Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 199 Tahun V - 2009
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
Oleh Ruhiyat*
Pemilu Legislatif baru saja berlalu tanggal 9 April yang lalu. Pemilu yang terkesan dipaksakan di tengah persiapan yang karut-marut dimulai dari DPT yang tidak akurat dan berbagai persoalan lainnya. Terbukti ketika pemilu dilaksanakan di berbagai wilayah terjadi kekacauan karena kartu suara saling tertukar, KPPS yang tidak paham tugasnya sampai banyak caleg yang namanya tak tercantum dalam kertas suara, fatal.
Baru saja dalam hitungan jam penyontrengan berlalu, muncullah protes dari berbagai kalangan untuk berbagai kekacauan. Di TPS dekat tempat saya tinggal, memunculkan pemenang baru yang fantastis, Partai Demokrat, partai berkuasa yang merebut dominasi partai-partai lama selama puluhan tahun. Ternyata trend ini juga berlaku juga di banyak tempat bahkan secara nasional seperti dilansir oleh berbagai lembaga yang melakukan quick count.
Namun siapapun partai pemenang dalam pemilihan legislatif (pileg) tahun ini dan berapapun jumlah prosentase kemenangannya, saya berpikir bahwa itu tidak akan memberikan arti apapun bagi rakyat. Karena sejak tahapan awal ketika parpol-parpol berkampanye bahkan jauh sebelum parpol dideklarasikan kemudian, melakukan penghalalan segala cara untuk sekedar lolos verifikasi. Hal ini menunjukkan perilaku yang jauh meninggalkan esensi demokrasi yakni partisipasi rakyat dan menyadari bahwa rakyatlah sejatinya subyek atas pesta demokrasi itu. Tapi hal inipun dilupakan atau bahkan sengaja dilupakan oleh parpol.
Demikian pula dalam proses penjaringan caleg, pengabaian hak-hak rakyat menjadi nyata saat caleg dinilai bukan dari kompetensinya dalam merepresentasikan wakil rakyat, namun lebih pada besarnya upeti untuk parpol yang memang sedang butuh banyak uang untuk kampanye. Maka penomoran urut caleg juga didasarkan pada siapa yang lebih banyak setor ke rekening parpol, meskipun kemudian Mahkamah Konstitusi menggugurkan skema undang-undang pemilu dengan menempatkan suarat terbanyak sebagai caleg pemenang.
Kemudian, masa kampanye berlangsung sangat lama, sembilan bulan dan mengerucut menjadi pertarungan “semua lawan semua” menjelang hari pencontrengan. Dan selama kampanye ini, kita melihat pentas pemaksaan kehendak dari parpol dan caleg-caleg untuk mamaksa rakyat paham terhadap program-program yang kadang tidak nyambung dengan realita yang dihadapi rakyat sehari-hari. Bahkan bagi caleg-caleg yang memiliki modal pas-pasan pun juga terjebak dalam perang tak sehat itu. Seperti yang terjadi di sekitar rumah saya, ketika caleg modal pas-pasan itu melakukan kampanye dengan berkeliling rumah warga. Ia mengedarkan kartu nama dan membagikan kerudung kepada ibu-ibu. Namun ketika proses pembagian itu berlangsung, ada salah seorang ibu yang berkata, “Urang mah teu butuh nu kieu, loba di lemari oge, urang mah jelema susah, mending ngabagikeun duit, puguh eta mah” (Kita tidak butuh yang begituan, banyak di lemari juga, kita orang susah lebih baik bagi-bagi uang saja, biar jelas).
Kondisi masyarakat yang pragmatis
Kejadian di atas merupakan gambaran umum rakyat yang pragmatis dan memandang bahwa yang terpenting bagi mereka hanya sekedar urusan perut, bisa makan, bertahan hidup. Sikap itu tidak mempedulikan bahwa hal tersebut akan memberikan resiko jangka panjang karena para caleg yang membagi-bagi uang itu, ketika jadi anggota dewan kelak adalah pembuat undang-undang yang menindas rakyat. Hal ini, tidak bisa sepenuhnya ditimpakan sebagai kesalahan rakyat karena memang praktek seperti itu yang mereka lihat dan menjadi teladan dalam hidupnya.
Bagi orang kebanyakan, para caleg yang memiliki modal besar tentunya akan lebih di lihat dibandingkan caleg yang pas-pasan. Dari sini bukan tidak mungkin bahwa pertarungan di Senayan dalam pengambilan kebijakan, akan berlaku hal yang sama, banyaknya uang yang akan menentukan.
Dalam kampanye, partai politik mengobral janji-janji manis yang membuat rakyat seakan lupa dengan susahnya hidup ketika menghadapi harga-harga sembako naik, BBM naik, kesehatan mahal, kebutuhan-kebutuhan yang terus melonjak harganya. Itu semua ulah para pejabat yang membiarkan terjadinya kebijakan yang tidak merakyat. Namun anehnya rakyat masih saja memilih para elit itu yang menindas dirinya sendiri. Kesadaran politik rakyat dikelabui dengan iming-iming uang dan hadiah-hadiah yang sifatnya semu.
Fakta adanya dana yang digunakan untuk penyelamatan industri-industri, diperlihatkan. Bantuan-bantuan untuk para pengusaha yang bangkrut, dipertontonkan. Namun bantuan untuk rakyat menjadi prioritas yang sangat kecil. Seperti itu kah balasan yang diterima rakyat yang telah memberikan kepercayaan kepada mereka? Rakyat kecil disanjung, didekati, diberikan perhatian khusus namun apa yang terjadi dengan semua itu?
Rakyat menjadi korban
Pemilu yang telah berlangsung sangat tidak berkualitas karena tidak melibatkan rakyat. Selanjutnya merampasnya dari tangan rakyat melalui cara-cara liberal dan dengan mengatasnamakan demokrasi. Pemilihan langsung direkayasa sedemikian rupa sehingga nampak lebih halus dibanding dengan cara Orde Baru sekalipun. Misalnya saja, rakyat akan menjadi korban seperti yang terjadi pada korban Lapindo di Sidoarjo yang menelan banyak kerugian bagi rakyat. Mereka harus tinggal di pos-pos pengungsian dan perhatian pemerintah sama sekali lambat dalam penanganan kasus ini. Kita ketahui juga bahwa Lapindo Brantas adalah milik dari Bakrie gruop yang notabene adalah pejabat di negeri ini. Ia adalah bagian dari pemerintah pemenang pemilu. Maka wajar kalau pemerintah pemenang pemilu 2004 itu justru lebih melindungi pengusaha tersebut ketimbang harus segera memberikan ganti rugi kepada rakyat terkait dengan kerugian yang diderita. Mengapa demikian? Karena orang-orang yang ada di dalam pemerintahan adalah para pengusaha dan mereka pula pembuat kebijakan. Pantaslah jika para pejabat tersebut tidak pernah membuat kebijakan yang berpihak terhadap rakyat. Mereka tentunya akan membuat kebijakan yang memberikan keuntungan bagi diri mereka dan rakyat hanya dijadikan objek legitimasi bagi mereka untuk tetap berkuasa.
Dalam pemilu kali ini, masyarakat yang menjadi korban lumpur Lapindo memilih untuk golput. Hal ini merupakan sebuah pilihan yang tepat bagi mereka. Begitu juga kaum buruh yang harus menerima UU No. 13 tahun 2003 sebagai sebuah hadiah buruk yang diberikan oleh pemerintah. Sebuah Undang-Undang Ketenagakerjaan yang tunduk terhadap kepentingan modal untuk meraup keuntungan yang berlebih dan berlipat ganda. Di manakah proses pengesahan pembuatan undanga-undang? Tak lain mereka lah para anggota dewan perwakilan rakyat yang dipilih dalam pemilu, padahal mereka dipilih oleh rakyat untuk menjalankan amanah rakyat, bukan untuk keuntungan bagi pemilik modal. Selama sistem yang dibangun dalam pemerintahan hanya untuk melayani kepentingan pemilik modal, maka siapa pun yang menjadi pemimpinnya, rakyat selalu yang menjadi korban.
Sudah sangat jelas sebenarnya bahwa pemilu hanya dijadikan sebuah alat legitimasi untuk kaum pemilik modal untuk tetap berkuasa dan memeras tenaga rakyat untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah yang bertebaran di tanah
Namun satu yang menjadi sangat penting yaitu mengkonsolidasikan rakyat dalam satu kekuatan. Memang bukan pekerjaan mudah tapi jangan biarkan aset-aset negara dijual dan menjadi hak milik pribadi segelintir orang. Maka jangan pula kita memilih pemimpin yang menjerumuskan kita dalam kesengsaraan.
* Penulis adalah Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Karawang, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Sumber : Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org