16 April 2009
(Analisa). Setelah sewindu implementasi otonomi daerah (otda), arah pembangun?an hukum seolah terkotak-kotak antara pembangunan hukum daerah dan pembangunan hukum nasional.
Ada anggapan dengan pemisahan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam konsep otonomi, secara otomatis juga memisahkan pembangunan hukumnya.
Pandangan ini tentunya sangat keliru karena muara dari hukum selalu terkait dengan masyarakat sehingga hukum dan otonomi harus terkait satu sama lain, meskipun antara keduanya terdapat cara kerja (pandang) yang sangat berbeda.
Berbicara mengenai hukum dalam konteks otonomi daerah, selama ini hanya dikaitkan dengan dua hal.
Pertama, undang-undang pusat yang mengatur otonomi yakni UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD) yang telah diubah dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta berbagai peraturan yang merupakan turunan dari kedua produk hukum tersebut). Kedua, terkait dengan peraturan daerah.
Pembangunan hukum yang terkait dengan otonomi selama ini seolah sudah selesai hanya dengan melakukan revisi berkisar pada dua permasalahan tersebut yaitu revisi Undang-undang Pemerintahan Daerah dan revisi undang-undang PKPD.
Kemudian hal itu cukup diikuti dengan menerbitkan berbagai regulasi terkait dengan pengawasan yang dilakukan secara preventif dan represif oleh pusat (dalam hal ini tentunya Departemen Dalam Negeri).
Dari dua contoh kasus tersebut, seolah permasalahan hukum pada konteks otda sesederhana itu. Padahal, pada kenyataannya, hal itu tidak bisa sesederhana yang dibayangkan. Untuk memahami akar masalah dalam pembangunan hukum dalam konteks otda kita harus pahami terlebih dahulu perbedaan yang sangat mendasar dalam pandangan hukum dan otonomi.
Hierarki hukum
Dalam sistem hukum Indonesia dikenal adanya tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan, yang mana dalam hierarki ini perda berada pada level paling rendah.
Perda dalam konteks sebagai peraturan perundang-undangan, adakalanya juga harus memosisikan diri lebih rendah dari peraturan menteri yang tidak dikategorikan dalam tata urutan peraturan-perundang-undangan tersebut.
Buktinya sampai saat ini, menurut data KPPOD, Menteri Dalam Negeri telah membatalkan 973 peraturan daerah yang dianggap bermasalah.
Banyaknya jumlah pembatalan tersebut, jika dikalkulasikan secara sederhanan yaitu untuk membuat sebuah produk hukum harus didahului dengan penyusunan academic paper, bisa dibayangkan seberapa lama untuk dapat mengatakan sebuah perda harus dibatalkan atau tidak. Meskipun, pada kenyataannya, masih sulit untuk memercayai bahwa pusat sudah melakukan tahapan sebagaimana layaknya menerbitkan sebuah produk hukum dalam proses pembatalan perda.
Fakta-fakta tersebut di atas, seolah menegaskan bahwa daerah benar-benar masih harus tunduk pada berbagai instruksi pemerintah. Jika demikian berarti bahwa daerah tidak memiliki keleluasaan untuk menyusun peraturan daerah.
Dalam konteks yang lebih luas apabila perda adalah bentuk formal dari kebijakan daerah, pemda juga tidak memiliki keleluasaan dalam menyusun kebijakannya dalam rangka melaksanakan kebijakan otonomi daerah. Padahal keleluasaan untuk mengatur daerahnya sendiri (kemandirian) inilah yang menjadi pilar dalam otonomi.
Sistem hukum seperti ini tentunya berbeda arah dengan konsep otonomi (desentralisasi) itu sendiri. Dalam otda didorong munculnya keberagaman karena titik tolak otda adalah mendekatkan pemerintahan dengan masyarakat concentric circle power, sehingga antara satu daerah dengan daerah lainnya bisa saja akan saling berbeda.
Lebih lanjut setelah sewindu implementasi otda pusat selalu menekankan kepada daerah untuk semakin inovatif, padahal salah satu pilar penting dalam melakukan inovasi adalah adanya kebebasan berkreasi yang pada kenyataannya masih sangat sulit diperoleh oleh daerah.
Selama sewindu ini yang terjadi adalah, hanya sedikit daerah yang memiliki keberanian melakukan inovasi. Umumnya daerah hanya berni menunggu peraturan pusat mengatakan apa baru kemudian berbuat sesuatu, seolah-olah untuk berbuat sesuatu daerah harus selalu menunggu perintah dari atasannya.
Perilaku daerah ini tentunya bukan tanpa alasan, pemahaman masyarakat (pejabat) Indonesia dalam membaca peraturan masih dilakukan secara kaku. Hanya segelintir orang di jajaran pemerintahan yang berani melakukan pembebasan diri dari kungkungan regulasi yang kaku.
Pada konteks daerah, pemda juga harus berani melakukan pembebasan diri dari belenggu regulasi yang kaku untuk mendorong inovasi yang bertitik tolak pada kesejahteraan masyarakat daerah dan Indonesia secara umum.
Pembebasan diri dari belenggu hukum ini sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hukum progresif yang digagas oleh Prof. Satjpto Rahardjo, Guru Besar emeritus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Dalam berbegai artikel beliau, seolah dipaparkan bahwa hukum bukan mesin, tetapi hukum selalu terkait dengan manusia. Dalam pemahaman ini penulis menganggap bahwa salah satu pilar paling penting dalam hukum progresif adalah prilaku manusia dalam berhukum.
Untuk itu inovasi daerah dalam konteks otonomi hanya akan menjadi retorika semu apabila para pemangku kebijakan tidak mampu melepaskan diri dari berbagai sekat-sekat regulasi yang kaku.
Sumber: http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/opini/1id112897.html
Dalam Web : http://www.yipd.or.id/berita_agenda/index.php?act=detail&p_id=12653&p_cat=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar