Jakarta - Jika Putusan MA No 15 P/HUM/2009 membuat gonjang-ganjing perolehan kursi di DPR, maka putusan MA yang lain, yakni Nomor 16 P/HUM/2009, bisa membuat berantakan perolehan kursi di DPRD Kabupaten/Kota. Uji material yang diajukan oleh caleg DPRD Kabupaten Malang, M Rusdi, itu juga diputuskan pada 18 Juni 2009 lalu.
Jika putusan ini diterapkan sekarang, ratusan bahkan ribuan kursi DPRD kabupaten/kota terancam ganti pemilik.
Dalam permohonannya tertanggal 2 Juni itu, Rusdi mempermasalahkan penghitungan kursi DPRD Kabupaten/Kota tahap kedua. Aturan yang dipermasalahkan Rusdi tercantum dalam pasal 45 huruf b dan pasal 46 ayat (2) huruf b Peraturan KPU Nomor 15/2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan Kursi dan Caleg.
Aturan KPU
Dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), penghitungan kursi di Kabupaten/Kota dibagi ke dalam 2 tahap. Tahap pertama dilakukan dengan cara mencari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di tiap dapil.
Seperti di tingkat nasional, di tingkat kabupaten/kota juga terdapat dapil. BPP diperoleh dengan cara membagi jumlah seluruh suara parpol di dapil dengan jumlah kursi.
Parpol yang memperoleh suara di atas BPP otomatis menapatkan kursi. Jika suaranya berjumlah 2 kali lipat BPP, maka parpol itu memperoleh 2 kursi. Demikian seterusnya.
Perlu dicatat, untuk penghitungan kursi DPRD baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota tidak menggunakan parliamentary threshold (PT). Itulah mengapa seluruh suara dari semua parpol diikutkan dalam penghitungan kursi.
Setelah parpol yang suaranya melampaui BPP mendapatkan kursi, maka sisa suaranya akan diikutkan di penghitungan tahap kedua. Adapun parpol yang di tahap pertama tidak memperoleh kursi, suaranya juga akan diikutkan dalam
penghitungan tahap kedua. Suara parpol yang belum dapat kursi itu dikategorikan sebagai 'sisa suara.'
Penghitungan tahap kedua dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada
parpol berdasarkan perolehan sisa suara terbanyak. Misalnya masih ada 7 kursi yang belum terbagi, maka 7 kursi itu dibagikan kepada 7 parpol
yang mempunyai sisa suara paling besar.
Putusan MA
Aturan yang dipersoalkan Rusdi adalah mengenai pengkategorian suara parpol yang tidak memperoleh kursi di tahap pertama sebagai sisa suara.
Merujuk pada pasal 213 ayat (3) UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu, Rusdi
berpendapat bahwa sisa suara itu hanya dimiliki oleh parpol yang telah memperoleh kursi di tahap pertama.
Adapun suara parpol yang tidak mendapatkan kursi di tahap pertama tidak bisa dikategorikan sebagai 'sisa suara,' dan karenanya tidak bisa diikutsertakan dalam penghitungan tahap kedua.
Dalam pasal 213 ayat (3) UU Pemilu disebutkan, dalam hal masih terdapat sisa
kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP, maka penghitungan kursi dilakukan dengan cara membagi sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak
satu per satu sampai habis. Dengan demikian, hanya sisa suara saja yang bisa diikutkan dalam penghitungan tahap kedua.
Dalam penafsiran Rusdi, yang namanya sisa suara itu hanyalah sisa suara dari
parpol yang telah memperoleh kursi, tidak termasuk suara parpol yang belum mendapatkan kursi sebagaimana ditafsirkan KPU dalam Peraturan KPU No
15/2009 pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat (2) huruf b.
Karena itu Rusdi beranggapan pengkategorian suara parpol yang belum memperoleh kursi di tahap pertama sebagai sisa suara adalah hal yang salah.
Dengan mengkategorikan suara parpol yang belum memperoleh kursi di tahap pertama itu sebagai suara sisa, menurut Rusdi, KPU telah memberi hak kepada parpol itu untuk mengikuti penghitungan di tahap kedua. Padahal
sebenarnya parpol itu tidak berhak ikut karena sejatinya tidak memiliki sisa suara.
Dalam permohonannya itu Rusdi mengatakan KPU masih terjebak dengan aturan yang ada di UU Nomor 12/2003 tentang Pemilu. Dalam Pasal 106 huruf b UU tersebut dikatakan, jika suara parpol di penghitungan tahap pertama lebih kecil dari angka BPP, maka suara itu akan dikategorikan sebagai sisa suara dan diikutkan dalam penghitungan tahap ketiga.
Padahal UU Nomor 12/2003 itu telah dinyatakan batal dengan berlakunya UU Nomor 10/2008. Karena itu KPU dianggap telah berpedoman pada UU yang sudah kadaluwarsa.
Pendapat Rusdi itu diamini oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan uji material Rusdi. Karena itulah MA memerintahkan KPU membatalkan dan mencabut Peraturan KPU No 15/2009 pasal 45 huruf b dan pasal 46 ayat (2) huruf b.
Hakim agung yang memutus perkara ini sama dengan yang memutus uji materi yang diajukan Zainal Ma'arif, yakni Ketua MA sebagai Ketua Majelis dengan anggota Imam Soebechi dan Marina Sidabutar.
Implikasi
Implikasi dari putusan MA ini, parpol yang di penghitungan tahap pertama tidak mendapatkan kursi secara otomatis tidak bisa diikutkan dalam penghitungan tahap kedua. Itu artinya selamanya mereka tidak akan mendapatkan kursi.
Dengan perubahan cara menghitung ini, bisa dipastikan ratusan atau bahkan ribuan kursi DPRD kabupaten/kota bakal ganti majikan.
Jumlah kursi untuk DPRD kabupaten/kota berkisar antara 20-50 kursi. Dengan
jumlah kabupaten/kota yang mencapai angka 471, bisa dibayangkan berapa kursi yang akan mengalami pergeseran pemilik.
Namun ada yang perlu diperhatikan di sini. Dalam amar putusannya, MA tidak memerintahkan KPUD merevisi SK penetapan caleg di kabupaten/kota.
Ini lain dengan Putusan MA No 15P/HUM/2009 yang memerintahkan KPU merevisi SK No 259/Kpts/KPU/Tahun 2009. Karena itu masih menjadi tanda tanya apakah KPUD kabupaten/kota di seluruh Indonesia harus mengubah perolehan kursi DPRD yang telah mereka tetapkan atau tidak.
( sho / nwk ) Shohib Masykur - detikPemilu
Jika putusan ini diterapkan sekarang, ratusan bahkan ribuan kursi DPRD kabupaten/kota terancam ganti pemilik.
Dalam permohonannya tertanggal 2 Juni itu, Rusdi mempermasalahkan penghitungan kursi DPRD Kabupaten/Kota tahap kedua. Aturan yang dipermasalahkan Rusdi tercantum dalam pasal 45 huruf b dan pasal 46 ayat (2) huruf b Peraturan KPU Nomor 15/2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan Kursi dan Caleg.
Aturan KPU
Dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), penghitungan kursi di Kabupaten/Kota dibagi ke dalam 2 tahap. Tahap pertama dilakukan dengan cara mencari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di tiap dapil.
Seperti di tingkat nasional, di tingkat kabupaten/kota juga terdapat dapil. BPP diperoleh dengan cara membagi jumlah seluruh suara parpol di dapil dengan jumlah kursi.
Parpol yang memperoleh suara di atas BPP otomatis menapatkan kursi. Jika suaranya berjumlah 2 kali lipat BPP, maka parpol itu memperoleh 2 kursi. Demikian seterusnya.
Perlu dicatat, untuk penghitungan kursi DPRD baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota tidak menggunakan parliamentary threshold (PT). Itulah mengapa seluruh suara dari semua parpol diikutkan dalam penghitungan kursi.
Setelah parpol yang suaranya melampaui BPP mendapatkan kursi, maka sisa suaranya akan diikutkan di penghitungan tahap kedua. Adapun parpol yang di tahap pertama tidak memperoleh kursi, suaranya juga akan diikutkan dalam
penghitungan tahap kedua. Suara parpol yang belum dapat kursi itu dikategorikan sebagai 'sisa suara.'
Penghitungan tahap kedua dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi kepada
parpol berdasarkan perolehan sisa suara terbanyak. Misalnya masih ada 7 kursi yang belum terbagi, maka 7 kursi itu dibagikan kepada 7 parpol
yang mempunyai sisa suara paling besar.
Putusan MA
Aturan yang dipersoalkan Rusdi adalah mengenai pengkategorian suara parpol yang tidak memperoleh kursi di tahap pertama sebagai sisa suara.
Merujuk pada pasal 213 ayat (3) UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu, Rusdi
berpendapat bahwa sisa suara itu hanya dimiliki oleh parpol yang telah memperoleh kursi di tahap pertama.
Adapun suara parpol yang tidak mendapatkan kursi di tahap pertama tidak bisa dikategorikan sebagai 'sisa suara,' dan karenanya tidak bisa diikutsertakan dalam penghitungan tahap kedua.
Dalam pasal 213 ayat (3) UU Pemilu disebutkan, dalam hal masih terdapat sisa
kursi setelah dialokasikan berdasarkan BPP, maka penghitungan kursi dilakukan dengan cara membagi sisa kursi berdasarkan sisa suara terbanyak
satu per satu sampai habis. Dengan demikian, hanya sisa suara saja yang bisa diikutkan dalam penghitungan tahap kedua.
Dalam penafsiran Rusdi, yang namanya sisa suara itu hanyalah sisa suara dari
parpol yang telah memperoleh kursi, tidak termasuk suara parpol yang belum mendapatkan kursi sebagaimana ditafsirkan KPU dalam Peraturan KPU No
15/2009 pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat (2) huruf b.
Karena itu Rusdi beranggapan pengkategorian suara parpol yang belum memperoleh kursi di tahap pertama sebagai sisa suara adalah hal yang salah.
Dengan mengkategorikan suara parpol yang belum memperoleh kursi di tahap pertama itu sebagai suara sisa, menurut Rusdi, KPU telah memberi hak kepada parpol itu untuk mengikuti penghitungan di tahap kedua. Padahal
sebenarnya parpol itu tidak berhak ikut karena sejatinya tidak memiliki sisa suara.
Dalam permohonannya itu Rusdi mengatakan KPU masih terjebak dengan aturan yang ada di UU Nomor 12/2003 tentang Pemilu. Dalam Pasal 106 huruf b UU tersebut dikatakan, jika suara parpol di penghitungan tahap pertama lebih kecil dari angka BPP, maka suara itu akan dikategorikan sebagai sisa suara dan diikutkan dalam penghitungan tahap ketiga.
Padahal UU Nomor 12/2003 itu telah dinyatakan batal dengan berlakunya UU Nomor 10/2008. Karena itu KPU dianggap telah berpedoman pada UU yang sudah kadaluwarsa.
Pendapat Rusdi itu diamini oleh Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan uji material Rusdi. Karena itulah MA memerintahkan KPU membatalkan dan mencabut Peraturan KPU No 15/2009 pasal 45 huruf b dan pasal 46 ayat (2) huruf b.
Hakim agung yang memutus perkara ini sama dengan yang memutus uji materi yang diajukan Zainal Ma'arif, yakni Ketua MA sebagai Ketua Majelis dengan anggota Imam Soebechi dan Marina Sidabutar.
Implikasi
Implikasi dari putusan MA ini, parpol yang di penghitungan tahap pertama tidak mendapatkan kursi secara otomatis tidak bisa diikutkan dalam penghitungan tahap kedua. Itu artinya selamanya mereka tidak akan mendapatkan kursi.
Dengan perubahan cara menghitung ini, bisa dipastikan ratusan atau bahkan ribuan kursi DPRD kabupaten/kota bakal ganti majikan.
Jumlah kursi untuk DPRD kabupaten/kota berkisar antara 20-50 kursi. Dengan
jumlah kabupaten/kota yang mencapai angka 471, bisa dibayangkan berapa kursi yang akan mengalami pergeseran pemilik.
Namun ada yang perlu diperhatikan di sini. Dalam amar putusannya, MA tidak memerintahkan KPUD merevisi SK penetapan caleg di kabupaten/kota.
Ini lain dengan Putusan MA No 15P/HUM/2009 yang memerintahkan KPU merevisi SK No 259/Kpts/KPU/Tahun 2009. Karena itu masih menjadi tanda tanya apakah KPUD kabupaten/kota di seluruh Indonesia harus mengubah perolehan kursi DPRD yang telah mereka tetapkan atau tidak.
( sho / nwk ) Shohib Masykur - detikPemilu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar