Oleh : Im Sumarsono
Demokrasi liberal masa pemerintahan Soekarno, pernah memasuk masa paling dekonstruktif. Selama 8 tahun, terjadi pergantian kabinet sampai sebelas kali. Pemerintahan jatuh-bangun. Yang paling lama cuma Kabinet Djuanda, sekitar 23 bulan. Sisanya, ada yang bertahan cuma dua bulan.
Tahun 1959, Soekarno pun membubarkan Konstituante. Sistem pemerintahan berubah dari Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi Terpimpin. Konstitusi dikembalikan ladi menjadi: kembali ke Undang-undang Dasar 1945.
Saat itulah muncul istilah Moratorium Politik. Di mana, Presiden Soekarno berusaha melakukan pendinginan situasi politik melalui akomodasi politik terhadap hampir 55 partai di Indonesia.
Hasilnya, mengejutkan!
Di masa pemerintahan Soekarno pernah muncul Kabinet 100 Menteri. Oleh lawan-lawan politiknya, Kabinet ini kemudian diolok-olok sebagai Kabinet Kurawa -sekelompok tokoh antagonis dalam babad Mahabarata.
Tentu saja, Indonesia saat itu memasuki fase terseok-seok. Angka kemiskinan meningkat. Pembangunan tak bergerak, kecuali beberapa proyek Mercusuar yang dibangun untuk kepentingan politik luar negeri Soekarno. Utang luar negeri juga makin menebal.
Maka, konflik politik yang mengarah pada perebutan kekuasaan pun terjadi. Meletuslah Gerakan 30 September 1965, dan Republik Indonesia pun berganti sejarah!
Moratorium atau pendinginan politik, beberapa kali digunakan sebagai solusi saat ketegangan politik terjadi. Yang paling sering dilakukan adalah mengakomodasi kekuasaan, sebagai instrumen moratoruium.
Masalahnya, sejarah mencatat bahwa konflik politik selalu bersifat permanen!
Akomodasi representasi kekuatan politik sebagai suatu proses moratory, tak juga menyelesaikan masalah. Kabinet jatuh-bangun. Dan itu menjadi biaya politik yang harus dibayar begitu mahal!
Masa pemerintahan Soeharto, pendinginan politik dilakukan dengan cara lain: pembekuan! Potensi konflik dipadamkan dengan dua instrumen negara: alat kekuasaan dan alat ideologi.
Yang pertama dengan menggunakan tentara, birokrasi dan undang-undang. Kedua, melalui partai politik, media dan semua intrumen publik. Kekuasaan Orde Baru tak mengenal moratory.
Efeknya stabilitas semua lini terjaga. Tapi, pelanggaran hak mendasar manusia banyak terjadi. Dan, konflik politik kian mengental dan terbangun dalam sebuah gerakan penggulingan kekuasaan yang massif.
Ini, berbeda dengan pemerintahan Soekarno yang terguling karena gerakan elitis. Rezim Soeharto terguling karena karena gerakan massa, Soekarno terguling karena gerakan elit politiknya.
Tentu saja, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak sama dengan pemerintahan Soekarno. Apalagi Soeharto. Berbeda sama sekali!
Pemerintahan Susilo (paling tidak) terbangun melalui dua proses pendewasaan politik yang sangat berbeda dengan dua pemerintahan legendaris Indonesia sebelumnya: Soekarno dan Soeharto.
Pemerintahan Yudhoyono (dengan asumsi Kalla-Boediono benar-benar berfungsi sebagai Wapres), lahir melalui proses euphoria politik dan politik pencitraan (political branding).
Perjalanan lima tahun pertama, hampir mulus. Tak banyak konflik politik terjadi. Dua kekuatan besar terjaga, yaitu kekuatan ideologis dan kekuatan pragmatis.
Problem muncul justru di 100 hari pemerintahan lima tahun kedua. Pergantian komposisi kabinet dan pemerintahan, membuat elit politik bergerak cepat melakukan tekanan politik. Muncullah skandal Bank Century.
Semula pergerakannya wajar. Sampai kemudian, tiga bulan perjalanan Pansus, makin jelas apa sebenarnya yang terjadi. Bahwa, Pansus skandal Century bukan cuma mengungkap kejahatan perbankan. Juga, bukan cuma menelusuri aliran dana.
Hiruk-pikuk pandangan akhir Fraksi jelas menunjukkan telah terjadi perubahan geo-politik pasca Pilpres. Pasangan Yudhoyono-Boediono yang memenangi 62 persen suara, telah tereduksi secara politik dalam urusan bagi-hasil kekuasaan.
Lihat saja, skandal Century bukan lagi bicara soal siapa penggarong uang negara. Tapi, makin mengental kepada pilihan kocok-ulang hasil kekuasan: siapa yang akan diganti, siapa yang mengganti, bagaimana caranya mengganti?
Semua fraksi sepakat bahwa ada penyimpangan dalam skandal Century. Yang justru tidak ada kesepakatan di antara fraksi adalah: kesimpulan dan siapa yang bertanggungjawab dalam skandal ini?
Pertarungan politik telah dimulai!
Partai-partai melalui "alat-alat politiknya" di DPR, unjuk kekuatan. Yang koalisi atau non-koalisi, sama-sama unjuk gigi. Representasi suara di parlemen tak jadi ukuran. Politik telah menemukan konfliknya. Dan, luka karena konflik politik, bersifat permanen!
Sulit untuk tidak mengatakan, motif politik di balik tekanan ini adalah dendam. Dendam karena kalah bertarung, dendam karena bagi hasil kekuasaan yang tak merata, atau juga dendam karena tergusur dari kekuasaan.
Jadi, tanpa moratorium politik, pemerintahan Yudhoyono-Boediono sangat sulit melanjutkan pekerjaan. Kalaupun bisa, langkahnya terseok-seok.
Sejarah sudah membuktikan, 11 kabinet yang pernah dibentuk masa pemerintahan Soekarno, bukanlah kabinet sembarangan. Mereka tokoh-tokoh besar yang membangun fundamen republik ini. Ada Hatta, peletak dasar ekonomi kerakyatan.
Ada Syahrir, Si Kancil ahli diplomasi yang menyamakan derajat kebangsaan Indonesia sama di mata dunia. Ada Natsir, peletak dasar politik Islam modern Indonesia. Ada Aliwongso. Ada Djuanda.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para tokoh yang sekarang ini berada di barisan pemerintahan Yudhoyono-Boediono, sekali lagi, tanpa moratorium politik, sulit membayangkan perjalanan pemerintahan akan berjalan baik. Ini republik sudah butuh pendinginan.
Atau, penguasa akan membiarkan ini terus menggelembung hingga kontraksi politik tak bisa dihindari. Ah, terlalu mahal biaya yang harus dibayar untuk sebuah demokrasi![*]
Sumber : http://parlemen.inilah.com/news/read/2010/02/27/369891/moratorium-politik-century-2/
http://parlemen.inilah.com/news/read/2010/02/26/369861/moratorium-politik-century-1/