Jakarta (ANTARA News) - Belum pernah Israel seterancam seperti sekarang, apalagi belum genap dua tahun lalu, superioritas militernya terhadap Arab dipatahkan Hizbullah di Lebanon.
Kini, tak ada satu pun kota Israel yang aman dari serangan Arab meski puluhan skuadron pesawat tempur canggih dan wahana anti rudal menjaga ketat kota-kota Israel.
Bahkan saat tank-tank canggih Abrams, lusinan heli tempur Apache dan salah satu pasukan infanteri paling terlatih di dunia menginvasi Gaza sejak 3 Januari 2009, luncuran roket Hamas tetap menghujam bumi Israel.
"Hamas masih cukup memiliki roket dan mortir untuk terus ditembakkan jauh ke dalam wilayah Israel sampai beberapa minggu," kata Kepala Litbang Intelijen Militer (Aman), Jenderal Yossi Beidatz, seperti dilansir AFP (6/1).
Hamas yang berada di jantung Israel kian mengancam negara Yahudi itu dan didukung rakyatnya terbukti pemilu Palestina Januari 2006 lalu telah memenangkan Hamas dan membuat Israel serta rezim-rezim Arab sekutu AS ketakutan.
Israel harus menerima kenyataan, semua pemenang proses demokrasi di Timur Tengah berubah menentangnya, tak terkecuali Turki yang sebelumnya menjadi sahabat kentalnya atau Iran yang kini menjadi musuh paling fanatiknya.
Israel juga menghadapi Presiden terpilih AS yang bungkam menyikapi ulah usilnya di Timur Tengah, padahal sebelumnya rezim-rezim baru Washington selalu berhasil dipancing Israel untuk berkomentar.
Wayne White, mantan analis Timur Tengah di Departemen Luar Negeri AS, menilai Obama bungkam karena ia menghadapi kompleksitas konflik Gaza dan melihat Israel berlaku bodoh di Gaza.
"Jika saya Obama, saya juga akan memilih bungkam," kata Wayne seperti dikutip Washington Times (30/12).
Sendirian
Ketika Obama akhirnya berbicara, si hitam beradik keturunan Indonesia itu tidak mengisyaratkan ia bersetuju dengan Israel, sebaliknya menyampaikan kalimat yang netral sehingga tak membuat gerah Arab.
"Tegasnya, saya menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas konflik yang berlaku di wilayah itu," kata Obama seperti dikutip DPA (7/1), tanpa mengomentari legalitas agresi Gaza yang justru diinginkan Israel.
Sikap diam Obama adalah kemunduran bagi Israel yang malah menegaskan fokusnya pada perbaikan ekonomi dan dengan cerdik membebankan Gaza pada rezim George Bush yang turut mengarsiteki krisis Gaza.
"Saya kira pemerintah Bush sangat nyaman mendukung Israel dan tak melibatkan diri atau mencoba upaya gencatan senjata," kata Scott Lasensky, analis United States Institute of Peace, mengomentari aransemen Bush di Gaza.
Sejumlah kalangan bahkan meminta Obama tegas dengan tidak menuruti Israel.
"Obama mesti memulai inisiatif baru karena proses damai Annapolis pada November 2007 tidak menghasilkan apa-apa," ulas Nathan Brown, analis Carnegie Endowment for International Peace, menunjuk prakarsa damai kreasi Bush yang menguntungkan Israel semata itu.
Jelas, Israel sendirian di Timur Tengah, apalagi Bush yang memanjanya segera raib dari Gedung Putih.
Turki yang lama menjadi sekutunya pun menjaga jarak setelah pemerintahan pimpinan AKP enggan menyeret Turki merapat ke Israel.
Jangan tanya sikap Eropa karena banyak negara seperti Prancis dan Jerman, geram terhadap ulah Israel yang gemar menyepelekan hukum internasional.
"Tuan Presiden (Shimon Peres), anda menghadapi masalah serius dengan dunia internasional dan citra Israel tengah hancur," kata anggota Komisi Hubungan Luar Negeri Uni Eropa Benita Ferrero-Waldner saat menyampaikan sikap Eropa di Gaza.
Hanya karena ingin memupus perasaan bersalah atas genosida semasa Perang Dunia Kedua, Eropa ingin terlihat seimbang di Palestina dengan menyeru Hamas mengakhiri serangan roket ke Israel.
Sadar
Israel sendiri sadar petualangannya di Gaza tak akan sepermanen saat mereka merampas Sinai pada Perang 1967, lagipula ekspedisi kali ini hanya untuk konsumsi pemilu.
Israel juga tahu Hamas yang menjadi musuhnya sekarang lebih militan dibanding musuh musuhnya pada masa lalu, diantaranya karena memiliki roket-roket Iran yang menjangkau semua wilayah Israel.
Oleh karena itu, agresi Gaza adalah juga pesan Israel pada Iran yang membuatnya menjadi demikian tidak aman dan tak lagi superior. Iran menodong Israel dengan roket Grad dan Fajar tanpa menggelarkan seorang pun tentara.
"Iran cukup memasukkan anasir kimia dan biologi pada rudalnya dan hancurlah Negara Yahudi. Itu semua dilakukan secara terselubung melalui Hamas dan Hizbullah sehingga Iran bisa mengklaim diri bersih," kata Profesor Rabbi Daniel Zucker, ketua Americans for Democracy in the Middle-East seperti dikutip Jerusalem Post.
Israel juga tak bisa mengandalkan sekutu Arabnya yang belakangan terlihat rapuh dirongrong oposisi yang umumnya senafas dengan Hamas.
Keengganan Mesir untuk tegas di Palestina misalnya, lebih karena dimotivasi oleh kekhawatiran Hamas menulari kaum oposisi Mesir. Pandangan serupa dianut rezim Arab moderat lainnya seperti Arab Saudi dan Yordania yang tak ingin shiah Iran menyemangati kaum oposisi.
Presiden Husni Mubarak tak saja khawatir Hamas mengancam Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Fatah, tapi juga karena dia memiliki agenda politiknya sendiri, menetralisir oposisi muslim militan, khususnya Ikhwanul Muslimin.
Ikhwanul memang dinyatakan terlarang, namun para aktivisnya yang kini menjadi anggota parlemen dari garis independen telah membentuk kaukus oposisi besar di parlemen di mana tokohnya yang bernama Mohamed Habib menuduh Mubarak bersekongkol dengan Israel.
Habib juga menyebut Israel telah mengiris wilayah Arab, menjarah kekayaannya dan menghapus identitas budayanya. Untuk itu, Habib melihat perlawanan Palestina di Gaza adalah garis depan pertahanan Arab guna menghadapi rekayasa Israel.
Ekspedisi militer Israel di Gaza adalah memang rekayasa dan petualangan Partai Kadima dalam menaikkan popularitasnya menjelang pemilu legislatif 10 Februari 2009.
Kalau dulu PLO atau Hizbullah di Lebanon yang menjadi pion pendongkrak popularitas politik Tel Aviv, maka kini mereka memainkan Hamas sebagai bidak pendongkrak popularitas politik dengan membesar-besarkan ancaman Hamas. Padahal, militansi Hamas adalah reaksi dari embargo tak manusiawi Israel di Gaza.
Dengan embargo Gaza, Israel ingin melemahkan Hamas sehingga tak mampu memerintah dan Gaza pun kacau untuk kemudian menjadi pintu masuk bagi penggulingan Hamas oleh Israel.
Hamas berupaya menembus blokade itu, mulanya dengan penyelundupan, namun frustasi dan terpaksa mengadopsi serangan bersenjata, satu tindakan yang justru diinginkan Israel karena menjadi pembenar bagi invasi ke Gaza.
Pengepungan
"Padahal bukan hanya Hamas yang ingin mengakhiri pengepungan Israel, tapi juga seluruh rakyat Palestina. Itu keinginan semua manusia dan bangsa yang bercita-cita hidup sebagai manusia merdeka," kata editor Jerusalem Post, Larry Derfner (31/12).
Dengan merusak ketertiban Gaza lewat kampanye militer, total sudah kekacauan di Gaza dan Israel pun percaya Hamas bakal seinferior Fatah.
"Hamas tak akan seperti Fatah yang lemah, korup dan tidak populer. Hamas justru akan kian ekstrem karena blokade dan serangan terus menerus Israel hanya membuatnya berpikir sia-sialah bernegosiasi dengan Tel Aviv," kata wartawan AS keturunan Iran, Nir Rosen, dalam tulisannya di laman Aljazeera (30/12).
Lebih dari itu, invasi ke Gaza bukan saja mendegradasi citra Israel, namun juga memojokkan sekutu Arabnya.
"Damaskus telah menarik diri dari pembicaraan tripartit dengan Tel Aviv dan rakyat Arab murka tak hanya pada Israel dan AS, tapi juga pada pemerintah mereka yang dianggap bersekongkol dengan Washington," tutur Rosen.
Tidak itu saja, krisis Gaza telah menajamkan militansi muslim garis keras seluruh dunia sehingga menyulitkan Obama mengampanyekan perdamaian global, satu situasi yang didesain Israel.
"Saya telah berbicara dengan para aktivis jihad di Irak, Lebanon, Afghanistan, Somalia dan banyak lagi. Mereka menyebut Palestinalah yang memotivasi gerakan jihad mereka," ungkap Rosen.
Tak heran jika rakyat Israel sendiri mulai mengkritisi pendekatan pemerintahnya di Gaza. Dari 81 persen warga yang mendukung kampanye militer ke Gaza, hanya 39 persen yang percaya Hamas bisa digulingkan.
Jika pun Israel menang maka kemenangan itu malah mengungkap ketidakmampuan Israel hidup berdampingan dengan bangsa lain dan masyarakat Yahudi pun bertanya apa yang sebenarnya diinginkan para politisi Israel.
"Inikah keterbatasan kita sebagai manusia yang dilahirkan kembali dari holocaust (pembasmian etnis semasa Perang Dunia Kedua)?" tanya Sara Roy, cendikiawan Yahudi pengarang "Failing Peace: Gaza and the Palestinian-Israeli Conflict" seperti dikutip Christian Science Monitor (2/1).
Sara adalah seorang dari kelompok warga Yahudi yang ingin adil mengkritisi bangsanya, bukan saja demi keadilan universal, namun melihat fakta betapa Israel sekarang sendirian dan tererosi superioritasnya. (*)
COPYRIGHT © 2009 ANTARA
http://www.antara.co.id/print/?i=1231414998
PubDate: 08/01/09 18:43