Jakarta, Pengajar Fisipol UGM Cornelius Lay mengungkapkan perkembangan demokrasi Indonesia yang telah berjalan 10 tahun terakhir ini gagal menyebarkan kesejahteraan bagi rakyat, sehingga rakyat justru menjadi semakin sengsara.
"Indonesia ini negara penganut demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun ironisnya demokrasi telah berubah menjadi instrumen untuk menambah kemakmuran bagi elit politik," kata Cornelius Lay dalam Diskusi Publik "Wajah Demokrasi Indonesia", di Jakarta Media Center, Rabu.
Negara dinilainya masih setengah-setengah dalam berupaya menyejahterakan rakyat. Bukan hanya itu, negara masih memiliki pesaing dalam usaha memunculkan kesejahteraan rakyat. Saingan tersebut hadir dalam wajah rumah sakit, sekolah, dan partai yang turut serta mengemban tugas pemerintah.
"Seolah semua golongan ingin memunculkan kelebihannya masing-masing. Muhammadiyah dan orang Katolik, misalkan, bikin sekolah. Rumah sakit juga dibangun untuk menyaingi milik pemerintah," jelas Cornelius.
Cornelius menilai, selama ini di Indonesia, demokrasi tidak terjadi secara menyeluruh dalam semua lapisan masyarakat. Contohnya adalah pembuatan KTP. Hal itu tidak menunjukkan seseorang sebagai bangsa Indonesia, tetapi hanya menunjukkan seseorang berasal dari kelurahan dan kecamatan tertentu dalam sebuah kabupaten atau kota .
"Contohnya, coba saja kalau kita pegang KTP Yogyakarta, lalu kita mengajukan Askeskin ke rumah sakit di Jakarta, sudah pasti ditolak. Apa itu yang namanya demokrasi?" tutur Cornelius.
Lokalitas, kata Cornelius, harus dijadikan basis utama dalam menumbuhkan demokrasi. Masyarakat dan petinggi negeri diharapkannya untuk melupakan sementara ranah Indonesia yang terlalu besar. Sebaiknya demokrasi terlebih dahulu dimunculkan di daerah-daerah.
"Berdemokrasilah di pojok-pojok Indonesia yang menjanjikan itu," tambah Cornelius.
Menambahkan pendapat Cornelius, Direktur Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), Antonio Pradjasto mengatakan, tidak meningkatnya kesejahteraan rakyat juga disebabkan oleh memburuknya hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob).
"Hal tersebut mencolok karena di satu sisi ada peningkatan kemakmuran pada segelintir orang di sisi lain mayoritas masyarakat masih tenggelam dalam kemiskinan," kata Antonio.
Demokrasi yang cocok
Antonio Pradjasto menilai parlemen belum maksimal dalam menegakkan demokrasi. Hal itu disebabkan karena parlemen tidak mengerti kepentingan publik secara menyeluruh.
"Belakangan ini mencuat isu bahwa demokrasi tidak cocok diaplikasikan di Indonesia. Menurut saya, itu hanyalah alasan para elit politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka," tandas Antonio.
Demokrasi, kata dia, tepat diaplikasikan dimana saja karena setiap manusia di dunia memiliki hak untuk berekspresi.
Rakyat Indonesia dianggapnya membutuhkan pemerintah yang tegas dalam menjalankan negeri ini. Namun, ia juga menekankan bahwa tegas tidak sama dengan otoriter.
Rezim otoriterlah yang membuat demokrasi tidak bisa dilaksanakan dalam sebuah negara.
Pendapat-pendapat Antonio itu dilontarkannya karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya memunculkan isu akan ke mana demokrasi Indonesia dibawa. Antonio termasuk orang yang cemas akan hal ini karena dianggap isu pencarian jati diri Indonesia akan membawa Indonesia kepada rezim otoritarian. (ant)
Sumber : Sinar Harapan
"Indonesia ini negara penganut demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun ironisnya demokrasi telah berubah menjadi instrumen untuk menambah kemakmuran bagi elit politik," kata Cornelius Lay dalam Diskusi Publik "Wajah Demokrasi Indonesia", di Jakarta Media Center, Rabu.
Negara dinilainya masih setengah-setengah dalam berupaya menyejahterakan rakyat. Bukan hanya itu, negara masih memiliki pesaing dalam usaha memunculkan kesejahteraan rakyat. Saingan tersebut hadir dalam wajah rumah sakit, sekolah, dan partai yang turut serta mengemban tugas pemerintah.
"Seolah semua golongan ingin memunculkan kelebihannya masing-masing. Muhammadiyah dan orang Katolik, misalkan, bikin sekolah. Rumah sakit juga dibangun untuk menyaingi milik pemerintah," jelas Cornelius.
Cornelius menilai, selama ini di Indonesia, demokrasi tidak terjadi secara menyeluruh dalam semua lapisan masyarakat. Contohnya adalah pembuatan KTP. Hal itu tidak menunjukkan seseorang sebagai bangsa Indonesia, tetapi hanya menunjukkan seseorang berasal dari kelurahan dan kecamatan tertentu dalam sebuah kabupaten atau kota .
"Contohnya, coba saja kalau kita pegang KTP Yogyakarta, lalu kita mengajukan Askeskin ke rumah sakit di Jakarta, sudah pasti ditolak. Apa itu yang namanya demokrasi?" tutur Cornelius.
Lokalitas, kata Cornelius, harus dijadikan basis utama dalam menumbuhkan demokrasi. Masyarakat dan petinggi negeri diharapkannya untuk melupakan sementara ranah Indonesia yang terlalu besar. Sebaiknya demokrasi terlebih dahulu dimunculkan di daerah-daerah.
"Berdemokrasilah di pojok-pojok Indonesia yang menjanjikan itu," tambah Cornelius.
Menambahkan pendapat Cornelius, Direktur Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi (Demos), Antonio Pradjasto mengatakan, tidak meningkatnya kesejahteraan rakyat juga disebabkan oleh memburuknya hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob).
"Hal tersebut mencolok karena di satu sisi ada peningkatan kemakmuran pada segelintir orang di sisi lain mayoritas masyarakat masih tenggelam dalam kemiskinan," kata Antonio.
Demokrasi yang cocok
Antonio Pradjasto menilai parlemen belum maksimal dalam menegakkan demokrasi. Hal itu disebabkan karena parlemen tidak mengerti kepentingan publik secara menyeluruh.
"Belakangan ini mencuat isu bahwa demokrasi tidak cocok diaplikasikan di Indonesia. Menurut saya, itu hanyalah alasan para elit politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka," tandas Antonio.
Demokrasi, kata dia, tepat diaplikasikan dimana saja karena setiap manusia di dunia memiliki hak untuk berekspresi.
Rakyat Indonesia dianggapnya membutuhkan pemerintah yang tegas dalam menjalankan negeri ini. Namun, ia juga menekankan bahwa tegas tidak sama dengan otoriter.
Rezim otoriterlah yang membuat demokrasi tidak bisa dilaksanakan dalam sebuah negara.
Pendapat-pendapat Antonio itu dilontarkannya karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelumnya memunculkan isu akan ke mana demokrasi Indonesia dibawa. Antonio termasuk orang yang cemas akan hal ini karena dianggap isu pencarian jati diri Indonesia akan membawa Indonesia kepada rezim otoritarian. (ant)
Sumber : Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar