Monday, 15 June 2009 18:00 WIB | |
AHLUWALIA Kerasnya reaksi masyarakat terhadap wacana pilpres satu putaran kini memaksa kubu SBY-Boediono untuk menegaskan kesiapannya bertarung dalam dua putaran. Adakah ini pertanda sikap realistis atau akibat makin kuatnya posisi kubu JK dan Mega? Selama sepekan terakhir, wacana pilpres satu putaran jadi isu kampanye yang cukup panas. Isu itu muncul setelah tim sukses SBY-Boediono melihat tingginya rating SBY-Boediono yang dirilis sejumlah lembaga survei dengan perolehan rata-rata di atas 50%. Sang incumbent itu lantas sengaja mendorong isu pilpres selesai dalam satu putaran dengan SBY-Boediono sebagai pemenangnya. Tentu, incumbent berharap ada band wagon effect dari pemilih lain agar ikut tergerak memilih pasangan bernomor urut dua itu. Sayangnya pendekatan planting information melalui survei nampaknya kian sulit direalisasikan. Ini karena para akademisi, peneliti, pengamat, aktivis LSM, masyarakat politik, dan pers terus menyuarakan pengawasan (kontrol) atas kemungkinan terjadinya electoral fraud. Pakar komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Effendi Ghazali, menyatakan klaim kubu SBY ke ruang publik mengenai pilpres satu putaran telah menimbulkan kesan jumawa pada figure SBY. Mentang-mentang punya kuasa, uang, dan bisa pasang iklan di mana-mana, SBY menepuk dada. Klaim itu, katanya, sebaiknya digunakan secara internal saja untuk menguatkan psikologi tim suksesnya. "Kalau dijual ke luar, kesannya jumawa. Ini bisa merugikan SBY sendiri," tuturnya. Menguatnya kecenderungan pilpres dua putaran yang kemudian terjadi tak terlepas dari efektivitas kampanye JK dalam menangkal serangan lawan-lawan politiknya. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Arbi Sanit, menilai kampanye JK lebih efektif ketimbang kampanye SBY. Akibatnya, pilpres yang semula diisukan hanya berlangsung satu putaran, kini dinilai Arbi tinggal isapan jempol belaka. "Kemungkinan satu putaran menjadi lebih kecil oleh karena kampanye SBY kalah sama kampanye JK," katanya. Arbi melihat, peluang SBY terpilih kembali sebenarnya tidak kecil, jika saja SBY memperhatikan hal kecil saat berkampanye. Beberapa aktivitas kehidupan yang dominan di Indonesia sudah terlebih dahulu ‘dimasuki' JK yang lebih cekatan. Dalam hal ini, Arbi Sanit menilai, modal SBY cukup besar. Pertama, sebagai calon presiden incumbent, SBY dinilai berhasil oleh rakyat. Kedua, ia sebagai capres dari partai pemenang pemilu legislatif. Ketiga, partai yang mengusungnya banyak. Namun fakta-fakta itu bisa berubah pada masa kampanye pilpres, karena kampanye pesaing SBY yang progresif. Di luar faktor politik itu, dimensi ekonomi juga berpengaruh pada kemungkinan pilpres dua putaran. Hal ini harus dicamkan kubu SBY. Pasalnya di sektor ekonomi, beban utang luar negeri di era SBY kian memberatkan ekonomi rakyat. Beban utang tersebut dianggap berpotensi menggerogoti elektabilitas SBY-Boediono. "Isu utang ini memang mempengaruhi tingkat elektabilitas SBY," kata Deputi Direktur LP3ES Sudar Dwi Admanto. Jika JK-Wiranto dan Mega-Prabowo mampu mem-promote masalah utang ini ke masyarakat luas, maka elektabilitas SBY-Boediono terancam terkikis berat. Di sini, kubu SBY-Boediono harus jeli menangkal isu utang tersebut, di samping isu SARA yang juga menyulitkan mereka. Karena itu, pernyataan kubu SBY bahwa mereka siap menghadapi dua putaran merupakan sikap realistis. Ibaratnya, lebih baik sedia payung sebelum hujan. LAngkah ini perlu untuk menepis isu satu putaran yang di mata publik dinilai aneh, ganjil, dan arogan. (dat03/inilah) |
Senin, 15 Juni 2009
SBY siap bertarung dua putaran!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar