Jakarta - Keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) No 15P/HUM/2009 tentang pembatalan penghitungan suara tahap kedua harus ditempuh secara hukum. Pasalnya, MA secara konstitusional memiliki kewenangan menguji peraturan KPU.
"Dengan senantiasa menjunjung tinggi prinsip negara hukum, keberatan atas putusan MA harus ditempuh dengan langkah hukum. Yang dapat membatalkan putusan hukum adalah putusan hukum, bukan politik," kata Ketua Pengurus Harian DPP Partai Persatuan Pembangunan Bidang Hukum dan HAM, Lukman Hakim Saifuddin dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (31/7/2009).
Dikatakan Lukman, untuk membatalkan putusan MA, PPP akan mengajukan pengujian materi pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menyampaikan 9 dasar pengajuan uji materiil tersebut.
"Pertama, UU 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan untuk memilih wakil rakyat dan membentuk pemerintahan yang mencerminkan aspirasi rakyat sesuai dengan prinsip kedaulatan. Karenanya pemilu harus dilaksanakan secara jujur dan adil," kata Lukman.
Kedua, lanjut Lukman, guna mewujudkan amanah konstitusi UU No 10/2008 mengatur aspirasi rakyat dalam bentuk suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi di DPR. Ketiga, pengaturan tentang penentuan kursi DPR tahap kedua diatur dalam pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 dan berdasarkan pasal itu, KPU membuat Peraturan KPU Nomor 15/2009. Dalam pasal 22 huruf c dan padal 23 ayat 91) dan ayat (3) disebutkan parpol yang ikut dalam penghitungan tahap kedua adalah parpol yang mempunyai "sisa suara" lebih dari 50 persen BPP.
Keempat, berdasarkan ketentuan itu, suara yang telah dihitung dalam tahap pertama tidak lagi dihitung dalam tahap kedua. Dengan demikian, prinsip satu suara hanya hanya bermakna untuk penentuan satu kursi bisa diterapkan dan sejalan denan maksud pasal 205 ayat (5) UU No 10/2008. Pasal tersebut menentukan yang menjadi dasar pembagian adalah sisa suara sah dari penghitungan tahap kedua.
"Kelima, akan tetapi putusan MA, peraturan KPU No 15/2009 dibatalkan. Putusan tersebut menyatakan dasar penghitungan untuk tahap kedua bukan sisa suara dari penghitungan tahap pertama yang sekurang-kurangnya 50 persen, tetapi yang secara total memperoleh 50 persen," cetusnya.
Keenam, lanjut Lukman, bahwa dengan putusan MA, maka tafsir terhadap pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 yang dibuat KPU melalui Peraturan KPU No 15/2009 menjadi tidak berlaku, dan tafsir formal yang berlaku adalah sebagaimana putusan MA.
"Namun, putusan MA itu bertentangan dengan pasal 1 ayat (2) dan pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 karena menyebabkan terjadinya perbedaan nilai antara suara yang satu dengan pemilih lainnya dan merugikan hak konstitusional pemilih dan calon wakil rakyat," imbuhnya.
"Kedelapan, berdasarkan uraian itu, maka pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008) harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Atau setidaknya, sembilan, pasal tersebut dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (Conditionally consitutional)," pungkasnya.
( irw / irw )Muhammad Nur Hayid - detikPemilu
"Dengan senantiasa menjunjung tinggi prinsip negara hukum, keberatan atas putusan MA harus ditempuh dengan langkah hukum. Yang dapat membatalkan putusan hukum adalah putusan hukum, bukan politik," kata Ketua Pengurus Harian DPP Partai Persatuan Pembangunan Bidang Hukum dan HAM, Lukman Hakim Saifuddin dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (31/7/2009).
Dikatakan Lukman, untuk membatalkan putusan MA, PPP akan mengajukan pengujian materi pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menyampaikan 9 dasar pengajuan uji materiil tersebut.
"Pertama, UU 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan untuk memilih wakil rakyat dan membentuk pemerintahan yang mencerminkan aspirasi rakyat sesuai dengan prinsip kedaulatan. Karenanya pemilu harus dilaksanakan secara jujur dan adil," kata Lukman.
Kedua, lanjut Lukman, guna mewujudkan amanah konstitusi UU No 10/2008 mengatur aspirasi rakyat dalam bentuk suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi di DPR. Ketiga, pengaturan tentang penentuan kursi DPR tahap kedua diatur dalam pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 dan berdasarkan pasal itu, KPU membuat Peraturan KPU Nomor 15/2009. Dalam pasal 22 huruf c dan padal 23 ayat 91) dan ayat (3) disebutkan parpol yang ikut dalam penghitungan tahap kedua adalah parpol yang mempunyai "sisa suara" lebih dari 50 persen BPP.
Keempat, berdasarkan ketentuan itu, suara yang telah dihitung dalam tahap pertama tidak lagi dihitung dalam tahap kedua. Dengan demikian, prinsip satu suara hanya hanya bermakna untuk penentuan satu kursi bisa diterapkan dan sejalan denan maksud pasal 205 ayat (5) UU No 10/2008. Pasal tersebut menentukan yang menjadi dasar pembagian adalah sisa suara sah dari penghitungan tahap kedua.
"Kelima, akan tetapi putusan MA, peraturan KPU No 15/2009 dibatalkan. Putusan tersebut menyatakan dasar penghitungan untuk tahap kedua bukan sisa suara dari penghitungan tahap pertama yang sekurang-kurangnya 50 persen, tetapi yang secara total memperoleh 50 persen," cetusnya.
Keenam, lanjut Lukman, bahwa dengan putusan MA, maka tafsir terhadap pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 yang dibuat KPU melalui Peraturan KPU No 15/2009 menjadi tidak berlaku, dan tafsir formal yang berlaku adalah sebagaimana putusan MA.
"Namun, putusan MA itu bertentangan dengan pasal 1 ayat (2) dan pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 karena menyebabkan terjadinya perbedaan nilai antara suara yang satu dengan pemilih lainnya dan merugikan hak konstitusional pemilih dan calon wakil rakyat," imbuhnya.
"Kedelapan, berdasarkan uraian itu, maka pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008) harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Atau setidaknya, sembilan, pasal tersebut dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (Conditionally consitutional)," pungkasnya.
( irw / irw )Muhammad Nur Hayid - detikPemilu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar