Senin, 27 April 2009

PEMILU DAN PEMILUAN RAKYAT

Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 199 Tahun V - 2009

Sumber: www.prakarsa-rakyat.org

Oleh Ruhiyat*


Pemilu Legislatif baru saja berlalu tanggal 9 April yang lalu. Pemilu yang terkesan dipaksakan di tengah persiapan yang karut-marut dimulai dari DPT yang tidak akurat dan berbagai persoalan lainnya. Terbukti ketika pemilu dilaksanakan di berbagai wilayah terjadi kekacauan karena kartu suara saling tertukar, KPPS yang tidak paham tugasnya sampai banyak caleg yang namanya tak tercantum dalam kertas suara, fatal.

Baru saja dalam hitungan jam penyontrengan berlalu, muncullah protes dari berbagai kalangan untuk berbagai kekacauan. Di TPS dekat tempat saya tinggal, memunculkan pemenang baru yang fantastis, Partai Demokrat, partai berkuasa yang merebut dominasi partai-partai lama selama puluhan tahun. Ternyata trend ini juga berlaku juga di banyak tempat bahkan secara nasional seperti dilansir oleh berbagai lembaga yang melakukan quick count.

Namun siapapun partai pemenang dalam pemilihan legislatif (pileg) tahun ini dan berapapun jumlah prosentase kemenangannya, saya berpikir bahwa itu tidak akan memberikan arti apapun bagi rakyat. Karena sejak tahapan awal ketika parpol-parpol berkampanye bahkan jauh sebelum parpol dideklarasikan kemudian, melakukan penghalalan segala cara untuk sekedar lolos verifikasi. Hal ini menunjukkan perilaku yang jauh meninggalkan esensi demokrasi yakni partisipasi rakyat dan menyadari bahwa rakyatlah sejatinya subyek atas pesta demokrasi itu. Tapi hal inipun dilupakan atau bahkan sengaja dilupakan oleh parpol.

Demikian pula dalam proses penjaringan caleg, pengabaian hak-hak rakyat menjadi nyata saat caleg dinilai bukan dari kompetensinya dalam merepresentasikan wakil rakyat, namun lebih pada besarnya upeti untuk parpol yang memang sedang butuh banyak uang untuk kampanye. Maka penomoran urut caleg juga didasarkan pada siapa yang lebih banyak setor ke rekening parpol, meskipun kemudian Mahkamah Konstitusi menggugurkan skema undang-undang pemilu dengan menempatkan suarat terbanyak sebagai caleg pemenang.

Kemudian, masa kampanye berlangsung sangat lama, sembilan bulan dan mengerucut menjadi pertarungan “semua lawan semua” menjelang hari pencontrengan. Dan selama kampanye ini, kita melihat pentas pemaksaan kehendak dari parpol dan caleg-caleg untuk mamaksa rakyat paham terhadap program-program yang kadang tidak nyambung dengan realita yang dihadapi rakyat sehari-hari. Bahkan bagi caleg-caleg yang memiliki modal pas-pasan pun juga terjebak dalam perang tak sehat itu. Seperti yang terjadi di sekitar rumah saya, ketika caleg modal pas-pasan itu melakukan kampanye dengan berkeliling rumah warga. Ia mengedarkan kartu nama dan membagikan kerudung kepada ibu-ibu. Namun ketika proses pembagian itu berlangsung, ada salah seorang ibu yang berkata, “Urang mah teu butuh nu kieu, loba di lemari oge, urang mah jelema susah, mending ngabagikeun duit, puguh eta mah” (Kita tidak butuh yang begituan, banyak di lemari juga, kita orang susah lebih baik bagi-bagi uang saja, biar jelas).


Kondisi masyarakat yang pragmatis

Kejadian di atas merupakan gambaran umum rakyat yang pragmatis dan memandang bahwa yang terpenting bagi mereka hanya sekedar urusan perut, bisa makan, bertahan hidup. Sikap itu tidak mempedulikan bahwa hal tersebut akan memberikan resiko jangka panjang karena para caleg yang membagi-bagi uang itu, ketika jadi anggota dewan kelak adalah pembuat undang-undang yang menindas rakyat. Hal ini, tidak bisa sepenuhnya ditimpakan sebagai kesalahan rakyat karena memang praktek seperti itu yang mereka lihat dan menjadi teladan dalam hidupnya.

Bagi orang kebanyakan, para caleg yang memiliki modal besar tentunya akan lebih di lihat dibandingkan caleg yang pas-pasan. Dari sini bukan tidak mungkin bahwa pertarungan di Senayan dalam pengambilan kebijakan, akan berlaku hal yang sama, banyaknya uang yang akan menentukan.

Dalam kampanye, partai politik mengobral janji-janji manis yang membuat rakyat seakan lupa dengan susahnya hidup ketika menghadapi harga-harga sembako naik, BBM naik, kesehatan mahal, kebutuhan-kebutuhan yang terus melonjak harganya. Itu semua ulah para pejabat yang membiarkan terjadinya kebijakan yang tidak merakyat. Namun anehnya rakyat masih saja memilih para elit itu yang menindas dirinya sendiri. Kesadaran politik rakyat dikelabui dengan iming-iming uang dan hadiah-hadiah yang sifatnya semu.

Fakta adanya dana yang digunakan untuk penyelamatan industri-industri, diperlihatkan. Bantuan-bantuan untuk para pengusaha yang bangkrut, dipertontonkan. Namun bantuan untuk rakyat menjadi prioritas yang sangat kecil. Seperti itu kah balasan yang diterima rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka? Rakyat kecil disanjung, didekati, diberikan perhatian khusus namun apa yang terjadi dengan semua itu? Ada udang di balik batu.


Rakyat menjadi korban

Pemilu yang telah berlangsung sangat tidak berkualitas karena tidak melibatkan rakyat. Selanjutnya merampasnya dari tangan rakyat melalui cara-cara liberal dan dengan mengatasnamakan demokrasi. Pemilihan langsung direkayasa sedemikian rupa sehingga nampak lebih halus dibanding dengan cara Orde Baru sekalipun. Misalnya saja, rakyat akan menjadi korban seperti yang terjadi pada korban Lapindo di Sidoarjo yang menelan banyak kerugian bagi rakyat. Mereka harus tinggal di pos-pos pengungsian dan perhatian pemerintah sama sekali lambat dalam penanganan kasus ini. Kita ketahui juga bahwa Lapindo Brantas adalah milik dari Bakrie gruop yang notabene adalah pejabat di negeri ini. Ia adalah bagian dari pemerintah pemenang pemilu. Maka wajar kalau pemerintah pemenang pemilu 2004 itu justru lebih melindungi pengusaha tersebut ketimbang harus segera memberikan ganti rugi kepada rakyat terkait dengan kerugian yang diderita. Mengapa demikian? Karena orang-orang yang ada di dalam pemerintahan adalah para pengusaha dan mereka pula pembuat kebijakan. Pantaslah jika para pejabat tersebut tidak pernah membuat kebijakan yang berpihak terhadap rakyat. Mereka tentunya akan membuat kebijakan yang memberikan keuntungan bagi diri mereka dan rakyat hanya dijadikan objek legitimasi bagi mereka untuk tetap berkuasa.

Dalam pemilu kali ini, masyarakat yang menjadi korban lumpur Lapindo memilih untuk golput. Hal ini merupakan sebuah pilihan yang tepat bagi mereka. Begitu juga kaum buruh yang harus menerima UU No. 13 tahun 2003 sebagai sebuah hadiah buruk yang diberikan oleh pemerintah. Sebuah Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tunduk terhadap kepentingan modal untuk meraup keuntungan yang berlebih dan berlipat ganda. Di manakah proses pengesahan pembuatan undanga-undang? Tak lain mereka lah para anggota dewan perwakilan rakyat yang dipilih dalam pemilu, padahal mereka dipilih oleh rakyat untuk menjalankan amanah rakyat, bukan untuk keuntungan bagi pemilik modal. Selama sistem yang dibangun dalam pemerintahan hanya untuk melayani kepentingan pemilik modal, maka siapa pun yang menjadi pemimpinnya, rakyat selalu yang menjadi korban.

Sudah sangat jelas sebenarnya bahwa pemilu hanya dijadikan sebuah alat legitimasi untuk kaum pemilik modal untuk tetap berkuasa dan memeras tenaga rakyat untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang bertebaran di tanah Indonesia. Jangan salahkan rakyat yang pada akhirnya memilih untuk golput karena rakyat berkaca dari kejadian yang sudah terjadi dan merasakan langsung dari ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat.

Namun satu yang menjadi sangat penting yaitu mengkonsolidasikan rakyat dalam satu kekuatan. Memang bukan pekerjaan mudah tapi jangan biarkan aset-aset negara dijual dan menjadi hak milik pribadi segelintir orang. Maka jangan pula kita memilih pemimpin yang menjerumuskan kita dalam kesengsaraan.


* Penulis adalah Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Karawang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.


** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).

Sumber : Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org

Minggu, 26 April 2009

Pengelolaan Keuangan Daerah Masih Buruk

Hanya satu daerah yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian

JAKARTA. Pengelolaan keuangan daerah masih carut-marut. Berdasarkan hasil pemeriksaan laporan keuangan daerah semester 11-2008, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpulkan, transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah masih rendah. Bayangkan saja, dari 191 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) semester 11-2008, hanya satu laporan yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian, yakni milik Kabupaten Aceh Tengah. Sementara, BPK tidak memberikan pendapat (disclaimer) untuk 72 LKPD lain-nya Selain itu, delapan LKPD menerima opini tidak wajar, dan sebanyak 110 LKPD memperoleh opini wajar dengan pengecualian dari BPK.

Pemeriksaan LKPD semester kedua 2008 ini mencakup pemeriksaan atas anggaran daerah senilai Rp 730,90 triliun. Rinciannya, sesuai laporan realisasi anggaran (LRA) dari seluruh daerah, nilai aset seluruh daerah mencapai Rp 258,42 triliun, kewajiban Rp 6,27 triliun, dan ekuitas senilai Rp 250,28 triliun. Selain itu, ada pula dana pendapatan daerah sebesar Rp 110,48 triliun dan belanja daerah senilai Rp 105,43 triliun.

Dari hasil audit itu, BPK menemukan ada 556 kasuspenyimpangan yang merugikan negara sebesar Rp 310,86 miliar. Di antaranya ada 27 kasus pihak rekanan pengada-an barang dan jasa tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak dan 25 kasus dugaan penggelembungan proyek (mark up). Selain itu, banyak kasuslainnya. Misalnya, di Kabupaten Banyumas, BPK menemukan pembayaran insentif pajak bumi dan bangunan kepada pejabat dan staf daerah senilai Rp 4,54 miliar.

Kualitas SDM rendah
BPK juga menemukan 126 kasus yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp 1,31 triliun. Contohnya kasus yang terjadi di Provinsi Sulawesi Barat. BPK menemukan adanya pengeluaran belanja bantuan sosial dan bantuan keuangan senilai Rp 1,56 miliar tanpa persetujuan gubernur dan tidak memiliki bukti sah.

Buruknya pengelolaan keuangan daerah ini membuat Ketua BPK Anwar Nasution prihatin. Ia menilai, fenomena penyimpangan pemakaian keuangan negara, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah, masih marak.

Salah satu penyebabnya, Anwar menuding, pemerintah tidak siap dalam membangun institusi pemerintahan dan menjalankan otonomi daerah. "Kemampuan di bawah belum ada dan ini harus dibangun," kata Anwar, kemarin (21/4).

Anggota Dewan Pimpinan Daerah (DPD) DKI Jakarta Marwan Batubara mengakui kondisi ini. "Kualitas sumber daya manusia di daerah memang masih cukup rendah sehingga harus diperbaiki," katanya

*Harian Kontan* dalam : http://www.bpk.go.id/web/?p=2902


 

Rabu, 22 April 2009

KPU Diadukan Terkait Logistik

Rabu, 22 April 2009 | 03:10 WIB

Jakarta, Kompas - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat melaporkan Komisi Pemilihan Umum ke Komisi Pemberantasan Korupsi, terkait temuan dugaan korupsi dalam pengadaan logistik, terutama teknologi informasi, kotak suara, surat suara, formulir, dan tinta.

Selain itu, ada dugaan penyimpangan dalam anggaran pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan (P4B).

Koalisi lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Independent Monitoring Organization itu akan melaporkan ke KPK, Kamis besok. Mereka juga akan membawa dokumen dan bukti yang ditemukan di lapangan.

Menurut anggota IMO, Arif Nur Alam, Selasa (21/4) di Jakarta, organisasi itu beranggotakan sejumlah LSM yang peduli dengan pencegahan korupsi dan pemilu.

Dugaan korupsi di KPU kian diperkuat dengan tidak adanya upaya KPU untuk melakukan inventarisasi dan audit aset logistik, baik pada Pemilu 2004 maupun pada pemilihan kepala daerah, serta pengadaannya yang tertutup. Sesuai catatan IMO, ada sejumlah penggunaan dana KPU yang tidak jelas, termasuk dalam pengadaan TI dan logistik lain.

Arif juga menambahkan, terkait pengadaan tinta dalam Pemilu 2009, dikhawatirkan tak sesuai persyaratan. Hal itu karena mereka menemukan tinta tersebut di sejumlah daerah mudah sekali luntur.

KPK akan selidiki

Secara terpisah, Selasa di Jakarta, Ketua KPK Antasari Azhar menyatakan, KPK akan menyelidiki pengadaan TI yang digunakan dalam pusat tabulasi nasional Pemilu 2009 oleh KPU. KPK ingin tahu adakah indikasi korupsi dalam pengadaan TI itu.

"Saya menugaskan jajaran pencegahan, yang dikoordinasi Haryono (Wakil Ketua KPK). Awalnya masuk pencegahan dulu, untuk melakukan pengumpulan data dan evaluasi terhadap pengadaan TI KPU," ujarnya.

Menurut Antasari, langkah itu dilakukan sebagai bentuk kepedulian KPK terhadap proses tabulasi nasional yang kini sudah dihentikan. Seperti diberitakan (Kompas 21/4), hingga ditutup, sekitar 13 juta suara saja yang selesai dihitung.

Dikatakan Antasari, KPK akan membuktikan kredibilitas rekanan KPU dalam pengadaan peralatan TI. "Kami akan buktikan kredibilitas itu, kok ada yang seperti sekarang," ujarnya.

KPK belum berencana memanggil Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary. Saat ditanya wartawan, Antasari menjawab, "Jangan dikonotasikan panggil-memanggil. Yang penting sistem kami mengecek data. Semoga hanya masalah teknis." Dia juga mempertanyakan ketidaksiapan sumber daya manusia yang mengoperasikan peralatan TI di KPU itu. (vin/ana)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/22/03104435/kpu.diadukan..terkait.logistik

Jumat, 17 April 2009

Otda vs hirarki hukum, Kebebasan berkreasi menjadi pilar penting otonomi

16 April 2009

(Analisa). Setelah sewindu implementasi otonomi daerah (otda), arah pembangun?an hukum seolah terkotak-kotak antara pembangunan hukum daerah dan pembangunan hukum nasional.

Ada anggapan dengan pemisahan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konsep otonomi, secara otomatis juga memisahkan pembangunan hukumnya.

Pandangan ini tentunya sangat keliru karena muara dari hukum selalu terkait dengan masyarakat sehingga hukum dan otonomi harus terkait satu sama lain, meskipun antara keduanya terdapat cara kerja (pandang) yang sangat berbeda.

Berbicara mengenai hukum dalam konteks otonomi daerah, selama ini hanya dikaitkan dengan dua hal.

Pertama, undang-undang pusat yang mengatur otonomi yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD) yang telah diubah dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta berbagai peraturan yang merupakan turunan dari kedua produk hukum tersebut). Kedua, terkait dengan peraturan daerah.

Pembangunan hukum yang terkait dengan otonomi selama ini seolah sudah selesai hanya dengan melakukan revisi berkisar pada dua permasalahan tersebut yaitu revisi Undang-undang Pemerintahan Daerah dan revisi undang-undang PKPD.

Kemudian hal itu cukup diikuti dengan menerbitkan berbagai regulasi terkait dengan pengawasan yang dilakukan secara preventif dan represif oleh pusat (dalam hal ini tentunya Departemen Dalam Negeri).

Dari dua contoh kasus tersebut, seolah permasalahan hukum pada konteks otda sesederhana itu. Padahal, pada kenyataannya, hal itu tidak bisa sesederhana yang dibayangkan. Untuk memahami akar masalah dalam pembangunan hukum dalam konteks otda kita harus pahami terlebih dahulu perbedaan yang sangat mendasar dalam pandangan hukum dan otonomi.

Hierarki hukum

Dalam sistem hukum Indonesia dikenal adanya tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan, yang mana dalam hierarki ini perda berada pada level paling rendah.

Perda dalam konteks sebagai peraturan perundang-undangan, adakalanya juga harus memosisikan diri lebih rendah dari peraturan menteri yang tidak dikategorikan dalam tata urutan peraturan-perundang-undangan tersebut.

Buktinya sampai saat ini, menurut data KPPOD, Menteri Dalam Negeri telah membatalkan 973 peraturan daerah yang dianggap bermasalah.

Banyaknya jumlah pembatalan tersebut, jika dikalkulasikan secara sederhanan yaitu untuk membuat sebuah produk hukum harus didahului dengan penyusunan academic paper, bisa dibayangkan seberapa lama untuk dapat mengatakan sebuah perda harus dibatalkan atau tidak. Meskipun, pada kenyataannya, masih sulit untuk memercayai bahwa pusat sudah melakukan tahapan sebagaimana layaknya menerbitkan sebuah produk hukum dalam proses pembatalan perda.

Fakta-fakta tersebut di atas, seolah menegaskan bahwa daerah benar-benar masih harus tunduk pada berbagai instruksi pemerintah. Jika demikian berarti bahwa daerah tidak memiliki keleluasaan untuk menyusun peraturan daerah.

Dalam konteks yang lebih luas apabila perda adalah bentuk formal dari kebijakan daerah, pemda juga tidak memiliki keleluasaan dalam menyusun kebijakannya dalam rangka melaksanakan kebijakan otonomi daerah. Padahal keleluasaan untuk mengatur daerahnya sendiri (kemandirian) inilah yang menjadi pilar dalam otonomi.

Sistem hukum seperti ini tentunya berbeda arah dengan konsep otonomi (desentralisasi) itu sendiri. Dalam otda didorong munculnya keberagaman karena titik tolak otda adalah mendekatkan pemerintahan dengan masyarakat concentric circle power, sehingga antara satu daerah dengan daerah lainnya bisa saja akan saling berbeda.

Lebih lanjut setelah sewindu implementasi otda pusat selalu menekankan kepada daerah untuk semakin inovatif, padahal salah satu pilar penting dalam melakukan inovasi adalah adanya kebebasan berkreasi yang pada kenyataannya masih sangat sulit diperoleh oleh daerah.

Selama sewindu ini yang terjadi adalah, hanya sedikit daerah yang memiliki keberanian melakukan inovasi. Umumnya daerah hanya berni menunggu peraturan pusat mengatakan apa baru kemudian berbuat sesuatu, seolah-olah untuk berbuat sesuatu daerah harus selalu menunggu perintah dari atasannya.

Perilaku daerah ini tentunya bukan tanpa alasan, pemahaman masyarakat (pejabat) Indonesia dalam membaca peraturan masih dilakukan secara kaku. Hanya segelintir orang di jajaran pemerintahan yang berani melakukan pembebasan diri dari kungkungan regulasi yang kaku.

Pada konteks daerah, pemda juga harus berani melakukan pembebasan diri dari belenggu regulasi yang kaku untuk mendorong inovasi yang bertitik tolak pada kesejahteraan masyarakat daerah dan Indonesia secara umum.

Pembebasan diri dari belenggu hukum ini sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum progresif yang digagas oleh Prof. Satjpto Rahardjo, Guru Besar emeritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Dalam berbegai artikel beliau, seolah dipaparkan bahwa hukum bukan mesin, tetapi hukum selalu terkait dengan manusia. Dalam pemahaman ini penulis menganggap bahwa salah satu pilar paling penting dalam hukum progresif adalah prilaku manusia dalam berhukum.

Untuk itu inovasi daerah dalam konteks otonomi hanya akan menjadi retorika semu apabila para pemangku kebijakan tidak mampu melepaskan diri dari berbagai sekat-sekat regulasi yang kaku.

Sumber: http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id112897.html

Dalam Web : http://www.yipd.or.id/berita_agenda/index.php?act=detail&p_id=12653&p_cat=

Dakwah antara Realitas dan Prioritas

Tugas utama Rasulullah adalah membawa perubahan. Menerangi yang gelap, memberantas yang bathil. Ada realitas, ada prioritas

Oleh: MS. Yusuf al-Amien *

Pada masa itu peradaban dunia sangatlah kacau, baik di Barat maupun Timur. Keadaan umat manusia sungguh memprihatinkan. Di Barat, orang sudah tidak lagi percaya akan Sang Pencipta, mereka hanya memiliki filsafat untuk menyembah akal. Di Timur, kebodohan menyeret mereka untuk menuhankan patung, berhala, bintang api, dan mentari.

Di jazirah Arab, mereka membunuh bayi perempuan, menganggap wanita bukanlah "manusia", menjadikan yang lemah sebagai hamba sahaya untuk dijual-belikan dalam komoditi perbudakan.

Itulah gambaran 'ashru-l-fatrah saat itu. Yaitu masa kealpaan seorang Rasul dari peradaban manusia, semenjak terakhir kali Allah menurunkan Nabi Isa 'alaihissalam. Masa itu adalah saat di mana umat manusia kering akan wahyu Ilahi yang dapat membimbing mereka kepada ajaran yang benar (lih: Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Maidah: 19).

Oleh karena itu, Allah kemudian mengutus seorang Rasul terakhir, Rasul yang membawa risalah akhir zaman untuk seluruh umat manusia, menunjukkan kepada mereka akan hakekat alam semesta. Dialah Muhammad bin Abdullah, utusan terakhir yang membawa misi agung untuk mengubah keadaan manusia dari keterpurukan multi-dimensi menuju sebuah kejayaan duniawi-ukhrawi.

Misi Perubahan

Tugas utama Rasulullah Muhammad saw adalah membawa perubahan global. Mengubah berarti memperbaiki, memutihkan yang hitam, menerangi yang gelap, menjadikan yang jahil menjadi mengerti, memberantas yang bathil, dan menegakkan yang haq. Persis dengan misi yang dibawa oleh para Rasul sebelumnya. Hanya saja, Muhammad saw. adalah Rasul Universal (rahmah li-l-'alamin), bukan parsial. Itu artinya tugas yang ia bawa lebih besar dan sangat berat.

Oleh karena itu dalam mengemban misinya, Rasulullah selalu dibimbing wahyu dari langit tentang di mana, kapan, dan bagaimana caranya perubahan itu dibumikan.

Aspek Realitas

Dalam membawa perubahan di zaman yang serba amburadul itu, Rasulullah dituntut dapat membaca kondisi sosio-kultural umatnya, sehingga ia dapat menyusun strategi jitu agar perubahan tersebut berhasil diterapkan.

Contoh kecilnya ketika Rasul membawa misi bahwa minuman keras itu dapat merusak akal. Itu berarti miras (khamr) hal yang terlarang (haram), namun realita mengatakan bahwa minuman keras merupakan hal yang telah mendarah-daging bagi bangsa Arab saat itu. Maka sebuah hal yang sangat amat susah sekali untuk mengubah adat mereka dari yang alkoholik hingga tiba-tiba insyaf dan meninggalkan miras.

Dari observasi realita di lapangan ini, maka siasat tercerdas untuk mengharamkan khamr adalah dengan melalui proses yang bertahap. Maka turunlah pada tahap pertama ayat an-Nahl: 67 yang mengatakan bahwa khamr itu berasal dari sari-pati buah Anggur dan Kurma yang dapat diambil  darinya kebaikan dan dapat diambil juga madharat (karena dapat memabukkan), lalu selanjutnya turun ayat al-Baqarah: 219 yang mengatakan bahwa khamr itu ada manfaatnya, akan tetapi madharat-nya lebih banyak.

Selanjutnya Allah menurunkan ayat an-Nisa: 43 yang melarang seseorang untuk shalat dalam keadaan mabuk. Hingga pada akhirnya secara eksplisit dan tegas Allah mengharamkan khamr yang dapat merusak akal pikiran dan merupakan pekerjaan setan yang terkutuk (al-Maidah: 90-91).

Pengharaman khamr adalah salah satu dari sekian banyak pensyariatan yang dilakukan secara gradual dan melalui transmisi bertahap. Bahkan Al-Qur'an sebagai pedoman dan kumpulan risalah Islam juga turun secara berangsur dalam masa 23 tahun (lih: Tafsir Ibnu Katsir: al-Isra' 106). Ayat-ayat Al-Qur'an juga turun sesuai dengan konteks kejadian (asbab nuzul) agar lebih "terasa membekas" dan dapat diterapkan secara istiqamah (QS. al-Furqan: 32).

Aspek Prioritas

Sudah barang pasti, Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. adalah sebuah risalah perubahan yang terhimpun dari norma-norma yang dapat mengentas manusia dari kebobrokan menuju perbaikan. Menyembah berhala adalah sebuah 'kebobrokan'. Dengan demikian hal tersebut harus dihilangkan untuk menuju 'perbaikan', yaitu menyembah Dzat Yang Maha Pencipta.

Ajaran Tauhid inilah yang paling fundamental dan lebih prioritas dibanding kewajiban ibadah lainnya. Oleh karenanya, selama 13 tahun Rasulullah berada di Mekah, hanya Tauhid-lah yang terus menerus didakwahkan kepada masyarakat Arab yang saat itu masih menyembah laata dan 'uzza –tanpa satu pun menghancurkan berhala mereka.– Sedangkan konsep muamalat, hudud, qishas, jihad dan syariat lainnya –yang juga merupakan ajaran Islam– datang di kemudian hari pasca Hijrah ke Madinah.

Telaah Prioritas muncul ketika adanya suhu pertentangan dalam sebuah kasus, yaitu ketika situasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakannya dua hal secara bersamaan, atau ketika sesuatu belum dapat diterapkan secara sempurna. Oleh karenanya, akidah Tauhid lebih dikedepankan karena tidak mungkin saat itu juga masyarakat diwajibkan untuk shalat, puasa, zakat maupun haji –meskipun syariat tersebut telah terdapat dalam millah Ibrahim. Lebih baik mereka cukup bertauhid kepada Allah dulu daripada menyembah 'uzair, lebih baik mereka bersyahadat dulu daripada tidak sama sekali. Singkat kata, "better one than zero".

Tangga Perubahan

Perubahan memang harus melalui fase-fase bertingkat. Fase yang dilalui tersebut tentu tidak bisa lepas dari analisa lapangan untuk memahami aspek Realitas dan Prioritas. Jika kita pikir, adakah yang menghalangi Allah dengan Kemahakuasaan-Nya untuk menurunkan Al-Qur'an sekali tempo lengkap dengan segala syariat yang kontan harus ditunaikan oleh hamba-Nya? Kenapa pula Allah menciptakan alam semesta dalam 6 masa padahal Ia mampu menciptakannya hanya dengan sekali "Kun!"? Jawabannya adalah; bahwa itu semua merupakan Sunatullah yang harus kita ambil i'tibar dalam hidup kita.

Oleh karenanya, manusia diberikan karunia termulia berupa akal, tidak lain agar manusia dapat berpikir, menganalisa, mentadaburi, hingga kemudian menghasilkan pemikiran yang sehat, lalu barulah berbuat.

Penulis jadi teringat kembali akan fatwa MUI tentang haramnya Golput. Pertama kali mendengar, penulis sempat terhenyak kaget; kenapa haram? Darimana kesimpulan ini dapat dihasilkan? Akan tetapi di sisi lain, secara nalar sehat para ulama itu adalah fakih yang jauh lebih mengenal dan faham betul tentang apa itu syariat Islam, konsep sebuah daulah, sistem demokrasi, hingga kriteria ideal seorang pemimpin. Bagi saya atau bagi kita semua, akan ada statemen penting. Fatwa MUI-nya yang salah atau kita yang belum tahu?

Namun belakangan hari penulis mulai mengerti, bahwa MUI ternyata memiliki pandangan futuristik dengan melakukan tinjauan aspek realitas dan prioritas masyarakat Indonesia. Penulis mensinyalir bahwa MUI tengah membuat skenario Misi Perubahan yang besar dan Fatwa itu hanyalah sebuah episode pertama dari rentetan episode bersambung lainnya yang mungkin belum ditayangkan.

Realitanya, Indonesia adalah negara republik yang menganut sistem demokrasi dengan pemilu sebagai cara untuk memilih pemimpin. Persis dengan bangsa Arab jahiliyah yang saat itu terlanjur kecanduan khamr. Prioritasnya, lebih baik negeri ini memiliki pemimpin daripada harus menganut sistem anarki (tanpa pemimpin) yang mafsadat (kerusakannya) jauh lebih parah. Lebih baik mengangkat pemimpin yang adil daripada yang kurang adil, atau lebih baik yang agak baik daripada yang tidak baik sama sekali. Singkat kata, "tiada rotan akar pun jadi".

Dengan demikian "Haram Golput" sebenarnya memiliki arti "Wajib Memilih". Memilih siapa? Tentu memilih lebih yang baik, bertakwa dan memperjuangkan syariat, atau setidaknya menuju titik ideal tersebut. Karena tidak mungkin seluruh penduduk Indonesia semuanya orang fasik. Walaupun minimal, tentu di sana masih terdapat orang-orang yang memegang teguh kebenaran dan mereka wajib dijadikan pemimpin.

Atau jika saja secara subyektif kita menilai semua orang adalah fasik, tiada calon pemimpin yang adil, maka saat itu pula kita harus berani bertanggungjawab atas tuduhan tersebut dengan menawarkan alternatif dan mengajukan seorang pemimpin yang tidak fasik. Karena kalau hanya dapat menyalahkan, tanpa dapat memberi perbaikan tentu bukanlah sebuah solusi. Hanya dapat berteori, tapi tidak mampu beraksi sama juga bohong. Maka tidak perlu mendakwa perubahan jika harus melangkahi Sunatullah, apalagi sampai menyalah-nyalahkan Ulama', na'udzubillah.

Dalam hal ini pula MUI sebenarnya telah berusaha untuk memberikan sebuah solusi dengan menciptakan episode-episode perubahan yang berawal dari "Wajib Memilih" pemimpin ideal. Episode selanjutnya mungkin DPR akan didominasi oleh para wakil rakyat yang faham agama –lantaran hasil pemilihan sebelumnya,– hingga secara lambat-laun syariat Islam dapat diterjemahkan dalam Undang-undang, demokrasi kian terkikis, dan ending-nya Daulah Islamiyyah pun akan kembali terlahir sebagaimana dulu pada masa Khulafa Rasyidin. Agak bermimpi memang, namun inilah harapan logis.

Tapi terkadang kita sebagai "penonton" kurang sabaran dan maunya langsung menuju episode terakhir. Maunya langsung menuju lantai sepuluh, tanpa meniti dari lantai satu. Maunya instant dan simsalabim! Semuanya berubah. Sehingga ketika stasiun televisi baru menayangkan episode pertama, kita buru-buru menyalahkan sutradara akan alur-ceritanya yang terkesan janggal itu.

Di lain sisi, terkadang kita juga merasa pesimis, dengan keadaan yang sedemikian rupa, apakah episode terakhir itu hanya akan datang kelak ketika munculnya Imam Mahdi? Ataukah happy-ending itu baru akan tiba nanti ketika turunnya Nabi Isa?  Wallahu a'lam, sebagai manusia kita hanya diperintahkan untuk berpikir dan berbuat, Allah jua-lah yang menentukan.

Penulis adalah alumnus KMI Gontor, kini menjadi mahasiswa yang tengah menyelesaikan program Licence, konsentrasi Hukum Islam di Universitas Al-Azhar Kairo. Email: yusuf_677@yahoo.com

Sumber : http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=9107:dakwah-antara-realitas-dan-prioritas-&catid=68:opini&Itemid=68

Kamis, 02 April 2009

PBB Akan Konsisten di Jalur Kanan


 

INILAH.COM, Padang - Ketua Majelis Syuro DPP Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengklaim partainya sebagai partai paling kanan. Sebab, tetap konsisten memperjuangkan penerapan syariat Islam di Indonesia.

Pernyataan itu ditegaskan Yusril Ihza Mahendra saat berorasi politik pada kampanye terbuka PBB di lapangan GOR H Agus Salim, Padang, Rabu (1/4). "PBB merupakan partai paling kanan dari parpol yang ada. Karena partainya tidak pernah surut untuk memperjuangan tegaknya syariat Islam," katanya.

Pada amandemen pasal 29 UU 45 itu, kata Yusril, perjuangan PBB di parlemen ibarat menembus tembok tebal, sehingga tidak mampu. Namun, bukan berarti perjuangan PBB dalam menegakkan syariat Islam akan berhenti. Tapi akan tetap dilanjutkan bila satu saat nanti partainya menjadi besar.

"Sebagai partai berazaskan Islam dan yang paling kanan dari partai yang ada, PBB tidak takut melanjutkan perjuangan. Meskipun ada yang tidak suka dan menentangnya," tegas mantan Menteri Sekretaris Negara itu.

Ia juga menafikkan pandangan PBB sudah tertinggal, karena masih terus konsinten memperjuangkan syariat Islam. Hasil jajak pendapat dan pandangan seperti itu, menurutnya tidak akan melemahkan PBB. "Masyarakat jangan terpengaruh, karena arah politik PBB sudah jelas," tegasnya. [*/nuz]

Sumber : http://pemilu.inilah.com/berita/2009/04/01/95344/pbb-akan-konsisten-di-jalur-kanan/

Rabu, 01 April 2009

Peraturan KPU No. 15/2009 tentang mekanisme penetapan perolehan kursi, Picu Konflik

01/04/2009 - 04:04

Peraturan KPU Picu Konflik

INILAH.COM, Jakarta - Peraturan KPU No. 15/2009 tentang mekanisme penetapan perolehan kursi, calon terpilih dan penggantian calon terpilih dalam pemilu legislatif 2009, memuat benih-benih konflik.

"Beberapa pasal dalam peraturan KPU No. 15 tahun 2009 harus diperbaiki karena membuka peluang konflik" ujar Profesor Riset Bidang Politik LIPI, Syamsuddin Haris, di Jakarta, Selasa (31/3).

Beberapa pasal tersebut adalah pasal 50 ayat 1 dan 2. Pasal tersebut menegaskan adanya kemungkinan pimpinan pusat parpol menunjuk calon anggota DPR yang terdaftar dalam DCT untuk ditetapkan sebagai caleg terpilih oleh KPU.

Pasal 50 ayat 1 menyebutkan, apabila parpol memperoleh sejumlah kursi, sedangkan nama-nama calon anggota DPR tidak ada yang memperoleh suara sah di daerah pemilihan. Maka nama calon terpilih anggota DPR diusulkan berdasarkan keputusan Pimpinan Pusat parpol peserta Pemilu. Keputusan itu diambil dari nama calon pada DCT anggota DPR daerah pemilih yang bersangkutan, untuk ditetapkan oleh KPU.

Sementara ayat 2 menjelaskan, apabila terdapat dua atau lebih calon anggota DPR memperoleh suara sah yang sama di suatu daerah pemilihan. Maka penentuan calon terpilih anggota DPR diusulkan berdasarkan keputusan Pimpinan Pusat Partai Politik peserta Pemilu, untuk ditetapkan oleh KPU.

Menurut Haris, penunjukkan langsung oleh pimpinan pusat parpol dapat menimbulkan kekecewaan bagi para caleg yang memperoleh suara terbanyak. Belum lagi, caleg tersebut sudah mengeluarkan biaya yang besar dan usaha yang maksimal selama kampanye.

"Pasal ini akan mendistorsi suara pemilih. Solusinya yakni KPU dapat menetapkan calon tanpa mesti menunggu parpol dengan melihat hasil sebaran suara caleg di daerah pemilihan tersebut sehingga peluang konflik dapat diminimalkan", jelasnya. [*/jib]

Sumber : http://www.inilah.com/berita/politik/2009/04/01/95036/peraturan-kpu-picu-konflik/

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD