Jumat, 15 Mei 2009
(berpolitik.com): Seorang prajurit bertanya kepada komandannya. "Dan, kenapa kita bunuh dia. Waktu saya tembak, dia baru selesai sholat.Mosok sih komunis sholat, Dan?". Jawaban si komandan begini: "Dia orang berilmu, tapi kere. Jadi, pasti komunis!" Ini adalah aknedot lawas tahun 1980-an. Mentertawakan praktik stigmatisasi ala orde baru.
Stigmatisasi cara termudah merayu emosi dan membenarkan tindakan. Persis seperti itulah yang terjadi. Seseorang dengan gampang dilabeli neolib untuk disingkirkan, dijadikan 'musuh bersama' atau juga 'alat untuk menekan'.
Sebelum terlalu jauh dan menghasilkan kesalahpahaman baru, perlu dipertegas posisi tulisan ini terhadap neolib.
Neolib Itu...
Jika dipadatkan, neolib kurang lebih menginginkan segala sesuatu (tidak hanya soal ekonomi, sebenarnya) diatur seturut logika pasar bebas. Itu artinya: individu bebas melakukan apa yang mereka kehendaki,mengijinkan orang/uang/barang pergi kemana yang mereka inginkan dan membiarkan orang/uang/barang melintas batas secara bebas (melintasi perbatasan ataupun ke segenap penjuru negara). Karena itu, implikasi praktisnya: negara tak boleh campur tangan. Kalaupun ada, sifatnya harus negatif: artinya jangan campur tangan!
Neolib meyakini pasar bebas bisa bekerja secara efektif mengalokasikan sumber daya justru jika tidak ada yang campur tangan. Dalam pasar, self interest individu-individu diyakini akan ditransformasikan oleh sebuah 'kekuatan gaib' menjadi kebaikan bersama.
Sekurang-kurangnya ada dua keberatan pokok terhadap neolib. Menyitir B. Herry-priyono dalam sebuah tulisannya, neolib berbahaya bagi kemanusiaan karena mereduksi manusia menjadi semata-mata mahluk ekonomi.Pengkerdilan ini menjadikan setiap entitas (manusia, institusi) tak ubahnya perusahaaan swasta.
Naluri dasar perusahaan adalah mencari untung. Jadi, titik akhir dan acuan tertinggi (benar-salah, baik-buruk) segala tindakan dan pilihan adalah besarnya profit yang bisa didapat. Konsekuensi praktisnya, tidak ada lagi yang namanya public goods. Karena itu, tidak ada lagi yang namanya sekolah, yang ada adalah usaha pendidikan. Tak ada lagi yang namanya rumah sakit, yang ada adalah usaha kesehatan.
Neolib, masih kata Herry-priyono dalam tulisannya itu, juga mereduksi kebebasan menjadi kebebasan bisnis. Ini terkait oleh tindakan dan pilihan apa yang dianggap lebih bernilai dan lebih penting. Dengan perkataan berbeda, jenis kebebasan tindakan yang lebih bernilai dibanding kebebasan-kebebasan lain adalah jenis kebebasan tindakan yang menghasilkan daya-beli lebih tinggi dalam kinerja pasar.
Implikasi praktisnya adalah perlakuan istimewa terhadap perusahaan - perusahaan raksasa. Karena perusahaan raksasa memiliki daya beli yang lebih tinggi ketimbang UKM. (korupsi logika ini juga terjadi: kalau perusahaan babak belur ya harus ditolong dan atau menjadi beban negara, tapi kalau orang kecil yang terkapar biarkan saja karena itu salah mereka sendiri).
Enak Sebagai Labeling
Kalau ditipologikan, sosok seperti apa yang pantas diberi julukan pendekar neolib?
Pertama, ia pasti pingin negara tidak campur tangan dalam relasi ekonomi dan bahkan relasi kehidupan yang lainnya. Argumentasi, ya itu tadi, biarkan mekanisme pasar bebas yang bekerja. Ciri khasnya adalah selalu bersoal untung rugi dalam urusan pelayanan publik. Maunya aturan usaha dibuat sebebas, selonggar mungkin. Kalau disederhanakan: kalau tak ada aturan,pasti bisa lebih cepat (dan karenanya jauh lebih untung)!
Terhadap rakyat yang keleleran akan dibilang sebagai kesalahan dirinya sendiri, jadi tak baik kalau ditolong. Dus, dia emoh terhadap setiap bentuk kebijakan yang namanya subsidi. Subsidi dianggap meracuni, membuat orang malas berkompetisi. Jadi, ada kegandrungan tersendiri terhadap apa yang namanya kompetisi. Prototipe manusia terbaik adalah enterprenuer. Inilah tipe yang diyakini akan mengatasi jaman.
Kembali ke pokok soal: stigma.
Tudingan neolib paling akhir diarahkan secara orkestra kepada Boediono. Benarkah Boediono seorang neolib?
Jikalau melihat kiprahnya, agak sulit membenarkan tudingan itu. Boediono diketahui sebagai figur yang menginginkan pasar diatur. "Jangan biarkan pasar mengendalikan sumber daya ekonomi Indonesia," ujar Boediono sebagaimana ditirukan Faisal Basri.
Dalam soal urusan lalu lintas devisa, Boediono pernah berkata begini: "Sistem devisa kita ini terlalu bebas," ujarnya dalam jumpa pers BI dengan wartawan, November 2008. Ditambahi Faisal, "Seandainya Boediono neoliberal, maka dia tidak akan mau bergabung dengan Bappenas."
Yang kadung sentimen pasti akan berujar begini: "Ya, pantas saja Faisal membela Boediono. Kan, sama-sama neolib". Ya, oleh sebagian kalangan LSM, Faisal memang dicap neolib. Ironinya, FES (sebuah organisasi asal Jerman yang mendorong gagasan pasar ekonomi sosial) justru menggadang-gadangnya sebagai salah satu figur terdepan dalam barisan Sosial-Demokrat di tanah air. Tidak mungkin kedua-duanya benar.
Jadi, apa persisnya keberatan para pengobar semangat anti neolib di tanah air?
Dibalik Anti Neolib
Kalau memeriksa wacana para penggonggong anti neolib memang ada garis pembeda yang tegas. Jika Boediono, Faisal Basri, Sri Mulyani dan sederet ekonom lain yang kadung dicap neolib masih mempercayai mekanisme pasar (tapi dikendalikan, pasar yang embedded istilah yang lain). Kelompok anti neolib secara tegas bilang anti-pasar.
Apa bentuk konkrit anti pasar itu?
Secara berapi-api mereka menegaskan yang harus dikembangkan adalah ekonomi kerakyatan. Manis, terdengar, memang. Tapi, kalau diurut ke akar pemikiran yang aseli, akan segera ketahuan belangnya. Sekurang-kurangnya ada tiga kelompok yang memakai jubah 'ekonomi kerakyatan' untuk melabrak siapapun yang berbeda dengan mereka.
Pertama, mereka yang mengiduk pada paham marxisme (dengan segala variannya dari yang ortodox hingga yang berlabel "neo") kurang lebih menawarkan ekonomi terkomando. Dikomandoi oleh negara, maksudnya. Bagi mereka, pasar itu sebuah konsiprasi jahat kaum pemodal.
Dalam hal ini, mereka menyamaratakan pasar dengan pasar bebas. Padahal, pasar bisa dibebaskan, bisa dikendalikan, sedangkan pasar bebas ialah pasar yang meminggirkan sama sekali peran negara. Model yang tergambarkan barangkali adalah Rusia, China, Kuba (serunya: dua negara pertama sejatinya kini sudah menerapkan sistem ekonomi hybird). Belakangan, beberapa menyebut model Venezuela dan Chili sebagai role-model-nya.
Kedua, mereka yang menginduk pada paham "Islam Politik" punya obsesi untuk menerapkan apa yang mereka sebut 'ekonomi syariah'.
Ketiga, mereka yang bernostalgia dengan zaman orde baru, sangat ngebet ingin mengembalikan sistem ekonomi yang mengedepankan kapitalisme negara plus ekonomi kroni. (Maksudnya, perusahaan keluargalah yang harus paling banyak dapat order dan menang tender!)
Ketiga-tiganya sejatinya saling berseberang-seberangan. Namun dalam urusan anti-pasar mereka sejalan. Ya, begitulah politik: Lawan mu, adalah Lawanku juga, tak soal kalau di antara kita juga saling menikam!
Sumber : http://www.berpolitik.com/news.pl?n_id=21864&c_id=3¶m=fLaM96P0uP676Ixf7knE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar