Waktu pertama kali memasuki dunia pemerintahan, saya melihat sebuah kontras kebiasaan kerja. Saya membandingkan pola kerja yang berbeda antara pegawai negeri dan pegawai swasta. Kinerja pegawai bank yang berada di lini depan (front office) yang cekatan, tidak pernah berhenti melayani pelanggan, selalu ramah dan murah senyum berbeda sekali dengan kinerja pegawai negeri yang melayani masyarakat. Dalam pikiran saya ini adalah contoh ideal yang kasat mata yang mestinya dapat dicangkokkan pada birokrasi pemerintah daerah.
Pikiran ini yang terus mengganggu saya, bagaimana melakukan pembenahan pada sistem kepegawaian daerah sehingga mereka memiliki etos kerja yang tinggi. Sebagai orang yang lama berkecimpung pada sektor dunia usaha, saya terbiasa dengan sistem insentif untuk meningkatkan kinerja pegawai. Siapa yang berkinerja lebih baik maka akan mendapatkan insentif yang lebih besar.
Sejalan dengan pemikiran Vroom (1946) bahwa kinerja itu dipengaruhi oleh interaksi dua faktor, yaitu kemampuan dan motivasi. Saya berpandangan bahwa penghasilan merupakan salah satu komponen penting yang berperan dalam membentuk motivasi.
Langkah pertama yang saya lakukan adalah melihat peraturan penggajian pegawai negeri sipil. Saya melihat ada sekelompok pegawai negeri di lingkungan Pemerintah Provinsi Gorontalo yang cukup makmur, terutama para pejabat eselon, tetapi sebagian besar pegawai negeri lainnya hidup bersahaja. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2001 ternyata gaji pegawai negeri tidaklah besar. Gaji pokok terendah adalah Rp575.000, yaitu golongan IA dan gaji pokok tertinggi Rp1,8 juta (golongan IVE) masing-masing per bulan. Berdasarkan gaji pokok yang mereka terima dapat dipastikan kehidupan pegawai negeri sangat bersahaja.
Pikiran yang mengusik adalah adanya sejumlah pegawai negeri yang relatif makmur terutama pejabat struktural, lalu saya mencari tahu sumber-sumber penghasilan lain pegawai negeri yang sah menurut peraturan perundangan yang berlaku. Tunjangan jabatan adalah salah satu sumber penghasilan pegawai negeri, saya ingin tahu besarnya tunjangan jabatan struktural dari eselon I sampai dengan eselon IV. Jabatan struktural tertinggi pada tingkat provinsi adalah Sekretaris Daerah dengan golongan IB berhak mendapatkan tunjangan jabatan sebesar Rp4.475.000 per bulan. Sedangkan tunjangan jabatan struktural untuk eselon yang lebih rendah adalah: IIA Rp3.250.000, IIB Rp2.025.000, IIIA 1.260.000, IVA Rp540.000, dan IVB Rp490.000.
Dengan tunjangan sebesar itu pun, pegawai yang mendapat tunjangan struktural tidak akan semakmur yang saya lihat. Saya waktu itu sangat naïf dalam melihat penghasilan pegawai negeri sipil. Rupanya di lingkungan pegawai negeri sipil ada istilah jabatan basah dan jabatan kering. Ini dikaitkan dengan jumlah proyek yang dikelola oleh masing-masing dinas. Semakin banyak proyek yang dikelola maka semakin besar peluang pejabat untuk mendapatkan penghasilan tambahan melalui honorarium yang mereka terima.
Pada awal saya memangku jabatan gubernur, saya sering mendapatkan amplop berisi uang yang katanya honorarium proyek. Saya tanyakan kepada Sekda, uang itu berasal dari mana dan untuk apa? Katanya honorarium proyek, dan itu sah. Saya tidak habis pikir, uang yang saya terima itu kalau dijumlahkan lumayan besar. Saya pun menelisik ingin tahu. Rupanya dalam pengelolaan proyek tersebut dibenarkan adanya honorarium untuk panitia pelaksana proyek.
Lebih jauh, klik
http://fadelmuhammad.org/staging/2009/03/10/reformasi-birokrasi-pemerintahan-daerah/#more-1201
* Fadel Muhammad adalah Gubernur Gorontalo yang sukses terpilih untuk periode kedua kali dengan kemenangan lebih dari 80 persen suara. Fadel juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I Partai Golkar Gorontalo. Malang-melintang sebagai pengusaha, Fadel mencoba memimpin daerah. Birokrasi tantangannya.
• VIVAnews - Arfi Bambani Amri
Source : http://politik.vivanews.com/news/read/55899-kiat_mereformasi_birokrasi_daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar