Jakarta - Pemberian honorarium terhadap pejabat daerah dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) dinilai bertentangan dengan undang-undang dan menyebabkan pemborosan uang negara. ICW meminta praktek yang berlangsung sejak Orde Baru ini dihapuskan.
"Pemberian honorarium untuk Muspida bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Pasal 5 PP Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah," tulis ICW dalam rilisnya kepada detikcom, Minggu (7/2/2010).
Dalam Peraturan Pemerintah itu disebutkan, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dibenarkan menerima
penghasilan dan atau fasilitas rangkap dari Negara. Dalam pasal 8 juga ditegaskan, untuk pelaksanaan tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah disediakan biaya penunjangan operasional yang dipergunakan untuk koodinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat dan lain sebagainya.
Pemberian honorarium ini, menurut ICW juga potensial untuk disalahgunakan. Pasalnya, kepala daerah yang mempunyai kewenangan membuat regulasi bisa saja menentukan sendiri besaran honor dan siapa saja yang dapat menerima honor.
ICW lalu menunjukkan contoh kasus saat Gamawan Fauzi masih menjabat sebagai gubernur Sumbar. "SK yang dikeluarkan Gamawan saat menjabat tahun 2007 dan 2008 justru memberikan honor Muspida kepada pihak-pihak di luar yang ditentukan oleh Keppres yaitu wakil gubernur, ketua DPRD, Dan Lantamal, ketua Pengadilan Tinggi, ketua Pengadilan Agama, Ketua PTUN, Dan Lanud, dan sekretaris daerah," terang ICW dalam rilis.
Padahal dalam Kepres Nomor 10 Tahun 1986, pasal 4 disebutkan bahwa yang digolongkan sebagai Muspida hanya 4 orang yakni gubernur, Pangdam atau pejabat yang ditunjuk oleh Panglima ABRI, Kepala Kepolisian Daerah, dan Jaksa tinggi.
Selain itu, pemberian honorarium ini menurut ICW juga menyebabkan pemborosan uang negara, karena dasar hukumnya yang tidak kuat.
"Dalam kasus Sumatera Barat, SK Gubernur Gamawan yang memberikan honorarium Muspida Secara Rutin Setiap Bulan selama Tahun 2007 dan 2008 menyebabkan pemborosan Keuangan Daerah (versi BPK) Sebesar Rp 1,3 miliar," jelas ICW dalam rilis. Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Jember, dan Sumatera Utara.
Pemberian honor terhadap Muspida juga dinilai ICW menimbulkan konflik kepentingan. Karena pejabat penegak hukum sudah menerima honor Muspida maka proses hukum cenderung menjadi tidak fair ketika melibatkan pejabat atau pemerintah daerah.
Gunawan Mashar - detikNews (gun/iy)
"Pemberian honorarium untuk Muspida bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Pasal 5 PP Nomor 109 Tahun 2000 tentang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah," tulis ICW dalam rilisnya kepada detikcom, Minggu (7/2/2010).
Dalam Peraturan Pemerintah itu disebutkan, kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dibenarkan menerima
penghasilan dan atau fasilitas rangkap dari Negara. Dalam pasal 8 juga ditegaskan, untuk pelaksanaan tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah disediakan biaya penunjangan operasional yang dipergunakan untuk koodinasi, penanggulangan kerawanan sosial masyarakat dan lain sebagainya.
Pemberian honorarium ini, menurut ICW juga potensial untuk disalahgunakan. Pasalnya, kepala daerah yang mempunyai kewenangan membuat regulasi bisa saja menentukan sendiri besaran honor dan siapa saja yang dapat menerima honor.
ICW lalu menunjukkan contoh kasus saat Gamawan Fauzi masih menjabat sebagai gubernur Sumbar. "SK yang dikeluarkan Gamawan saat menjabat tahun 2007 dan 2008 justru memberikan honor Muspida kepada pihak-pihak di luar yang ditentukan oleh Keppres yaitu wakil gubernur, ketua DPRD, Dan Lantamal, ketua Pengadilan Tinggi, ketua Pengadilan Agama, Ketua PTUN, Dan Lanud, dan sekretaris daerah," terang ICW dalam rilis.
Padahal dalam Kepres Nomor 10 Tahun 1986, pasal 4 disebutkan bahwa yang digolongkan sebagai Muspida hanya 4 orang yakni gubernur, Pangdam atau pejabat yang ditunjuk oleh Panglima ABRI, Kepala Kepolisian Daerah, dan Jaksa tinggi.
Selain itu, pemberian honorarium ini menurut ICW juga menyebabkan pemborosan uang negara, karena dasar hukumnya yang tidak kuat.
"Dalam kasus Sumatera Barat, SK Gubernur Gamawan yang memberikan honorarium Muspida Secara Rutin Setiap Bulan selama Tahun 2007 dan 2008 menyebabkan pemborosan Keuangan Daerah (versi BPK) Sebesar Rp 1,3 miliar," jelas ICW dalam rilis. Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Jember, dan Sumatera Utara.
Pemberian honor terhadap Muspida juga dinilai ICW menimbulkan konflik kepentingan. Karena pejabat penegak hukum sudah menerima honor Muspida maka proses hukum cenderung menjadi tidak fair ketika melibatkan pejabat atau pemerintah daerah.
Gunawan Mashar - detikNews (gun/iy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar