Jumat, 20 Februari 2009

Membubarkan KPUD?

Jumat, 20 Februari 2009 | 00:32 WIB

Yohanes Usfunan

Pilkada yang digelar sejak 2005 hingga kini terus menimbulkan kericuhan dan sesekali diimbuhi tindakan anarki. Dari analisis diketahui, itu semua disebabkan kecurangan dan kegagalan KPUD menjaga independensi.

Akibatnya, berbagai gugatan, demonstrasi, serangan fisik, pembakaran gedung, dan konflik horizontal antarmassa pendukung calon terjadi di berbagai daerah. Eksistensi KPUD pun mulai dipersoalkan, seperti dalam seminar nasional yang diselenggarakan forum dekan fakultas hukum perguruan tinggi negeri se-Indonesia di Jambi, pertengahan Desember lalu.

"Ad hoc"

Dalam seminar itu, salah satu kesimpulan saya adalah membubarkan KPUD sebagai lembaga permanen dengan masa jabatan lima tahun. Berikutnya dibentuk KPUD baru atau nama lain yang bersifat ad hoc, khusus menyelenggarakan pemilu dan pilkada. Mungkinkah membubarkan KPUD?

Identifikasi dan pengamatan pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah menunjukkan hal-hal berikut. Pertama, ada oknum-oknum anggota KPUD melanggar asas independen, disinyalir "ikut bermain" untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Hal itu sebagai konsekuensi jabatan anggota KPUD yang terlalu lama sehingga terjadi persekongkolan dengan calon kepala daerah.

Kedua, faktor demoralisasi mengakibatkan oknum-oknum anggota KPUD gampang "dibeli" calon kepala daerah, terlebih oleh incumbent. Selain itu, ketidakcermatan anggota KPUD kerap mengecewakan masyarakat dan merugikan calon kepala daerah tertentu. Misalnya, adanya warga yang mendapat kartu ganda atau munculnya nama-nama orang yang telah meninggal. Kasus lain, mendaftar dan menetapkan konstituen yang telah pindah ke daerah lain atau distribusi kartu pemilih tidak merata dan adil kepada semua konstituen di seluruh daerah pemilihan.

Para oknum anggota KPUD yang menjadikan institusi ini sebagai lembaga politik bersikap curang dan diskriminatif dalam distribusi suara. Caranya, mengistimewakan konstituen pendukung calon yang diidolakan. Sedangkan distribusi kartu serupa kepada konstituen pendukung calon lain yang merupakan lawan, jumlahmya dikurangi atau tidak kebagian kartu pemilih.

Konsekuensinya, ratusan hingga ribuan konstituen tidak mendapat kartu pemilih, seperti terjadi dalam pilkada di Provinsi NTT, NTB, Bali, Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Dampak negatifnya, KPUD menambah jumlah golput dan melanggar HAM politik konstituen.

Ketiga, seleksi anggota KPUD yang menjadi wewenang anggota DPRD sesuai dengan Pasal 57 UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua UU No 32/2004 tentang Pemda, sarat interes politik yang berpengaruh signifikan terhadap netralitas anggota KPUD dalam pilkada. Akibatnya menyuburkan politik uang, diskriminatif, serta mengorbankan kesadaran politik dan kesadaran hukum masyarakat. Oknum-oknum kontraktor yang mempunyai andil dalam politik uang dengan "restu" oknum-oknum anggota KPUD menambah kecurangan pilkada yang melumpuhkan kedaulatan rakyat sesuai teori demokrasi populis, kedaulatan di tangan rakyat.

Keempat, oknum-oknum anggota KPUD yang mendukung incumbent berimplikasi menyuburkan penyalahgunaan wewenang, KKN, merugikan negara, dan menghambat peningkatan kesejahteraan rakyat. Pembiayaan bagi oknum-oknum pejabat daerah, PNS, dan kepala desa yang mendukung incumbent menggunakan dana APBD merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang. Akibat lain, oknum-oknum PNS yang bersekongkol dengan oknum-oknum anggota KPUD mengintimidasi konstituen akar rumput untuk mencoblos incumbent, kendati melanggar asas netralitas, asas legalitas menurut konsep negara hukum dan pemerintahan yang bersih.

Wewenang

Secara konstitusional, KPUD tak memiliki wewenang atribusi (asli) dalam UUD 1945 untuk menyelenggarakan pilkada, termasuk masa jabatan anggota KPUD. Hal ini berbeda dengan kedudukan KPU sesuai dengan Pasal 22E Ayat 5 UUD 1945 bahwa "pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri". Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 sebagai dasar konstitusional pilkada menentukan, gubernur, bupati, dan wali kota sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Ketentuan ini tidak mengatur eksistensi KPUD sebagai penyelenggara pilkada. Pasal 57 Ayat 1 UU Pemda menentukan, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggung jawab kepada DPRD. Karena itu, mengubah status KPUD permanen menjadi lembaga ad hoc amat dimungkinkan demi efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pilkada dan pemilu.

Guna mewujudkan pilkada yang jurdil, ke depan KPUD cukup bersifat ad hoc dengan masa kerja untuk pilkada, semisal 6-9 bulan dan penyelenggaraan pemilu dengan kurun waktu sama. Tujuannya menciptakan efisiensi, efektivitas kerja, menutup "perselingkuhan" anggota KPUD dengan para calon kepala daerah, serta mencegah kecurangan dan korupsi yang menjadi musuh bangsa. Jumlah anggota KPUD provinsi se-Indonesia tercatat 165 orang dan anggota KPUD kabupaten/kota 2.250 orang, tak termasuk DKI Jakarta.

Dengan masa kerja lima tahun, anggota KPUD terkesan menerima gaji prodeo seusai menyelenggarakan pilkada dan pemilu. Padahal, dana relatif besar digunakan untuk menggaji anggota KPUD dan pembiayaan kegiatan operasional. Dengan demikian, biaya KPUD akan efisien dan efektif manakala para anggota institusi ini tugasnya sementara hanya menyelenggarakan pemilu dan pilkada.

YOHANES USFUNAN Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/20/00321231/membubarkan.kpud

Tidak ada komentar:

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD