BURUKNYA perencanaan dan penggunaan anggaran di negeri ini nyaris bukan kisah baru. Ia seperti penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh kendati sudah diketahui penyebabnya.
Begitulah yang terjadi setiap kita mendengar tidak tuntasnya penyerapan anggaran, baik oleh pemerintah pusat, lebih-lebih pemerintah daerah.
Begitu pula ketika kita menyaksikan anggaran itu amat lamban terserap dalam sepuluh bulan, lalu tiba-tiba secara cepat bisa terserap signifikan hanya dalam kurun dua bulan di akhir tahun.
Padahal, banyak yang mafhum bahwa penyerapan anggaran berarti belanja dan belanja merupakan penggerak roda perekonomian. Toh tetap saja, pengelola anggaran seolah tak mau ambil pusing.
Sudah tak berbilang ancaman sanksi pemotongan anggaran didengungkan bagi departemen, lembaga, atau pemerintah daerah yang gagal menyerap anggaran.
Tapi, angka penyerapan anggaran bergeming di level 80% sampai 90%, tidak pernah sampai 100%. Bahkan, mulai ada kegemaran di sejumlah daerah untuk menaikkan besaran sisa lebih penggunaan anggaran atau silpa.
Lalu, silpa itu dianggap sebagai prestasi dalam mendongkrak pendapatan asli daerah. Masih amat jauh untuk berharap bahwa anggaran merupakan mata rantai penting penggerak ekonomi.
Dengan mental pengelolaan yang buruk, anggaran berlebih justru bisa menjadi malapetaka baru, yakni pemanfaatan anggaran untuk kepentingan di luar hakikat penggunaan sebuah anggaran.
Itu pula yang harus dicermati menyikapi penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran atau DIPA oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para menteri, pemimpin lembaga, dan gubernur, Selasa (5/1) lalu.
Penyerahan DIPA mestinya diartikan sebagai pelaksanaan anggaran secara serius melalui program kerja yang konkret dan langsung menyentuh hajat hidup masyarakat.
Selain itu, penyerahan DIPA mestinya merupakan amanah bagi pengelola anggaran untuk menggunakan dana secara jujur, transparan, dan akuntabel.
Teramat mahal ongkosnya jika amanah mengelola anggaran sebesar Rp1.047,7 triliun itu ditunaikan secara main-main, bahkan buruk. Karena itu, mesti ada parameter yang jelas soal mekanisme hukuman dan apresiasi terkait dengan pengelolaan anggaran.
Mereka yang mampu menggerakkan anggaran menjadi stimulus ekonomi dan terserap secara penuh amat berhak mendapat apresiasi berupa penambahan dana tahun berikutnya.
Sebaliknya, mereka yang hanya menumpuk anggaran dan menyimpannya di Sertifikat Bank Indonesia demi dinikmati bunganya harus menerima hukuman pemotongan anggaran tahun berikutnya.
Mekanisme itu mesti dilaksanakan secara konkret, bukan hanya menjadi aturan resmi pelengkap manajemen pemerintahan. Terlalu banyak modal yang disia-siakan akibat buruknya pengelolaan anggaran. Mulai kali ini, demi kesejahteraan rakyat, sudahi itu semua.
Sumber : MI Online
Begitulah yang terjadi setiap kita mendengar tidak tuntasnya penyerapan anggaran, baik oleh pemerintah pusat, lebih-lebih pemerintah daerah.
Begitu pula ketika kita menyaksikan anggaran itu amat lamban terserap dalam sepuluh bulan, lalu tiba-tiba secara cepat bisa terserap signifikan hanya dalam kurun dua bulan di akhir tahun.
Padahal, banyak yang mafhum bahwa penyerapan anggaran berarti belanja dan belanja merupakan penggerak roda perekonomian. Toh tetap saja, pengelola anggaran seolah tak mau ambil pusing.
Sudah tak berbilang ancaman sanksi pemotongan anggaran didengungkan bagi departemen, lembaga, atau pemerintah daerah yang gagal menyerap anggaran.
Tapi, angka penyerapan anggaran bergeming di level 80% sampai 90%, tidak pernah sampai 100%. Bahkan, mulai ada kegemaran di sejumlah daerah untuk menaikkan besaran sisa lebih penggunaan anggaran atau silpa.
Lalu, silpa itu dianggap sebagai prestasi dalam mendongkrak pendapatan asli daerah. Masih amat jauh untuk berharap bahwa anggaran merupakan mata rantai penting penggerak ekonomi.
Dengan mental pengelolaan yang buruk, anggaran berlebih justru bisa menjadi malapetaka baru, yakni pemanfaatan anggaran untuk kepentingan di luar hakikat penggunaan sebuah anggaran.
Itu pula yang harus dicermati menyikapi penyerahan daftar isian pelaksanaan anggaran atau DIPA oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para menteri, pemimpin lembaga, dan gubernur, Selasa (5/1) lalu.
Penyerahan DIPA mestinya diartikan sebagai pelaksanaan anggaran secara serius melalui program kerja yang konkret dan langsung menyentuh hajat hidup masyarakat.
Selain itu, penyerahan DIPA mestinya merupakan amanah bagi pengelola anggaran untuk menggunakan dana secara jujur, transparan, dan akuntabel.
Teramat mahal ongkosnya jika amanah mengelola anggaran sebesar Rp1.047,7 triliun itu ditunaikan secara main-main, bahkan buruk. Karena itu, mesti ada parameter yang jelas soal mekanisme hukuman dan apresiasi terkait dengan pengelolaan anggaran.
Mereka yang mampu menggerakkan anggaran menjadi stimulus ekonomi dan terserap secara penuh amat berhak mendapat apresiasi berupa penambahan dana tahun berikutnya.
Sebaliknya, mereka yang hanya menumpuk anggaran dan menyimpannya di Sertifikat Bank Indonesia demi dinikmati bunganya harus menerima hukuman pemotongan anggaran tahun berikutnya.
Mekanisme itu mesti dilaksanakan secara konkret, bukan hanya menjadi aturan resmi pelengkap manajemen pemerintahan. Terlalu banyak modal yang disia-siakan akibat buruknya pengelolaan anggaran. Mulai kali ini, demi kesejahteraan rakyat, sudahi itu semua.
Sumber : MI Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar