21/04/2010 - 17:45
INILAH.COM, Jakarta — Rencana revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah terkait penambahan persyaratan calon kepala daerah terus memancing reaksi publik. Selain persoalan moralitas, persyaratan pengalaman kandidat juga dipersoalkan. Ada agenda terselubung dari kalangan birokrat?
Rencana Kementrian Dalam Negeri merevisi UU No 32/2004 terkait penambahan persyaratan calon kepala daerah terus menuai kontroversi. Soal moralitas seperti tidak pernah berzina dan berpose porno mendapat banyak tentangan, karena soal moralitas sulit untuk mengukurnya. Hal yang sama soal pernah memiliki pengalaman, juga mendapat sorotan.
Seperti menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti yang mengatakan bahwa penyebutan persyaratan berpengalaman tak lebih upaya menyempitkan peluang masyarakat secara luas untuk tampil dalam pilkada.
"Pengalaman organisasi menyempitkan masyarakat untuk tampil menjadi kepala daerah. Justru persyaratan ini memberi ruang kepada para birokrat,” ujarnya dalam diskusi 'Kontroversi Rekam Jejak Kandidat dalam Pilkada', di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (21/4).
Hal senada ditegaskan mantan anggota Komisi II DPR Ferry Mursidan Baldan. Ia menduga, persyaratan soal calon harus berpengalaman jangan-jangan menjadi agenda birokrat.
"Karena kalau para birokrat maju dalam pilkada, harus mundur dari jabatannya. Kalau kalah tidak bisa kembali lagi di posisi semula," ujarnya yang juga Ketua DPP Nasional Demokrat (Nasdem).
Menurut dia, kepala daerah merupakan jabatan elected yang tidak perlu dicantumkan soal berpengalaman, yang penting calon bisa melakukan komunikasi dengan publik.
Sementara, menurut anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat Khatibul Umam Wiranu, persyaratan pengalaman yang sedianya dicantumkan dalam persyaratan calon kepala daerah harus lebih didetailkan lagi sehingga tidak memunculkan spekulasi di publik.
"Pengalaman harus lebih detal, tidak sekadar diasumsikan pengalaman politik saja. Harus lebih luas dan lebih deskriptif,” sarannya.
Terkait dengan usulan penambahan persyaratan calon kepala daerah, mayoritas menolak adanya pengaturan persyaratan calon kepala daerah melalui revisi UU No 32/2004. Selain tidak jelas indikatornya terkait moralitas, soal persyaratan lebih baik dikembalikan ke masing-masing partai politik. Hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan diri partai politik dalam mencalonkan kadernya karena gagal dalam proses kaderisasi.
Ray menegaskan, fenomena munculnya artis dalam kontestasi pilkada merupakan bentuk ketidakpercayaan partai menjagokan kader sendiri. Maka cara yang dilakukan, imbuh Ray, menggantungkan nama besarnya pada nama besar orang lain.
"Dicarilah tokoh-tokoh popular, karena partai yang tidak cukup kuat dan mengakar,” ujarnya seraya menyebutkan hingga saat ini telah muncul 10 nama selebritas yang berencana maju dalam pemilu kepala daerah di seluruh Indonesia.
Anggota DPD dari Provinsi Jawa Tengah Poppy Susanti juga memiliki pendapat senada. Menurut dia, masuknya selebritas dalam jajaran kandidat kepala daerah menunjukkan pendidikan politik tidak berjalan.
“Yang sederhana dan berbobot tidak pernah bisa masuk, kalah sama yang transaksional,” katanya seraya mengaku dirinya pernah ditawari menjadi calon kepala daerah dengan bayaran hingga Rp5 miliar. [mor]
Oleh : R Ferdian Andi R
Tidak ada komentar:
Posting Komentar