Senin, 01 September 2008

Cheng Ho Ikon Soft Power Cina

Oleh : A. Dahana

SEJAK peristiwa September 2001, Amerika Serikat bagaikan banteng terluka. Itu tercermin di dalam sepak terjang globalnya.
Berdasarkan pada asumsi bahwa cara terbaik dalam mempertahankan diri adalah menyerang, maka Afganistan diserbu. Kemudian Irak mendapat giliran walaupun tak didapatkan bukti konkret bahwa rezim Saddam Hussein punya hubungan atau melindungi para dedengkot Al Qaeda.
Dengan kata lain, dalam menjalankan kebijakan luar negerinya AS di bawah Presiden George W.Bush sangat mengandalkan hard power.
Sebaliknya Cina sebagai kekuatan yang tengah bangkit dan diperkirakan bakal mampu menyaingi AS, menggunakan siasat lain. Ia sadar betul bahwa taktik politik global yang digunakan mendiang Mao Zedong untuk mendongkrak citra Cina pada masa lalu salah karena lebih menekankan pada kekerasan, ekspor revolusi dan mengeksploatasi kontradiksi di kalangan musuh.
Cara yang dikenal sebagai 'taktik Maois' itu ternyata telah membuat Cina tak populer, bahkan di kalangan negara 'Dunia Ketiga' yang ditargetkan untuk menjadi sekutu menentang hegemoni adikuasa.
Oleh sebab itu sejak awal dasawarsa 1980-an, Cina, untuk membuat dirinya populer secara global menggunakan cara yang sangat halus. Dengan cerdik ia menggali sejarah dan menggunakan pengalaman masa lalu dalam hubungan antara Cina dengan negara-negara sekitarnya, terutama Asia Tenggara.
Cheng Ho adalah salah satu figur sejarah yang dieksploatasi untuk melambungkan posisi Cina itu.
Menurut sumber sejarah Cina, Cheng Ho adalah seorang laksamana laut yang selama 17 tahun (1405-1423) - pada tahun-tahun awal Dinasti Ming (1368-1644) - telah memimpin tujuh pelayaran kolosal pada masa itu ke berbagai wilayah selatan dan bertindak sebagai duta untuk memperkenalkan dan mempopulerkan Dinasti Ming yang baru saja berkuasa setelah meruntuhkan Dinasti Yuan (Mongol, 1279-1368).
Cheng Ho berasal dari keluarga Muslim, lahir di Xinjiang, dan kemudian dipekerjakan sebagai orang kasim di Keraton Ming.
Sebagai seorang kasim yang dipandang rendah para pejabat istana, ia tokoh luar biasa. Karirnya menanjak sangat pesat dan akhirnya diangkat sebagai laksamana dan mendapat kepercayaan dari Yong Le, kaisar kedua Ming untuk memimpin ketujuh ekspedisi laut itu ke wilayah selatan, khususnya untuk mengembalikan kewibawaan kekaisaran Cina baik secara militer maupun budaya.
Di Palembang ia menangkap seorang pemberontak yang dituduh sebagai bajak laut. Dia dibawa ke Cina dan dihukum pancung di muka kaisar.
Di Sailan ia menahan dan membawa ke Beijing seorang raja lokal yang dianggap tak menghormati Cheng Ho yang nota bene utusan kaisar Cina. Namun, si raja lokal yang 'tak tahu aturan' itu diampuni dan dikembalikan ke negerinya.
Seperti yang disebutkan di atas, tujuan utama pelayaran itu adalah untuk memamerkan kekuatan militer dan keluhuran kebudayaan Cina. Di samping itu juga memulihkan hubungan tributer antara Cina dan negara-negara di belahan bumi selatan yang terputus menjelang keruntuhan Yuan.
Namun, kini yang dieksploitasi oleh Cina adalah latar belakang Cheng Ho yang Muslim. Sekarang ia digambarkan sebagai seorang Muslim saleh yang berperan besar dalam menyebarkan Islam serta melakukan kontak dengan masyarakat Muslim lokal yang memang sejak satu abad sebelum itu sudah ada di sana.
Catatan yang dibuat Ma Huan, seorang Muslim yang mendampingi Cheng Ho dalam tiga dari tujuh pelayaran itu, antara lain menggambarkan anak buah armada Cheng Ho yang berasal dari berbagai latar belakang agama, etnis, dan keahlian teknis.
Secara tak langsung ini menunjukkan tentang adanya bibit multikultalisme di kalangan orang-orang yang dekat dengan Cheng Ho. Pendekatan itu nampaknya cukup berhasil.
Sejak makin dipopulerkannya nama Cheng Ho, di Indonesia saja telah beberapa kali diselenggarakan berbagai seminar dan diskusi mengenai peran Cheng Ho sebagai duta kebudayaan dan dalam proses Islamisasi di Jawa khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya.
Kini telah muncul teori mengenai 'arus Cina', di samping 'arus Arab' dan 'arus India' dalam Islamisasi di Indonesia. Cheng Ho telah dijadikan ikon untuk melambangkan persahabatan antara Cina dan Asia Tenggara.
George W Bush mestinya membaca riwayat hidup Cheng Ho dan belajar dari cara yang digunakan Cina untuk menjinakkan musuh, atau yang berpotensi untuk menjadi musuh. Amerika memiliki banyak potensi dan aspek untuk dijadikan ikon dalam upaya tersebut.
Penulis adalah Guru Besar Studi Cina, Universitas Indonesia

Sumber : Inilah [dot] com


Tidak ada komentar:

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD