Rabu, 18 November 2009

MK Tafsir UU Pemda : Masa Jabatan Separuh Dianggap Satu Periode

MK Tafsir UU Pemda
Masa Jabatan Separuh Dianggap Satu Periode

Rabu, 18 November 2009 | 03:08 WIB

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir baru tentang bagaimana menghitung masa jabatan satu kali periode. Dengan mendasarkan diri pada asas proporsionalitas dan rasa keadilan, MK menyatakan, masa jabatan dihitung satu periode jika sudah dijalani setengah atau lebih.

Misalnya, untuk masa jabatan lima tahun, seorang kepala daerah yang sudah menjalani separuh (2,5 tahun) atau lebih dari masa jabatannya bisa dikategorikan sudah menjalani satu kali periode masa jabatan.

Sebaliknya, jika yang bersangkutan belum memangku jabatan selama 2,5 tahun, itu tidak dapat dihitung satu kali periode masa jabatan.

Hal tersebut terungkap dalam putusan uji materi atas Pasal 58 Huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dibacakan pada Selasa (17/11).

Putusan itu dikeluarkan atas permohonan Bupati Jembrana, Bali, I Gede Munarsa dan Bupati Karimun, Kepulauan Riau, Nurdin Basirun. Dua pemimpin daerah lainnya, yaitu Bupati Timor Tengah Utara Gabriel Manek dan Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, juga mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam perkara tersebut.

Persoalan tersebut bermula dari keinginan para pemohon untuk kembali mengikuti pemilihan kepala daerah yang akan dilangsungkan pada 2010 (Jembrana) dan 2011 (Karimun).

Sebelum menjabat Bupati Karimun, Basirun yang semula wakil bupati terpaksa meneruskan jabatan bupati (yang berhalangan tetap) selama sembilan bulan. Cerita yang sama juga dialami oleh Bambang Dwi Hartono dan Gabriel Manek.

Bedanya, Bambang Dwi meneruskan jabatan wali kota selama 2 tahun 9 bulan, sementara Gabriel Manek hanya sembilan bulan.

Tidak adil

Dalam pertimbangannya, MK menilai, tidak adil apabila seseorang menjabat kurang dari setengah masa jabatan disamakan dengan yang menjabat setengah atau lebih dari masa jabatan.

”Oleh karena itu, berdasarkan asas proporsionalitas dan rasa keadilan, sebagaimana tersebut dalam Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan,” ujar hakim MK.

Putusan itu dijatuhkan apalagi undang-undang tidak mengatur hal tersebut secara tegas.

MK mengakui bahwa pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk mengubah atau memperbaiki Pasal 58 Huruf o UU No 32/2004.

Namun, MK mengaku dituntut untuk memilih satu di antara alternatif-alternatif karena kebutuhan pelaksanaan hukum yang harus segera diisi (judge made law).

Tidak proporsional

Terkait dengan hal itu, kuasa hukum pemohon, Andi Asrun, mengkritik putusan tersebut. Menurut dia, putusan tersebut sangat tidak proporsional dan bertentangan dengan asas masa jabatan.

”Suatu masa jabatan ditetapkan lima tahun, maka harus lima tahun. Tidak ada pilihan lain,” ujar Asrun.

Ia menambahkan, pihaknya akan menyarankan Wali Kota Surabaya untuk meminta pendapat hukum ke Mahkamah Agung mengenai definisi masa jabatan. MA, lanjutnya, dapat memberikan definisi soal itu.

”Putusan ini mengandung inkonsistensi dan melanggar keadilan,” kata Asrun. (ana)

Sumber : Kompas

Sabtu, 14 November 2009

Cicak vs Buaya: Yang Mencuat, Yang Tenggelam

(berpolitik.com): Kasus Bibit-Chandra (cicak versus buaya) sudah seminggu lebih menjadi headline sejumlah media massa nasional. Tak sekadar jadi headline, media memberi intensitas yang tinggi. Ada grafik. Ada foto. Ada berita-berita terkait. Tak ketinggalan tajuk dan artikel tentang soal yang sama.

Tone beritanya tak sulit diduga: negatif terhadap aparat hukum, utamanya yang kena bidik adalah kepolisian. Mereka yang menunjukkan simpati kepada polisi tak ayal kena getahnya juga..

Komisi III DPR adalah contoh sempurna. Membiarkan raker jadi ajang pembelaan polisi membuat mereka menuai celaan.Dari stempel 'Humas Polisi', Hilang kekritisannya hingga sangkaan pun mengalir.

Salah satunya sangkaan itu adalah bahwa DPR memang tak nyaman dengan KPK. Maklum, pada periode lalu, banyak wakil rakyat jadi narapidana. Yang lebih serem dan lengkap dengan siapa aktor yang berada di belakang layar terkait sikap Komisi III juga beredar.

Karena polisi tampaknya keukeuh dengan sikapnya sendiri, pemerintah pun mulai kecipratan noda. SBY selaku atasan kepolisian menuai kritikan nan tajam. Karena Komisi III begitu antusias terhadap polisi, citra DPR secara kelembagaan pun kian terbenam.

Bila DPR dan SBY terkena imbas negatifnya, ada sejumlah isu penting yang mendapat berkah (malapetaka). Hal ini benar-benar tergantung siapa yang melihatnya.

Sebut saja kasus dugaan suap kepada anggota DPR terkait pemilihan Deputi BI yang akhirnya dimenangkan Miranda Gultom. Di waktu lampau, kesaksian Agus Condro (politisi PDIP) telah membuat 'sibuk' banyak pihak dan memeriahkan media massa.

Rupanya, kasus ini masih terus didalami KPK. Miranda sudah dua kali datang. Media memang memberitakannya, tapi nyaris tak ada blow up lagi. Bantahan Miranda dan Tjahjo Kumolo melenggang tanpa sanggahan.

Dalam sepekan ini juga ada isu terkait revisi pilkada. Usulan pilkada serentak makin kecang digulirkan. Meski baru akan berlangsung secepat-cepatnya pada 2011, tak banyak mendapat perhatian.

Padahal, kalau ini terwujud, banyak kepala daerah bakal lungsur sebelum waktunya. Apalagi kalau kemudian wacananya melebar ke pembagian pemilu: pemilu lokal dan nasional. Jika dilaksanakan, anggota DPRD juga bakal dimundurkan sebelum waktunya. Pergolakan bakal terjadi di tingkat lokal, sepertinya. Dan, beruntung, media tak meliriknya sebagai calon berita 'panas'.

Dan, tentu saja, juga ada program 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Meski masih terberitakan, fokus publik tidak terlalu mengarah pada hal ini. Padahal, lazimnya, isu program 100 hari lumayan 'seksi' untuk mengomentari pemerintah secara pedas.

Kalau ada isu yang terkesan diabaikan, ada pula yang coba-coba terus dibangkitkan. Yakni, menyambungkan kasus Century dengan perseteruan cicak versus buaya ini. Kasus Century mau diplot sebagai biang kisruh polisi versus KPK.

Dalam hal mengulas sebuah isu, media sengaja atau tidak selalu meminggirkan beberapa fakta. Dalam urusan cicak versus buaya, media sepertinya enggan melakukan pemilahan.

Sebagaian pihak memang mendukung KPK sebagai institusi, tapi tak mau terlalu jauh hingga mendukung individu. keprihatinan dan perjuangan mereka adalah untuk memastikan KPK tak dilemahkan. Tapi, oleh media, ini digelondongkan semuanya sebagai barisan pendukung Bibit-Chandra. Mungkin untuk mudahnya, media mengabaikan saja fakta kecil ini.

Persis di seberangnya, tak semua polisi dikabarkan "happy" dengan situasi ini. Tapi, suara lain di kepolisian sepertinya enggan diendus dan diwacanakan. Akibatnya, seolah-olah polisi sudah satu sikap pula.

Keengganan atau kegagalan mengendus ini tentu saja punya implikasi yang serius. Hm...
Sumber : berpolitik.com
Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD