Harian Sindo, 27 Mei 2008
Tiga hari yang lalu, Jumat 23/05, dalam sebuah perjalanan di Ibu
Pedagang asongan itu begitu gigih menjajakan dagangannya. Dalam detik-detik nan singkat itu, konsentrasi saya pun beralih pada salah satu barang yang ia tawarkan, majalah Tempo edisi Khusus Kebangkitan Nasional 1908-2008 dengan judul "Indonesia Yang Kuiimpikan, 100 Tahun Catatan yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri". Hati saya tergerak untuk membelinya.
"Berapa Pak," tanya saya dari dalam mobil.
"Rp 57.000, Pak," jawab pedagang asongan dengan mantap.
"Kok Mahal banget Pak!" Balas saya. Saya merasa harganya tidak wajar. Biasanya majalah seperti itu sekitar dua puluh ribuan. Saya ragu.
"Edisi khusus, Pak!" jawab pedagang asongan itu meyakinkan, telunjuknya mengarah pada judul besar yang tertera di sampul majalah, lalu mengarah pada harga yang tertera di pojok bawah sebelah kanan. Ya, terlihat sepintas berharga Rp 57.000. Akhirnya saya beli meskipun saya merasa harga itu mahal.
Beberapa saat kemudian, ketika mobil kami kembali melaju meninggalkan pedagang asongan, saya baru sadar kalau saya baru saja tertipu. Setelah saya membuka plastik pembungkus majalah itu.saya melihat ada keganjilan pada harga yang tertera di sampul luar. Angka 5 sepertinya bukan angka yang sebenarnya. Saya perhatikan lebih detail. Dan benar, angka itu sesungguhnya angka 2 yang beberapa bagian dikerok lalu diubah menjadi angka lima dengan pena berwarna hitam. Harga majalah itu sebenarnya bukanlah Rp 57.000 rupiah tetapi Rp 27.000 rupiah.
Saya sempat marah saat itu. Simpati saya pada pedagang asongan itu buyar. Ada rasa mangkel, kesal atau gondok lantaran saya tertipu oleh pedagang kecil. Saya benar-benar merasa dibodohi. Namun, pada saat yang sama, saya juga merasa prihatin. Kasihan sekali pedagang asongan rezekinya. Kasihan juga para pedagang asongan yang lain, yang baik dan jujur. Kasihan jika gara-gara satu orang pedagang asongan yang menipu, maka banyak orang akan menganggap bahwa seluruh pedagang asongan sama; penipu. Dan semakin susahlah mereka mengais rezeki.
Jujur, saat itu rasanya saya ingin menangis. Di tangan saya tergenggam sebuah majalah edisi khusus tentang kebangkitan bangsa, tapi pada saat yang sama, kisah nyata yang menyakit bagaimana saya mendapatkan majalah itu mengingatkan betapa beratnya menjadikan bangsa ini bangkit.
Berat, lantaran korupsi dan keculasan ternyata tidak lagi milik orang-orang elite, tapi korupsi sudah merembet sampai kalangan masyarakat kelas bawah. Ada sopir yang korupsi dengan menurunkan penumpangnya di tengah jalanan. Ada kondektur kereta api yang menerima sogokan penumpang gelap. Ada orang-orang kampung yang nekat mencuri arus listrik. Ada orang-orang yang nekat mendirikan bangunan di atas sungai-sungai. Ada orang-orang yang pura-pura cacat untuk mengemis dan sebagainya. Ada penjual asongan yang menyulap hargaRp 27.000 menjadi Rp 57.000. Mentalitas buruk semacam itu hanya akan membuat bangsa ini akan semakin terpuruk. Kebangkitan bangsa menjadi impian belaka.
100 tahun kebangkitan bangsa
Keadaan negeri ini seolah semakin buruk saja. Akan jadi seperti apa peradaban di negeri ini jika budaya tipu menipu berkembang di mana-mana? Terasa benar ada krisis moral yang sangat akut di negeri ini sebelum krisis ekonomi dan krisis politik terjadi.
Saya jadi teringat rahasia kemajuan peradaban manusia zaman Khalifah Umar bin Khatab. Menurut banyak sejarawan, yang menjadi resep kemajuan masa Kekhalifahan Umar yang teramat memukau itu, adalah kesadaran ketuhanan warganya yang begitu menyeluruh sampai level-level yang paling pelosok dalam masyarakat paling bawah. Rasa ketuhanan yang kuat akan melahirkan rasa tanggung jawab yang kuat.
Ada kisah indah yang diukir sejarah di masa Umar bin Khattab ra.,
Suatu hari, Umar menjumpai seorang pemuda penggembala yang tinggal di pelosok negara. Lalu tebersitlah keinginannya untuk mengujinya.
"Wahai anak muda, aku lihat kambing gembalaanmu banyak sekali, bagaimana kalau kau jual satu padaku?" Tanya umar.
"Maaf Tuan, tapi kambing ini bukan milik saya, tapi milik majikan saya, saya di sini hanya menjaga dan menggembala." Jawab penggembala.
"Tidak apa-apa. Ternak milik majikan-mu begitu banyak, kalau kurang satu saja ia tidak akan tahu, atau kalau ia tahu, kau bisa berkilah bahwa kambing itu hilang karena dimakan serigala. Dengan begitu kamu dapat mengambil keuntungan darinya." Rayu Umar.
"Kalau saya melakukan itu, lalu di mana Allah? Tuan, mungkin saya bisa mendustai majikan saya, tapi bagaimana dengan Allah, Tuhan saya Yang Maha Melihat?!" Jawab pemuda penggembala dengan nada bergetar.
Khalifah Umar bin Khattab ra menangis haru mendengar jawaban jujur penuh keimanan pemuda itu. Keimanan kepada Allah SWT, keimanan akan adanya Hari Pembalasan begitu menghunjam dalam di dada. Itulah salah satu rahasia kemajuan Kekhalifahan Umar bin Khattab. Di masanya, dalam waktu teramat singkat wilayah Islam begitu meluas menandingi dua adidaya Persi dan Romawi. Itu terjadi lantaran fondasi utama yang menjadi prasyarat kemajuan bangsa telah dipenuhi, yaitu kesadaran ketuhanan dalam masyarakat. Kesadaran yang merata bahkan sampai seorang penggembala di pelosok negeri.
Jika kesadaran bertuhan penduduk negeri ini sama dengan kesadaran bertuhannya penggembala di atas, pastilah di Indonesia sangat susah ditemui adanya penipu dan koruptor. Tidak akan ada dosen yang meninggalkan perkuliahan untuk ngobyek proyek.
Tidak ada sopir yang menurunkan penumpangnya di jalanan sebelum sampai tujuan. Tidak ada polisi yang nakal di jalan. Tidak akan ada pemimpin yang hanya mengobral janji dan tega membohongi rakyatnya. Juga tidak ada penjual asongan yang menyulap harga Rp 27.000 menjadi Rp 57.000. Karena semua tahu bahwa Allah tak pernah bisa ditipu.
Dengan demikian, perlahan negeri ini akan menemukan titik terang kejayaan dan kebangkitan negeri Indonesia pun bukan lagi sekadar mimpi, tapi benar-benar terjadi.
Dikutip dari : Website KPK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar