Dalam rumusannya, UUD 1945 hasil perubahan mengkonsepkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih bersamaan dengan pemilihan umum legislatif (pileg). Salah satu perumus perubahan UUD 1945, Slamet Effendi Yusuf, menegaskan hal ini dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) di MK, Rabu (28/1).
"Ketika membaca kata pemilihan umum di dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan pemilihan presiden, yang dimaksud dengan pemilu adalah pemilihan umum sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yakni untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden," jelas Slamet. Ia menerangkan dalam proses perumusan amandemen UUD 1945, pihaknya menggambarkan nanti akan ada lima kotak suara yakni kotak untuk memilih anggota DPR, DPD, Capres-Cawapres, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Keterangan Slamet diperkuat dengan keterangan Gregorius Seto Harianto, yang juga mantan perumus perubahan UUD 1945. Menurut Seto, UUD 1945 tidak membedakan antara pilpres dengan pemilu. "Jadi gambaran kita pada waktu itu, ketika parpol atau gabungan parpol peserta pemilu mengajukan calon presiden, mereka adalah satu kesatuan. Dengan begitu, tidak ada kekhawatiran akan adanya perbedaan program karena program presiden adalah program partai, program partai adalah program presiden," papar Seto.
Terkait dengan upaya membangun sistem, Seto menjelaskan ketika pasangan calon yang awalnya didukung dengan satu partai memperoleh suara tapi tidak sampai 50 persen, maka partai-partai yang ada akan berkoalisi mendukung salah satu dari dua pasangan terkuat. "Sehingga sudah jelas yang satu di atas 50 persen dan yang lain kurang dari 50 persen. Itu sekaligus membentuk sistem checks and balances yang kuat di parlemen karena presiden dan wakil presiden terpilih didukung oleh satu kekuatan," terang Seto.
Pendapat Seto ini sekaligus menegasikan pendapat ahli dari Pemerintah tentang sulitnya membangun pemerintahan yang stabil jika Presiden tidak memiliki cukup banyak dukungan di DPR. Misalnya, pendapat Dr. Kacung Marijan yang menyatakan bahwa alasan pihaknya mencantumkan syarat persentase 20 persen dan 25 persen dalam Pasal 9 UU Pilpres adalah demi menjamin terciptanya kebijakan efektif (effective policy) yang sulit terjadi ketika presiden hanya mendapat dukungan sangat kecil di DPR. Hal senada juga dikatakan Ahli dari Pemerintah, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, yang mengingatkan bahwa dalam kebijakan strategis presiden membutuhkan dukungan DPR.
Capres Independen
Terkait permohonan tentang kemungkinan disertakannya capres independen, ahli dari Pemohon, Bima Arya Ph.D, menyadur pendapat yang disampaikan Staf Ahli Presiden Denny Indrayana yang menyatakan hingga saat ini perubahan UUD 1945 mengandung kelemahan. UUD 1945 memungkinkan terjadinya monopoli parpol dalam mengusulkan kandidat presiden. "Rekomendasi saudara Deny Indrayana waktu itu adalah calon presiden independen harus diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Jadi, monopoli oleh partai-partai politik atas pengajuan seorang calon presiden independen harus diakhiri, karena ini esensial demi memperkuat demokrasi yang partisipatif," tandas Bima.
Menanggapi hal ini, Kuasa Hukum DPR, Ferry Mursyidan Baldan menyatakan dirinya sepakat dengan adanya ide capres independen. Namun, ia mengingatkan bahwa UUD 1945 jelas-jelas tidak menyebutkan tentang kemungkinan hal itu. "Capres independen itu tidak terlarang, tapi belum ada dalam UUD. Jalan keluarnya, ubah UUD dulu lewat amandemen," pungkas Ferry. (Kencana Suluh Hikmah)
Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar