Kamis, 30 Juli 2009 | 03:19 WIB
Jakarta, Kompas -
Direktur Eksekutif Asosiasi DPRD Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (Adkasi) Iwan Soelasno, Rabu (29/7), mengatakan, saat ini calon anggota DPRD kabupaten/kota seluruh Indonesia, yang sudah ditetapkan sebagai calon terpilih oleh KPU kabupaten/kota, sedang menyiapkan upacara pelantikan yang direncanakan bulan Agustus 2009. Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota berbeda-beda di seluruh Indonesia sehingga upacara pelantikan tergantung dari habisnya masa jabatan mereka.
MA telah mengeluarkan putusan yang membatalkan Pasal 45 Huruf b dan Pasal 46 Ayat 2 Huruf b Peraturan KPU No 15/2009. Uji materi terhadap pasal-pasal itu diajukan oleh Tudsi, calon anggota DPRD Kabupaten Malang, Jawa Timur. Dengan pembatalan pasal itu, parpol yang tidak memperoleh kursi pada tahap pertama karena tidak memenuhi bilangan pembagi pemilih tidak dapat mengikuti penghitungan kursi tahap kedua.
”Masa jabatan mereka harus pas lima tahun, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Untuk itu, sebagian besar anggota Adkasi menolak putusan MA sekalipun harus berseberangan dengan DPP parpolnya masing-masing,” kata Iwan.
Untuk itu, lanjut Iwan, KPU harus segera berkoordinasi dengan MA. ”Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi gejolak politik di kabupaten/kota. Adkasi khawatir putusan MA akan membuat konflik politik horizontal, baik internal parpol maupun antarparpol,” ujar Iwan.
Secara terpisah, anggota KPU, Andi Nurpati Baharuddin, mengungkapkan, KPU akan segera melakukan rapat pleno pekan ini untuk membicarakan lima putusan MA terkait dengan Pemilu Legislatif 2009. ”Kami semua mempunyai niat untuk segera mengambil keputusan terkait putusan MA dan MK (Mahkamah Konstitusi). Apalagi, anggota DPRD akan segera dilantik mulai bulan depan. Kalau pelantikan anggota DPR, masih tanggal 1 Oktober, sehingga KPU punya waktu dua bulan lagi,” katanya.
Andi melanjutkan, pada prinsipnya KPU menghormati dan menghargai putusan MA. Karena itu, KPU harus mempunyai dasar yang kuat apabila akan mengambil keputusan.
Wakil KPU, kemarin, bertemu dengan pimpinan MA di kantor MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta. KPU meminta penjelasan terkait putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU No 15/2009 khusus terkait pembagian kursi tahap kedua. ”Kami cuma menyampaikan inilah putusan MA,” ujar juru bicara MA, Hatta Ali. Dalam pertemuan itu, ungkap Hatta, KPU sama sekali tidak menyampaikan keberatan. Mereka hanya bertanya bagaimana penerapannya.
Menurut Hatta, MA menjelaskan, putusan mereka adalah putusan terhadap perkara hak uji materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pengujian itu memang merupakan wewenang MA.
”Inilah (Peraturan KPU) yang majelis hakim uji. Ternyata majelis melihat ada pertentangan antara Peraturan KPU Pasal 22 dan 23 dengan UU No 10/2008 Pasal 205 Ayat 4. Kami tidak lihat perhitungan suaranya. Itu bukan wewenang kami,” ujar Hatta.
Ditanya mengenai revisi hasil penghitungan, Hatta menjelaskan, hal itu tergantung KPU. Namun, putusan MA tersebut tidak berlaku surut. Putusan MA berlaku ke depan. ”Peraturannya yang dibatalkan, dan MA memerintahkan untuk merevisi peraturannya,” ujar Hatta.
Dalam pengujian itu, Hatta menegaskan bahwa MA semata-mata melihat dari segi hukum. ”MA tidak melihat aspek politis. Karena waktu perkara diputus, kami tidak tahu siapa yang diuntungkan dan dirugikan. MA semata-mata hanya melihat ada pertentangan. Kami tidak melihat soal angka. Kami tidak tahu. Kalau kami tahu, itu justru tidak obyektif,” ujar Hatta.
Masih mengenai persoalan yang sama, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie meminta KPU segera melaksanakan putusan tersebut.
”Saya anjurkan putusan hukum harus dihormati dan dilaksanakan. Soal bagaimana caranya, substansi apa yang mau dimuat, itu pandai-pandai KPU. Sebab, implikasi dari kesimpangsiuran bisa menimbulkan masalah yang serius sekali. Jadi, KPU jangan memberi kesan tidak menghormati hukum. Mereka itu institusi resmi,” ujar Jimly.
Secara terpisah, mantan hakim agung MA, Benjamin Mangkoedilaga, menilai beberapa putusan MA terkait pembagian tata cara pembagian kursi anggota DPR dan DPRD hasil pemilu legislatif lalu sudah sesuai dengan aturan dan kewenangan yang dimiliki MA. Hakim MA pun dianggap sudah bekerja secara profesional dan tidak berpolitik. ”Lembaga peradilan tidak berpolitik. Itu memang kewenangannya,” katanya.
Menurut Benjamin, MA pernah membatalkan sejumlah kasus bernuansa politik tanpa dipengaruhi oleh putusan politik. MA pernah membatalkan keputusan presiden tentang pengangkatan Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai Kepala Polri pada 2001 dan membatalkan keputusan Menteri Penerangan yang membredel majalah Tempo pada 1995.
Sesuai Pasal 31 Ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA, salah satu kewenangan MA adalah melakukan uji materi (judicial review) untuk menguji peraturan perundang-undangan dengan UU di atasnya. Pengajuan uji materi itu dapat dilakukan melalui gugatan di pengadilan tata usaha negara ataupun mengajukan uji materi langsung ke MA.
”Sekarang terserah KPU, mau melaksanakan putusan MA atau jika tidak puas, silakan mengajukan PK (peninjauan kembali),” katanya menambahkan.
Sumber : Kompas.com