Senin, 27 Oktober 2008

ARTIKEL : Umat Mendambakan Partai Yang Memperjuangkan Syariah

Oleh : siti (paint_M)

Tidak lama lagi Pemilu 2009 digelar. Anggaran biaya sekitar Rp 49,7 triliun telah disiapkan. Jauh-jauh hari partai peserta Pemilu—total 38 partai, belum termasuk partai lokal di Aceh (NAD)—sudah melakukan pemanasan dengan berbagai jurus dan strategi kampanye melalui berbagai media. Mereka pun telah menetapkan caleg-calegnya. Banyak artis, pengusaha dan orang kaya baru yang menjadi caleg (calon anggota legislatif). Kasak-kusuk koalisi, aliansi, kaukus atau berbagai istilah lain dijajaki. Intinya adalah tawar-menawar kepentingan antar partai.

Pertanyaannya: Dapatkah Pemilu 2009 membawa perubahan yang lebih baik bagi umat? Apakah umat/rakyat bisa berharap banyak pada partai-partai yang ada dan kepada para calegnya untuk mewujudkan keinginan-keinginan mereka?

Faktanya, jika dihitung sejak masa reformasi saja, negeri ini telah melakukan 3 (tiga) kali Pemilu. Tentu saja itu belum termasuk Pilkada yang—menurut Pengamat Politik Eep Saefullah Fatah—diselenggarakan 3 kali sehari (Kompas, 24/6/2008). Indonesia juga pernah disebut-sebut sebagai "juara demokrasi" karena kesuksesannya menyelenggarakan Pemilu 2004 yang dinilai amat demokratis, aman dan damai. Namun, "suksesnya demokrasi" ini tidak pernah bertemu dengan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat/umat. Apalagi jika dikaitkan dengan keinginan umat Islam untuk menerapkan syariah Islam, yang justru semakin hari semakin menguat.

Yang Dirasakan Masyarakat

Banyaknya partai politik peserta Pemilu 2009 membuat rakyat kecil makin bingung. Rakyat tidak banyak tahu, partai-partai mana saja yang layak mendapat mandat untuk mewakili aspirasi mereka. Mungkin memang tidak ada partai yang layak untuk menjadi tempat menggantungkan harapan bagi rakyat. Dari berbagai survey yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey nasional, ada kecenderungan umat sudah begitu apatis dan apriori alias tidak peduli terhadap elit penguasa baik yang duduk di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tingkat kepercayaan mereka terhadap institusi partai begitu rendah. "Setelah Pemilu 2004 usai terus terjadi penurunan hingga tahun 2007 ini," ungkap pakar politik UGM Pratikno. Menurut Pratikno, hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan Asia Barometer. Hasil survei menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mengalami penurunan dari 8 persen di tahun 2004, menjadi 5,8 persen di tahun 2007 (Detik.com, 18/12/2007).

Angka golput dalam berbagai Pilkada di berbagai daerah juga rata-rata cukup tinggi. Golput bahkan sering menjadi "pemenang" Pilkada. Pilkada Jawa Barat, misalnya, hanya diikuti 65% rakyat. Ini berarti angka golput sebesar 35%, mengalahkan pasangan pemenang Pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih golput dalam Pilgub Sumatera Utara sekitar 41%. Dalam Pilgub DKI Jakarta, yang golput 39,2%. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih. Padahal gubernur tepilih Fauzi Bowo hanya dipilih oleh 2 juta orang pemilih saja (35,1%). Untuk Pilgub Jawa Tengah angka golput mendekati 50%. Di tempat lain juga angka golput cukup tinggi: Kalsel (40%), Sumbar (37%), Jambi (34 %), Banten 40% dan Kepri 46%.

Di tengah sikap pesimis masyarakat terhadap Pemilu, Pilkada, partai-partai yang ada dan para anggotanya yang duduk di DPR, ternyata ada kecenderungan di kalangan umat bahwa masa depan politik Indonesia ada pada syariah Islam. Beberapa survey menunjukkan dukungan masyarakat terhadap penerapan syariah Islam meningkat. Survey Roy Morgan Research yang terbaru (Juni 2008) menunjukkan: 52 persen rakyat Indonesia menuntut penerapan syariah Islam. Sebelumnya, hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 dan 2002 (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002) menunjukkan: sebanyak 67% (2002) responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Padahal survei sebelumnya (2001) hanya 57,8% responden yang setuju dengan pendapat demikian. Ini berarti, ada peningkatan cukup tinggi, sekitar 10%.

Sumber : http://www.berpolitik.com

Kamis, 16 Oktober 2008

Neoliberalisme Telah Mati

Oleh: Akhmad Kusaeni

Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati!

Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si "invicible hand" mengatur segalanya berdasar hukum "supply and demand".

Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Kredo pasar bebas adalah pasar yang tidak diatur dan diintervensi adalah cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya melalui pasar bebas pertumbuhan ekonomi bisa dicapai.

Ekonom-ekonom pembela pasar bebas sangat percaya bahwa "The best government is the least government". Ekonom tersebut, yang Indonesia dikenal sebagai Mafia Berkeley, sering berguyon bahwa pertumbuhan ekonomi paling cepat di malam hari, ketika pemerintah sedang tidur.

Ternyata pasar bebas itu kini tidak berlaku lagi di negeri yang menjadi pusaran dinamonya. Justeru pertumbuhan ekonomi jadi anjlog dengan pasar yang kelewat bebas. Justeru pemerintahan George W Bush yang tidak bisa tidur, sibuk melakukan intervensi dan berusaha membelenggu si "invisible hand".

Bush menghadapi dilema gawat menghadapi krisis keuangan terberat setelah depresi tahun 1930-an. Pemerintahannya memutuskan untuk melakukan campur tangan. Atas persetujuan Kongres AS, Bush menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan Lehman Brothers dan perusahaan-perusahaan raksasa Wall Street lain yang diambang kebangkrutan.

"Kita harus bertindak," kata Bush di depan Kongres.

Ia tidak percaya lagi bahwa tangan-tangan ajaib bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang melanda AS dan berimbas pada seluruh tata ekonomi internasional.

Sudah Dikumandangkan

Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sebetulnya sudah dikumandangkan para ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul "Selamat Tinggal pada Perdagangan Bebas".

Samuelson menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah depresi AS. Faktor munculnya liberasisasi juga didorong oleh situasi Perang Dingin.

Ada keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara Barat melalui perdagangan bebas. Pada titik tertentu memang benar adanya. Ketika komunisme runtuh dan sosialisme ambruk dengan bubarnya Uni Soviet, Barat merayakan kemenangan dan "kebenaran" sistim liberalisme atas komunisme/sosialisme.

Francis Fukuyama bahkan berani mengatakan dengan tumbangnya komunisme waktu itu, maka sejarah telah mati. Fukuyama menulis buku "The End of History" untuk menamai era baru pasca Perang Dingin. Sebuah era dunia baru dimana demokrasi dan liberalisasi ekonomi yang akan menjadi nilai dasarnya. Sebuah era baru yang akan membuat dunia lebih damai dan lebih sejahtera di bawah naungan kapitalisme.

Sejak saat dimana Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya, baik di bidang politik dan ekonomi, maka tidak ada halangan lagi untuk menyebarluaskan demokrasi dan liberalisasi. AS terobsesi untuk untuk menjadikan seluruh negara di dunia menjadi negara demokrasi, karena "sesama negara demokrasi tidak saling memerangi".

Negara yang dikatakan masih belum demokratis seperti Irak, Iran dan Korea Utara, perlu dibebaskan. Bilamana perlu, demokrasi ditegakkan di bawah todongan senjata. Diktatur seperti Saddam Hussein mesti digulingkan. Tentara AS harus dikerahkan. Invasi kemudian dilakukan.

Dikucilkan

Negara-negara yang belum menerapkan perdagangan bebas harus ditekan dan didikucilkan. Hambatan-hambatan terhadap tarif harus dihilangkan. Ruang bebas terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA, NAFTA, atau kawasan free trade area harus dibuka selebar-lebarnya.

Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dijadikan alat untuk meliberalisasi ekonomi negara-negara yang membutuhkan bantuan keuangan. Negara-negara yang menolak bergabung dengan WTO atau enggan dipulihkan ekonominya oleh IMF, diberikan sanksi. Bilamana perlu diembargo.

Garisnya sangat jelas. Ikut demokrasi dan liberalisasi atau rasakan akibatnya. Diplomasi "wortel dan pentungan" sudah biasa dilakukan AS.

Itulah dunia yang didambakan dalam konsep "American Dream" yang ternyata hanya utopia. Demokrasi dan liberalisasi ekonomi ternyata tidak seindah yang dimimpikan. Ketika Great Depression (1929) dan Perang Dingin tidak relevan lagi, maka liberalisasi kehilangan mesin pendorongnya. Itu sudah diramalkan sendiri oleh para ahli ekonomi AS, macam Samuelson atau Joseph Stiglitz.

Ekonomi dunia yang "booming" ternyata juga membuat paham liberalisme melemah. China yang dianggap sebagai negara yang proteksionis dan tidak liberal, ternyata bisa tumbuh ekonominya secara mencengangkan. Prof. Kishore Mahbubani dari Singapura meramalkan ekonomi China akan melewati AS dalam tempo kurang dari sepuluh tahun lagi.

"Kita menyaksikan perekonomian Amerika Serikat yang menurun dan Asia yang menanjak, terutama China dan India," katanya.

Mengkhianati

Selain ekonom, politisi AS juga mulai mengkhianati liberalisasi. Hillary Clinton dalam setiap kampanye menyatakan teori-teori yang melandasi perdagangan bebas tidak berlaku lagi dalam era globalisasi.

Jika terpilih sebagai presiden, seperti dikutip Financial Times edisi 3 Desember 2007, Hillary menyatakan akan meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA, walaupun yang menandatanganinya tahun 1993 adalah suaminya sendiri.

Pengkhianatan terbesar terhadap liberalisasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Bush. Alih-alih membiarkan mekanisme pasar di Wall Street mengoreksi diri sendiri, Bush memberi dana talangan tanpa banyak persyaratan semacam ketika Bank Indonesia menggelontorkan BLBI. Tak ada batas waktu kapan dikembalikan dan batas maksimum dana yang dikucurkan. Tak ada pula keharusan perusahaan merestrukturisasi diri.

Amerika Serikat telah menyimpang dari pakemnya sendiri. Jika AS saja sudah tidak percaya terhadap kredonya sendiri, apalagi yang lain. Mungkin sudah saatnya dunia, seperti dikumandangkan oleh Samuelson, untuk mengucapkan "Selamat Tinggal Perdagangan Bebas".

Telah mati: Liberalisasi ekonomi.(*)

Sumber : ANTARA News

http://www.antara.co.id/arc/2008/10/9/neoliberalisme-telah-mati

Minggu, 05 Oktober 2008

Anomali Politik

Oleh : Ikrar Nusa Bhakti

Suatu hari seorang kawan, mantan aktivis sebuah organisasi ekstra kemahasiswaan, mengirim pesan singkat kepada penulis. Isinya, "Parpol dan politisi tampak seperti remaja dengan masa puber tak berujung. Setiap menjelang pemilu sibuk tebar pesona untuk cari dukungan dan pasangan. Gayanya bagaikan 'Jablay' yang rindu belaian dan cumbuan. Maklum, desakan syahwat berkuasa kuat menggelora."

Hanya dalam hitungan detik, kawan yang sama mengirim SMS lanjutan, "Tapi setelah pemilu usai, gaya mereka berubah aneh-aneh. Ada yang seperti kakek-kakek yang kurang pendengaran dan penglihatan (buta dan tuli terhadap jeritan dan penderitaan rakyat), ada yang seperti kurang gizi dan loyo bekerja (mangkir melulu dan jarang hadir pada sidang-sidang di DPR), ada yang seperti preman yang peras sana peras sini, dan ada yang seperti sakit ingatan lupa akan janji-janji kampanyenya. Itu tadi orang yang dapat kursi dan posisi. Sedangkan yang tidak dapat apa-apa usai pemilu, ya..berubah jadi preman atau orang gila beneran. Aduh..mau jadi apa negeri ini!"

Dua kutipan di atas menunjukkan betapa parpol dan politisi di Indonesia berbuat yang abnormal menjelang dan seusai pemilu. Dalam istilah kerennya, terjadi anomali politik.

Sejarah kehidupan parpol juga penuh anomali politik. Sejak menjelang Pemilu 1955 hingga menjelang Pemilu 2009, perpecahan partai sudah menjadi fenomena politik. Kalaupun tidak pecah, para politisi cakar-cakaran berebut posisi di dalam partai. Tidak heran jika menjelang Pemilu 1955 dan pemilu pasca 1998, bukan penggabungan, melainkan pemekaran partai. Contohnya, menjelang Pemilu 1955 Masyumi pecah dan berdiri NU dan partai Islam lainnya.

Menjelang Pemilu 1999, PPP yang merupakan satu-satunya partai Islam era Orde Baru, pecah berkeping-keping. Berdirilah PKB, PBB, PAN, Partai Keadilan (PK) dan sebagainya. PDI dan Golkar juga mengalami nasib yang sama. Kino-kino yang dulu jadi tulang punggung Golkar, ada yang menjadi partai politik, contohnya Partai MKGR. PDI juga pecah ada yang menggunakan nama PNI Massa Marhaen, ada PNBK, ada Partai Damai Sejahtera dsb.

Menjelang Pemilu 2004, perpecahan terjadi lagi, mereka yang dulunya menyatu di PPP, mendirikan partai baru, PBR. Mereka yang dulu pendukung Golkar juga mendirikan partai baru, Partai Patriot. Hanya satu partai Islam yang tetap solid, walau berganti nama, PK menjadi PKS. Muncul pula partai baru, Partai Demokrat.

Menjelang Pemilu 2009, mereka yang berideologi nasionalis juga muncul lagi. PDI-P pecah dengan terbentuknya partai baru, PDP. Partai berhaluan marhaenisme atau islamisme juga banyak bermunculan. PAN pecah dan berdiri partai baru, PMB yang diusung para aktivis pemuda Muhammadiyah. Mereka yang dulu di Golkar dan Partai Demokrat juga mendirikan Partai Hanura, Partai Gerindra dan Partai Barnas. Perpecahan internal juga terjadi di PPP, Partai Golkar, dan PKB.

Perpecahan, perseturuan, perebutan kursi caleg menjelang pemilu tampaknya sudah menjadi 'the name of the game' dalam kehidupan kepartaian di Indonesia. Jika kalah dalam pengambilan keputusan atau perebutan kursi jabatan dalam partai, bukannya menerima, melainkan hengkang dan mendirikan partai baru.

Padahal, fatsun politik normal dan berlaku di banyak negara demokrasi ialah mereka yang menang tetap memberi tempat pada yang kalah. Sebaliknya, mereka yang kalah tetap menyatu dalam partai dan memberi dukungan penuh pada calon presiden atau perdana menteri yang diusung oleh partai tersebut.

Contohnya, Hillary Clinton mendukung penuh Barack Obama sebagai capres pada Konvensi Nasional Partai Demokrat di Amerika Serikat walau ia merupakan seteru kuatnya sebelumnya.

Meski tidak terkait dengan soal kepartaian, anomali politik juga terjadi dalam hubungan antara Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla belakangan ini. Wapres Kalla diminta Majelis Rakyat Thailand Selatan dan Pemerintah Thailand agar menjadi mediator dalam perundingan rahasia menyelesaikan masalah di provinsi Thailand Selatan yang mayoritas Islam.

Politik yang normal mengajarkan, selama persoalan trust antara kedua kelompok yang bertikai masih rendah, maka pertemuan dilakukan rahasia. Namun apa lacur, agar pamor SBY tinggi JK, Jubir SBY Dino Patti Djalal justru membeberkan pada pers, Indonesia diminta Thailand menyelesaikan persoalan Thailand Selatan. Untuk itu Presiden SBY, katanya, memberi mandat Wapres Kalla menjadi mediator dalam pertemuan di Istana Bogor.

Kontan saja Pemerintah Thailand menyangkal adanya permintaan itu. Suatu anomali politik akhirnya menjadi 'political blunder' dalam upaya RI membantu penyelesaian konflik antara pemerintah Thailand dan rakyat Thailand Selatan.

Entah kapan anomali politik berakhir. Jika saja konsolidasi demokrasi berjalan baik dan para politisi menyatukan langkah memerbaiki kondisi negara yang carut marut, mungkin Indonesia tak lagi terpuruk di usianya yang sudah 63 tahun ini.

Penulis adalah profesor riset bidang intermestic affairs di LIPI [L4]

Sumber : http://www.inilah.com/berita/celah/2008/09/27/52080/anomali-politik/

Sabtu, 20 September 2008

Kekuatan Parpol pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti

Herbert Feith bisa disebut sebagai "Bapak Studi Politik Indonesia Modern".

Buku klasiknya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menelurkan banyak konsep, dari tipe kepemimpinan administrator dan solidarity maker, "politik aliran," pembagian ideologi parpol pada 1950-an, sampai "demokrasi konstitusional" (berbasis konstitusi dan konstitusionalisme). Feith juga mewariskan model kajian pemilu, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.

Memperingati 10 tahun reformasi, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), The Habibie Center, dan The Herb Feith Foundation mengadakan seminar, 21-22 Mei 2008, bertema "The Rise of Constitutional Democracy in Indonesia," kebalikan judul buku almarhum. Ini pertanda, roh demokrasi konstitusional yang terkubur sejak tahun 1959 bangkit kembali sejak 1998.

Tipologi parpol

Feith membagi tipologi parpol di Indonesia atas dasar ideologi politik. Paling kiri dianut Partai Komunis Indonesia), agak ke tengah (komunis nasionalis) Partai Murba, ke kanan (sosial demokrat) Partai Sosialis Indonesia (PSI), di tengah ada nasionalisme kerakyatan Partai Nasional Indonesia (PNI), agak ke kanan ada partai-partai Islam modern (Masyumi dan Persis), tradisional (NU), dan yang bertipe solidarity maker bercampur traders (PSII).

Ada juga partai-partai nasionalis kecil, seperti PIR (Partai Persatuan Indonesia Raya), Parindra (Partai Indonesia Raya), PNI-Merdeka, SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia), Partai Buruh dan lainnya. Dua partai beraliran Kristen, Parkindo dan Partai Katholik, tidak dikategorikan partai agama, karena Kristianitas dan nasionalisme berbaur hanya untuk menunjukkan eksistensi kaum minoritas.

Dari peta dukungan politik, juga tampil gambaran yang jelas. PNI didukung priayi Jawa dan Bali. Masyumi didukung individu dan organisasi Islam (Muhammadiyah, NU, Persis), entrepreneurs, politisi berpendidikan tradisional Islam dan Barat, berbasis di pedesaan dan perkotaan Jawa, Sumbar, sebagian Kalimantan.

Basis NU setelah keluar dari Masyumi adalah Islam tradisional sinkretis, khususnya di Jawa, Kalimantan, Sulsel. Partai Murba didukung para mantan gerilya, buruh kerah putih tingkat rendah yang tidak terakomodasi politik mereka di PNI, PKI, atau PSI. PKI basisnya petani dan buruh di Sumatera dan Jawa. PSI adalah kumpulan sosial demokrat berpendidikan Barat karena itu faham sosialisme bercampur liberalisme dan kapitalisme Barat. PSII berbasis pedagang di Jawa dan Sumatera yang ingin eksis menandingi pedagang China.

Peta kekuatan politik 2009

Meski zaman telah berganti, dengan modifikasi dan minus komunisme, tipologi parpol Herb Feith tampaknya masih sahih. Indonesia belum beranjak dari sistem multipartai yang mencontoh Belanda atau Eropa Kontinental 1940-an. Rencana sistem partai tunggal era Soekarno, atau tiga partai di era Soeharto—PDI-Golkar-PPP—semua gagal.

Menjelang Pemilu 2009, tipologi partai mirip 1950-an. Misalnya, Sosialis kiri (Partai Buruh); sosial demokrat dianut Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB); nasionalis kerakyatan (PDI-P, PDP, PNI Massa Marhaen, PNBKI); nasionalis borjuis (Golkar, Hanura, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Barnas); Islam modernis (PAN, PMB, PKS, PBB dan separuh PPP); Islam dan Sosialis (PBR); Islam tradisionalis (PKB, PNU; separuh PPP plus partai beraliran NU); partai-partai kecil beraliran campuran, sosialisme dan nasionalisme.

Dari sisi kepemimpinan, ada yang menerapkan gaya demokratik egalitarian, aristokrasi Jawa (ada Dewan Pembina); saudagar besar atau eceran (partai ibarat perusahaan); fasis militeristik (gaya komando); tradisional/modern agamis, atau asas kekeluargaan. Namun, hampir semua tokoh parpol bertipe kepemimpinan solidarity maker, ketimbang administrator.

Dari sisi platform ekonomi, ada yang berbasis ekonomi pasar, ekonomi kerakyatan, atau ekonomi syariah. Hampir semua partai nasionalis—PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerinda, Partai Hanura, Partai Barnas—mengampanyekan ekonomi kerakyatan. Namun, partai mana yang menerapkan ekonomi kerakyatan dan kapitalistik, neoliberal dan tunduk pada ekonomi pasar, rakyatlah yang menilai. Tak ada satu partai Islam berani mengembangkan ekonomi syariah. Keuangan dan perbankan syariah yang kini berkembang tak beda jauh dengan perbankan umum. Anehnya, justru lembaga keuangan umum (asing dan nasional) lebih sukses menerapkan ekonomi syariah.

Dari platform bangunan masyarakat sipil Indonesia, semua parpol mendukung pluralisme dan multikulturalisme. Jika pun ada yang coba menerapkan homogenisme atau eksklusivisme agama, tidak akan laku pada tataran elite atau massa. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mendukung negara kebangsaan dan multikulturalisme.

Pengelolaan partai

Dari peta basis massa, partai berbasis nasionalis kerakyatan dan borjuis akan bertarung di antara sesamanya, juga yang berbasis Islam tradisionalis/modern. Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah nasionalis. PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Hanya PBB yang secara "jantan" mengampanyekan Syariat Islam. Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para pendukung tradisionalnya.

Pemilu legislatif pada 9 April 2009 menjadi medan pertarungan demokratik yang menentukan, partai mana akan secara permanen terhapus dari peta politik Indonesia dan mana yang berjaya. Hanya partai-partai yang dikelola secara serius akan kian berjaya pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Dalam : http://www.indonesiamemilih.com

Pergeseran Geopolitik Menjelang 2009

Oleh : SUWARDIMAN

Geopolitik pada Pemilu 2009, bisa jadi, sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pergeseran penguasaan wilayah kemungkinan akan banyak diwarnai oleh tumbuhnya kepercayaan diri partai pascapemilihan kepala daerah. Karena itu, laju pergeseran dominasi Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mungkin tidak semulus dulu.

Setelah kekuasaan rezim Orde Baru runtuh, dominasi kekuatan politik tetap dipegang oleh dua kekuatan partai lama, Partai Golkar dan PDI-P. Partai Golkar berjaya di luar Jawa dan PDI-P di Pulau Jawa. Selama dua pemilu terakhir, peta kekuatan terus berubah.

Pertarungan politik pada Pemilu 1999 yang melibatkan 48 parpol dimenangi oleh PDI-P yang merebut 33,74 persen suara, mengalahkan Partai Golkar yang hanya berhasil merebut 22,4 persen suara. PDI-P berhasil menang di 166 kabupaten/kota, sementara Golkar hanya mampu menguasai 114 wilayah.

Satu periode sesudahnya, Partai Golkar kembali mendominasi peta politik secara nasional. Sebanyak 271 kabupaten/kota dikuasai partai berlambang beringin itu dengan total suara 21,57 persen, sedangkan PDI-P hanya mampu menguasai 89 kabupaten/kota dengan perolehan 18,53 persen suara. Partai ini juga hanya mampu mempertahankan 72 kantong massanya, dan kehilangan 22 lainnya. Meski PDI-P mampu membentuk kantong massa baru di 18 kabupaten/kota, parpol itu gagal mempertahankan Megawati Soekarnoputri untuk tetap duduk di kursi nomor satu negeri ini.

Jawa-Bali

Penyusutan kekuatan PDI-P pada Pemilu 2004 membuat partai politik ini cuma mampu menguasai 55 kabupaten/kota di Jawa dan Bali. Padahal, kantong massa yang paling kuat bagi PDI-P pada Pemilu 1999 adalah wilayah Jawa dan Bali, dengan penguasaan 142 kabupaten/kota.

Ini berarti, penguasaan wilayah Jawa dan Bali oleh PDI-P turun drastis dari 86,6 persen menjadi 44,4 persen. Sebaliknya, Partai Golkar, yang pada tahun 1999 hanya mampu memenangi empat kabupaten di Pulau Jawa dan Bali, berhasil mengusai 31 daerah pada Pemilu 2004.

Menurunnya penguasaan wilayah oleh PDI-P di kawasan Jawa dan Bali menguntungkan bagi sejumlah partai berbasis massa Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PKB meningkatkan dominasinya di 24 kabupaten/kota dari sebelumnya 14 daerah pada tahun 1999. Demikian juga PPP, menambah satu daerah pemenangan.

Kantong-kantong massa PDI-P di luar Jawa dan Bali juga banyak yang berguguran dan dikuasai partai-partai lain. Kemenangan PDI-P di 69 kabupaten/ kota luar Jawa-Bali pada tahun 1999 pun terkikis separuhnya, hanya menyisakan 34 daerah yang mereka kuasa pada Pemilu 2004.

Partai Golkar membuktikan kemenangannya di 240 kabupaten/kota atau sekitar 76,2 persen daerah di luar Jawa dan Bali pada Pemilu 2004. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagai partai politik baru, sukses memenangi perolehan suara di 12 daerah, separuhnya adalah daerah di Pulau Jawa.

Pilkada dan koalisi

Hingga pertengahan tahun 2008, pemilihan kepala daerah langsung sedikitnya sudah diselenggarakan di 356 kabupaten/kota dan 24 provinsi. Namun, banyak partai yang memiliki basis massa kuat pada Pemilu 2004 terbukti tidak mampu mengandalkan modal suara yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan calonnya di pilkada.

Partai Golkar, misalnya, gagal mengantar pasangan calonnya menjadi gubernur Sulawesi Utara. Partai yang memiliki modal suara 32,32 persen saat Pemilu 2004 di Sulut itu harus mengakui kemenangan PDI-P di wilayah itu. Golkar juga gagal menggiring calon gubernurnya di basis massanya di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Kekuatan satu partai akan tergambar jelas jika partai yang bersangkutan menjadi pengusung tunggal dan bukan koalisi. Namun, tidak banyak parpol yang cukup percaya diri mengusung pasangan calonnya secara tunggal. Bahkan, untuk daerah-daerah yang tercatat sebagai basis massanya pada pemilu legislatif 2004, banyak parpol yang berkoalisi dengan partai lain yang lebih kecil untuk bisa berhasil memenangi pilkada.

Analisis terhadap 352 kabupaten kota dan 24 provinsi yang sudah menyelenggarakan pilkada langsung selama tiga tahun terakhir menunjukkan, seratus bupati/wali kota dan delapan gubernur terpilih sukses diusung oleh partai tunggal. Selebihnya hasil koalisi partai yang mujarab mengusung pasangan calon meraih kursi nomor satu di daerah.

Partai Golkar tercatat sebagai motor politik yang paling banyak berhasil mengegolkan pasangannya menjadi bupati dan wali kota. Sebanyak 151 pasangan calon bupati/wali kota berhasil dimenangkan, sebanyak 54 di antaranya diusung secara tunggal. Disusul oleh PDI-P yang berhasil mengegolkan 96 pasangan calon menjadi kepala daerah di tingkat kabupaten/kota, sebanyak 26 di antaranya diusung secara tunggal.

PDI-P sukses menjadi pengusung tunggal untuk enam gubernur terpilih dari 12 provinsi yang mereka menangi. Partai Golkar sendiri hanya mampu mengusung empat gubernur terpilih, dua di antaranya sebagai pengusung tunggal

Perubahan peta politik dari hasil pemilu ke pilkada tergambar paling jelas di wilayah basis massa partai-partai nasionalis, terutama peralihan dominasi suara dari Golkar ke PDI-P dan sebaliknya.

Di tingkat kabupaten/kota, Golkar mampu mempertahankan 40 daerah basis massanya dengan memenangi pilkada sebagai pengusung tunggal. Namun, Golkar kalah di sepuluh kantong massanya saat menjadi pengusung tunggal di pilkada.

Sebanyak empat di antaranya dimenangi oleh PDI-P sebagai pengusung tunggal. Daerah Golkar yang dimenangi PDI-P tanpa koalisi adalah Kabupaten Timor Tengah Utara, Teluk Bintuni, Musi Rawas, dan Maluku Utara Barat. Di level provinsi, calon dari PDI-P juga merebut empat daerah Golkar tanpa koalisi, yaitu Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Namun, PDI-P juga kalah di delapan kabupaten/kota saat menjadi pengusung tunggal.

Delapan daerah yang saat Pemilu 2004 menjadi basis massa PDI-P dimenangi oleh Golkar tanpa koalisi saat pilkada, yaitu Kabupaten Karangasem (Bali), Sumba Barat, Blora, Boyolali, Purworejo, Klaten, Grobogan, dan Lampung Timur. Di level provinsi, tidak ada gubernur yang dimenangkan oleh Golkar di luar basis massanya.

Sementara itu, dari sejumlah calon yang diusung secara tunggal oleh Partai Keadilan Sejahtera, empat kabupaten/kota dimenangi partai ini. Dua daerah merupakan basis massa PKS saat Pemilu 2004, sementara dua lainnya merebut kantong massa Golkar dan PDI-P, yaitu Kabupaten Bekasi dan Bangka Barat.

Partai Amanat Nasional memenangi lebih banyak pilkada di luar wilayah basis massanya. Dari lima daerah yang calonnya diusung tunggal oleh PAN, tiga daerah merupakan basis Golkar, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang, Pesisir Selatan, Gunung Kidul, dan satu daerah basis PKB, yaitu Lamongan.

Pilkada seharusnya menjadi ujian bagi partai-partai besar menuju pesta akbar demokrasi tahun depan. Dari sini seharusnya bisa diukur apakah basis massa yang dimiliki parpol riil atau semu. (Litbang Kompas)

Sumber : http://www.indonesiamemilih.com

Pergeseran Kekuatan Partai Nasionalis dan Islam 1955 - 2004

Oleh BAMBANG SETIAWAN


Penetrasi kekuatan Orde Baru telah mampu mengubah peta politik di luar Jawa. Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang, warna politik nasionalis pun masih tetap kental di luar Jawa. Sementara di Jawa, komposisi nasionalis-agama cenderung kembali seperti Pemilu 1955.

Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 29 September 1955 dan diikuti oleh sekitar 172 peserta pemilu telah memetakan untuk pertama kalinya kekuatan-kekuatan partai politik dominan di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil pemilu yang dilaksanakan di 15 daerah pemilihan (dapil) menunjukkan cukup berimbangnya kekuatan partai-partai berbasis massa nasionalis dan komunis dengan partai-partai berakar massa Islam. Sekitar 43,71 persen pemilih memberikan suaranya untuk Masyumi, NU, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa partai kecil lainnya. Sebaliknya, sekitar 46,86 persen pemilih lainnya memberikan suaranya untuk partai-partai yang berhaluan nasionalis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), berhaluan komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), atau berhaluan sosialis semacam Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan juga kepada partai-partai dengan akar pluralis lainnya.

Delapan kali pemilu berikutnya telah mengubah cukup banyak perimbangan kekuatan geopolitik. Faktor penting pertama adalah hilangnya pengaruh Masyumi dalam pemilu yang kedua (1971).

Penciutan partai

Tahun 1959 adalah saat genting dalam kepartaian Indonesia. Setelah kebebasan yang dipertontonkan empat tahun sebelumnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Pnps No 7 Tahun 1959 yang membatasi gerak partai. Tekanan terhadap partai semakin berat setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No 128 Tahun 1960 yang menyatakan, partai yang diakui pemerintah hanyalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti, dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.

Dalam Pemilu 1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat dengan menguasai 20,92 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya (26,12 persen), Sumatera Selatan (43,13 persen), Sumatera Tengah (50,77 persen), Sumatera Utara (37 persen), Kalimantan Barat (33,25 persen), Sulawesi Tenggara Selatan (39,98 persen), dan Maluku (35,35 persen).

Pembubaran Masyumi pada tahun 1960 betul-betul merupakan pukulan telak bagi kekuatan politik Islam. Sebagian wilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi memang tetap memiliki karakter sebagai basis massa Islam yang kuat ketika pemilu kembali dilaksanakan secara bebas, seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, kebanyakan dari wilayah lain di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis partai nasionalis. Wilayah Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan yang dulu menjadi basis Partai NU dan Masyumi, juga telah berubah menjadi basis massa partai nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah "hijau" yang 67 persen suaranya dikuasai oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif permanen dengan warna "kuning" Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulewesi Selatan, wilayah yang 69 persen dikuasai oleh partai "hijau" pada tahun 1955, telah berubah 180 derajat. Pada Pemilu 2004, 69,8 persen suara dikuasai oleh partai nasionalis.

Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 peserta (Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba) pada dasarnya tidak mencerminkan kekuatan partai sesungguhnya karena berada di bawah tekanan aliansi militer, birokrasi sipil, dan golongan fungsional lainnya yang tergabung dalam Golkar.

Kekuatan partai berbasis massa Islam pun langsung anjlok hampir setengahnya, menjadi 27,12 persen. Juga dalam pemilu-pemilu Orde Baru berikutnya, kekuatan partai berbasis massa Islam nyaris lumpuh.

Kebebasan kedua

Runtuhnya kekuasaan otoriter Soeharto menjadi peluang bagi partai-partai Islam di pentas politik nasional. Dalam Pemilu 1999, terbukti partai-partai berbasis massa Islam mampu meraih kembali simpati pemilih. Meski tidak seperti tahun 1955, kayuh politik partai-partai nasionalis mulai berat melaju. Dalam pemilu pertama setelah kejatuhan rezim Orde Baru itu, dominasi partai-partai nasionalis masih dominan, tetapi menurun menjadi sekitar 61,04 persen dari sebelumnya yang 77,57 persen.

Partai berbasis massa Islam pada pemilu itu mendapatkan suara 37,54 persen (terbesar adalah suara yang dihimpun oleh PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK). Perolehan suara untuk partai-partai berakar Islam tampaknya mulai stabil setelah Pemilu 2004. Tidak banyak komposisi yang berubah. Di pemilu tersebut, tujuh partai berakar Islam (PKB, PPP, PAN, PKS, PBB, PBR, PPNUI) menghimpun 38,33 persen suara. Namun, dari aspek penguasaan wilayah masih tertinggal jauh dari partai-partai umum berhaluan nasionalis. Dari 32 provinsi yang ada pada Pemilu 2004, hanya dua daerah yang dimenangi oleh partai berbasis massa Islam, yaitu PKS (Jakarta) dan PKB (Jawa Timur), selebihnya didominasi oleh Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada Pemilu 1955, dominasi partai nasionalis hanya di dua dari 15 daerah pemilihan.

Kembalinya sistem multipartai dalam sistem politik demokrasi Indonesia akan membawa pengaruh pada terpetakannya secara bebas kekuatan-kekuatan politik dominan. (Litbang Kompas)


Sumber BAMBANG SETIAWAN dalam Website indonesiamemilih



Minggu, 07 September 2008

Opini : Duduk Soal Perda Syariah

Oleh

Prof. Dr. Bahtiar Effendy *)

Sebagai bukan ahli hukum, saya tidak tahu apakah hal yang seperti ini (bermunculannya perda- perda syariah) merupakan perkembangan yang merisaukan atau bukan bagi Indonesia dan demokrasi yang sedang tumbuh.

Akan tetapi, sebagai orang yang mengamati Islam dalam konteks pembangunan politik Indonesia, ada beberapa catatan yang dapat diberikan. Dalam konteks perundang-undangan Islam di tingkat nasional, menarik melihatnya sebagai bentuk akomodasi parsial negara terhadap Islam.

Hal ini merupakan penafsiran paling memungkinkan bagi rumusan bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler. Rumusan ini terinspirasi dari sebagian isi preambule UUD 1945 dan beberapa pasal di dalam UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan agama. Lebih mencolok lagi, ini merupakan kelanjutan logis dari adanya Kementerian Agama.

UUD pada dasarnya mengatakan bahwa negara menjamin kebebasan warganya dalam menjalankan ajaran agamanya. Klausul ini bisa berarti bahwa orang Islam dijamin kebebasannya didalam menjalankan ajaran agama Islam.

Jika mereka percaya bahwa orang yang mencuri itu hendaknya dipotong tangannya, secara teoretis mereka diperbolehkan oleh UUD 1945 untuk menjalankan ajaran atau pemahaman keagamaan seperti itu. Demikian pula dengan soal perzinaan, pembunuhan, dan sebagainya.

Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang Islam, dalam jumlah yang amat banyak, menganut paham bahwa orang yang mencuri harus dipotong tangannya. Bisa saja mereka berpaham bahwa orang yang mencuri diputus kekuasaannya atau kesempatannya untuk mencuri.

Akan tetapi, karena negara Indonesia bukan negara teokrasi atau negara agama, tidak serta-merta pandangan mengenai paham keagamaan seperti itu bisa dilaksanakan. Pernah ada orang yang memotong jari anaknya yang mencuri, dia dikenai hukuman.

Demikian pula ketika Ja’far Umar Thalib menghukum rajam salah seorang pengikutnya, yang mengaku berbuat zina, dan minta dirajam, yang bersangkutan juga dikenai hukuman. Untuk menghindari hal yang sedemikian ini, agar terdapat keserasian hukum antara pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan KUHAP, negara perlu ikut mengatur kehidupan beragama.

Hingga kini yang paling memungkinkan untuk diatur atau diakomodasi oleh negara adalah hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti telah disebutkan di atas. Itu pun, menurut Munawir Syadzali, bersifat "sukarela". Mereka yang tidak merasa nyaman bisa pergi ke lembaga peradilan umum.

Sementara syariat Islam yang berkaitan dengan hukum pidana sulit atau tidak bisa diakomodasi. Pertimbangan-pertimbangan politik mengharuskan negara untuk melakukan akomodasi seperti itu. Itu semua dilakukan dalam rangka mencari jalan tengah, jalan yang paling memungkinkan seperti dalam kasus Aceh.

Pertimbangan-pertimbangan politik, daripada NKRI pecah, Aceh diberi status khusus dengan kewenangan yang jauh lebih luas dibandingkan daerah-daerah lain. Kewenangan yang diberikan kepada Aceh untuk mengelola daerah tersebut menurut hukum Islam merupakan inti pembeda tersebut.

Tidak banyak daerah yang diberi kewenangan khusus. Meski demikian, reformasi dan perkembangan politik pasca mundurnya Presiden Soeharto mengharuskan pemerintah pusat untuk memberi otonomi seluas-luasnya kepada daerah - kecuali beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan moneter/ fiskal, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, dan politik luar negeri.

Perkembangan politik demokrasi membangkitkan kemandirian daerah, termasuk dalam menyusun peraturan daerah. "Perda syariah" (saya tidak tahu pasti apakah istilah ini benarbena r dipakai oleh pemerintah kabupaten dan kota) harus diletakkan dalam konteks ini.

Dalam pandangan daerah, meski tidak lepas dari motivasi-motivasi politik, jika pusat memiliki kewenangan membuat undang-undang yang berbau syariat Islam dan Aceh juga demikian pula adanya, apa "salahnya" (dalam pengertian diskriminasi, mengancam NKRI, bertentangan dengan UUD 1945 dan ideologi Pancasila, berlawanan dengan hak asasi manusia/HAM) jika daerah juga membuat perda yang berbau syariah?

Tentu, tidak semua "perda syariah" itu masuk akal atau penting bagi kemajuan suatu daerah. Bahkan, mungkin saja perda-perda itu justru menghambat perkembangan daerah. Melarang wanita untuk keluar rumah setelah pukul 9 malam adalah jenis peraturan daerah yang tidak masuk akal.

Demikian pula keharusan untuk bisa membaca Alquran atau menjadikan kemampuan membaca Alquran sebagai faktor dalam menentukan posisi birokratis seorang pejabat publik. Dalam konteks yang telah disebutkan, tidak bisa perda-perda tersebut serta-merta dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Pancasila atau UUD 1945.

Tidak pula bisa dipandang sebagai hal yang otomatis membahayakan NKRI atau bertentangan dengan HAM. Saya tidak yakin aturan-aturan tersebut dibuat untuk dikenakan kepada semua penduduk daerah.

Soal membaca Alquran atau berbusana muslim pasti diperuntukkan bagi pegawai-pegawai muslim. Meski demikian, penting juga para pembuat perda itu diingatkan bahwa apa yang disebut busana muslim juga sesuatu yang multi tafsir - karenanya tidak bisa dipaksakan.

Tata cara berpakaian dalam Islam, bukan dalam ibadah ritual tertentu seperti ketika melaksanakan sembahyang atau haji, lebih disemangati oleh prinsip decency, kesopanan, dan kewajaran sesuai dengan tradisi masyarakatnya. Dalam hal-hal tertentu di pemerintahan dibolehkan adanya peraturan peraturan yang bersifat spesifik atau berlaku khusus.

Sebab hal ini berkaitan dengan posisi-posisi khusus yang mengharuskan kemampuan spesifik. Soal kemampuan membaca Alquran, misalnya. Bisa saja hal ini diberlakukan dalam posisi-posisi tertentu yang berkaitan dengan soal agama Islam.

Misalnya, soal posisi imam besar sebuah masjid negara. Demikian pula hakim-hakim yang mengurusi soal keagamaan Islam. Juga bagi mereka yang memiliki kewenangan untuk menikahkan atau menceraikan warga negara menurut hukum Islam.

Akan tetapi, meskipun boleh, pencantuman persyaratan khusus juga tidak mesti harus diadakan. Tanpa aturan khusus, orang yang bakal diberi jabatan imam besar pasti adalah orang yang bacaan Alqurannya istimewa. Dalam konteks jabatan seperti itu, kemampuan tersebut sudah bersifat inheren.

Pencantuman keterampilan khusus hanya bersifat redundant, pengulangan yang tidak perlu. Karena itu, perda-perda tersebut tidak perlu untuk dilihat dalam konteks melanggar atau bertentangan dengan Pancasila/UUD 1945. Yang demikian bisa merupakan "jauh panggang dari api".

Untuk itu, saya ingin mengajak kita semua melihat persoalannya secara lebih pas. Semuanya harus diletakkan dalam aturan main dan realitas politik yang ada.

Kenyataan bahwa UUD 1945 mencantumkan bab soal agama (dengan segala tafsirannya) - bahwa pemerintah pusat beserta DPR juga mengundangkan sesuatu yang sebanding dengan "perda syariah", bahkan lebih luas cakupannya dan bahwa Aceh merupakan daerah yang kental warna perda syariatnya - hendaknya itu semua menjadi pertimbangan penting di dalam melihat kasus ? perda syariah?.

Jika "perda syariah" dilihat dari kacamata melawan atau menentang Pancasila dan UUD 1945 atau bahkan mengancam atau membahayakan kelangsungan NKRI atau secara ideologis dan teritorial bertentangan dengan NKRI, bagaimana UUPA, dan undang-undang Islam lain yang disahkan DPR itu harus dilihat? Demi keadilan, bukankah kita harus melihatnya dalam kacamata yang sama?

Bersediakah kita melihat bahwa UUPA atau undang-undang tentang zakat, infak, dan sedekah dalam konteks membahayakan NKRI? Sebaliknya, para pelopor ? perda syariah ? yang sebagian besar justru bukan para aktivis partai Islam hendaknya menahan diri untuk tidak menonjolkan simbol.

Jika "perda syariah" itu (hanya) sibuk mengatur soal baju, lama waktu baca Alquran, atau keharusan salat berjamaah, hal tersebut justru mereduksi makna syariat dalam kehidupan muslim. Jika itu yang dilakukan, sebenarnya ? perda syariah? yang seperti itu bertentangan dengan trademark ?Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam?.

Mestinya, tanpa harus menciptakan hal-hal yang tidak perlu, para pembuat perda itu merumuskan peraturan yang dengan semangat prinsip dan etika Islam untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, memerangi kebodohan, dan membuat masyarakat lebih mampu mengarungi kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang masih serbatidak pasti ini.

Apa yang disebut dengan "perda syariah" mestinya diuji dari segi isi, kepatutan, dan kelayakannya. Bukan dari sifat simbolik yang menyertainya, terlebih jika hal tersebut terkait dengan bias ideologis dan politis yang ada dalam sejarah kita.

Bisa saja sebuah daerah membikin perda yang isinya adalah keharusan untuk memperkuat cinta Tanah Air, sebab cinta Tanah Air itu bagian dari iman.Tanpa memakai kata sifat syariah, perda seperi ini oleh sebagian orang pasti akan dilihat sebagai perda syariah.

Pengaitan, secara sadar atau tidak sadar, perda syariah dengan perlawanan atau pertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 hanya akan membuka stigma lama yang sudah secara susah payah kita usahakan untuk selesai?? meski belum tuntas.

Membuka stigma sejarah lama, yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila, inilah sebenarnya yang bisa mengancam kelangsungan NKRI.(*)

*) Prof. Dr. Bahtiar Effendy, adalah Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta


Sumber : Okezone

Senin, 01 September 2008

Cheng Ho Ikon Soft Power Cina

Oleh : A. Dahana

SEJAK peristiwa September 2001, Amerika Serikat bagaikan banteng terluka. Itu tercermin di dalam sepak terjang globalnya.
Berdasarkan pada asumsi bahwa cara terbaik dalam mempertahankan diri adalah menyerang, maka Afganistan diserbu. Kemudian Irak mendapat giliran walaupun tak didapatkan bukti konkret bahwa rezim Saddam Hussein punya hubungan atau melindungi para dedengkot Al Qaeda.
Dengan kata lain, dalam menjalankan kebijakan luar negerinya AS di bawah Presiden George W.Bush sangat mengandalkan hard power.
Sebaliknya Cina sebagai kekuatan yang tengah bangkit dan diperkirakan bakal mampu menyaingi AS, menggunakan siasat lain. Ia sadar betul bahwa taktik politik global yang digunakan mendiang Mao Zedong untuk mendongkrak citra Cina pada masa lalu salah karena lebih menekankan pada kekerasan, ekspor revolusi dan mengeksploatasi kontradiksi di kalangan musuh.
Cara yang dikenal sebagai 'taktik Maois' itu ternyata telah membuat Cina tak populer, bahkan di kalangan negara 'Dunia Ketiga' yang ditargetkan untuk menjadi sekutu menentang hegemoni adikuasa.
Oleh sebab itu sejak awal dasawarsa 1980-an, Cina, untuk membuat dirinya populer secara global menggunakan cara yang sangat halus. Dengan cerdik ia menggali sejarah dan menggunakan pengalaman masa lalu dalam hubungan antara Cina dengan negara-negara sekitarnya, terutama Asia Tenggara.
Cheng Ho adalah salah satu figur sejarah yang dieksploatasi untuk melambungkan posisi Cina itu.
Menurut sumber sejarah Cina, Cheng Ho adalah seorang laksamana laut yang selama 17 tahun (1405-1423) - pada tahun-tahun awal Dinasti Ming (1368-1644) - telah memimpin tujuh pelayaran kolosal pada masa itu ke berbagai wilayah selatan dan bertindak sebagai duta untuk memperkenalkan dan mempopulerkan Dinasti Ming yang baru saja berkuasa setelah meruntuhkan Dinasti Yuan (Mongol, 1279-1368).
Cheng Ho berasal dari keluarga Muslim, lahir di Xinjiang, dan kemudian dipekerjakan sebagai orang kasim di Keraton Ming.
Sebagai seorang kasim yang dipandang rendah para pejabat istana, ia tokoh luar biasa. Karirnya menanjak sangat pesat dan akhirnya diangkat sebagai laksamana dan mendapat kepercayaan dari Yong Le, kaisar kedua Ming untuk memimpin ketujuh ekspedisi laut itu ke wilayah selatan, khususnya untuk mengembalikan kewibawaan kekaisaran Cina baik secara militer maupun budaya.
Di Palembang ia menangkap seorang pemberontak yang dituduh sebagai bajak laut. Dia dibawa ke Cina dan dihukum pancung di muka kaisar.
Di Sailan ia menahan dan membawa ke Beijing seorang raja lokal yang dianggap tak menghormati Cheng Ho yang nota bene utusan kaisar Cina. Namun, si raja lokal yang 'tak tahu aturan' itu diampuni dan dikembalikan ke negerinya.
Seperti yang disebutkan di atas, tujuan utama pelayaran itu adalah untuk memamerkan kekuatan militer dan keluhuran kebudayaan Cina. Di samping itu juga memulihkan hubungan tributer antara Cina dan negara-negara di belahan bumi selatan yang terputus menjelang keruntuhan Yuan.
Namun, kini yang dieksploitasi oleh Cina adalah latar belakang Cheng Ho yang Muslim. Sekarang ia digambarkan sebagai seorang Muslim saleh yang berperan besar dalam menyebarkan Islam serta melakukan kontak dengan masyarakat Muslim lokal yang memang sejak satu abad sebelum itu sudah ada di sana.
Catatan yang dibuat Ma Huan, seorang Muslim yang mendampingi Cheng Ho dalam tiga dari tujuh pelayaran itu, antara lain menggambarkan anak buah armada Cheng Ho yang berasal dari berbagai latar belakang agama, etnis, dan keahlian teknis.
Secara tak langsung ini menunjukkan tentang adanya bibit multikultalisme di kalangan orang-orang yang dekat dengan Cheng Ho. Pendekatan itu nampaknya cukup berhasil.
Sejak makin dipopulerkannya nama Cheng Ho, di Indonesia saja telah beberapa kali diselenggarakan berbagai seminar dan diskusi mengenai peran Cheng Ho sebagai duta kebudayaan dan dalam proses Islamisasi di Jawa khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya.
Kini telah muncul teori mengenai 'arus Cina', di samping 'arus Arab' dan 'arus India' dalam Islamisasi di Indonesia. Cheng Ho telah dijadikan ikon untuk melambangkan persahabatan antara Cina dan Asia Tenggara.
George W Bush mestinya membaca riwayat hidup Cheng Ho dan belajar dari cara yang digunakan Cina untuk menjinakkan musuh, atau yang berpotensi untuk menjadi musuh. Amerika memiliki banyak potensi dan aspek untuk dijadikan ikon dalam upaya tersebut.
Penulis adalah Guru Besar Studi Cina, Universitas Indonesia

Sumber : Inilah [dot] com


Jumat, 29 Agustus 2008

Asyik Ngobrol Sendiri Kepala BIN ''Disemprot'' SBY

Jumat, 29 Agustus 2008


Jakarta, CyberNews. Mungkin karena pemerintahannya banyak dikritik, Presiden SBY kini gampang marah. Buktinya, saat berlangsung rapat kabinet, SBY terpaksa menegur tiga pejabat negara karena terlihat ngobrol saat SBY memberikan pengarahan.

Peristiwa itu terjadi di tengah SBY memimpin rapat kabinet paripurna. Namanya, rapat paripurna banyak materi yang dibahas termasuk pembahasan soal ekspor liquefied natural gas (LNG) Tangguh ke RRC yang diributkan karena dijual dengan harga murah oleh pemerintahan sebelumnya.

Rapat dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla seluruh anggota Kabinet Indonesia Bersatu seperti, Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Menhut MS Kaban, Mensesneg Hatta Radjasa, Kapolri Jenderal Pol Sutanto, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso dan lainnya.

Peristiwa marahnya SBY di tengah akan diambil kesimpulan rapat, SBY menunjuk tiga pejabat tersebut yang sedang ngobrol. "Tolong jangan ngobrol sendiri! Jangan bicara sendiri karena ini masalah penting," kata SBY.

Teguran SBY itu mengarah kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar, Kepala BKPM M Lutfi, dan Kepala BPS Rusman Heriawan.

Salah satu kesimpulan rapat itu seperti yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani, Presiden SBY telah membentuk tim untuk renegosiasi harga jual gas sumur Tangguh ke China yang akan dipimpin Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati.

SBY sendiri menyatakan keputusan untuk renegosiasi harga jual gas Tangguh ke China dilakukan pemerintah setelah mendapat laporan audit dari BPK pada 14 Juni lalu, yang menyebutkan adanya potensi kerugian negara dalam kontrak penjualan yang ditandatangani pada 2002.

"Kalau dipelajari kontrak `sales and purchase` dan tidak diperbaharui disesuaikan dengan harga global yang 120-140 dolar AS, akan besar sekali kerugian negara," katanya.

Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menyatakan kalau itu terjadi sampai SBY menegur pejabat negara yang ngobrol menunjukkan SBY tidak berwibawa. Namun, memang seharusnya para pejabat negara itu memperhatikan dengan seksama materi rapat dan tidak ngobrol.

Suara Merdeka | 29/08/2008 06:33 wib - Nasional Aktual

Sabtu, 23 Agustus 2008

Kesadaran ASI Eksklusif masih Kurang

Mengutip data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI). Departemen Kesehatan menyatakan, hanya 14% ibu di Tanah air yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai 5 bulan.

“Rata-rata bayi hanya diberikan ASI eksklusif kurang dari 2 bulan,” tandas Direktur Bina Gizi Kesehatan Masyarakat Depkes Ina Hernawati di Jakarta, Kamis (7/8). Fenomena ini lanjut Ina berimbas buruk bagi kesehatan balita. Pasalnya, penerlitian di Ghana menunjukan 16% kematian bayi baru lahir bisa dicegah bila bayi disusui pada hari pertama kelahiran.

Angka tersebut tambah Ina, akan meningkat menjadi 22% , jika bayi disusui pada 1 jam pertama setelah kelahiran. Dengan fakta-fakta itu dan jumlah kematian bayi per tahun. WABA (The World Alliance for Breastfeeding Action) memperkirakan 1 juta bayi dapat diselamatkan setiap tahun, jika disusui pada 1 jam pertama kelahirannya dan diberikan ASI eksklusif sampai dengan 6 bulan.

Lebih lengkapnya, hasil survei SDKI Tahun 1997 2003, juga menyebutkan, hanya 55% bayi di bawah usia empat bulan yang diberikan ASI eksklusif. Sedangkan pada usia dua bulan ASI hanya diberikan kepada 64% bayi, 46% pada bayi berumur 2-3 bulan.

Ina menyebutkan, sejatinya, kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap ancaman penyakit dan kekurangan gizi adalah ibu hamil, bayi, remaja dan usia lanjut. Depkes mencatat, dari 10 ibu hamil di Indonesia, kira-kira ada 4 ibu yang menderita anemia gizi besi dan ada 2ibu yang kekurangan gizi.

“Ibu hamil penderita anemia berat atau ibu hamil yang sangat kurus, beresiko mengalami komplikasi perdarahan saat melahirkan. Atau kemungkinan lain, ibu akan melahirkan bayi kecil dan lemah yang rentan terserang penyakit.

Disamping masalah itu kekurangan gizi pada pada balita juga masih banyak ditemui. Dari rata-rata 10 balita, sekitar 2 sampai 3 balita mengalami kekurangan gizi yang apabila tidak diperbaiki gizinya dan diobati penyakitnya, balita tersebut bisa jatuh kedalam kondisi gizi buruk.

Sumber : MIOL (Tlc/OL-2)

Membangun Generasi tanpa Korupsi

Selasa, 12 Agustus 2008 13:00 WIB

Dalam satu atau dua dasawarsa ke depan, mungkinkah di negeri ini bakal hadir generasi tanpa korupsi? Selepas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus-kasus besar yang melibatkan sejumlah anggota DPR, jaksa, para petinggi, gubernur, dan sekian banyak pejabat negara, harapan menuju generasi tanpa korupsi bukanlah sebuah utopia. Kinerja KPK, tentu sangat layak dihormati, meski belum sampai pada prestasi puncak. Masih terlalu banyak kasus korupsi dengan skala raksasa yang dipetieskan dan menunggu pembongkarannya. Pemberantasan korupsi dan berbagai langkah pencegahannya harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan.

Sesungguhnya capaian KPK, betapa pun spektakulernya, akan menggelinding sia-sia jika tidak diikuti dengan serangkaian gerakan pencegahan. Bukankah tindak pencegahan sama pentingnya dengan tindak pemberantasan! Maka, KPK perlu mengembangkan langkah-langkah yang lebih kreatif dan preventif.

Apakah reputasi KPK atas terungkapnya kasus penyuapan Urip Tri Gunawan, Al Amin Nasution, dan kasus korupsi lainnya, akan diselesaikan dengan penuh tenggang rasa atau ditempatkan sebagai momentum menciptakan efek jera. Ternyata, kasus Artalyta Suryani diputuskan tanpa usaha menciptakan efek jera. Vonis atas Artalyta Suryani sesungguhnya telah kehilangan momentum untuk menciptakan efek jera. Kiranya patut dipertimbangkan hukuman maksimal bagi pejabat negara yang korup.

Rencana KPK untuk membuat malu para koruptor dengan menyiapkan baju khusus yang bertuliskan 'koruptor' serta memborgol mereka yang sedang menjalani proses hukum (Media Indonesia, 8/8), patut mendapat sambutan, mesti juga dapat menghadirkan kontroversi. Untuk menciptakan efek jera, cara itu boleh jadi efektif. Dengan cara itu, kengeyelan Artalyta dengan tampilannya yang anggun, pandangan-–yang seolah-olah tak merasa berdosa--Urip Tri Gunawan di persidangan, dan keakraban serta senyum sumringah Al Amin Nasution dalam menjawab pertanyaan wartawan, di masa depan tak bakal kita jumpai lagi pada para koruptor dan pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, jika sejak sekarang dibangun berbagai langkah untuk menciptakan efek jera.

Selain membangun sebuah monumen yang bernama efek jera, sekarang pula saatnya KPK membuat fondasi yang kukuh untuk menciptakan generasi tanpa korupsi. Dalam konteks itu, KPK harus sudah mulai bersiap-siap membuat ribuan poster besar dengan wajah para koruptor. Dalam poster itu disertakan semacam biografi singkat tentang kasusnya, hukuman yang diterima, kerugian negara, dan perbandingannya jika uang negara yang diselewengkan itu digunakan untuk kepentingan bangsa. Sebut misalnya, uang 6,2 miliar yang digunakan Artalyta untuk menyuap Urip itu, dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, beasiswa dan biaya pendidikan, menciptakan lapangan kerja, atau menghidupi para petani.

Jika ribuan poster itu sudah dicetak, tugas berikutnya adalah memasangnya di segenap ruang kerja semua departemen, di ruang-ruang publik, bahkan boleh juga di tempat-tempat ibadah agar setiap orang yang akan beribadah di sana tak lupa ikut mendoakan: 'Semoga pengkhianat rakyat ini, arwahnya segera diterima di sisi Tuhan'. Dengan cara itu, mereka tidak hanya memperoleh hukuman berat, tetapi juga hukuman yang berupa sanksi sosial. Jika itu dilakukan, niscaya akan terbangun stigma: betapa nistanya menjadi koruptor!

Selain membuat poster para koruptor yang sudah mendapat keputusan hukum tetap, juga perlu menciptakan stigmatisasi melalui slogan, imbauan, perintah, sampai pada kecaman, penistaan dan propaganda. Tengok saja apa yang dilakukan pemerintah pendudukan Jepang dalam usahanya menciptakan stigma atas Belanda dan sekutunya. Pengumuman pemerintah, laporan jurnalistik, sandiwara, film, ucapan tahun baru, karya sastra, bahkan juga iklan, kerap mencerminkan usaha stigmatisasi. Instruksi Panglima Perang Bala Tentara Dai Nippon, misalnya, berbunyi: "Nama-nama negeri dan kota di seloeroeh poelaoe Djawa jang mengingatkan kepada zaman pemerintah Belanda almarhum ditoekar dengan nama-nama menoeroet kehendak ra'jat." Iklan jamu Cap Potret Nyonya Meneer bergambarkan pesawat tempur Jepang yang sedang melakukan pengeboman terhadap armada laut Amerika dan Inggris. Iklan film 'malaria', selain memuat nama dan gambar bintang film, juga disertai kata-kata: "Musuh kita ialah Inggris, Amerika dan Malaria!/Semuanja harus dibasmi!/Lihatlah pilem Malaria/Dibuat oleh Nippon Eiga Sha.

Dalam masa singkat pemerintah pendudukan Jepang, berbagai media massa, melalui peran Barisan Propaganda (Sendenbu) dan Jawa Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor yang bertanggung jawab atas segala kegiatan yang bersangkutan dengan penerbitan dan pementasan, telah berhasil mencipta stigma bagi Belanda dan sekutunya.

Pemerintah Orde Baru (Orba) secara efektif juga menciptakan stigma bagi anggota PKI, anak-istri, dan sanak keluarganya. Dengan kata keramat anti-Pancasila dan bahaya laten komunis, setiap apa pun yang berkaitan dengan PKI laksana sebuah jalan hitam menuju jurang kegelapan yang bakal membenamkan karier, masa depan, dan martabat keluarga. Maka, tindakan apa pun yang merongrong penguasa Orba, penyelesaiannya mudah saja: anti-Pancasila dan bahaya laten komunis!

Selama ini, dalam semua kasus korupsi, para pelaku yang telah menjalani masa hukuman, begitu gampang diterima di tengah masyarakat. Kerabat, anak-istri, sahabat, bahkan berkeras melakukan pembelaan, seolah-olah tindak korupsi sebagai perbuatan biasa yang segera dapat dimaafkan begitu saja. Segalanya diselesaikan dengan kompromi yang penuh tenggang rasa. Oleh karena itu, sejak dini, dalam keluarga atau pendidikan di sekolah, perlu ditanamkan kesadaran tentang kejujuran, budi pekerti, dan kepedulian sosial.

Sebagai usaha menanamkan nilai-nilai, KPK perlu kiranya bekerja sama dengan pelukis, sastrawan, penyair, komikus, untuk membuat berbagai hal tentang dampak korupsi dengan berbagai stigmanya. Pelukis menggambar para koruptor dengan wajah iblis, belatung atau segala binatang yang menjijikkan. Sastrawan dan penyair menciptakan karya-karya yang menggambarkan nistanya hidup menjadi koruptor. Begitu juga dengan para komikus. Jika saja sejak sekolah dasar stigma tentang koruptor itu sudah ditanamkan kepada para siswa, maka sangat mungkin bakal lahir generasi yang menistakan berbagai bentuk tindakan korupsi.

Jadi, jika kita sepakat hendak memberantas korupsi sampai ke akarnya, langkah-langkah pencegahan melalui penciptaan stigma dan penanaman nilai-nilai, agaknya bukan sesuatu yang mustahil untuk menyongsong generasi tanpa korupsi!

Oleh Maman S Mahayana

Pengajar Universitas Indonesia

Dikutip dari : MIOL


Jumat, 22 Agustus 2008

Pemerintah majukan batas penyelesaian APBD 2009


Jumat, 22 Agustus 08
Pemerintah memajukan batas waktu penyelesaian APBD 2009 menjadi akhir Februari 2009 dibanding batas waktu penyelesaian APBD 2008 pada akhir April 2008.

"Kita percepat penyelesaian Perda APBD 2009, mudah-mudahan sampai dengan akhir Februari 2009 sudah dapat diselesaikan untuk semua daerah," kata Dirjen Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan, Mardiasmo di Gedung Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Jakarta, Jumat (22/8).

Ia menyatakan, dibanding batas waktu penyelesaian APBD 2008, ada upaya mempercepat penyelesaian APBD sekitar dua bulan. Menurut dia, sama dengan tahun sebelumnya, jika daerah terlambat menyelesaikan penyusunan APBD-nya maka kemungkinan pemerintah akan menahan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) kepada daerah yang bersangkutan.

"Kalau terlambat kemungkinan akan ada sanksi berupa penyaluran DAU yang ditahan," katanya.

Sementara itu mengenai tingkat penyerapan anggaran oleh daerah setelah dana pusat ditransfer ke daerah, Mardiasmo mengatakan, pemerintah akan mempercepat penyerapan anggaran oleh daerah.

"Kita akan mempercepat, Menteri Keuangan sudah setuju, kita akan lakukan jemput bola, daerah-daearah yang tidak mampu (menyerap) kita datangi," katanya. Ia mencontohkan, pihaknya pekan depan akan ke Sumatera Barat untuk mencari tahu mengapa hingga saat ini belum ada pencairan dana alokasi khusus (DAK) untuk daerah itu.

"Kita lihat kenapa DAK di daerah itu sampai hari ini belum ada pencairan untuk tahap berikutnya, terutama yang untuk infrastruktur atau fisik," katanya. Ia mengatakan, mulai akhir Agustus 2008 pihaknya akan proaktif memantau agar penyerapan daerah diikuti dengan kualitas yang baik juga.

"Jadi tidak hanya menghabiskan anggaran saja, harus ada penyerapan yang bagus misalnya untuk menekan pengangguran, kemiskinan," katanya.

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, banyaknya sisa lebih penggunaan anggaran (SILPA) di sejumlah daerah mengindikasikan pelaksanaan berbagai program pembangunan di daerah bersangkutan yang harus diperbaiki.

Menkeu mengakui ada daerah-daerah yang mengalami surplus entah dari dana bagi hasil (DBH), atau bagian yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD) yang digunakan untuk belanja di luar pembangunan. "Tapi seperti yang ditekankan Presiden, kalau punya banyak SILPA berarti banyak program pembangunan yang perlu diperbaiki," kata Sri Mulyani. (Mnr/Ant)

Dikutip dari : Koran Internet

Pengamat: Harus ada Indikator Keberhasilan Pembangunan Daerah


Jumat, 22 Agustus 08

Pengamat ekonomi Aviliani berpendapat pemerintah pusat seharusnya membuat semacam indikator penilaian keberhasilan pembangunan di daerah dikaitkan dengan alokasi dana dari pemerintah pusat.

"Harus ada indikator yang dapat mengukur berhasil tidaknya program-program pemerintah daerah. Indikator tersebut dapat menjadi acuan penilaian apakah daerah benar-benar mampu mengelola anggaran pemerintah," kata Aviliani, menanggapi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan keterangan pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah pada Sidang Paripurna DPD-RI, di Gedung MPR/DPR, Jumat (22/8).

Pada pidato tersebut terungkap transfer dana pemerintah ke daerah pada tahun 2009 direncanakan Rp303,9 triliun atau naik 134,3 persen dari tahun 2004.

Anggaran tersebut bentuk Dana Bagi Hasil Rp89,9 triliun, naik 144,9 persen dari tahun 2004, Dana Alokasi Umum Rp183,4 triliun naik 123,3 persen dari tahun 2004, dan Dana Alokasi Khusus Rp22,3 triliun naik lebih dari empat setengah kali lipat dari tahun 2004.

Menurut Aviliani seakan menjadi formalitas alokasi dana ke daerah terus meningkat dari tahun ke tahun namun penyerapannya tidak maksimal dan bahkan terindikasi ada penyimpangan.

Di atas kertas, anggaran yang lebih dari cukup tersebut jelas peruntukannya akan tetapi realisasi penggunaannya tidak ada kewajiban mempertanggungjawabkan program yang ditetapkan pemerintah dan daerah.

Pendidikan untuk mengurangi buta aksara, program pemberdayaan masyarakat untuk menurunkan angka kemiskinan misalnya, tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan, sehingga jumlah penduduk miskin dan penggangguran tidak bisa dikurangi.

Akibatnya angka kemiskinan secara nasional tidak bisa ditekan karena jumlah penduduk dengan pendapatan rendah bermunculan dari daerah.

"Ini pertanda target berbagai program pemerintah dengan yang disepakati dengan tidak jalan. Perlu koordinasi dan pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah pusat agar tujuan pembangunan daerah mencapai sasaran," katanya.

Terkait dengan pidato Kepala Negara, Aviliani menjelaskan cenderung hanya sebatas orasi yang sifatnya sebagai kewajiban belaka.

"Saya tidak menyebutkan itu kampanye, tetapi terkesan asal ada atau yang penting antara pusat dan daerah itu dapat memenuhi kewajiban rutin yang disampaikan secara formal di depan sidang Paripurna DPD, tidak lebih dari itu. Ini harus segera dirubah "mindset"nya," katanya.

Hambat investasi

Menurut Aviliani kebijakan desentralisasi belakangan ini juga sebaiknya tidak mutlak, harus lebih fleksibel yang disinkronkan dengan program-program bersama antara pemerintah pusat dan daerah.

"Kebijakan-kebijakan tertentu terkadang tidak harus semuanya dilepas ke daerah karena yang terjadi justru banyak yang kontraproduktif dengan semangat pemerintah mencapai target ekonomi tertentu," katanya.

Ia menjelaskan, kalau seluruhnya diserahkan ke daerah tanpa ada penekanan pentingnya "roadmap" suatu kebijakan, justru memicu pejabat-pejabat di daerah mengambil tindakan yang menyimpang.

Dicontohkan, dalam kasus pengalihan fungsi hutan lindung di Tanjung Api-Api yang melibatkan pejabat pemda dan anggota dewan Al Amin Nasution menjadi preseden buruk karena tidak adanya sistem pengawasan antara pusat dan daerah.

"Kalau tidak ada niat untuk saling mengoreksi dan mengawasi bukan tidak mungkin kasus korupsi makin merebak," katanya.

Demikian halnya di bidang investasi, pemda dengan hak yang absolut menetapkan kebijakan penanaman modal di suatu daerah justru kontraproduktif dengan semangat pemerintah pusat menjarig investor sebanyak-banyaknya.

"Iklim investasi di buka lebar, tetapi terjadi penolakan di daerah. Akhirnya daya saing daerah kembali terpuruk ke titik nol. Investor akan berpikir panjang untuk masuk ke sektor tertentu karena tidak adanya kepastian bisnis dan hukum," katanya.

Aviliani berpendapat, pemerintah tidak ada salahnya belajar dari negara lain dalam hal mengelola investasi seperti China yang menempatkan suatu kawasan tertentu sebagai tempat para investor menanamkan modalnya tanpa ada hambatan dari daerah.

"Ini bisa menekan "high cost economy" (ekonomi biaya tinggi) yang selama ini terjadi di daerah akibat tidak sinkronnya kebijakan penanaman modal, termasuk kebijakan sistem perpajakan yang tidak standar," katanya.

Terkait dengan Pidato Presiden Yudhoyono tersebut, Aviliani berpendapat secara secara umum menjawab keinginan DPD akan tetapi ada catatan penting yaitu dibutuhkan langkah konkrit karena masih cenderung normatif, dan sedikit mengambang.
(Mnr/Ant)

Sumber : Koran Internet


Tahukah Anda Jumlah Daerah Otonom RI?

22/08/2008 12:09

Lain dulu lain sekarang. Dulu, Indonesia hanya punya 27 provinsi. Kini banyak pemekaran hingga 33 provinsi. Dalam kurun waktu hampir satu dasawarsa, Bumi Pertiwi juga mengalami pembentukan daerah otonom baru. Sudah berapakah jumlahnya?

"Jumlah total daerah otonom yang ada berjumlah 510, yang terdiri dari 33 provinsi, 386 kabupaten, dan 91 kota," tutur Presiden SBY dalam pidato kenegaraan di hadapan anggota DPD di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (22/8).

Dalam 10 tahun era reformasi ini, kata SBY, pemekaran dan pembentukan daerah otonom baru terus terjadi. Sejak tahun 1999 hingga sekarang telah terbentuk 191 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 153 kabupaten, dan 31 kota.

SBY percaya bahwa pertambahan daerah otonom baru yang pesat ini harus segera dievaluasi. Karena pemekaran daerah seharusnya didasari oleh semangat untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah, serta untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum.

"Sebaliknya, pemekaran daerah tanpa tujuan yang benar dan tidak dikelola dengan baik, justru akan menyengsarakan rakyat dan menjadi beban keuangan negara," kata SBY.

Semua daerah otonom baru, sambung SBY, harus dipastikan telah berfungsi dengan baik, sesuai dengan harapan masyarakat. Kewenangan daerah, potensi daerah, dan keuangan daerah harus benar-benar dikelola dengan baik, oleh penyelenggaraan pemerintahan daerah yang kompeten dan profesional.

"Evaluasi itu memberi kesempatan kepada kita untuk melakukan konsolidasi terhadap daerah-daerah otonom baru, serta daerah-daerah induk yang dimekarkan, baik dari tata pemerintahan, kapasitas birokrasi, maupun pengelolaan keuangan daerahnya," ujar SBY.

Kebijakan pemekaran daerah, lanjut dia, harus dapat dilakukan lebih selektif dan hati-hati. Perlu lebih cermat dan arif dalam merespons berbagai pemikiran dan tuntutan untuk pemekaran daerah yang baru.

"Tuntutan pemekaran yang sama sekali tidak memiliki urgensi, tidak memenuhi persyaratan dan tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat daerah, harus kita tolak secara tegas," tandas SBY.[L3]

Sumber : Samsul Maarif INILAH.COM



Kamis, 07 Agustus 2008

Mewaspadai Neoliberalisme: Tentang Kerakyatan Dan Demokrasi Ekonomi (Artikel 2)

Doktrin Kerakyatan: Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi

Doktrin Kerakyatan: Sekali lagi, siapa yang disebut "rakyat"? Pertanyaan semacam ini banyak dikemukakan secara sinis oleh sekelompok pencemooh yang biasanya melanjutkan bertanya, "bukankah seorang konglomerat juga rakyat?" Tentu seorang konglomerat adalah bagian dari rakyat! Namun perekonomian konglomerat bukanlah perekonomian rakyat.

Doktrin kerakyatan Indonesia berada dalam paham kolektivisme atau kebersamaan.

Kedaulatan ada di tangan rakyat. Dengan kata lain "rakyat" adalah konsepsi politik, bukan konsepsi aritmatik atau statistik. Rakyat tidak harus berarti seluruh penduduk. Rakyat dapat berarti "the common people", atau rakyat adalah "orang banyak". Pengertian rakyat berkaitan dengan "kepentingan publik", yang berbeda dengan "kepentingan orang-seorang". Pengertian rakyat mempunyai kaitan dengan kepentingan kolektif atau kepentingan bersama (mutual interest). Ada yang disebut "public interest" atau "public wants", yang berbeda dengan "private interest" dan "private wants". Sudah lama pula orang mempertentangkan antara "public needs" (yang berdimensi domain publik) dan "individual privacy". Istilah "rakyat" memiliki relevansi dengan hal-hal yang bersifat "publik" itu. "Kepentingan publik" akan identik dengan "kepentingan pemerintah" hanya apabila berlaku good governance sepenuh-penuhnya. Jelaslah mengapa posisi rakyat adalah substansial.

Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi: Republik Indonesia menjunjung tinggi demokrasi, menjunjung tinggi Kedaulatan Rakyat (Volkssouvereiniteit). Namun paham demokrasi Indonesia tidak berdasar pada individualisme konsepsi Rousseau, tetapi berdasar suatu semangat persatuan sebagai bangsa, yang awalnya adalah reaksi bersama terhadap imperialisme dan kapitalisme Barat. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, berdasar kebersamaan (kolektiviteit), bukan demokrasi liberal berdasar individualisme.

Demokrasi mengandung makna esensial, yaitu partisipasi dan emansipasi. Perlu ditegaskan bahwa tidak akan terjadi partisipasi rakyat yang genuine tanpa disertai emansipasi.

Demokrasi politik saja tidak cukup mewakili rakyat yang berdaulat. Demokrasi politik hams dilengkapi dengan Demokrasi Ekonomi. Tanpa demokrasi ekonomi maka akan terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada satu atau beberapa kelompok yang kemudian akan membentukkan kekuasaan ekonomi yang bisa "membeli" atau "mengatur" kekuasaan politik.

Dalam sistem ekonomi berdasarkan Demokrasi Ekonomi tidak menghendaki adanya "otokrasi ekonomi", sebagaimana pula di dalam sistem politik berdasar Demokrasi Politik maka tidak dikehendaki adanya "otokrasi politik".

Baca Selanjutnya

Minggu, 03 Agustus 2008

Mewaspadai Neoliberalisme: Tentang Kerakyatan Dan Demokrasi Ekonomi (Artikel1)

Oleh Sri Edi Swasono

Koran Internet, Selasa, 29 Juli 08

Pendahuluan: Paham Filsafati Dasar

Akhir-akhir ini banyak tulisan dan pendapat di media massa yang mulai "menolak" ekonomi liberalisme ataupun neoliberalisme. Namun, kesan saya, sikap dan alasan menolaknya itu masih kurang disertai oleh fundamental filsafatnya. Apa yang akan dikemukakan di bawah ini adalah suatu upaya untuk menguakkan dasar filsafati itu.

Sebagai awal perlu kita memberikan gambaran mengenai paham individualisme vs paham kolektivisme dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai berikut :

Individualisme: Individu-individu dengan paham perfect individual liberty, berikut pamrih pribadi (self-interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Kemudian individu-individu ini bersepakat membentuk Masyarakat (Society) melalui suatu Kontrak Sosial (Social Contract atau Vertrag). Individualisme adalah representasi paham liberalisme.

Kolektivisme (Communitarianism): Masyarakat (Society) dengan paham kebersamaan (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood), berikut kepentingan-bersama (mutual-interest) yang menyertainya, ditempatkan pada kedudukan utama. Anggota-anggota masyarakat berada di bawah lindungan Masyarakat sebagai makhluk-makhluk sosial (homo-socius) terangkum oleh suatu Konsensus Sosial (Gesamt-Akt) dan tunduk pada kaidah-kaidah sosial. Dari sinilah maka individual privacy setiap anggota masyarakat merupakan a societal license. Kolektivisme adalah representasi paham kebersamaan. (Apa yang dimaksudkan dengan brotherhood di atas bukanlah kinship atau kekerabatan).

Indonesia menolak individualisme dan liberalisme1. Dengan ruh kebersamaan itu Indonesia menegaskan kemerdekaannya berdasar kebangsaan dan kerakyatan berkat munculnya "rasa-bersama".

Paham liberalisme (berdasar perfect individual liberty atau individualisme) masuk pula ke dalam kehidupan ekonomi dan menjadi sukma dasar dari ekonomi klasikal/neoklasikal. Ilmu ekonomi klasikal/neoklasikal adalah ilmu ekonomi yang berdasar paham liberalisme/neoliberalisme. Adam Smith adalah "nabi" atau patron saint-nya ekonomi liberalisme/neoliberalisme ini, yang menegaskan bahwa kepentingan-pribadi atau pamrih-pribadi (self-interest) adalah yang utama dalam kehidupan dan mekanisme ekonomi. Pasar mengatur mekanisme ekonomi dan pasar digerakkan oleh tangan- ajaib (an invisible-hand). Pasar diasumsikan sebagai omniscient dan omnipotent yang secara otomatis self-regulating dan self-correcting oleh adanya tangan ajaibnya Adam Smith. Pasar dalam pengertian ini menjadi penemuan sosial terbesar dalam peradaban manusia,liberalisme dan individualisme menjadi sukma dari system ekonomi pasar-bebas yang lebih dikenal dengan istilah stelsel laissez-faire. Dari sinilah lahir kapitalisme dan selanjutnya berkembang menjadi imperialisme.

Globalisasi neoliberalistik saat ini adalah topeng baru dari kepitalisme dan imperialisme. Namun dalam perjalanan yang panjang sejak bergemanya ide pasar-bebas Adam Smith, dalam kenyataannya pasar-bebas temyata banyak gagal dalam peran yang diasumsikan ini. Apa yang terjadi justru berbagai market-failures, khususnya dalam menghadapi ketimpangan-ketimpangan struktural dalam upaya mencapai socio-economic equity, equality dan justice.

Selengkapnya

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD