memotong pengeluaran, pemotongan biaya-biaya publik agar supaya pemodal dapat menanamkan modal mereka dibidang tersebut.sehingga logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik.

Hal ini memang sengaja diciptakan sehingga permintaan dari masyarakat tinggi, ketika hal itu terjadi maka disitulah pemodal masuk untuk menawarkan modal mereka untuk dijadikan sebagai alat pemuas kebutuhan masyarakat tersebut.

Pemerintah diajak untuk melihat untung rugi dari setiap tindakan dan kebijakan yang dikeluarkan, prinsif efesiensi dan efektifitas lebih diarahkan kepada persoalan investor. Biaya pelayanan publik di anak tirikan.

Sebagai Negara yang masih berkembang yang sebagian masyarakatnya belum cerdas maka hal ini sangat membuat rakyat indonesia akan semakin menderita. Karena yang menguasai pasar adalah kaum pemodal.

Di satu sisi bila paham ini diterapkan di indonesia,maka pemodal akan rebutan menanamkan modalnya di tanah air karena sumber daya alam kita begitu berlimpah. Tentunya hal ini akan membuka lapangan kerja yang besar pula. Akan tetapi persoaalannya adalah dengan kualitas Sumber daya manusia Indonesia saat ini yang hanya pas-pasan, hal ini justru akan membuat rakyat indonesia hanya akan menjadi kuli di ditanahnya sendiri.

Ironisnya, nantinya sektor perekonomian yang selama ini sebagai lahan yang digarap rakyat untuk memenuhi kebutuhannya seperi Bertani, nelayan, juga akan digarap oleh pemodal. sehingga berakibat para petani dan nelayan juga akan kehilangan mata pencaharian mereka dan hanya bisa menjadi pekerja. Hal ini sudah mulai kita lihat, dimana banyak investor asing telah menanamkan modalnya pada sektor tersebut.

Jadi apabila Neoliberalisme dipaksakan maka akan terjadi revolusi ekonomi di indonesia, yang mengakibatkan rakyat akan menderita.

Sumber : http://pemudaindonesiabaru.blogspot.com/2009/05/bahaya-neoliberalisme.html

Kwik Kian Gie: Boediono Neolib

May 24, 2009 by pemiluindonesia.com

Isu neoliberalisme kembali menjadi sasaran empuk untuk menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Pasangan tersebut dinilai cenderung menganut kebijakan ekonomi mahzab tersebut.

Ekonom Kwik Kian Gie yang juga pernah menjadi kolega Boediono dimasa pemerintahan Megawati menilai mantan Menko Perekonomian tersebut merupakan penganut mahzab ekonomi neoliberalisme. “Bohong, kalau Boediono bukan neolib,” katanya dalam diskusi yang yang diselenggarakan Johans Fondation di Restoran Gado-gado Boplo, Jumat (22/05).

Kwik kemudian bercerita perihal kebijakan kontroversial seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), privatisasi perbankan dan penjualan Indosat yang menurutnya didukung oleh Boediono. Kwik bahkan menilai dipilihnya Boediono sebagai orang kedua memperkuat mafia barkeley.

Ekonom Dradjad Hari Wibowo menyatakan kebijakan ekonomi neolibera dicirikan oleh setidaknya tiga hal. Pertama, pengutamaan stabilisasi ekonomi makro dibanding faktor ekonomi yang lain. Kedua, liberalisasi perdagangan dan investasi dan ketiga privatisasi dan penjualan aset-aset strategis.

Salah satu akibatnya adalah arus dana keluar sangat besar untuk kebutuhan impor. Dengan demikian banyak devisa yang keluar. Nah, untuk menutup defisit kemudian dilakukan dengan utang luar negeri. “Ekonomi liberal diciptakan agar kita ketergantungan kepada negara asing,” katanya.

Dradjad mencontohkan jatuhnya pesawat Hercules di Madiun baru-baru ini sebagai salah satu bukti korban ekonomi liberal. Pasalnya, dalam sistem tersebut negara tak harus membangun industri strategisnya, termasuk industri alutsista. “Dengan terbukanya perdagangan negara bisa membeli alutsista dari negara lain dan kita dibuat tidak bisa membangun industri stratgis, toh bisa beli dari negara lain,” katanya.

Buruknya industri pertahanan dalam negeri, kata Dradjad, merupakan akibat selama bertahun-tahun ditekan oleh rezim ekonomi liberal. “Saya sudah berkali menyampaikan untuk menyelamatkan PT Dirgantara Indonesia, tetapi memang tak pernah nyambung ekonomi liberal,” katanya.

Ekonom Econit Hendri Saparini menilai pergelaran pemilihan presiden kali ini menjadi lebih menarik dibandingkan dengan tahun 2004. Saat ini mencuat ke permukaan diskusi mengenai pertentangan paradigma ekonomi. “Kalau dulu hanya soal elektabilitas yang diperdebatkan,” katanya.

Hendri pun menilai pemerintahan yang dipimpin oleh Yudhoyono selama hampir lima tahun ini tidak lepas dari paham neoliberalisme. Cirinya, sama dengan yang disebutkan Dradjad, diantaranya, pengurangan subsisidi, liberalisasi, privatisasi.

Sumber : GUNANTO E S tempointeraktif (dalam http://www.pemiluindonesia.com/opini-pemilu/kwik-kian-gie-boediono-neolib.html)

Jumat, 22 Mei 2009

Program Sumut menuju good governance



Friday, 22 May 2009 06:02 WIB
DRS. H. EDDI ELISON & DRS. H. DONE ALI USMAN

Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara, 15 April 2009 berulang tahun ke-61 (sesuai UU 10 Tahun 1948), dan 16 Juni 2009 pasangan Syamsul Arifin, dan Gatot Pujo Nugroho, ST akan berusia genap 1 tahun berkarya bagi rakyat Sumut. Adalah pada tempatnya, jika pada kesempatan ini kita mencoba menyampaikan pandangan khusus tentang perkembangan Pemprov Sumut, apalagi jika dikaitkan dengan langkah-langkah diambil oleh duet "nakhoda baru" Syamsul - Gatot sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur.

Meskipun untuk menilai keberhasilan sebuah Pemda, apalagi jika dikaitkan dengan good governance (pemerintahan yang baik) meliputi banyak aspek, di antaranya bagaimana pelaksanaan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah), KUA (Kebijakan Umum Anggaran), PPAS (Platform Prioritas Anggaran Sementara), APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), LKP (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban), RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) plus RPJPD (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah), Rencana Strategis SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan lain-lain, namun ada sesuatu yang khas bagi program pembangunan Sumut, yakni sampai sejauh mana implementasi dari materi program pasangan Syamsul-Gatot; rakyat tidak lapar, rakyat tidak bodoh, rakyat tidak sakit, dan rakyat punya masa depan.

Jika ditranskripkan ke dalam bahasa pembangunan, ke-4 program yang tadinya merupakan tema kampanye menjelang Pilkadsu 2008 adalah; Pembangunan/pembinaan moral, Pembangunan/penyediaan pangan, Pembangunan bidang pendidikan dan Pembangunan bidang kesehatan dan kesejahteraan.

Meskipun tertulis dalam bentuk satu per satu dan terpisah, namun dalam implementasinya, ke-4 program tersebut harus dimaknai secara utuh, karena satu sama lainnya saling bertemali erat membentuk suatu kesatuan yang padu. Bahkan pada dasarnya merupakan "induk" dari pola pembangunan secara menyeluruh atau sebut saja sebagai Garis-garis Besar Haluan Pembangunan Daerah Sumut (GBHPDS), sehingga jika GBHPDS dapat dijabarkan secara rinci termasuk dukungan dana yang konkret, kemudian dapat dilaksanakan dengan baik, sudah dapat dipastikan rakyat Sumut dapat mengecap kesejahteraan lahir dan batin.

Mengacu pada GBHPDS itulah kita mencoba menganalisisnya, meskipun sudah tentu tidak mungkin dapat berlepas tangan untuk tidak merambah hal-hal yang bertemali dengan paradigma pemerintahan yang baik, antara lain kepartisipatifan (dalam proses penyusunan rencana, anggaran dan perumusan kebijakan pembangunan daerah, rakyat diberi kesempatan berpartisipasi, sehingga tercermin keinginan masyarakat), keakuntabelan dan ketransparansian (adanya keterpaduan antara perencanaan dan penganggaran, sehingga apa yang direncanakan sejalan dengan pelaksanaannya).

Selain itu kegiatan pengendalian, monitoring, evaluasi dan pengawasan perlu pula lebih ditingkatkan, agar proses pembangunan dapat berjalan dengan baik dan akuntabel sebagaimana yang digariskan. Tidak pula dapat disisihkan, bahwa pelayanan prima merupakan indikator birokrasi pemerintahan yang mumpuni, efektif dan efisiensi.

Pada dasarnya indikator spesifik tercapainya good governance adalah berkurangnya kendala administratif dalam pengambilan keputusan, terwujudnya kepentingan masyarakat, Pilkada yang bermutu, di samping tegaknya hukum dan HAM.

Ada dua penyebab yang mendorong kita untuk mengurai serba sedikit tentang permasalahan pemerintahan yang baik secara umum beserta indikatornya:

Pertama; Tidak masuknya Sumut ke dalam "6 Besar" sebagai good governance dalam pelaksanaan otonomi daerah triwulan tahun 2009 terkait dengan indikator otonomi daerah (nilainya di bawah rata-rata nasional). Enam pemerintahan provinsi yang berada di atas rata-rata nasional adalah DKI Jakarta, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah dan Kepulauan Riau.

Kedua; Pengumuman Menteri Keuangan yang menyebutkan, adanya Pemerintah Daerah yang belum menggunakan anggaran belanjanya secara optimal, dengan indikator; banyaknya sisa lebih anggaran mengenai SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) periode 2008 yang mencapai Rp51,39 triliun. Dana tersebut kebanyakan diinvestasikan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN).

Meskipun tidak diuraikan Pemda mana saja yang terlibat dalam SILPA, setidak-tidaknya kita merasa perlu mensiternya, mengingat hampir semua Pemda terindikasi "main" dengan SILPA. Anggaran yang tidak dimanfaatkan menjadi bagian pembiayaan defisit 2009, karena sebagian dari APBD yang dimasukkan daerah, sebagian besar defisit, karena SILPA dipakai untuk menutupinya. Padahal beberapa stimulus fiskal yang harus dilakukan Pemda dan Pusat menunjukkan, SILPA dapat menopang penghapusan retribusi, pembebasan surat izin usaha perdagangan, penurunan komponen pajak daerah, pemberian kredit mikro tanpa bunga ke desa, pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Dengan mengemukakan berbagai indikator secara umum maupun khusus seperti yang kita kemukakan di atas, masyarakat luas akan dapat melihat, bahkan merasakan sampai sejauh mana Pemprov Sumut telah melangkahkan kakinya menuju pemerintahan yang baik.

Secara umum jika mengacu pada data peningkatan pertumbuhan ekonomi, seperti diungkapkan data BPS Provsu, kita melihat adanya kemajuan sejak dari tahun 2005 mencapai 5,48%, 2006 (6,29%), 2007 (6,90%), berarti pengelolaan perekonomian Sumut melangkah ke depan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), berdasarkan harga berlaku sebesar Rp181.82 triliun, sementara harga dasar/konstan 2000 adalah Rp99.782,27 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya Rp139.618,31 triliun dan Rp93.347,40 triliun. Peningkatan PDRB ini cukup menggiurkan, apalagi jika diingat pemekaran wilayah kabupaten/kota di Sumut termasuk pesat, yang tentunya juga menyita anggaran cukup besar. Saat ini Sumut telah memiliki 21 kabupaten /kota, 383 kecamatan, 5.736 desa kelurahan.

Dengan beban yang begitu luas dan berat, program pembangunan Provsu dalam buku RPJMD 2009-2013 menurut urusan wajib dan pilihan pemerintahan seperti Urusan Wajib Pendidikan untuk mewujudkan pilihan masyarakat Sumut yang mandiri dan sejahtera melalui penciptaan masyarakat yang tidak bodoh. Urusan Kesehatan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan masyarakat Sumut yang sejahtera melalui penciptaan "tidak sakit" dengan cara memasyarakatkan program-program pencegahan timbulnya penyakit.

Hal tersebut bisa disaksikan tentang penetapan program prioritas dalam bentuk "indikasi" yang pada dasarnya mengacu pada ke-4 program Syamsul-Gatot saat berjuang untuk memenangkan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur sekitar setahun lalu.

Terkait dengan urusan agama, sosial, pemerintahan dan penyuluhan hukum dilaksanakan dalam rangka mewujudkan Sumut yang berbudaya, relegius dalam keragaman melalui peningkatan fingsi FKUB, Forkata, penyuluhan tentang pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) yang pada akhirnya akan terwujud masyarakat yang beriman dan taqwa.

Urusan UMKM, perindustrian dan perdagangan, mendatangkan investor melalui penanaman modal, kerja sama pembangunan dengan Negara-negara tetangga atau provinsi bersaudara dilaksanakan demi mewujudkan Sumatera yang maju, pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, sehingga tercipta masyarakat Sumut yang memiliki masa depan, yang juga berhubungan dengan urusan peningkatan infrastruktur dan pengembangan wilayah dilaksanakan untuk mewujudkan Sumut yang maju, mandiri dan sejahtera melalui Penataan Ruang Provsu, pembangunan infrastrukur (jalan, rel KA, jalan tol, jalan antara provinsi, bandara, transportasi darat, air, energi kelistrikan, irigasi dan lain-lain).

Indikasi tersebut kemudian diuraikan dalam prinsip dasar yang semuanya mengidentifikasikan langkah-langkah kemajuan dari tahun ke tahun sampai 2013, berarti kemampuan menempatkan target menunjukkan, bahwa Pemda Provsu begitu percaya diri, akan hasil-hasil yang akan dicapainya.

Sungguh suatu program yang wajar diberi acungan jempol, meskipun belum tentu semua itu dapat dipositifkan menjadi kenyataan, karena harus melalui proses yang penuh berbagai kendala, terutama terkait dengan dana. Sesuai dengan UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Struktur Penerimaan Daerah dalam APBD, pendapat daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Pembangunan dan lain-lain pendapatan yang sah. Seperti diketahui adalah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, hasil PMD dan hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.

Jenis Dana Pertimbangan terdiri dari bagi hasil PBB, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Penghasilan PPh Perorangan; Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) plus Dana Alokasi Umum (DAU).

Tidak dapat disangkal bahwa suksesnya program-program yang sudah digariskan dengan target yang sudah pula dipola sedemikian rupa, tidak akan efentif dan kondusif, jika tidak mendapat dukungan penuh dari gerak anggaran daerah. Anggaran daerah akan hampa atau keropos tanpa optimalisasi penggalian sumber pembiayaan dari pinjaman dan obligasi, efisensi belanja daerah, penganggaran partisipatif yang melibatkan peran masyarakat, serta pengupayaan public-service partnership di dalam pembangunan infrastruktur di wilayah Sumut.

Hal ini yang penting adalah arah kebijakan keuangan Provsu yang jelas sangat tergantung pada proyeksi pertumbuhan ekonomi, penyerapan investasi oleh Pemda. Sangat ideal bila seluruh kebutuhan pengeluaran investasi dipenuhi oleh kemampuan keuangan daerah tersebut. Begitupun harus diakui adanya keterbatasan penerimaan daerah, sehingga kebutuhan pengeluaran investasi dapat ditutupi dengan pembiayaan.

Sesuai dengan proyeksi, pertumbuhan ekonomi daerah dalam periodesasi RPJMD tampak sangat membutuhkan iklim investasi yang kondusif, sehingga dapat memperlancar proses pembangunan dalam menumbuhkan perekomian daerah.

Sangat bisa dirasakan betapa investasi Pemda (APBD) terhadap investasi swasta untuk membiayai pembangunan. Kita dapat melihat, perkembangan pembangunan di Sumut memerlukan paradigma peningkatan asli daerah yang sekaligus dapat mendorong investasi.

Peranan investasi swasta menjadi penting untuk dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi, yang sudah diproyeksikan selama 5 tahun ke depan yakni 8,41%.

Di sinilah perlu disinggung masalah SILPA seperti yang kita kemukakan di atas, namun data-data yang disampaikan dalam draft rencangan RPJMD sama sekali tidak disinggung, sehingga menjadi pertanyaan, apakah Pemda Provsu tidak ikut "bermain" dengan SILPA atau dapat menggunakan SILPA dengan sebaik-baiknya, sehingga menjadi salah satu sarana obyektif bagi penunjang pertumbuhan perekonomian Sumut?

Meskipun demikian kita menyadari, bahwa bila menganalisis yang terkait dengan SWOT terhadap pelaksanaan RPJMD, maka akan terungkap bahwa unsur weakness (kelemahan) lebih besar dari unsur strength (kekuatan). Kelemahan yang bisa ditemui adalah; kualitas SDM yang masih terbatas, kapasitas lembaga pendidikan kejuruan/pelatihan keterampilan yang relatif rendah, kapasitas kelembagaan pemda yang terbatas, iklam/daya tarik investasi yang juga masih rendah, kerusakan sarana dan prasarana, panjang jalan yang tidak seimbang dengan luas daerah dan kurangnya pasokan energi listrik.

Kita yakin kelemahan tersebut sebenarnya dapat diatasi, bila Pemdasu mampu mengkoordinasikan kekuatan yang dimilikinya yakni georafis yang strategis, tersedianya jumlah tenaga kerja yang cukup bagi sektor pembangunan fisik, kerukunan antarsuku yang kondusif bebas dari konflik, kaya akan sumber daya alam (SDA) yang dinamis antara lain sumber energi panas bumi, pembangkit listrik tenaga air, biofuel energi, selain berjenis hasil tambang, memiliki sarana dan prasarana seperti jaringan Trans Sumut, jalan KA dan jaringan komunikasi, juga memiliki potensi SDA, seperti hutan, perkebunan, pertanian, perikanan dan kelautan.

Plus opportunities (peluang) yang "menantang" yaitu; kawasan positif dan sangat diperhitungkan di regional Asteng di bidang pertanian, perkebunan, kelautan dan peternakan, kawasan andalan wisata domestik/internasional, kawasan yang diperhitungkan dalam perdagangan regional/internasional, sumber pemasok tenaga kerja yang terampil antarnegara, tersedia infrastuktur pelabuhan dan bandara yang representatif, iklim yang kondusif/harmoni dalam keberagaman.

Namun ancaman (threat) bagi proses pembangunan Sumut menuntut perhatian dan pemecahan yang serius, karena; jaminan standar kualitas produk dalam era globalisasi dan krisis ekonomi global, bencana alam dan perubahan iklim global, kemiskinan kultural akibat mentalitas dan budaya kerja masyarakat yang rendah, melahirkan kemiskinan dan pengangguran, sehingga dapat menelurkan sensitivitas yang tinggi terhadap suasana kedamaian, budaya taat peraturan/regulasi masih rendah dapat meningkatkan berbagai jenis tindak pidana, potensi wabah penyakit terhadap manusia/hewan/tanaman, konversi lahan yang tidak terkendali (masalah tata ruang) dan kerusakan lingkungan hidup.

Salah satu unsur yang dilupakan dalam penyusunan RPJMD adalah fungsialisasi dan pemasyarakatan Pancasila yang merupakan ideologi Negara dan Bangsa ini, padahal diuraikan secara rinci dalam Kebijakan Umum dan Program Pembangunan Daerah tentang Kesatuaan Bangsa dan Politik Dalam Negeri.

Seharusnya disadari, bahwa dengan semakin terabrasinya nilai-nilai Pancasila saat ini, akibat policy "salah kaprah" rezim Orba selama 32 tahun dengan BP7-nya, Pemda Provsu tidak ikut pula memberi dukungan terhadap abrasisasi nilai, semangat dan jiwa Pancasila yang masih tertera dalam Pembukaan UUD 1945 (meskipun tidak tersebut dengan kata Pancasila, namun sila-sila termaktub secara jelas). Sebagai meta-law, Pembukaan UUD 1945 itu adalah acuan semua UU dan regulasi lainnya.

Usaha memfungsikan nilai Pancasila, tidak perlu P4, tetapi dengan cara lain yang lebih merakyat, apalagi dalam kurikulum SD s/d Perguruan Tinggi, tidak ada lagi mata pelajaran Pancasila secara spisifik.

Jika di daerah Jawa ada ekstra kurikulum bahasa daerah, bahkan di sekolah-sekolah yang dikelola Yayasan Hang Tuah (milik TNI-AL) ada mata pelajaran Kebaharian, kenapa Sumut tidak tampil dengan mata pelajaran Pancasila di luar kurikulum Kewarganegaraan dengan kemasan yang berbeda misalnya dengan outbond dan lain-lain.

Kita mengharapkan jika draft RPJMD dibahas oleh DPRD, masalah SILPA, Pancasila dan lain-lain seperti yang terkandung dalam weakness dan threat dapat dimatangkan solusinya dengan sebaik-baiknya.

*Penulis adalah Eddi Elison, mantan wartawan "Waspada", saat ini Asdir Pancasila Center DHN 45 Jakarta.
*Penulis adalah Done Ali Usman, Widyaiswara Utama pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Provsu.
Sumber : http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=89527&Itemid=44
Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD