BERDASARKAN Keppres No 11 Tahun 1996, 25 April diperingati sebagai Hari Otonomi Daerah (otda). Kita baru melaluinya lima hari lalu, tanpa sambutan gegap gempita oleh masyarakat, sekalipun otda dicita-citakan mampu mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan bagi segenap warga NKRI. Mungkin publik umumnya tidak sadar. Perjalanan otda ternyata relatif tenang di tengah pergolakan mencari jati diri bangsa yang tidak pernah sepi. Betapa pun karut marutnya situasi sekarang, otda tidak bergolak, NKRI aman. Di sisi lain, kita patut bertanya apakah otda sudah ideal? Jangan sampai dia tenang-tenang menghanyutkan akibat kekecewaan karena tekanan-tekanan ekonomi atau rasa ketidakadilan.
Cita-cita founding fathers tentang otonomi daerah masih jauh panggang dari api. Padahal, seperti kata negarawan Inggris, Margaret Thatcher, dalam buku Statecraft, walaupun ancaman komunis di Asia Tenggara telah tercabut, ancaman lain masih menghadang, yaitu ancaman disintegrasi. Mantan Perdana Menteri Inggris berpendapat demikian karena menyadari betapa besarnya Indonesia, dengan penduduk keempat terbesar di dunia yang hidup tersebar di ribuan pulau yang terserak di wilayah luas membentang. Kata Thatcher, "Selama eksistensinya sebagai negara merdeka, yang paling dipikirkan para pemimpinnya adalah bagaimana menggalang persatuan nasional. Itulah alasannya mengapa Pancasila termaktub dalam UUD-nya sebagai falsafah pemandu bangsa."
Pendapat Thatcher benar. Maka, berbagai letupan kekerasan dalam bulan-bulan terakhir ini patut kita waspadai dan risaukan karena pastinya menandakan rasa kecewa, terutama di kalangan akar rumput.
Otda sebagai pemersatu
Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo (alm) tahun 1980-an pernah menyatakan, kita seharusnya berupaya mendirikan pusat-pusat pertumbuhan di berbagai daerah untuk menarik penduduk datang ke sana dan ikut membangun. Pembangunan jangan hanya terpusat di daerah tertentu. Tetapi terbukti, sampai sekarang pun investasi terbesar mengalir ke tempat-tempat itu juga--DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten--seperti diberitakan Media Indonesia awal minggu ini.
Pak Mitro, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, sebenarnya sudah mulai melihat ketimpangan antara pusat dan daerah. Dia bergabung dengan kelompok yang memberikan ultimatum kepada pemerintah pusat pada Februari 1958, dan beberapa hari kemudian, 15 Februari 1958, mereka mendirikan pemerintahan tandingan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tentang hal itu nantinya dia menjelaskan, semula mereka hanya mengingatkan pusat bahwa daerah memerlukan otonomi dan pengembangan. Namun, Sumitro meyakini Indonesia harus satu. Maka, tatkala PRRI hendak mendirikan Republik Persatuan Indonesia (RPI) tanpa memasukkan pulau Jawa, dia menolak tegas.
Distorsi Otda
Prof Dr Ryaas Rasyid, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, mendapat sebutan Arsitek Otonomi Daerah karena pemikiran dan kegigihannya memperjuangkan otda. Sejak 25 Januari 2010, dia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ryaas waktu itu mengatakan, memahami soal otonomi daerah bukan hanya dengan membaca undang-undang, tetapi harus tahu falsafah, konsep dasar, strategi pelaksanaan, serta monitoring-nya. Dalam kedudukannya yang strategis waktu itu, dia mengusulkan sekitar 200 keppres dan 30 peraturan pemerintah (PP) untuk mendukung pelaksanaan otda. Dia beranggapan, selain tidak ada bimbingan atau pengawasan, peraturan untuk menjalankan otonomi pun tidak mencukupi. Namun, usulnya tidak pernah ditindaklanjuti. "Pelaksanaan otonomi tak mungkin berjalan mulus tanpa bimbingan dan supervisi pemerintah pusat," katanya. Tambahnya, distorsi pelaksanaan otda bukan karena substansi undang-undangnya, tetapi pada pelaksanaannya.
Tentang pemilu kada yang juga menggambarkan perkembangan otda, Ryaas berpendapat, faktor-faktor emosional lebih banyak berbicara daripada berpikir rasional. "Tiap kali pemilu atau pilkada, selalu akan ada salah satu pihak yang tidak menerima hasilnya karena didasari emosi, bukan rasio," katanya.
Go East
Ada saran menarik dalam sekapur sirih buku Otonomi Daerah 1945-2010, Proses & Realita (2005; 2010) karya BN Marbun SH, "Kalau Amerika pada akhir abad XIX go west, mengapa kita di abad XXI tidak go east?--membangun pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia Timur?
Dalam buku komprehensif itu penulisnya menyimpulkan, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan, antara lain, sejumlah pemda tergoda untuk semakin menjauh dari Pancasila dan UUD '45; selama reformasi, banyak pimpinan DPRD terlibat kasus korupsi kronis; selama reformasi banyak peraturan daerah yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi; pemda lemah dalam pengelolaan keuangan.
Sebagai pemersatu, otda rasanya minta dan memang perlu ditelateni dan diawasi. Pimpinan masyarakat pusat ataupun daerah tentunya diharapkan lebih aktif melibatkan diri. Semuanya demi kelanggengan NKRI dan kesejahteraan warganya.
Cita-cita founding fathers tentang otonomi daerah masih jauh panggang dari api. Padahal, seperti kata negarawan Inggris, Margaret Thatcher, dalam buku Statecraft, walaupun ancaman komunis di Asia Tenggara telah tercabut, ancaman lain masih menghadang, yaitu ancaman disintegrasi. Mantan Perdana Menteri Inggris berpendapat demikian karena menyadari betapa besarnya Indonesia, dengan penduduk keempat terbesar di dunia yang hidup tersebar di ribuan pulau yang terserak di wilayah luas membentang. Kata Thatcher, "Selama eksistensinya sebagai negara merdeka, yang paling dipikirkan para pemimpinnya adalah bagaimana menggalang persatuan nasional. Itulah alasannya mengapa Pancasila termaktub dalam UUD-nya sebagai falsafah pemandu bangsa."
Pendapat Thatcher benar. Maka, berbagai letupan kekerasan dalam bulan-bulan terakhir ini patut kita waspadai dan risaukan karena pastinya menandakan rasa kecewa, terutama di kalangan akar rumput.
Otda sebagai pemersatu
Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo (alm) tahun 1980-an pernah menyatakan, kita seharusnya berupaya mendirikan pusat-pusat pertumbuhan di berbagai daerah untuk menarik penduduk datang ke sana dan ikut membangun. Pembangunan jangan hanya terpusat di daerah tertentu. Tetapi terbukti, sampai sekarang pun investasi terbesar mengalir ke tempat-tempat itu juga--DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten--seperti diberitakan Media Indonesia awal minggu ini.
Pak Mitro, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, sebenarnya sudah mulai melihat ketimpangan antara pusat dan daerah. Dia bergabung dengan kelompok yang memberikan ultimatum kepada pemerintah pusat pada Februari 1958, dan beberapa hari kemudian, 15 Februari 1958, mereka mendirikan pemerintahan tandingan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tentang hal itu nantinya dia menjelaskan, semula mereka hanya mengingatkan pusat bahwa daerah memerlukan otonomi dan pengembangan. Namun, Sumitro meyakini Indonesia harus satu. Maka, tatkala PRRI hendak mendirikan Republik Persatuan Indonesia (RPI) tanpa memasukkan pulau Jawa, dia menolak tegas.
Distorsi Otda
Prof Dr Ryaas Rasyid, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, mendapat sebutan Arsitek Otonomi Daerah karena pemikiran dan kegigihannya memperjuangkan otda. Sejak 25 Januari 2010, dia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ryaas waktu itu mengatakan, memahami soal otonomi daerah bukan hanya dengan membaca undang-undang, tetapi harus tahu falsafah, konsep dasar, strategi pelaksanaan, serta monitoring-nya. Dalam kedudukannya yang strategis waktu itu, dia mengusulkan sekitar 200 keppres dan 30 peraturan pemerintah (PP) untuk mendukung pelaksanaan otda. Dia beranggapan, selain tidak ada bimbingan atau pengawasan, peraturan untuk menjalankan otonomi pun tidak mencukupi. Namun, usulnya tidak pernah ditindaklanjuti. "Pelaksanaan otonomi tak mungkin berjalan mulus tanpa bimbingan dan supervisi pemerintah pusat," katanya. Tambahnya, distorsi pelaksanaan otda bukan karena substansi undang-undangnya, tetapi pada pelaksanaannya.
Tentang pemilu kada yang juga menggambarkan perkembangan otda, Ryaas berpendapat, faktor-faktor emosional lebih banyak berbicara daripada berpikir rasional. "Tiap kali pemilu atau pilkada, selalu akan ada salah satu pihak yang tidak menerima hasilnya karena didasari emosi, bukan rasio," katanya.
Go East
Ada saran menarik dalam sekapur sirih buku Otonomi Daerah 1945-2010, Proses & Realita (2005; 2010) karya BN Marbun SH, "Kalau Amerika pada akhir abad XIX go west, mengapa kita di abad XXI tidak go east?--membangun pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia Timur?
Dalam buku komprehensif itu penulisnya menyimpulkan, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan, antara lain, sejumlah pemda tergoda untuk semakin menjauh dari Pancasila dan UUD '45; selama reformasi, banyak pimpinan DPRD terlibat kasus korupsi kronis; selama reformasi banyak peraturan daerah yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi; pemda lemah dalam pengelolaan keuangan.
Sebagai pemersatu, otda rasanya minta dan memang perlu ditelateni dan diawasi. Pimpinan masyarakat pusat ataupun daerah tentunya diharapkan lebih aktif melibatkan diri. Semuanya demi kelanggengan NKRI dan kesejahteraan warganya.
Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar