Menu derita itu diproduksi mesin ”kuliner” kekuasaan yang diprogram untuk melakukan diet kesejahteraan bagi rakyat jelata. Rupanya para pengelola negeri ini masih memelihara keyakinan bahwa hidup prihatin merupa- kan kodrat sosial rakyat. Dengan hidup prihatin, jiwa dan raga rakyat akan selalu tergembleng.
Ironisnya, pemerintah seolah masih merasa perlu ”mempertahankan” status quo kemiskinan, sempitnya lapangan pekerjaan, biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi, dan harga-harga kebutuhan pokok yang sulit dijangkau. Pemerintah sangat yakin, watak utama rakyat adalah kesabaran dan pemaaf. Selain itu, rakyat juga tangguh: semakin mendapatkan tekanan, rakyat akan semakin kreatif.
Kondisi sosial dan ekonomi yang lumayan kuat menjepit itu tentu bertolak belakang dengan harapan rakyat ketika reformasi bergulir. Di benak mereka terbentang horizon harapan perubahan nasib. Namun, janji perubahan menuju kesejahteraan itu hanya menjadi dongeng pelipur lara.
Bisa dipahami jika terhadap reformasi rakyat cenderung memberikan senyuman pahit. Hal itu bukan karena mereka tidak menghargai jasa berbagai pihak yang telah melahirkan reformasi. Ketika reformasi bergulir, rakyat memberikan dukungan yang luar biasa, baik fisik maupun moral. Dengan sangat mengharukan, mereka menyediakan makanan dan minuman di sepanjang jalan untuk para pejuang reformasi. Mereka menyambut para demonstran bak pahlawan kemerdekaan.
Reformasi yang pada awalnya sangat menggetarkan hati itu ternyata menyesakkan dada dalam perkembangan selanjutnya. Setelah cukup lama rakyat ikut berjoget diiringi musik kebebasan, mereka pun akhirnya lelah dan lapar. Kepahitan ini mendorong mereka putus asa. Dalam keputusasaan itu mereka pun mulai merindukan kehidupan pada masa lalu di era Orde Baru. Waktu itu, detak ekonomi mereka jauh lebih baik daripada sekarang. Bagi mereka ”lebih baik dibungkam tapi perut kenyang daripada bebas tapi lapar”.
Kaum intelektual tentu menganggap rakyat naif ketika membenturkan demokrasi dan kesejahteraan. Alasannya, demokrasi merupakan jalan, laku atau exercise politik untuk melahirkan sis- tem kekuasaan adil, transparan dan menjunjung hak asasi manusia, sedangkan kesejahteraan adalah cita-cita sosial yang wajib diwujudkan oleh rezim yang diberi mandat untuk memerintah.
Kesejahteraan merupakan buah pengelolaan yang baik atas ne- gara. Di situ, kekuasaan didistribusikan secara adil dan mera- ta. Jadi, jika saat ini rakyat hidup susah, maka yang salah bukan gerakan reformasi, melainkan pengelola kekuasaan negara.
Politikus muda yang populis, Budiman Sujatmiko (2010), melihat Orde Reformasi semestinya merupakan kelanjutan sejarah pembangunan peradaban bangsa. Soekarno (Orde Lama) menitikberatkan perjuangannya pada pembangunan karakter bangsa. Soeharto (Orde Baru) melanjutkannya dengan membangun negara, khususnya stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Orde Reformasi semestinya membangun kesejahteraan masyarakat. Namun, orientasi itu berbelok atau sengaja dibelokkan menjadi memperkaya individu. Negara pun tersubordinasi kepentingan individual para pengelola kekuasaan, politisi, dan pengusaha.
Orientasi perubahan yang terjadi bukan untuk memberdayakan potensi-potensi publik sekaligus membuka akses bagi publik, melainkan cenderung berpihak pada kepentingan individu pengelola negara dan sekutu-sekutunya. Celakanya, semua kebijakan itu dilakukan dengan mengatasnamakan publik. Ungkapan ”demi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara” selalu bertaburan dalam pidato para elite politik, tetapi yang terjadi adalah ”demi kepentingan pribadi atau kelompok”.
Maka, jangan heran jika muncul sebutan Indonesia adalah ”negara persekongkolan” yang turunannya antara lain mafia politik, mafia hukum, dan mafia ekonomi. Negara yang tersubordinasi individu/kelompok telah memunculkan bahaya lain: korupsi seperti yang sangat meriah saat ini. Mereka memperkaya diri tanpa takut sanksi hukum karena hukuman untuk para koruptor rendah, apalagi fasilitas penjara bak hotel berbintang.
Merasakan berbagai kenyataan ini, rakyat hanya bisa mengelus dada. Reformasi yang sarat nuansa heroisme itu pun akhirnya hanya melahirkan narasi-narasi kepedihan bagi rakyat.
Rakyat hanya bisa tersenyum pahit, sambil mengucap, ”Negeri ini telah kehilangan negarawan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar