Oleh : siti (paint_M)
Tidak lama lagi Pemilu 2009 digelar. Anggaran biaya sekitar Rp 49,7 triliun telah disiapkan. Jauh-jauh hari partai peserta Pemilu—total 38 partai, belum termasuk partai lokal di Aceh (NAD)—sudah melakukan pemanasan dengan berbagai jurus dan strategi kampanye melalui berbagai media. Mereka pun telah menetapkan caleg-calegnya. Banyak artis, pengusaha dan orang kaya baru yang menjadi caleg (calon anggota legislatif). Kasak-kusuk koalisi, aliansi, kaukus atau berbagai istilah lain dijajaki. Intinya adalah tawar-menawar kepentingan antar partai.
Pertanyaannya: Dapatkah Pemilu 2009 membawa perubahan yang lebih baik bagi umat? Apakah umat/rakyat bisa berharap banyak pada partai-partai yang ada dan kepada para calegnya untuk mewujudkan keinginan-keinginan mereka?
Faktanya, jika dihitung sejak masa reformasi saja, negeri ini telah melakukan 3 (tiga) kali Pemilu. Tentu saja itu belum termasuk Pilkada yang—menurut Pengamat Politik Eep Saefullah Fatah—diselenggarakan 3 kali sehari (Kompas, 24/6/2008). Indonesia juga pernah disebut-sebut sebagai "juara demokrasi" karena kesuksesannya menyelenggarakan Pemilu 2004 yang dinilai amat demokratis, aman dan damai. Namun, "suksesnya demokrasi" ini tidak pernah bertemu dengan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat/umat. Apalagi jika dikaitkan dengan keinginan umat Islam untuk menerapkan syariah Islam, yang justru semakin hari semakin menguat.
Yang Dirasakan Masyarakat
Banyaknya partai politik peserta Pemilu 2009 membuat rakyat kecil makin bingung. Rakyat tidak banyak tahu, partai-partai mana saja yang layak mendapat mandat untuk mewakili aspirasi mereka. Mungkin memang tidak ada partai yang layak untuk menjadi tempat menggantungkan harapan bagi rakyat. Dari berbagai survey yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey nasional, ada kecenderungan umat sudah begitu apatis dan apriori alias tidak peduli terhadap elit penguasa baik yang duduk di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tingkat kepercayaan mereka terhadap institusi partai begitu rendah. "Setelah Pemilu 2004 usai terus terjadi penurunan hingga tahun 2007 ini," ungkap pakar politik UGM Pratikno. Menurut Pratikno, hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan Asia Barometer. Hasil survei menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mengalami penurunan dari 8 persen di tahun 2004, menjadi 5,8 persen di tahun 2007 (Detik.com, 18/12/2007).
Angka golput dalam berbagai Pilkada di berbagai daerah juga rata-rata cukup tinggi. Golput bahkan sering menjadi "pemenang" Pilkada. Pilkada Jawa Barat, misalnya, hanya diikuti 65% rakyat. Ini berarti angka golput sebesar 35%, mengalahkan pasangan pemenang Pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih golput dalam Pilgub Sumatera Utara sekitar 41%. Dalam Pilgub DKI Jakarta, yang golput 39,2%. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih. Padahal gubernur tepilih Fauzi Bowo hanya dipilih oleh 2 juta orang pemilih saja (35,1%). Untuk Pilgub Jawa Tengah angka golput mendekati 50%. Di tempat lain juga angka golput cukup tinggi: Kalsel (40%), Sumbar (37%), Jambi (34 %), Banten 40% dan Kepri 46%.
Di tengah sikap pesimis masyarakat terhadap Pemilu, Pilkada, partai-partai yang ada dan para anggotanya yang duduk di DPR, ternyata ada kecenderungan di kalangan umat bahwa masa depan politik Indonesia ada pada syariah Islam. Beberapa survey menunjukkan dukungan masyarakat terhadap penerapan syariah Islam meningkat. Survey Roy Morgan Research yang terbaru (Juni 2008) menunjukkan: 52 persen rakyat Indonesia menuntut penerapan syariah Islam. Sebelumnya, hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 dan 2002 (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002) menunjukkan: sebanyak 67% (2002) responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Padahal survei sebelumnya (2001) hanya 57,8% responden yang setuju dengan pendapat demikian. Ini berarti, ada peningkatan cukup tinggi, sekitar 10%.
Sumber : http://www.berpolitik.com