Kamis, 20 Agustus 2009

BPK, Potensi Korupsi di Daerah, dan KPK


Kompas.com : Kamis, 20 Agustus 2009 | 05:02 WIB

Bambang Widjojanto

Ada kontradiksi antara peningkatan jumlah aliran dana ke daerah dan akuntabilitas penggunaan keuangan daerah yang dinilai terus merosot.

APBN Perubahan 2009 menetapkan, jumlah dana APBN Rp 1.005,7 triliun dan ada sekitar 60 persen diserahkan ke daerah. Di sisi lain, laporan keuangan pemerintah daerah yang mendapat opini dengan penilaian tidak wajar meningkat tajam dari 10 daerah (2004) menjadi 59 daerah (2007).

Sementara itu, hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 2008 menyebutkan, ada 93.481 rekomendasi senilai Rp 764 triliun yang perlu ditindaklanjuti. Dari jumlah itu, 38.010 rekomendasi senilai Rp 205 triliun belum ditindaklanjuti.

Merosotnya akuntabilitas

Menteri Keuangan beberapa waktu lalu dengan merujuk laporan BPK mengemukakan kian merosotnya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Penjelasan menteri dan laporan itu menyatakan, pertama, ada 21 daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian tahun 2004 dan merosot menjadi hanya 8 daerah tahun 2008. Kedua, ada 249 daerah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian tahun 2004 merosot menjadi 137 daerah (2008). Ketiga, ada 7 daerah tahun 2004 yang diberikan opini tidak memberikan pendapat menjadi 120 daerah (2008).

Uraian tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, ada kecenderungan kian merosotnya kinerja daerah dalam mengelola keuangan. Kedua, ada 157 daerah yang pengelolaan keuangannya dinilai membahayakan dan 249 daerah potensial membahayakan karena dapat merugikan keuangan negara. Ketiga, ketidakmampuan mengelola keuangan membuka peluang terjadinya fraud serta penyalahgunaan kewenangan yang dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keempat, potensi kerugian negara cenderung meningkat sesuai dengan kian memburuknya kualitas pengelolaan keuangan negara.

Laporan BPK juga menyatakan, pada tahun 2008 ada 31 laporan hasil pemeriksaan (LHP) meliputi 40 kasus senilai Rp 3,67 triliun dan 26,37 juta dollar AS yang mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada instansi berwenang. Dari jumlah itu, ada 24 LHP terdiri 37 kasus senilai Rp 3,59 triliun dan 26,37 juta dollar AS diserahkan kepada KPK; sisanya diserahkan kepada kepolisian satu LHP dan kejaksaan enam LHP terdiri tiga kasus senilai Rp 84,42 miliar. Laporan itu melengkapi laporan lain BPK yang menyatakan, tahun 2003-2008 ada 90 LHP yang terdiri 210 kasus senilai Rp 30,18 triliun dan 470,31 juta dollar AS.

Penyimpangan meningkat

Ada dugaan potensi penyimpangan pengelolaan keuangan negara akan meningkat seiring diadakan pemilihan kepala daerah di lebih dari 240 daerah tahun 2010. Asumsinya, pejabat di daerah akan lebih memberi perhatian pada pemilihan kepala daerah, kontrol pengelolaan keuangan daerah akan berkurang, serta sebagian pejabat potensial tergoda untuk menggunakan kewenangan dan keuangan daerah bagi kepentingan sendiri dalam pemilihan kepala daerah.

Berdasar uraian itu, ada dua upaya yang harus berjalan paralel, yaitu pencegahan penyimpangan penggunaan kewenangan melalui peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara serta upaya penindakan dengan memberi sanksi tegas dan keras guna menimbulkan efek jera atas tiap penyimpangan.

Pada konteks penindakan, sinergitas dan konsolidasi lembaga penegakan hukum untuk meminimalkan potensi korupsi dan penindakan atas kasus korupsi menjadi amat penting. Peran KPK dalam penindakan menjadi material dan relevan karena penindakan harus mendapat dukungan publik. KPK adalah lembaga penegakan hukum yang mendapat kepercayaan publik. Karena itu, tindakan mendekonstruksi konsolidasi lembaga penegakan hukum adalah naif.

Apalagi, tindakan ditujukan untuk mendelegitimasi keberadaan KPK dengan mengkriminalisasi pimpinan KPK tanpa dasar dan bukti hukum kuat. Tindakan itu adalah sabotase dan dapat dituding sebagai dekonstruksi pemberantasan korupsi karena membiarkan puluhan ribu temuan dan rekomendasi BPK dengan nilai kerugian ratusan triliun rupiah yang ”dicuri” di depan mata. Ini adalah konspirasi besar yang melegalisasi penyimpangan pengelolaan keuangan negara dan pesta akbar para koruptor yang dipastikan akan membangkrutkan negara dan menyengsarakan rakyat.

Siapa pun penegak hukum yang terbukti bersalah harus dihukum, tetapi itu tidak berarti menghancurkan eksistensi salah satu lembaga penegakan hukum. KPK harus terus dituntut untuk meningkatkan akuntabilitas penggunaan kewenangannya agar tetap amanah dalam mengelola integritas dan profesionalitasnya sehingga tidak ada peluang bagi setiap pimpinan dan staf di KPK dapat menyalahgunakan kewenangan.

Pada akhirnya, prioritas harus diberikan pada upaya pencegahan dan penindakan dengan menyinergikan dan mengonsolidasi lembaga penegakan hukum bukan malah mendekonstruksi peran KPK yang hingga kini masih dipercaya publik.

Bambang Widjojanto Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Advisor Partnership for Governance Reform

BPK, Potensi Korupsi di Daerah, dan KPK


Kompas.com : Kamis, 20 Agustus 2009 | 05:02 WIB

Bambang Widjojanto

Ada kontradiksi antara peningkatan jumlah aliran dana ke daerah dan akuntabilitas penggunaan keuangan daerah yang dinilai terus merosot.

APBN Perubahan 2009 menetapkan, jumlah dana APBN Rp 1.005,7 triliun dan ada sekitar 60 persen diserahkan ke daerah. Di sisi lain, laporan keuangan pemerintah daerah yang mendapat opini dengan penilaian tidak wajar meningkat tajam dari 10 daerah (2004) menjadi 59 daerah (2007).

Sementara itu, hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 2008 menyebutkan, ada 93.481 rekomendasi senilai Rp 764 triliun yang perlu ditindaklanjuti. Dari jumlah itu, 38.010 rekomendasi senilai Rp 205 triliun belum ditindaklanjuti.

Merosotnya akuntabilitas

Menteri Keuangan beberapa waktu lalu dengan merujuk laporan BPK mengemukakan kian merosotnya akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah. Penjelasan menteri dan laporan itu menyatakan, pertama, ada 21 daerah yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian tahun 2004 dan merosot menjadi hanya 8 daerah tahun 2008. Kedua, ada 249 daerah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian tahun 2004 merosot menjadi 137 daerah (2008). Ketiga, ada 7 daerah tahun 2004 yang diberikan opini tidak memberikan pendapat menjadi 120 daerah (2008).

Uraian tersebut menjelaskan beberapa hal. Pertama, ada kecenderungan kian merosotnya kinerja daerah dalam mengelola keuangan. Kedua, ada 157 daerah yang pengelolaan keuangannya dinilai membahayakan dan 249 daerah potensial membahayakan karena dapat merugikan keuangan negara. Ketiga, ketidakmampuan mengelola keuangan membuka peluang terjadinya fraud serta penyalahgunaan kewenangan yang dapat dikualifikasi sebagai korupsi. Keempat, potensi kerugian negara cenderung meningkat sesuai dengan kian memburuknya kualitas pengelolaan keuangan negara.

Laporan BPK juga menyatakan, pada tahun 2008 ada 31 laporan hasil pemeriksaan (LHP) meliputi 40 kasus senilai Rp 3,67 triliun dan 26,37 juta dollar AS yang mengandung unsur tindak pidana dan telah dilaporkan kepada instansi berwenang. Dari jumlah itu, ada 24 LHP terdiri 37 kasus senilai Rp 3,59 triliun dan 26,37 juta dollar AS diserahkan kepada KPK; sisanya diserahkan kepada kepolisian satu LHP dan kejaksaan enam LHP terdiri tiga kasus senilai Rp 84,42 miliar. Laporan itu melengkapi laporan lain BPK yang menyatakan, tahun 2003-2008 ada 90 LHP yang terdiri 210 kasus senilai Rp 30,18 triliun dan 470,31 juta dollar AS.

Penyimpangan meningkat

Ada dugaan potensi penyimpangan pengelolaan keuangan negara akan meningkat seiring diadakan pemilihan kepala daerah di lebih dari 240 daerah tahun 2010. Asumsinya, pejabat di daerah akan lebih memberi perhatian pada pemilihan kepala daerah, kontrol pengelolaan keuangan daerah akan berkurang, serta sebagian pejabat potensial tergoda untuk menggunakan kewenangan dan keuangan daerah bagi kepentingan sendiri dalam pemilihan kepala daerah.

Berdasar uraian itu, ada dua upaya yang harus berjalan paralel, yaitu pencegahan penyimpangan penggunaan kewenangan melalui peningkatan kualitas pengelolaan keuangan negara serta upaya penindakan dengan memberi sanksi tegas dan keras guna menimbulkan efek jera atas tiap penyimpangan.

Pada konteks penindakan, sinergitas dan konsolidasi lembaga penegakan hukum untuk meminimalkan potensi korupsi dan penindakan atas kasus korupsi menjadi amat penting. Peran KPK dalam penindakan menjadi material dan relevan karena penindakan harus mendapat dukungan publik. KPK adalah lembaga penegakan hukum yang mendapat kepercayaan publik. Karena itu, tindakan mendekonstruksi konsolidasi lembaga penegakan hukum adalah naif.

Apalagi, tindakan ditujukan untuk mendelegitimasi keberadaan KPK dengan mengkriminalisasi pimpinan KPK tanpa dasar dan bukti hukum kuat. Tindakan itu adalah sabotase dan dapat dituding sebagai dekonstruksi pemberantasan korupsi karena membiarkan puluhan ribu temuan dan rekomendasi BPK dengan nilai kerugian ratusan triliun rupiah yang ”dicuri” di depan mata. Ini adalah konspirasi besar yang melegalisasi penyimpangan pengelolaan keuangan negara dan pesta akbar para koruptor yang dipastikan akan membangkrutkan negara dan menyengsarakan rakyat.

Siapa pun penegak hukum yang terbukti bersalah harus dihukum, tetapi itu tidak berarti menghancurkan eksistensi salah satu lembaga penegakan hukum. KPK harus terus dituntut untuk meningkatkan akuntabilitas penggunaan kewenangannya agar tetap amanah dalam mengelola integritas dan profesionalitasnya sehingga tidak ada peluang bagi setiap pimpinan dan staf di KPK dapat menyalahgunakan kewenangan.

Pada akhirnya, prioritas harus diberikan pada upaya pencegahan dan penindakan dengan menyinergikan dan mengonsolidasi lembaga penegakan hukum bukan malah mendekonstruksi peran KPK yang hingga kini masih dipercaya publik.

Bambang Widjojanto Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Advisor Partnership for Governance Reform

Rabu, 12 Agustus 2009

SUMUT : Pelanggaran Diduga Dilakukan Tiga KPU Daerah

DK KPU Kantongi Bukti
Pelanggaran Diduga Dilakukan Tiga KPU

Rabu, 12 Agustus 2009 | 02:58 WIB

Medan, Kompas - Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum mengantongi bukti permintaan uang oleh anggota Komisi Pemilihan Umum di tiga kabupaten, yakni Nias Selatan, Tapanuli Tengah, dan Padang Lawas Utara, kepada calon anggota legislatif untuk DPRD setempat.

Rekomendasi sanksi dari Dewan Kehormatan (DK) paling lambat dikeluarkan pada pekan depan.

Menurut salah seorang anggota Dewan Kehormatan KPU Sumut, Surya Perdana, DK telah mengantongi bukti tentang adanya permintaan uang oleh anggota KPU di tiga kabupaten, yakni Nias Selatan, Tapanuli Tengah, dan Padang Lawas Utara, kepada calon legislatif DPRD setempat.

”Bukti tersebut kini disimpan oleh salah seorang anggota DK. Rencananya mulai Rabu hingga Jumat kami akan mengonfrontasi bukti ini dengan anggota KPU dari Nias Selatan, Tapanuli Tengah, dan Padang Lawas Utara,” ujar Surya di Medan, Selasa (11/8).

Selesai mengonfrontasi, Surya mengatakan, DK akan segera menerbitkan rekomendasi sanksi terhadap dugaan pelanggaran berat kode etik penyelenggara pemilu tersebut. ”Kami akan keluarkan rekomendasi sanksi tersebut paling lambat pekan depan. Selanjutnya, sanksi akan diputuskan oleh KPU Sumut,” katanya.

DK KPU Sumut, kata Surya, telah selesai memeriksa keterangan dari para pelapor dugaan kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan ketiga KPU kabupaten itu. Terkait dengan dugaan pelanggaran oleh KPU Langkat, Batubara, dan Mandailing Natal, menurut Surya, berdasarkan pemeriksaan DK KPU Sumut belum ada bukti yang kuat mereka melanggar kode etik.

”Kalau KPU Langkat hanya soal gaya kepemimpinan ketuanya yang katanya suka mengancam PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) kalau melanggar akan dipidana. Untuk KPU Batubara dan Mandailing, dugaan tersebut hanya berdasarkan katanya. Tidak ada laporan resmi ataupun bukti-bukti pelanggaran kode etik yang masuk ke KPU Sumut,” kata Surya.

Ketua KPU Sumut Irham Buana Nasution belum bisa memastikan, apakah pelanggaran yang diduga dilakukan ketiga KPU kabupaten itu merupakan pelanggaran kolektif atau individual. ”Kami belum bisa memastikan apakah yang melanggar hanya individu-individu anggota KPU atau telah terjadi pelanggaran yang sifatnya kolektif, dilakukan semua anggota KPU kabupaten tersebut,” kata Irham.

Irham memastikan, jika terbukti ada pelanggaran berat kode etik, seperti permintaan uang kepada calon legislatif, anggota KPU yang bersangkutan bisa dipecat. (BIL)

Jumat, 07 Agustus 2009

Akhirnya MK 'Mentahkan' MA Soal Kursi

INILAH.COM, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan bahwa Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 adalah konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Dengan adanya putusan itu, otomatis Putusan Mahkamah Agung (MA) menjadi mentah.

"Artinya, konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi parpol peserta Pemilu dilakukan dengan cara menentukan kesetaraan 50%suara sah dari angka BPP, yaitu 50%dari angka BPP di setiap daerah pemilihan Anggota DPR," ujar Ketua MK Mahfud MD saat membacakan amar putusannya di Gedung MK, Jakarta, Jumat (7/8).

Cara kedua, sambungnya, membagikan sisa kursi pada setiap daerah pemilihan Anggota DPR kepada Partai Politik peserta Pemilu Anggota DPR. Dengan ketentuan, apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota DPR mencapai sekurang-kurangnya 50% dari angka BPP, maka Partai Politik tersebut memperoleh 1 (satu) kursi.

"Apabila suara sah atau sisa suara partai politik peserta Pemilu Anggota DPR tidak mencapai sekurang-kurangnya 50% dari angka BPP dan masih terdapat sisa kursi, maka suara sah partai politik yang bersangkutan dikategorikan sebagai sisa suara yang diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga dan sisa suara partai politik yang bersangkutan diperhitungkan dalam penghitungan kursi tahap ketiga," paparnya.

Dengan dikabulkannya permohonan PKS, Hanura dan PPP ini, maka putusan MA yang membatalkan beberapa pasal dalam peraturan KPU No 15/2009 menjadi mentah. Namun, Mahfud menegaskan gugatan yang didaftarkan itu bukan untuk membatalkan putusan MA. [mut]

Kamis, 06 Agustus 2009

SERANGAN JANTUNG


Keringat Dingin Bisa Bawa Kematian

Kompas - Kamis, 6 Agustus 2009 | 04:57 WIB

Oleh A Fauzi Yahya, SpJP

”If the heart trembles, has little power and sinks, the disease is advanced and death is near.” Ebers papyrus, 1500 SM. Urip Achmad Rijanto atau yang dikenal dengan nama Mbah Surip, pelantun lagu Tak Gendong yang fenomenal, meninggal dunia mendadak.

Seminggu sebelumnya, Mbah Surip telah mengeluh sesak napas, tetapi padatnya jadwal acara membuat keluhan tersebut terabaikan. Sehari sebelum kematian, seniman berambut gimbal itu merasa sudah begitu lelah sehingga ia mengungsi ke rumah pelawak Srimulat, Mamik Prakoso.

Di kediaman Mamik, Mbak Surip tampak pucat, lemas, bahkan sempat pingsan sehari sebelum meregang nyawa. Ia kemudian dibawa ke rumah sakit, tetapi dalam perjalanan, nyawa Mbah Surip yang berusia 52 tahun itu tak tertolong lagi. Penyebab kematian si Mbah yang gemar merokok dan menyeruput kopi itu diduga adalah serangan jantung.

Serangan jantung

Serangan jantung yang dalam terminologi medis disebut sebagai infark miokard akut (IMA) memang kerap dituding sebagai penyebab kematian mendadak. Hal ini bisa dimengerti karena sepertiga penderita serangan jantung meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Serangan jantung terjadi karena adanya sumbatan gumpalan darah di pembuluh koroner.

Pembuluh koroner adalah pembuluh yang memperdarahi otot jantung. Melalui pembuluh inilah, jantung mendapat oksigen dan nutrisi sehingga otot- otot jantung dapat berkontraksi terus-menerus sepanjang hari tanpa henti.

Pembuluh koroner normal memiliki dinding dalam yang mulus. Pada koroner yang tidak sehat, lapisan dinding dalam pembuluh darah itu mengeras dan menebal karena adanya kerak-kerak (aterosklerosis). Kerak-kerak itu berintikan kolesterol dan berbagai sel, termasuk sel-sel radang.

Kebanyakan serangan jatuh terjadi manakala kerak-kerak itu retak atau pecah, lalu kerak tersebut memicu keping-keping darah (platelet) untuk menempel dan bergerombol membentuk gumpalan darah yang berpotensi menyumbat liang koroner.

Keluhan serangan

Keluhan serangan jantung tidak selalu seperti yang kita saksikan di layar sinetron saat aktor berakting memegang dada kiri sambil mata mendelik dan membungkukkan badan lalu tersungkur ke lantai.

Terdapat berbagai ragam keluhan serangan jantung. Pada umumnya, penderita serangan jantung mengeluhkan dada seperti tertekan benda berat disertai rasa kebas yang menjalar ke bagian lengan.

Kadang penjalaran rasa sakit ke punggung dan rahang. Ada pula yang mengeluh leher seperti tercekik. Pada sebagian penderita, keluhan itu tidak khas, yaitu rasa tidak enak di ulu hati, sehingga disangka penyakit lambung. Manifestasi serangan jantung pada orang lanjut usia malah sering tidak jelas, seperti badan lemas disertai pandangan yang kabur, bahkan pingsan.

Keluhan serangan jantung biasanya disertai keluar keringat dingin, rasa mual, bahkan hingga muntah. Keluhan demikian ini kadang disalahartikan sebagai masuk angin sehingga penderita bukannya segera dibawa ke rumah sakit malah dikerok— akibatnya pertolongan yang semestinya diberikan segera menjadi terlambat.

Serangan jantung dapat mengenai mereka yang sebelumnya dikenal sebagai penderita penyakit jantung koroner, tetapi dapat pula terjadi pada mereka yang tidak diketahui menderita penyakit jantung sebelumnya.

Penderita dengan pola hidup yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, rentan mengalami serangan jantung.

Penderita kencing manis, hipertensi, hiperkolesterol, dan adanya riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner berisiko lebih tinggi mengalami serangan jantung dibandingkan mereka yang tak punya faktor- faktor risiko tersebut. Pada mereka dengan faktor risiko yang lebih banyak, risiko serangan jantung semakin meningkat.

Gangguan irama ganas

Kematian akibat serangan jantung bisa karena serangan masif yang membuat jantung gagal memompa dengan baik. Serangan masif terjadi bila sumbatan mengenai pangkal pembuluh koroner utama. Biasanya penderita serangan seperti ini mengeluh sesak napas berat.

Penyebab tersering kematian mendadak penderita serangan jantung adalah gangguan irama ganas yang disebut ventrikel fibrilasi. Irama jantung yang kacau ini membuat jantung hanya bisa bergetar hingga 300 kali per menit, tetapi tidak mampu berkontraksi.

Hipotesis terkuat menyebutkan, kekacauan irama ini disebabkan arus bolak-balik (reentry) pada area jantung dengan inhomogenitas elektrik lantaran suplai oksigen yang terganggu.

Bila tak segera diatasi, gangguan irama demikian ini dapat menyetop kerja jantung sehingga pasokan darah ke seluruh tubuh, termasuk otak, akan terhenti. Beberapa saat sebelum mengalami kematian, penderita dengan irama fatal ini biasanya mengalami pingsan kemudian kejang diikuti henti napas dan henti jantung.

Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam waktu 4 hingga 6 menit setelah henti jantung. Begitu cepatnya serangan fatal sehingga penderita tidak sempat dibawa ke rumah sakit lantaran meregang nyawa di tempat kejadian atau saat dalam perjalanan.

Pertolongan tepat

Gangguan irama ini berpeluang dinormalkan kembali bila dalam hitungan menit dilakukan kejut jantung (defibrilasi). Alat kejut jantung yang ditempelkan di dada ini akan mengalirkan energi listrik yang berfungsi me-reset irama jantung. Setiap menit keterlambatan pertolongan, kesempatan korban selamat turun 10 persen.

Pertolongan akan sia-sia bila dilakukan lebih dari 10 menit pascakejadian.

Di negara-negara maju, alat kejut jantung mudah dijumpai di berbagai sudut keramaian publik, seperti di bandara udara, stasiun kereta, terminal bus, hingga mal-mal. Alat kejut jantung otomatis ini mudah digunakan oleh orang awam sekalipun.

Penderita dengan keluhan yang mengarah ke serangan jantung semestinya segera dibawa ke rumah sakit. Aliran darah koroner yang tersumbat harus dialirkan kembali (reperfusi), baik melalui obat penghancur gumpalan darah (thrombolitik) maupun segera dilakukan tindakan intervensi koroner dengan balonisasi disertai pemasangan stent (primary percutaneous coronary intervention).

Tindakan reperfusi ini dapat menurunkan risiko kematian dan gagal jantung serta mengurangi kejadian irama fatal yang menyertai serangan jantung.

Bila kematian Mbah Surip memang dikarenakan serangan jantung, sangat disayangkan bahwa keluhan awal yang dirasakan dalam satu minggu itu atau paling tidak sehari sebelumnya tidak sempat mendapatkan pertolongan medis yang tepat sehingga nyawa seniman nyentrik itu tak tertolong....

Selamat ”tidur” Mbak Surip....

Dr A FAUZI YAHYA, SpJP Dokter Spesialis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di RSUP Dr Hasan Sadikin/FK Universitas Padjadjaran Bandung

Senin, 03 Agustus 2009

Inilah Hasil Pleno KPU Terkait Putusan MA

Senin, 3 Agustus 2009


Liputan6.com, Jakarta: Setelah mempelajari dan menelaah berbagai aspek tentang putusan Mahkamah Agung (MA), Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menetapkan sikap menghargai, menghormati dan siap menjalankan putusan dari MA. Hal tersebut disampaikan saat jumpa pers usai rapat pleno KPU yang digelar di Gedung KPU, Jakarta, Sabtu (1/8) malam.

Ada beberapa poin keputusan yang dihasilkan. Di antaranya penundaan pemberlakuan Surat Keputusan (SK) KPU No. 259, penundaan penetapan jumlah perolehan kursi. Selanjutnya melakukan revisi pada waktunya sesuai tenggat waktu peraturan MA, yaitu selama 90 hari sejak putusan itu dikirim, yang berarti jatuh pada 20 Oktober mendatang.

Sementara terkait revisi SK No. 259 tentang penetapan anggota DPR RI, KPU akan lakukan sinkronisasi pembagian kursi tahap ketiga. Sebab, pasal 205 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Legislatif yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, harus menyesuaikan penghitungan suara yang dilakukan KPUD. Termasuk judicial review atau hak uji materi yang disampaikan sejumlah partai politik pada pekan ini.

Selain itu, putusan MA berlaku sejak ditetapkan pada 20 Juli lalu. Dengan demikian, segala peraturan KPU dinyatakan sah dan berlaku sebelum diadakan revisi atau perubahan. Karena itu, putusan MA tidak berlaku surut. Alhasil, proses pelantikan anggota DPRD di daerah tetap bisa dilaksanakan dan dianggap sah.

Adapun pernyataan lengkap yang disampaikan KPU adalah sebagai berikut:

1. KPU menghargai setiap putusan hukum yang diputuskan oleh MA. Pada prinsipnya KPU siap melaksanakan putusan MA.

2. KPU berpendapat bahwa putusan MA No.57/P.PTS/VII/12P/HUM/Tahun 2009, No.58/P.PTS/VII/12P/HUM/Tahun 2009, No.59/P.PTS/VII/12P/HUM/Tahun 2009, No.60/P.PTS/VII/12P/HUM/Tahun 2009 dan No.61/P.PTS/VII/12P/HUM/Tahun 2009 tidak berlaku surut. Oleh karenanya putusan MA akan dilaksanakan KPU dalam rentang waktu paling lambat 90 hari atau 20 Oktober sejak putusan MA dikirim ke KPU pada 22 Juli 2009, sesuai dengan pasal 8 Peraturan MA No.01 Tahun 2004.

3. Sepanjang belum adanya peraturan KPU hasil revisi sesuai dengan amar putusan MA, maka Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan KPU No. 26 Tahun 2009 dan Keputusan KPU No. 259 tahun 2009 dinyatakan tetap berlaku.

4. KPU menunda pelaksanaan keputusan KPU No. 259 Tahun 2009 sesuai dengan amar putusan MA

(UPI/ANS)


berita.liputan6.com

Minggu, 02 Agustus 2009

KPU Tak Ubah Jatah Kursi

INILAH.COM, Jakarta - Menyikapi putusan MA, KPU memutuskan tidak akan mengubah perhitungan kursi DPR dan DPRD tahap II. Namun KPU akan merubah peraturan KPU no 15 tahun 2009 tentang pedoman teknis perhitungan suara dan kursi DPR dan DPRD.

"Putusan MA tidak berlaku surut dan tenggang waktu yang diberikan untuk perubahan dalam waktu 90 hari maka semua keputusan maupun peraturan, KPU menyatakan tetap sah," tegas Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary saat jumpa pers di KPU, Jakarta, Sabtu (1/8)

Menurut Hafiz, batas 90 hari akan habis pada 22 Oktober 2009, bila KPU tidak melaksanakan putusan tersebut maka secara otomatis putusan MA tersebut berlaku. Oleh karenanya, tutur Hafiz, sebelum tenggang waktu habis KPU akan melakukan revisi peraturan KPU terkait dengan mekanisme perhitungan kursi tahap dua DPR dan DPRD.

Jadi keputusan dan peraturan KPU tetap berlaku sebelum ada revisi atau perubahan yang dilakukan KPU. Dengan begitu maka tahapan pemilu legislatif yang terakhir yaitu pelantikan anggota DPR, DPRD, DPD terpilih dapat dilaksanakan sesuai pada jadwalnya masing-masing.

"Tidak ada perubahan apa-apa, jadi selama tidak ada revisi maka yang berlaku sekarang tetap berlaku," ujarnya.

Sebagaimana diketahui pelantikan anggota DPRD terpilih dijadwalkan mulai awal Agustus ini. [ton] Windi Widya Ningsih

Sabtu, 01 Agustus 2009

Anggota DPRD Terpilih Tetap Dilantik


Jumat, 31 Juli 2009


JAKARTA (SI) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) memerintahkan jajarannya di daerah tetap meneruskan proses pelantikan anggota DPRD terpilih dan tidak terpengaruh putusan Mahkamah Agung (MA).

Alasannya, peraturan KPU yang mengatur tentang penghitungan kursi DPRD masih menjadi norma hukum positif. “KPU daerah bisa jalan terus melantik anggota DPRD,” kata Anggota KPU I Gusti Putu Artha di Gedung KPU,Jakarta,kemarin.

KPU provinsi dan kabupaten atau kota tidak perlu menunggu eksekusi putusan MA terkait penghitungan kursi DPRD.“Belum ada peraturan yang dicabut atau dibatalkan, sehingga sampai sekarang (Peraturan KPU No 15/ 2009) masih berlaku,”ujarnya.

Dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 8 disebutkan, putusan baru berlaku setelah KPU melaksanakan putusan atau setelah lewat masa transisi 90 hari. Artinya,sampai saat ini belum ada peraturan atau keputusan KPU yang dibatalkan. Pelantikan anggota DPRD oleh KPU di daerah pun tetap sah.

Pelantikan anggota DPRD, baik provinsi maupun kabupaten atau kota,tidak berjalan serentak. Ada daerah yang harus melaksanakan pelantikan pada Agustus karena masa jabatan anggota lama sudah habis. Adapun pelantikan anggota DPR akan dilaksanakan pada 1 Oktober 2009. Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary memastikan segera menyikapi putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU No 15/2009 tentang penetapan kursi anggota DPR dan DPRD tahap kedua DPR dan penghitungan kursi DPRD provinsi dan kabupaten atau kota.

Penyikapan dilaksanakan setelah proses persiapan sengketa hasil pemungutan suara pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK). “Saya ingin melihat persiapan kawan-kawan menghadapi proses di MK.Kalau misal ini (persiapan di MK) sudah rampung semua, mungkin sekitar Sabtu (1/8) bisa pleno untuk menyikapi putusan MA,” ungkapnya di Gedung KPU kemarin.

Dari lima putusan MA tentang hak uji materi Peraturan KPU No 15/2009, dua di antaranya merupakan putusan tentang pembatalan cara penghitungan kursi di tingkat DPRD. Putusan pertama No 58/P.PTS/VII/13P/HUM/2009 dari pemohon DPD tingkat I Golkar Sulsel dengan pokok perkara uji materi Pasal 38 ayat 2 huruf b dan Pasal 37 huruf b Peraturan KPU No 15/2009.

Putusan kedua ialah No 60/P.PTS/VII/16P/HUM/2009 dari pemohon Rusdi dengan pokok perkara uji materiil Pasal 45 huruf b dan Pasal 46 ayat 2 huruf b Peraturan KPU No 15/2009.MA mengabulkan dua permohonan uji materi itu. Pasal-pasal yang diujikan dianggap bertentangan dengan UU No 10/2008, sehingga KPU harus mencabut dan membatalkan pasal-pasal itu.

MA juga mengabulkan permohonan calon anggota legislatif dari Partai Demokrat Zaenal Ma’arif dkk untuk membatalkan pasal tentang penghitungan kursi tahap kedua yang tercantum dalam Peraturan KPU No 15/2009. Dari putusan tersebut, imbas perubahan kursi diprediksi akan terjadi di DPR dan DPRD.

Spekulasi yang muncul terkait putusan tersebut telah menyebabkan munculnya interpretasi adanya perubahan perolehan kursi parpol hasil Pemilu 2009. Partai Demokrat,yang berdasarkan penghitungan KPU mendapatkan 150 kursi,berubah menjadi mendapatkan 181 kursi.Golkar dari 107 kursi bertambah menjadi 132 kursi.

PDIP dari 95 kursi menjadi 111 kursi.PKS dari 57 kursi menjadi 47 kursi. PKB dari 27 tetap 27 kursi. Kemudian,PPP dari 37 menjadi 21. PAN dari 43 kursi menjadi 28 kursi. Gerindra dari 26 kursi menjadi 8 kursi. Terakhir, Hanura dari 18 kursi menjadi 5 kursi.

Di tempat terpisah,Ketua MA Harifin Andi Tumpa menegaskan bahwa alasan MA mengabulkan uji materi peraturan KPU tersebut yang diajukan Zaenal Ma’arif dkk dari Partai Demokrat itu supaya sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Putusan yang belakangan ini ada fakta baru, yaitu mempertimbangkan putusan MK,” kata Harifin di Gedung MA,Jakarta,kemarin. Menurut Harifin,permohonanpermohonan sebelum itu ditolak karena belum ada putusan MK yang dimaksud. Menurutdia, apa bila MA menolak permohonan uji materi setelah putusan MK, nantinya malah akan saling bertentangan.

MK dalam putusan PHPU (perselisihan hasil pemilihan umum) legislatif membatalkan tata cara penghitungan tahap tiga yang ada di dalam peraturan KPU karena bertentangan dengan UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif. Harifin juga menegaskan, putusan MA mengenai uji materi bersifat final dan mengikat.

Tak ada cara lagi untuk melawan putusan uji materi peraturan di bawah undang-undang atas undangundang itu. “Putusan hak uji materi itu final dan mengikat,” tekannya. Sebagai bentuk mengikatnya, 90 hari setelah putusan tersebut diterima pihak yang bersangkutan, langsung berlaku. Dalam hal putusan 15P/HUM/2009 dan 16P/ HUM/2009,berarti berlaku 90 hari setelah 22 Juli 2009, hari KPU menerima salinan putusan. “Nanti silakan KPU melaksanakan.

Kalau tidak (dilaksanakan), maka (berlaku aturan) dalam peraturan MA itu dikatakan, dalam waktu 90 hari Peraturan KPU (yang diujikan) tidak berlaku,” kata Harifin. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie juga menegaskan perubahan aturan peraturan KPU tidak berlaku surut,tetapi berlaku ke depan.

Menurut dia, di seluruh dunia tidak pernah ditemui putusan uji materi berlaku surut. “Dalam sistem hukum apa pun,pasti uji materi itu berlaku ke depan,”kata Jimly saat dihubungi tadi malam. Jimly menjelaskan, kalau ada sejumlah pihak yang masih bingung mengenai akibat putusan MA tersebut, berarti kurang memahami amar putusan MA yang dinilai kurang sempurna.

“Tapi ketidaksempurnaan itu tidak boleh jadi alasan untuk melaksanakan putusan itu secara salah.Misalnya dengan mengubah kembali penetapan hasil pemilu yang sudah selesai di MK,”urainya. Dia menambahkan, putusan hakim harus dipahami secara hukum, tidak boleh dipahami secara politis.

Karena itu, putusan hukum tidak bisa dicampuradukkan dengan kepentingan politis. “Ini keputusan hukum, bukan politis,”kata Jimly. Atas putusan MA tersebut, dia meminta agar KPU segera melaksanakan putusan.

Sementara itu, sejumlah politisi lintas partai yang merasa dirugikan dengan Peraturan KPU No 15/2009 membentuk Koalisi Konstitusi dan Keadilan (K3) dan mereka mendesak KPU segera menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) tentang penghitungan tahap kedua perolehan kursi DPR.

(m purwadi/kholil)


www.seputar-indonesia.com

Putusan MA Munculkan Kerumitan di Daerah

Sabtu, 1 Agustus 2009 | 03:33 WIB

Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Agung menimbulkan kerumitan penghitungan kursi di daerah. Di beberapa daerah pemilihan, jatah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bisa dibagi lagi. Hal itu, di antaranya, karena tidak ada partai politik yang mampu memenuhi bilangan pembagi pemilih.

Selain itu, juga karena ada dua parpol yang memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP) sehingga menyisakan jatah kursi kosong.

”Misalnya, di dapil Kabupaten Kulon Progo, tak satu pun parpol bisa memenuhi BPP (36.609 suara). Padahal, ada enam kursi DPRD DIY tersedia di sana. Lha, enam kursi kosong ini akan diberikan ke siapa? Kalau diberikan kepada peraih suara terbanyak juga harus ada aturannya,” ungkap Any Rohyati, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Yogyakarta, Jumat (31/7) di Yogyakarta.

Seperti diberitakan sebelumnya, MA telah mengeluarkan keputusan yang membatalkan Pasal 45 huruf b dan Pasal 46 Ayat 2 huruf b Peraturan KPU Nomor 15/2009. Dengan pembatalan pasal itu, parpol yang tidak memperoleh kursi pada tahap pertama karena tidak memenuhi BPP tidak dapat mengikuti penghitungan kursi tahap kedua.

Dicontohkan juga, di dapil Kota Yogyakarta dengan jatah tujuh kursi, hanya ada dua parpol yang bisa memenuhi BPP 28.596 suara, yaitu Partai Demokrat (50.405 suara) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (42.554 suara). Pada pembagian pertama sesuai dengan BPP, dua parpol masing-masing mendapat satu kursi. Karena masih memiliki sisa suara, keduanya mendapatkan satu kursi lagi. ”Sisa tiga kursi berikutnya akan dibagi untuk siapa? Ini, kan, belum ada aturannya,” ujarnya. Adapun kursi DPR dari dapil DIY tidak berpengaruh karena DIY hanya satu dapil.

KPU DIY sampai kini masih menunggu instruksi KPU Pusat. Namun, sampai kemarin belum ada perintah baru selain hanya diminta pasif. Pihaknya berharap KPU Pusat segera memberikan kepastian akan melaksanakan putusan MA atau tidak. Ini karena agenda pelantikan anggota DPRD kabupaten/kota 2009-2014 makin dekat, yaitu pertengahan Agustus, dan pelantikan anggota DPRD terpilih 31 Agustus.

Ketua Panitia Pengawas Pemilu DIY Agus Triyatno mengingatkan, putusan MA bila diterapkan akan membawa rentetan dampak politik yang pelik. Dikhawatirkan, ini akan memunculkan kondisi sosial politik yang tidak baik akibat kekecewaan calon anggota legislatif yang semula dinyatakan lolos, tetapi kemudian dinyatakan batal terpilih.

Di Temanggung, KPU Kabupaten Magelang dan Temanggung di Jawa Tengah mulai didatangi para calon anggota legislatif yang memperoleh kursi dalam Pemilu 2009 atau tidak. Mereka semua mempertanyakan tentang kejelasan posisi masing-masing terkait dengan putusan MA tentang pembatalan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009.

”Mereka yang terpilih menanyakan apakah dengan adanya putusan MA, posisinya tergeser atau tidak. Sedangkan yang tidak terpilih bertanya apakah mereka berpeluang memperoleh kursi atau tidak,” ujar Ketua KPU Kabupaten Magelang Ahmad Majidun.

Bakal adanya kursi kosong juga dialami KPU Jawa Barat yang diperkirakan bakal ada kursi kosong di DPRD Jabar bila putusan MA itu dilaksanakan.

”Bila pembagian sesuai BPP itu dilakukan, akan ada banyak kursi kosong, yakni sisa kursi yang tidak bisa lagi diisi karena sisa suara dari penghitungan tahap pertama sudah dibagi habis,” kata Ketua KPU Jabar Ferry Kurnia Rizkiyansyah.

Sementara KPU Kabupaten/Kota Denpasar menunggu keputusan pusat soal perubahan penghitungan kursi DPRD. Meski demikian, pelantikan anggota DPRD di sejumlah kabupaten di Bali tak mungkin ditunda.

Ketua KPU Badung Wayan Gendra mengatakan, pihaknya bingung karena tidak ada instruksi apa pun dari pusat. ”Kami tidak mungkin menunda pelantikan. Tetapi, kami juga belum menyiapkan apa pun jika ada perubahan,” kata Gendra. (RWN/EGI/AHA/REK/AYS/WIE)

Batalkan Putusan MA, PPP Akan Uji Materi UU Pemilu

Jakarta - Keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) No 15P/HUM/2009 tentang pembatalan penghitungan suara tahap kedua harus ditempuh secara hukum. Pasalnya, MA secara konstitusional memiliki kewenangan menguji peraturan KPU.

"Dengan senantiasa menjunjung tinggi prinsip negara hukum, keberatan atas putusan MA harus ditempuh dengan langkah hukum. Yang dapat membatalkan putusan hukum adalah putusan hukum, bukan politik," kata Ketua Pengurus Harian DPP Partai Persatuan Pembangunan Bidang Hukum dan HAM, Lukman Hakim Saifuddin dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (31/7/2009).

Dikatakan Lukman, untuk membatalkan putusan MA, PPP akan mengajukan pengujian materi pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menyampaikan 9 dasar pengajuan uji materiil tersebut.

"Pertama, UU 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan untuk memilih wakil rakyat dan membentuk pemerintahan yang mencerminkan aspirasi rakyat sesuai dengan prinsip kedaulatan. Karenanya pemilu harus dilaksanakan secara jujur dan adil," kata Lukman.

Kedua, lanjut Lukman, guna mewujudkan amanah konstitusi UU No 10/2008 mengatur aspirasi rakyat dalam bentuk suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi di DPR. Ketiga, pengaturan tentang penentuan kursi DPR tahap kedua diatur dalam pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 dan berdasarkan pasal itu, KPU membuat Peraturan KPU Nomor 15/2009. Dalam pasal 22 huruf c dan padal 23 ayat 91) dan ayat (3) disebutkan parpol yang ikut dalam penghitungan tahap kedua adalah parpol yang mempunyai "sisa suara" lebih dari 50 persen BPP.

Keempat, berdasarkan ketentuan itu, suara yang telah dihitung dalam tahap pertama tidak lagi dihitung dalam tahap kedua. Dengan demikian, prinsip satu suara hanya hanya bermakna untuk penentuan satu kursi bisa diterapkan dan sejalan denan maksud pasal 205 ayat (5) UU No 10/2008. Pasal tersebut menentukan yang menjadi dasar pembagian adalah sisa suara sah dari penghitungan tahap kedua.

"Kelima, akan tetapi putusan MA, peraturan KPU No 15/2009 dibatalkan. Putusan tersebut menyatakan dasar penghitungan untuk tahap kedua bukan sisa suara dari penghitungan tahap pertama yang sekurang-kurangnya 50 persen, tetapi yang secara total memperoleh 50 persen," cetusnya.

Keenam, lanjut Lukman, bahwa dengan putusan MA, maka tafsir terhadap pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008 yang dibuat KPU melalui Peraturan KPU No 15/2009 menjadi tidak berlaku, dan tafsir formal yang berlaku adalah sebagaimana putusan MA.

"Namun, putusan MA itu bertentangan dengan pasal 1 ayat (2) dan pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 karena menyebabkan terjadinya perbedaan nilai antara suara yang satu dengan pemilih lainnya dan merugikan hak konstitusional pemilih dan calon wakil rakyat," imbuhnya.

"Kedelapan, berdasarkan uraian itu, maka pasal 205 ayat (4) UU No 10/2008) harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Atau setidaknya, sembilan, pasal tersebut dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (Conditionally consitutional)," pungkasnya.
( irw / irw )Muhammad Nur Hayid - detikPemilu
Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD