Sabtu, 14 Februari 2009

DEMOKRASI : SUDAH MAHAL, KUFUR LAGI

Oleh Tri Martha Herawati, S.H.M.Si.

(Anggota AlPen ProSa Surabaya - Jawa Timur)

Tak henti-hentinya pesta demokrasi berlangsung di Indonesia. Sepanjang tahun di negeri ini berlangsung pemilihan kepala desa, bupati, walikota, gubernur, sampai presiden, juga anggota legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari tingkat kabupaten, kota, propinsi dan pusat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Daerah. Untuk melangsungkan sebuah pesta demokrasi, membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bahkan anggaran pembangunan dan belanja nasional maunpun daerah harus terkuras untuk membiayai pesta ini.

Menurut data yang dikeluarkan KPU, biaya pemilihan umum 2009 diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp 48 trilyun. Untuk Pilkada kisaran biayanya juga fantastis, tengok saja biaya Pilkada DKI tahun lalu, sebesar 124 milyar. Di Jawa Timur lebih fantastis lagi, karena terjadi dalam dua putaran anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 800 milyar lebih. Menurut hasil penelusuran Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), pilkada di seluruh Indonesia telah berlangsung sebanyak 350 pilkada. Jika kita asumsikan biaya Pilkada yang dikeluarkan untuk masing-masing daerah sebesar 70 Milyar, maka total dana pelaksanaan demokrasi ini telah menelan biaya hampir 25 Trilyun.

Biaya pemilu ini belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan setiap calon kepala daerah, calon presiden maupun calon anggota legislative untuk partai. Seorang calon anggota legislatif 'diwajibkan' membayar Rp 200-300 juta untuk "kursi jadi", nomor urut satu dan dua. Sedangkan untuk calon anggota DPR harus menyerahkan setoran uang Rp 400 juta. Setiap caleg juga diharuskan membayar biaya administrasi Rp 16 juta untuk pengganti biaya administrasi (kabarindonesia.com,7/10/2008). Belum lagi biaya kampanye. Untuk iklan di televisi misalnya jika rata-rata biaya beriklan secara excessive di sebuah stasiun TV per harinya adalah Rp 500 juta, maka per bulan adalah Rp 15 milyar. Sutrisno Bachir dan Rizal Malarangeng adalah contoh dua calon yang beriklan di TV secara excessive. Itu hanya untuk satu stasiun TV saja. Silahkan kalikan dengan 10 stasiun TV, misalnya. Angka ini hanya untuk di media TV, belum termasuk media lain seperti, radio, internet, bioskop, baliho, spanduk, bendera, kalender, brosur, kaos, dan material kampanye lainnya.

Jumlah biaya demokrasi itu tidak sebanding dengan biaya kesejahteraan rakyat yang dialokasikan dalam APBN. Susilo Bambang Yudoyono Presiden RI pernah membandingkan biaya demokrasi dengan anggaran untuk pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dalam APBN. Biaya dialokasikan di APBN untuk pengurangan kemiskinan di seluruh negeri, tahun 2004 sebesar Rp 17 trilyun, tahun 2005 naik Rp 24 trilyun, 2006 Rp 41 trilyun, dan tahun 2007 Rp 57 trilyun.

Dengan biaya pesta demokrasi yang sangat besar itu, benarkah mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas dan mampu mensejahterakan rakyat? Nampaknya kita masih harus menerima kenyataan, dari biaya demokrasi yang sangat mahal itu, tidak menjamin akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Pemimpin yang dihasilkan dari proses demokrasi itu ternyata justru menguras uang rakyat dengan melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan karena para pemimpin ini sebelum menduduki kursinya sudah mengeluarkan 'biaya investasi' yang cukup besar. Ketika mereka menduduki kursi yang diinginkan, maka saatnya investasi yang ditanam kini dituai dari dana APBN maupun APBD.

Said Amin, peneliti program The World Bank untuk kasus penanganan korupsi pemerintah tingkat lokal mengatakan, sampai Mei 2007 lalu, 967 anggota DPRD dan 61 kepala daerah terlibat tindak pidana korupsi. Para anggota DPRD dan kepala daerah dalam proses hukumnya kini ada yang masih tersangka, terdakwa dan ada pula telah divonis bersalah sebagai terpidana. Saat ini tercatat 159 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah terjadi di Indonesia, jumlah kerugian negara yang diakibatkan kasus korupsi itu mencapai Rp 3 triliun (kapanlagi.com, 31/5/2007).

Demokrasi bukan hanya menguras uang rakyat dengan membutuhkan biaya yang mahal tapi juga menghasilkan sistem yang rusak. Abdul Qodim Zallum dalam bukunya Demokrasi Sistem Kufur menyatakan, ada empat kebebasan yang dilahirkan oleh demokrasi yang berdampak pada kerusakan:

1. Kebebasan Beragama (freedom of religion)

Konsep kebebasan beragama, justru merendahkan derajat manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Kebebasan beragama berarti seseorang berhak meyakini suatu aqidah yang dikehendakinya atau memeluk agama yang disenanginya. Dia berhak meninggalkan aqidah yang diyakininya dan berpindah pada aqidah baru, agama baru atau kepercayaan non agama seperti animisme dan dinamisme. Dia juga berhak berpindah agama sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan dan paksaan.

Dampak dari kebebasan beragama, justru memunculkan aliran-aliran sesat dan nabi-nabi palsu. Di Amerika, negara pengemban demokrasi banyak lahir ajaran agama selain Kristen. Sebut aja ada Klu Klux Klan, sekte Charles Manson terkenal di tahun 60-an karena melakukan pembunuhan terhadap sejumlah wanita termasuk seorang aktris terkenal. Ada juga sekte Temple's People yang dipimpin pendeta Jim Jones. Muncul juga nabi bernama David Koresh yang kemudian melakukan baku tembak dengan polisi federal AS (FBI), dan terakhir adalah sekte Gerbang Surga yang melakukan aksi bunuh diri massal di tahun 1997.

Agama-agama baru itu lahir dengan restu demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Selama demokrasi dan HAM masih dipuja-puja, maka di masa mendatang akan terus berdatangan agama-agama baru dan nabi-nabi palsu. Kedatangan mereka bahkan akan dilindungi negara atas nama hak asasi manusia. Kalau nabi palsu dihujat karena membawa aliran sesat, seharusnya demokrasi dan HAM juga dihujat karena justru melindungi aliran-aliran sesat.

Padahal Allah SWT telah menegaskan dalam surat Al Maidah ayat 3 :

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmatKu, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian."

Dalam HR Muslim dan Ashhabus Sunan, Rasulullah SAW bersabda :

"Barang siapa mengganti agamanya (Islam) maka jatuhkanlah hukuman mati atasnya."

Sehingga upaya-upaya untuk melanggengkan sistem demokrasi yang menjamin kebebasan beragama sangat bertentangan dengan aturan syara'. Karena Allah SWT hanya mencukupkan Islam sebagai agama yang terbaik.

2. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)

Kebebasan berpendapat melahirkan pendapat-pendapat yang tidak mendasarkan pada standar halal haram. Pendapat yang liberal dan justru menjauhkan dari syariah dibebaskan. Tapi sebaliknya, pendapat-pendapat yang mengajak umat untuk kembali pada hukum-hukum Allah dan menegakkan kekhilafahan Islam, justru diberangus. Kebebasan berpendapat hanya diberikan untuk dukungan pada kebebasan itu sendiri tanpa aturan.

Bahkan atas nama kebebasan berpendapat, koran Nerikes Allehanda, Swedia, pada 18 Agustus 2007 lalu memuat kartun Nabi Muhammad dengan kepala manusia berserban dan tubuh seekor anjing. Masih atas nama kebebasan berpendapat, George Walker Bush mengajak pemimpin muslim untuk memerangi kembalinya syariah dan khilafah. "We should open new chapter in the fight againts enemies of freedom, againts who in the beginning of XXI century call muslims to restore caliphate and to spread sharia"(kita harus membuka bab baru perang melawn musuh kebebasan, melawan orang-orang yang di awal abad ke 21 menyerukan kaummuslim untuk mengembalikan khilafah dan menyebarluaskan syariah) (www.demaz.org)

Dalam Islam, kekebasan berpendapat tidaklah mutlak, tapi didasarkan aturan syara'. Seperti ditegaskan Allah SWT dalam surat Al Ahzab 36 :

"Dan tidaklah patut bagi laki0laki yang mukmin, Apabila Allah dan rasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka."

Di ayat yang lain Allah memperingatkan dalam surat An Nisa 59 :

"Kemudian jika kalian (rakyat dan penguasa) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir."

3. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)

Ide kebebasan atas kepemilikan melahirkan para kapitalis. Kapitalisme juga melahirkan koruptor-koruptor yang menghalalkan segala cara untuk mengejar materi duniawi. Siapa memiliki modal, bisa berkuasa atas sesuatu termasuk sumber daya alam yang sebenarnya menjadi hajat hidup orang banyak. Misalnya, atas nama kebebasan kepemilikan, hak pengelolaan hutan, air, minyak, dan kekayaan alam lainnya diserahkan pada pihak-pihak tertentu. Karenanya rakyat tidak mendapat porsi yang seharusnya, tapi hanya menjadi penonton segelintir orang yang mengeruk kekayaan alam.

Ironisnya pemerintah justru memfasilitasi kebebasan kepemilikan ini dengan sejumlah aturan yang menjamin kebebasan kepemilikan atas sumber daya alam. Misalnya dengan menetapkan UU Penanaman Modal Asing, UU Sumber Daya Alam, dan lain-lain.

Atas nama kebebasan kepemilikan, negara-negara kapitalis berebut menguasai sumber daya alam negara lain. Akibatnya, rakyat menjadi korban krisis bahkan pertumpahan darah tak bisa dihindari. Seperti yang terjadi di negara-negara Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika, Asia, termasuk Indonesia.

Ajaran Islam sangat bertolak belakang dengan kebebasan kepemilikan. Islam memerangi ide penjajahan dan perampokan kekayaan bangsa-bangsa lain di dunia. Islam telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan harta, pengembangannya dan cara-cara pengelolaannya. Islam tidak memberikan kebebasan pada individu untuk sebebas-bebasnya mengelola harta yang dikehendakinya. Islam mengikat dengan hukum syara' misalnya larangan memiliki harta dengan cara-cara yang batil. Harta yang diperoleh dengan cara batil, pada pelakunya akan dikenai sanksi.

4. Kebebasan Berperilaku (personal freedom)

Kebebasan berperilaku sebenarnya telah merendahkan martabat umat. Ide ini telah menyeret orang pada perilaku yang serba boleh. Misalnya berjemur sambil menunggu matahari terbit tanpa berpakaian. Perilaku seksual yang menyimpang suka sesama jenis, pemuasan seksual pada anak-anak ataupun pada binatang. Dampak kebebasan perilaku, kasus perzinahan semakin merajalela, demikian pula aborsi, narkoba dan angka penderita HIV AIDS yang tidak pernah menurun karena bebas berperilaku.

Dalam sistem demokrasi, institusi keluarga telah dihancurkan. Rasa kasih sayang telah dicabut dari para anggota keluarga. Karena itu, menjadi pemandangan biasa di negara-negara barat, kehidupan single parent atau orang yang tinggal sendiri dan hanya ditemani binatang kesayangan.

Hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku. Tidak ada kebebasan bertingkah laku di dalam Islam. Setiap muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT. Jika seorang muslim melanggar perintah syara' maka ia telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman yang sangat keras.

Islam memerintahkan setiap muslim berakhlaq mulia dan terpuji. Menjadikan masyarakat sebagai masyarakat Islam yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilai-nilai kemuliaan.

Demikianlah demokrasi menghancurkan umat dengan kebebasan yang diagungkan. Ketika manusia membiarkan dirinya tanpa aturan, maka yang terjadi adalah kesengsaraan, kenistaan, dan kebodohan. Lalu mengapa demokrasi masih dibanggakan?

Haram Mengadopsi Sistem Kufur Demokrasi

Seluruh perbuatan manusia dan seluruh benda-benda yang digunakannya dan atau berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah SAW dan terikat dengan hukum-hukum risalahNya. Allah berfirman dalam surat Al Hasyr ayat 7 :

"Apa yang diberikan/diperintahkan Rasul kepadamu maka terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah."

"Maka demi TuhanMu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan."(QS An Nisaa' 65)

"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah."

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul(Nya).

Sabda Rasulullah SAW :

"Siapa saja yang melaksanakan perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka parbuatan itu tertolak." (HR Muslim). Dalam hadis lain Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang mengada-adakan urusan (agama) kami ini, sesuatu yang berasal darinya, maka hal itu tertolak."

Dalil-dalil ini menunjukkan wajib hukumnya mengikuti syara' dan terikat dengannya. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu. Apakah hukumnya wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Allah juga melarang kaum muslimin mengambil hukum selain hukum dari syariat Islam. Allah berfirman:

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada toghut (hukum dan undang-undang kufur), padahal mereka telah diperintahkan mengingkari toghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya."
(QS An Nisaa 60).

Berdasarkan penjelasan nash dan hadis maka kaum muslimin dilarang mengambil peradapan/kultur Barat, dengan segala aturan dan undang-undangnya. Sebab peradapan tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali peraturan dan perundang-undangan yang administratif yang bersifat mubah dan boleh diambil. Sebagaimana Umar Bin Khatab telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan Romawi.

Hal ini karena peradaban Barat itu memisahkan agama dengan kehidupan dan memisahkan agama dari negara. Peradaban Barat dibangun atas asas manfaat dan menjadikannya sebagai tolok ukur perbuatan. Sedangkan peradaban Islam didasarkan pada Aqidah Islamiyah yang mewajibkan pelaksanaannya dalam kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni hukum-hukum syara'. Peradaban Islam berdiri atas landasan spiritual yakni iman kepada Allah dan menjadikan prinsip halal haram sebagai tolok ukur seluruh perbuatan manusia berdasarkan perintah dan larangan Allah.

Peradaban Barat menganggap kebahagiaan adalah yang memberikan kenikmatan jasmani yang sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya. Sementara peradaban Islam menganggap kebahagiaan adalah teraihnya ridla Allah SWT, yang mengatur pemenuhan naluri dan jasmani manusia berdasarkan hukum syara'.

Atas dasar itulah, kaum muslimin tidak boleh mengambil sistem demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, sistem kebebasan individu yang ada di negeri-negeri Barat. Karena itu kaum muslimin tidak boleh mengambil konstitusi dan undang-undang demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan republik, bank-bank riba, sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum muslimin tidak boleh mengambil semua hukum dan peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan Islam.

Syariah untuk Kepentingan Rakyat

Mengutip tulisan Budi Mulyana, dosen FISIP UNIKOM Bandung, syariah Islam berbeda dengan demokrasi. Dalam tataran individu, syariah Islam mendidik individu agar bertakwa. Keinginan untuk melakukan pelanggaran syariah akan diminimalkan dengan nilai-nilai ketakwaan yang ditanamkan. Pribadi-pribadi yang salih akan terbentuk dengan keimanan bahwa hidup tidak hanya di dunia, tetapi ada pertanggungjawaban di akhirat yang akan menghisab apa yang dilakukan di dunia.

Dalam tataran sistem, Islam sebagai risalah ilahi yang sempurna akan menjamin kemaslahatan (rahmat) bagi semua pihak, bahkan bagi seluruh alam. Dalam konteks kesejahteraaan, Islam membagi bumi Allah dengan kepemilikan individu, masyarakat dan negara dengan tepat sesuai dengan realitas faktanya. Dengan begitu, kebutuhan pribadi dapat dijamin; keinginan untuk menikmati kebahagiaan duniawi juga tetap bisa dilakukan; penyelenggaraan kehidupan masyarakat yang menjamin hajat hidup orang banyak pun dapat dipastikan dijamin oleh negara.

Islam memberikan jaminan kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan, dan keamanan gratis bagi semua warga Negara Islam. Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun miskin). Masyarakat dipelihara oleh negara hingga menjadi masyarakat yang cerdas, sehat, kuat dan aman. Pendidikan secara umum diwujudkan untuk membentuk pribadi-pribadi yang memiliki jiwa yang tunduk pada perintah dan larangan Allah Swt., memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir memecahkan segala persoalan dengan landasan berpikir Islami, serta memiliki keterampilan dan keahlian untuk bekal hidup di masyarakat. Semua diberi kesempatan untuk itu dengan menggratiskan pendidikan dan memperluas fasilitas pendidikan, baik sekolah universitas, masjid, perpustakaan umum, bahkan laboratorium umum. Rasulullah saw. menerima tebusan tawanan Perang Badar dengan jasa mereka mengajarkan baca tulis anak-anak kaum Muslimin di Madinah. Rasul juga pernah mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Qibti Mesir, lalu oleh Beliau dokter itu dijadikan dokter umum yang melayani pengobatan masyarakat secara gratis (Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah; Abdul Aziz al-Badri, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Islam).

Dengan jaminan tersebut, pendidikan, kesehatan dan keamanan sudah dapat dipastikan dijamin oleh negara dengan alokasi pendanaan yang jelas, tanpa perlu lagi persetujuan wakil rakyat yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik individu, partai juga para pemilik modal yang haus terhadap harta milik masyarakat.

Jelaslah, syariah Islam adalah jawaban atas krisis dan kebuntuan yang terjadi selama ini. Jika kita ingin mengambil jalan keluar maka kita mesti tunduk dan takut kepada Allah Swt. serta bersungguh-sungguh kembali pada pelaksanaan syariah-Nya. Insya Allah, jalan keluar dan berkah Allah akan segera terbuka. Allah Swt. berfirman :

"Siapa saja yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar"
(QS at-Thalaq [65]: 3).

Allah Swt. juga berfirman:

"Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itulah, Kami menyiksa mereka karena perbuatan mereka itu"
(QS al-A'raf [7]: 96).

Alangkah ruginya negara ini, jika biaya besar yang telah dikorbankan untuk membiayai hajatan pesta demokrasi ternyata tidak menjamin kualitas pemimpin yang tebaik. Maka kegiatan ini hanya sia-sia belaka. Demokrasi jelas-jelas telah menyita pengorbanan rakyat sementara rakyat tidak memperoleh kesejahteraan tapi justru menuai kemiskinan. Sebaliknya, syariah Islam telah menjamin kesejahteraan rakyat. Penjaminnya adalah Allah SWT. Syariah Islam hanya bisa diterapkan dengan sistem khilafah. [tri.martha@yahoo.com This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it ]

Sumber : http://hafidz341.net76.net/Alpen-Prosa/Demokrasi-Mahal-dan-Kufur.html

http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=539&Itemid=47

Senin, 02 Februari 2009

Partai Bulan Bintang Tunggu Putusan MK Sebelum Bicarakan Pilpres

Jakarta, (ANTARA News) - Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengatakan pihaknya masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 42/2008, sebelum membicarakan langkah persiapan partai menghadapi pemilu presiden dan wakil presiden yang akan diselenggarakan pada 8 Juli 2009.

"Khusus untuk pemilu presiden dan wakil presiden kami sedang menunggu proses di MK. Kalau uji materi ini dikabulkan maka akan berimplikasi politik yang cukup besar," katanya, di Jakarta, Jumat, setelah diskusi yang diselenggarakan Institute For Development and Economics Studies (indepth), dengan tema "Haruskah Pemilu Serempak".

Menurut Yusril, saat ini pengurus PBB sedang melakukan konsolidasi internal untuk menghadapi pemilu legilatif yang dilaksanakan pada 9 April 2009.

PBB mengajukan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ke MK, pada awal Desember 2008. Pasal yang diajukan untuk uji materi yakni pasal 9 dan Pasal 3 Ayat (5) UU Pilpres. Pasal-pasal ini dianggap bertentangan dengan ketentuan dengan pasal 6A Ayat (2) dan pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Pasal 9 UU Pilpres, menyebutkan "Pasangan calon diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Kemudian, Pasal 3 Ayat (5) UU Pilpres, berbunyi "Pemilu Presden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD".

Pengaturan pelaksanaan pemilu itu, kata Yusril, bertentangan dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang memerintahkan untuk melaksanakan Pemilu secara serentak setiap sekali dalam lima tahun.

Setelah ada kepastian mengenai uji materi UU Pilpres, PBB akan segera menegaskan langkahnya. Ketika ditanya tentang kesiapan dicalonkan sebagai capres, Yusril mengatakan terbuka peluang baginya untuk dicalonkan baik sebagai calon presiden maupun cawapres dari PBB.

Ketika ditanya tentang kemungkinan PBB berkoalisi dengan partai lain, Yusril mengatakan partainya tidak berhenti menjalin komunikasi politik.

"Pembicaraan politik ini tidak bisa dibuka ke publik sebelum matang," katanya.

Pemilu Serentak

Sementara itu, dalam diskusi yang dilaksanakan Indepth tersebut, dibahas mengenai kemungkinan pemilu di Indonesia dilaksanakan serentak baik pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden.

Menurut Yusril, jika uji materi yang diajukan partainya dikabulkan, maka pemilu dapat dilaksanakan serentak. Ia mengatakan pelaksanaan pemilu serentak telah dijamin oleh konstitusi. Selain itu, penyatuan pemilu ini dinilai dapat meringankan beban anggaran belanja negara

"Penyatuan pemilu itu amanat konstitusi. Kalau pemilu disatukan akan menghemat uang negara," katanya.

Efek positif yang dapat timbul karena penyatuan pemilu, kata Yusril, yakni adanya perubahan peta koalisi partai. Jika sebelumnya koalisi dibangun menjelang pemilu presiden dan wapres dengan motif oportunis, maka dengan penyatuan pemilu ini koalisi dilakukan sebelum pemilu berlangsung. Dengan demikian akan terbangun koalisi yang kuat.

Hal senada juga disampaikan anggota DPR dari Partai Golkar Slamet Effendy Yusuf. Menurut dia, koalisi yang dijalin sebelum pilpres cenderung bersifat pragmatis saja, bukan didasarkan pada kesamaan ide politik.

"Koalisi seharusnya menjadi bagian untuk membangun sistem...Sistem kepartaian yang cocok yakni yang sederhana," katanya.

Menurut pengamat politik J. Kristiadi, pada prinsipnya pemilu dilaksanakan untuk mendapatkan pemerintahan yang beradab sehingga rakyat dapat hidup sejahtera. Ia mengatakan pemilu serentak bukan sesuatu yang harus dipaksakan karena pelaksanaan pemilu berkaitan juga dengan kesiapan lembaga penyelenggara pemilu.(*)

COPYRIGHT © ANTARA

Sumber : http://pemilu.antara.co.id/print/?tl=pbb-tunggu-putusan-mk-sebelum-bicarakan-pilpres&id=1233314013

Kamis, 29 Januari 2009

UUD 1945 MENGATUR PILPRES DAN PILEG DILAKSANAKAN SERENTAK

Dalam rumusannya, UUD 1945 hasil perubahan mengkonsepkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih bersamaan dengan pemilihan umum legislatif (pileg). Salah satu perumus perubahan UUD 1945, Slamet Effendi Yusuf, menegaskan hal ini dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) di MK, Rabu (28/1).

"Ketika membaca kata pemilihan umum di dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan pemilihan presiden, yang dimaksud dengan pemilu adalah pemilihan umum sebagaimana diatur di dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, yakni untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden," jelas Slamet. Ia menerangkan dalam proses perumusan amandemen UUD 1945, pihaknya menggambarkan nanti akan ada lima kotak suara yakni kotak untuk memilih anggota DPR, DPD, Capres-Cawapres, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Keterangan Slamet diperkuat dengan keterangan Gregorius Seto Harianto, yang juga mantan perumus perubahan UUD 1945. Menurut Seto, UUD 1945 tidak membedakan antara pilpres dengan pemilu. "Jadi gambaran kita pada waktu itu, ketika parpol atau gabungan parpol peserta pemilu mengajukan calon presiden, mereka adalah satu kesatuan. Dengan begitu, tidak ada kekhawatiran akan adanya perbedaan program karena program presiden adalah program partai, program partai adalah program presiden," papar Seto.

Terkait dengan upaya membangun sistem, Seto menjelaskan ketika pasangan calon yang awalnya didukung dengan satu partai memperoleh suara tapi tidak sampai 50 persen, maka partai-partai yang ada akan berkoalisi mendukung salah satu dari dua pasangan terkuat. "Sehingga sudah jelas yang satu di atas 50 persen dan yang lain kurang dari 50 persen. Itu sekaligus membentuk sistem checks and balances yang kuat di parlemen karena presiden dan wakil presiden terpilih didukung oleh satu kekuatan," terang Seto.

Pendapat Seto ini sekaligus menegasikan pendapat ahli dari Pemerintah tentang sulitnya membangun pemerintahan yang stabil jika Presiden tidak memiliki cukup banyak dukungan di DPR. Misalnya, pendapat Dr. Kacung Marijan yang menyatakan bahwa alasan pihaknya mencantumkan syarat persentase 20 persen dan 25 persen dalam Pasal 9 UU Pilpres adalah demi menjamin terciptanya kebijakan efektif (effective policy) yang sulit terjadi ketika presiden hanya mendapat dukungan sangat kecil di DPR. Hal senada juga dikatakan Ahli dari Pemerintah, Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, yang mengingatkan bahwa dalam kebijakan strategis presiden membutuhkan dukungan DPR.

Capres Independen

Terkait permohonan tentang kemungkinan disertakannya capres independen, ahli dari Pemohon, Bima Arya Ph.D, menyadur pendapat yang disampaikan Staf Ahli Presiden Denny Indrayana yang menyatakan hingga saat ini perubahan UUD 1945 mengandung kelemahan. UUD 1945 memungkinkan terjadinya monopoli parpol dalam mengusulkan kandidat presiden. "Rekomendasi saudara Deny Indrayana waktu itu adalah calon presiden independen harus diberi kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Jadi, monopoli oleh partai-partai politik atas pengajuan seorang calon presiden independen harus diakhiri, karena ini esensial demi memperkuat demokrasi yang partisipatif," tandas Bima.

Menanggapi hal ini, Kuasa Hukum DPR, Ferry Mursyidan Baldan menyatakan dirinya sepakat dengan adanya ide capres independen. Namun, ia mengingatkan bahwa UUD 1945 jelas-jelas tidak menyebutkan tentang kemungkinan hal itu. "Capres independen itu tidak terlarang, tapi belum ada dalam UUD. Jalan keluarnya, ubah UUD dulu lewat amandemen," pungkas Ferry. (Kencana Suluh Hikmah)

Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2122

Minggu, 11 Januari 2009

Israel Kian Terancam dan Tak Lagi Superior

Jakarta (ANTARA News) - Belum pernah Israel seterancam seperti sekarang, apalagi belum genap dua tahun lalu, superioritas militernya terhadap Arab dipatahkan Hizbullah di Lebanon.

Kini, tak ada satu pun kota Israel yang aman dari serangan Arab meski puluhan skuadron pesawat tempur canggih dan wahana anti rudal menjaga ketat kota-kota Israel.

Bahkan saat tank-tank canggih Abrams, lusinan heli tempur Apache dan salah satu pasukan infanteri paling terlatih di dunia menginvasi Gaza sejak 3 Januari 2009, luncuran roket Hamas tetap menghujam bumi Israel.

"Hamas masih cukup memiliki roket dan mortir untuk terus ditembakkan jauh ke dalam wilayah Israel sampai beberapa minggu," kata Kepala Litbang Intelijen Militer (Aman), Jenderal Yossi Beidatz, seperti dilansir AFP (6/1).

Hamas yang berada di jantung Israel kian mengancam negara Yahudi itu dan didukung rakyatnya terbukti pemilu Palestina Januari 2006 lalu telah memenangkan Hamas dan membuat Israel serta rezim-rezim Arab sekutu AS ketakutan.

Israel harus menerima kenyataan, semua pemenang proses demokrasi di Timur Tengah berubah menentangnya, tak terkecuali Turki yang sebelumnya menjadi sahabat kentalnya atau Iran yang kini menjadi musuh paling fanatiknya.

Israel juga menghadapi Presiden terpilih AS yang bungkam menyikapi ulah usilnya di Timur Tengah, padahal sebelumnya rezim-rezim baru Washington selalu berhasil dipancing Israel untuk berkomentar.

Wayne White, mantan analis Timur Tengah di Departemen Luar Negeri AS, menilai Obama bungkam karena ia menghadapi kompleksitas konflik Gaza dan melihat Israel berlaku bodoh di Gaza.

"Jika saya Obama, saya juga akan memilih bungkam," kata Wayne seperti dikutip Washington Times (30/12).

Sendirian

Ketika Obama akhirnya berbicara, si hitam beradik keturunan Indonesia itu tidak mengisyaratkan ia bersetuju dengan Israel, sebaliknya menyampaikan kalimat yang netral sehingga tak membuat gerah Arab.

"Tegasnya, saya menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas konflik yang berlaku di wilayah itu," kata Obama seperti dikutip DPA (7/1), tanpa mengomentari legalitas agresi Gaza yang justru diinginkan Israel.

Sikap diam Obama adalah kemunduran bagi Israel yang malah menegaskan fokusnya pada perbaikan ekonomi dan dengan cerdik membebankan Gaza pada rezim George Bush yang turut mengarsiteki krisis Gaza.

"Saya kira pemerintah Bush sangat nyaman mendukung Israel dan tak melibatkan diri atau mencoba upaya gencatan senjata," kata Scott Lasensky, analis United States Institute of Peace, mengomentari aransemen Bush di Gaza.

Sejumlah kalangan bahkan meminta Obama tegas dengan tidak menuruti Israel.

"Obama mesti memulai inisiatif baru karena proses damai Annapolis pada November 2007 tidak menghasilkan apa-apa," ulas Nathan Brown, analis Carnegie Endowment for International Peace, menunjuk prakarsa damai kreasi Bush yang menguntungkan Israel semata itu.

Jelas, Israel sendirian di Timur Tengah, apalagi Bush yang memanjanya segera raib dari Gedung Putih.

Turki yang lama menjadi sekutunya pun menjaga jarak setelah pemerintahan pimpinan AKP enggan menyeret Turki merapat ke Israel.

Jangan tanya sikap Eropa karena banyak negara seperti Prancis dan Jerman, geram terhadap ulah Israel yang gemar menyepelekan hukum internasional.

"Tuan Presiden (Shimon Peres), anda menghadapi masalah serius dengan dunia internasional dan citra Israel tengah hancur," kata anggota Komisi Hubungan Luar Negeri Uni Eropa Benita Ferrero-Waldner saat menyampaikan sikap Eropa di Gaza.

Hanya karena ingin memupus perasaan bersalah atas genosida semasa Perang Dunia Kedua, Eropa ingin terlihat seimbang di Palestina dengan menyeru Hamas mengakhiri serangan roket ke Israel.

Sadar

Israel sendiri sadar petualangannya di Gaza tak akan sepermanen saat mereka merampas Sinai pada Perang 1967, lagipula ekspedisi kali ini hanya untuk konsumsi pemilu.

Israel juga tahu Hamas yang menjadi musuhnya sekarang lebih militan dibanding musuh musuhnya pada masa lalu, diantaranya karena memiliki roket-roket Iran yang menjangkau semua wilayah Israel.

Oleh karena itu, agresi Gaza adalah juga pesan Israel pada Iran yang membuatnya menjadi demikian tidak aman dan tak lagi superior. Iran menodong Israel dengan roket Grad dan Fajar tanpa menggelarkan seorang pun tentara.

"Iran cukup memasukkan anasir kimia dan biologi pada rudalnya dan hancurlah Negara Yahudi. Itu semua dilakukan secara terselubung melalui Hamas dan Hizbullah sehingga Iran bisa mengklaim diri bersih," kata Profesor Rabbi Daniel Zucker, ketua Americans for Democracy in the Middle-East seperti dikutip Jerusalem Post.

Israel juga tak bisa mengandalkan sekutu Arabnya yang belakangan terlihat rapuh dirongrong oposisi yang umumnya senafas dengan Hamas.

Keengganan Mesir untuk tegas di Palestina misalnya, lebih karena dimotivasi oleh kekhawatiran Hamas menulari kaum oposisi Mesir. Pandangan serupa dianut rezim Arab moderat lainnya seperti Arab Saudi dan Yordania yang tak ingin shiah Iran menyemangati kaum oposisi.

Presiden Husni Mubarak tak saja khawatir Hamas mengancam Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Fatah, tapi juga karena dia memiliki agenda politiknya sendiri, menetralisir oposisi muslim militan, khususnya Ikhwanul Muslimin.

Ikhwanul memang dinyatakan terlarang, namun para aktivisnya yang kini menjadi anggota parlemen dari garis independen telah membentuk kaukus oposisi besar di parlemen di mana tokohnya yang bernama Mohamed Habib menuduh Mubarak bersekongkol dengan Israel.

Habib juga menyebut Israel telah mengiris wilayah Arab, menjarah kekayaannya dan menghapus identitas budayanya. Untuk itu, Habib melihat perlawanan Palestina di Gaza adalah garis depan pertahanan Arab guna menghadapi rekayasa Israel.

Ekspedisi militer Israel di Gaza adalah memang rekayasa dan petualangan Partai Kadima dalam menaikkan popularitasnya menjelang pemilu legislatif 10 Februari 2009.

Kalau dulu PLO atau Hizbullah di Lebanon yang menjadi pion pendongkrak popularitas politik Tel Aviv, maka kini mereka memainkan Hamas sebagai bidak pendongkrak popularitas politik dengan membesar-besarkan ancaman Hamas. Padahal, militansi Hamas adalah reaksi dari embargo tak manusiawi Israel di Gaza.

Dengan embargo Gaza, Israel ingin melemahkan Hamas sehingga tak mampu memerintah dan Gaza pun kacau untuk kemudian menjadi pintu masuk bagi penggulingan Hamas oleh Israel.

Hamas berupaya menembus blokade itu, mulanya dengan penyelundupan, namun frustasi dan terpaksa mengadopsi serangan bersenjata, satu tindakan yang justru diinginkan Israel karena menjadi pembenar bagi invasi ke Gaza.

Pengepungan

"Padahal bukan hanya Hamas yang ingin mengakhiri pengepungan Israel, tapi juga seluruh rakyat Palestina. Itu keinginan semua manusia dan bangsa yang bercita-cita hidup sebagai manusia merdeka," kata editor Jerusalem Post, Larry Derfner (31/12).

Dengan merusak ketertiban Gaza lewat kampanye militer, total sudah kekacauan di Gaza dan Israel pun percaya Hamas bakal seinferior Fatah.

"Hamas tak akan seperti Fatah yang lemah, korup dan tidak populer. Hamas justru akan kian ekstrem karena blokade dan serangan terus menerus Israel hanya membuatnya berpikir sia-sialah bernegosiasi dengan Tel Aviv," kata wartawan AS keturunan Iran, Nir Rosen, dalam tulisannya di laman Aljazeera (30/12).

Lebih dari itu, invasi ke Gaza bukan saja mendegradasi citra Israel, namun juga memojokkan sekutu Arabnya.

"Damaskus telah menarik diri dari pembicaraan tripartit dengan Tel Aviv dan rakyat Arab murka tak hanya pada Israel dan AS, tapi juga pada pemerintah mereka yang dianggap bersekongkol dengan Washington," tutur Rosen.

Tidak itu saja, krisis Gaza telah menajamkan militansi muslim garis keras seluruh dunia sehingga menyulitkan Obama mengampanyekan perdamaian global, satu situasi yang didesain Israel.

"Saya telah berbicara dengan para aktivis jihad di Irak, Lebanon, Afghanistan, Somalia dan banyak lagi. Mereka menyebut Palestinalah yang memotivasi gerakan jihad mereka," ungkap Rosen.

Tak heran jika rakyat Israel sendiri mulai mengkritisi pendekatan pemerintahnya di Gaza. Dari 81 persen warga yang mendukung kampanye militer ke Gaza, hanya 39 persen yang percaya Hamas bisa digulingkan.

Jika pun Israel menang maka kemenangan itu malah mengungkap ketidakmampuan Israel hidup berdampingan dengan bangsa lain dan masyarakat Yahudi pun bertanya apa yang sebenarnya diinginkan para politisi Israel.

"Inikah keterbatasan kita sebagai manusia yang dilahirkan kembali dari holocaust (pembasmian etnis semasa Perang Dunia Kedua)?" tanya Sara Roy, cendikiawan Yahudi pengarang "Failing Peace: Gaza and the Palestinian-Israeli Conflict" seperti dikutip Christian Science Monitor (2/1).

Sara adalah seorang dari kelompok warga Yahudi yang ingin adil mengkritisi bangsanya, bukan saja demi keadilan universal, namun melihat fakta betapa Israel sekarang sendirian dan tererosi superioritasnya. (*)

COPYRIGHT © 2009 ANTARA

http://www.antara.co.id/print/?i=1231414998

PubDate: 08/01/09 18:43

Sabtu, 10 Januari 2009

Kebohongan Barat Soal Israel

Jakarta - Duet Inggris-AS yang memihak Israel kerap kali digambarkan media barat secara abu-abu. Seorang wartawan senior Inggris Robert Fisk menilai kebohongan demi kebohongan menyelimuti aksi-aksi kejam Israel di jalur Gaza.

Ketika Israel menyerang Gaza, 28 Desember 2008 lalu dan menewaskan lebih dari 296 warga Palestina, Robert Fisk langsung bicara di TV Aljazera dan menulis di harian The Independent terbitan London.

"Para pemimpin terus berbohong, sementara korban sipil berjatuhan. Kita tidak pernah mau belajar dari sejarah," tulis Robert Fisk hanya sehari setelah Israel membombardir Gaza, ibukota sementara Palestina.

Sejarah yang dimaksud Fisk adalah perang yang sudah berlangsung sejak 1948 dan faktanya selalu dimanipulasi. Israel selalu di pihak yang benar. Sementara setiap kali terjadi pertumpahan darah, pihak Arab dan Palestina selalu disalahkan.

Para pemimpin Barat yang dianggapnya berbohong adalah Inggris dan AS. Di pihak Inggris yang berbohong disebutnya Perdana Menteri Gordon Brown dan pendahulunya Tony Blair.

Tonny Blair bahkan secara khusus dikritiknya. Blair bukanlah orang yang tepat menjadi juru runding konflik Israel dan Palestina. Blair seusai melepas jabatannya Juni tahun lalu kemudian diangkat Uni Eropa menjadi Utusan Khusus Timur Tengah.

"Mana suara Blair? Untuk apa dia digaji? Berapa besar bayarannya? Bagaimana kemampuannya menyelesaikan konflik? Mengapa dia tidak turun ke Gaza?" tanyanya. Sedang pemimpin AS yang disebutnya tukang ngibul mulai dari George Bush senior, Bill Clinton dan George Bush junior.

Kebohongan Bush terlihat dari komitmennya kepada Israel yakni kedua pihak akan menggunakan secara bersama pesawat tempur F-18s dan senjata misil jenis Hellfire.

Sementara Bill Clinton saat kampanyenya dalam Pemilihan Presiden AS di 1993 secara eksplisit berjanji menggunakan istilah yang "cukup keras" sebagai sebutan bagi Israel. Artinya Clinton akan bersikap tegas dan tanpa kompromi kepada Israel. Tapi begitu terpilih, Clinton sama dengan Bush senior yakni berbohong.

Robert Fisk, 62, sudah 30 tahun menetap di Timteng. Selama tiga dekade ia melaporkan situasi kawasan itu terutama setiap konflik yang melibatkan Israel. Dari kacamata wartawan, Fisk dinilai cukup obyektif. Tercermin dari penilaian komunitas wartawan Inggris yang memberi penghargaan tertinggi karya jurnalistik.

Sementara pihak yang tidak suka dengan tulisan, laporan dan analisanya menuduh Fisk pendukung setia Palestina. "Fisk tidak banyak tahu keburukan Palestina", komentar seorang pembaca yang menentang Fisk.

Tentang serangan Israel terhadap Gaza Desember lalu Fisk bertanya apakah wajar untuk kematian seorang warga Israel, Palestina harus kehilangan 300 nyawa?

Peristiwa ini mengingatkan perilaku Israel terhadap Libanon di 2006. Warga Israel yang terkena serangan roket Hisbullah di Libanon Selatan hanya satu orang. Tapi ketika Israel membalas, korban sipil Libanon 10 orang. Belum termasuk kerusakan gedung, kendaraan dan infrastruktur.

Ia mengingatkan siklus pola serangan Israel yang beralasan: serangan dibalas serangan. Dunia internasional pun dikecam karena jatuhnya korban rakyat sipil hanya disikapi dengan mengeluarkan himbauan agar kedua pihak menahan diri.

Secara sinis Fisk membuat perbandingan, permintaan menahan diri itu hanya mungkin dilakukan bila kedua pihak memiliki kekuatan berimbang. Namun Israel menyerang dengan pesawat tempur F-18s dan tank Marakav, sementara Palestina hanya 20 roket.

Dalam delapan tahun terakhir ini, Hamas telah menewaskan 20 orang tentara Israel. Tetapi dalam satu serangan kilat sehari, kata Fisk lagi, Israel bisa membunuh 300 orang warga Palestina.

Tentang alasan keamanan bagi warga Israel yang didengung-dengungkan pemimpinnya, Fisk menyatakan wajar saja. Tapi apakah warga lain tidak berhak memperoleh keamanan serupa.

Ia membandingkan perlakuan Israel terhadap Libanon. Sejak 1975, Israel telah membom Libanon ribuan kali dengan alasan menghancurkan sarang teroris. Namun sampai sekarang tak satupun pihak yang menjuluki Israel sebagai teroris!

Sebagai orang Inggris, Fisk juga mengingatkan konflik di Irlandia Utara. Konflik berkepanjangan itu tidak membuat Inggris membombardir markas Tentara Irlandia Utara (IRA) sekalipun berkali-kali bom meledak di London serta menewaskan warga Inggris.

Eskalasi yang terjadi di Gaza saat ini sangat serius. Karena Israel tetap keukeuh melakukan serangan darat sementara Hamas siap menjadi martir dengan resiko apapun.

Menurut Fisk sama saja mimpi jika Israel berharap serangan dapat meletakkan senjata Hamas dan menyerah. Hamas tahu, bila itu mereka lakukan, tetap saja akan dihancurkan Israel.

Lalu dimana keberadaan politisi Inggris dan AS di tengah situasi kritis ini? Secara sinis Fisk menyatakan, barangkali mereka sedang bersembunyi di got, pegunungan atau di tempat yang tidak terlihat. Namun yang tahu kelakuan mereka hanya bisa tersenyum. Begitulah kelakuan elit politisi.

sumber : inilah.com

Rabu, 31 Desember 2008

Implikasi Politik Pasca Putusan MK

Ikrar Nusa Bhakti

John Stuart Mill, salah seorang filsuf Inggris penggagas faham liberalisme dan pemerintahan demokrasi, dalam eseinya yang terkenal, On Representative Government, mengutarakan argumentasinya.

"Tujuan akhir dari politik adalah membiarkan rakyat menjadi bertanggungjawab dan dewasa. Rakyat dapat menjadi dewasa dan bertanggungjawab hanya jika mereka mengambil bagian dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Karena itu, meskipun seorang despot atau raja yang bijak dan penuh kebajikan secara aktual dapat membuat keputusan-keputusan yang lebih baik atas nama rakyat daripada yang dapat dibuat oleh rakyat sendiri, demokrasi tetap lebih baik, karena hanya melalui demokrasi rakyat dapat membuat keputusannya sendiri, salah atau benar. Karena itu, suatu bentuk demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik."

Kata bertuah John Stuart Mill itu sangat tepat untuk menggambarkan posisi Mahkamah Konstitusi yang mengoreksi kompromi politik yang terkait dengan penetapan calon anggota legislatif terpilih yang diatur dalam Pasal 214 UU 10/2008 tentang Pemilu. Caleg terpilih ditentukan nomor urut, bukan suara terbanyak. Menurut MK, pasal tersebut bertentangan UUD 1945 yang menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya menurut Undang-Undang. MK memutuskan penetapan caleg terpilih berdasarkan raihan suara terbanyak.

Putusan MK itu diputuskan tidak suara bulat. Seorang hakim konstitusi, Maria Farida Indrati, mengajukan pendapat berbeda. Dalam pandangan Maria, penetapan caleg atas dasar suara terbanyak akan menimbulkan inkonsistensi tindakan afirmatif terhadap perempuan.

Pandangan Maria ada benarnya. Mantan Wakil Ketua KPU, Ramlan Surbakti dalam berbagai kesempatan juga menyatakan sistem pemilu proporsional dengan daftar tertutup atau penentuan pemenang atas dasar nomor urut dapat menguntungkan caleg perempuan. Artinya, kesempatan perempuan untuk dapat terpilih menduduki kursi di DPR atau DPRD lebih terbuka melalui sistem nomor urut ketimbang suara terbanyak.

Pada Pemilu 2004 memang ada kasus mencolok di mana Nurul Arifin, mantan artis, memperoleh suara terbanyak di salah satu daerah pemilihan di Jawa Barat untuk kursi DPR, namun karena ia berada di nomor urut bawah, maka yang menang adalah yang menduduki nomor urut kecil. Kasus Nurul memang luar biasa. Dalam banyak kasus, khususnya di daerah pemilihan yang masyarakatnya didominasi kaum laki-laki, amat sulit caleg perempuan memperoleh suara terbanyak. Tanpa adanya aturan khusus mengenai 'affirmative action' ini, tampaknya kuota 30 persen kursi DPR untuk kaum perempuan sulit terpenuhi.

Keputusan MK memang amat adil dan baik bagi masa depan demokrasi kita. Namun implikasi politiknya dalam jangka pendek dan menengah akan sangat dahsyat pula. Pertama, di tengah masih kuatnya budaya politik sebagian politisi kita yang tanpa ideologi dan bebas semaunya, agak sulit partai politik mengharapkan loyalitas para anggotanya di parlemen. Bisa saja mereka bertentangan dengan garis partai saat pengambilan keputusan di DPR/DPRD. Saat ditegur atau akan diberi sanksi, bukan mustahil mereka dapat pindah fraksi karena partai bukanlah institusi yang penting bagi mereka, apalagi duduknya mereka di parlemen atas dasar pilihan suara terbanyak rakyat dan tidak ditentukan parpol.

Kedua, daripada tanggung-tanggung menggunakan sistem pemilu legislatif dengan daftar terbuka dan suara terbanyak, mengapa tidak sekaligus saja kita menggunakan sistem distrik? Dengan sistem distrik akan jauh lebih jelas siapa yang akan duduk di parlemen karena menggunakan sistem the first-past-the post, siapa yang mendapatkan suara terbanyak dialah yang terpilih, tanpa embel-embel penghitungan melalui proporsi perolehan suara partai dalam daerah pemilihan tertentu terlebih dahulu. Sistem distrik ini, meski begitu, mengasumsikan keuntungan bagi partai besar dan merugikan partai kecil. Namun bila kita ingin menyederhanakan sistem kepartaian menjadi lima atau bahkan dua partai, sistem distrik yang konsisten penerapannya merupakan pilihan terbaik.

Ketiga, kita juga harus siap menerima kenyataan yang akan duduk di parlemen 2009 mendatang adalah orang populer di daerah pemilihannya, mungkin juga didukung dana besar. Suara terbanyak belum tentu identik dengan kualitas politisi yang terpilih duduk di DPR/DPRD. Dari sisi sirkulasi elite, sistem suara terbanyak memang sangat baik, namun dari sisi kualitas belum tentu ini menjamin kualitas parlemen kita mendatang.

Keempat, sistem suara terbanyak juga akan menumbuhkan individualisme para politisi, selama demokrasi kita belum mencapai demokrasi yang matang. Bukan mustahil akan terjadi saling sikut, memakan atau kanibalisme di internal partai sendiri. Ketika Ketua Umum Partai Golkar menentukan sistem suara terbanyak, tak sedikit para caleg saling mengancam tidak berkampanye di "daerah kekuasaannya"!

Biarlah rakyat yang menentukan, salah atau benar. Hanya dengan itu rakyat menjadi bertanggungjawab dan dewasa.

Sumber : http://www.inilah.com/berita/celah/2008/12/30/72167/implikasi-politik-pasca-putusan-mk/

Jumat, 05 Desember 2008

BKN Diminta Tidak Proses Pengangkatan Eselon II Kabupaten Kota tanpa Rekomendasi Gubsu

Gubsu H Syamsul Arifin SE akan menyurati Badan Kepegawaian Negara (BKN) agar tidak memproses pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) kabupaten dan kota se-Sumut yang akan menduduki jabatan eselon II apabila tidak ada rekomendasi dari Gubsu.

"Jadi terhadap PNS yang diangkat menduduki jabatan eselon II di kabupaten dan kota tanpa ada rekomendasi dari Gubsu maka masalah kepegawaiannya akan disurati ke BKN untuk tidak diproses," ujar Kepala Badan Infokom Provsu Drs H Eddy Syofian MAP kepada wartawan, Minggu (23/11).

Kebijakan dimaksud, ujarnya, telah dituangkan Gubsu melalui Surat Edaran (SE) Nomor 800/16460/BKD/III/2008 tertanggal 20 November 2008 kepada seluruh bupati dan walikota se-Sumut yang tembusannya disampaikan antara lain kepada Mendagri, Menpan, Ka BPK, BPKP, BKN, Inspektur Provsu dan Kabiro Keuangan Setdaprovsu.

Lebih lanjut, jelasnya, terhadap PNS yang diangkat menduduki jabatan eselon II di kabupaten dan kota tanpa ada rekomendasi dari Gubsu maka pembayaran tunjangan jabatannya akan direkomendasikan untuk tidak dibayar oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang menanganinya.

Sedangkan bagi pejabat eselon II kabupaten dan kota yang akan mengusulkan kenaikan pangkatnya, jelas Eddy Syofian, harus melampirkan surat persetujuan konsultasi dari Gubsu sebagaimana poin 4 SE Gubsu dimaksud.

Eddy Syofian menjelaskan kebijakan Gubsu ini intinya dimaksudkan untuk pembinaan PNS dengan lebih menekankan pada sistem meritokrasi dalam membangun performa PNS yang profesional, sejahtera dan akuntabel.

"Gubsu memahami betul, sistem meritokrasi perlu dilaksanakan secara konsekuen dan konprehensif. Hal ini sangat bergantung pada kesempurnaan penataan aparatur negara khususnya PNS. Oleh karena itu pengangkatan dalam jabatan harus didasarkan oleh penilaian objektif terhadap prestasi, kompetensi dan Diklat PNS," ujarnya.

Itulah sebabnya, lanjut Eddy, SE Gubsu tersebut merupakan upaya konkrit untuk menyikapi kondisi saat ini dalam pembinaan PNS khususnya proses pengangkatan dan pemberhentian dalam jabatan di lingkungan kabupaten dan kota, termasuk kabupaten dan kota pemekaran, yang dianggap perlu dilakukan penataan karier PNS, terutama usul konsultasi calon pejabat eselon II di Pemkab dan Pemko kepada Gubsu.

Dalam usul konsultasi dimaksud, PNS yang dapat dipertimbangkan menduduki jabatan struktural harus sudah mengikuti Diklat Penjenjangan sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 101 Tahun 2000. Proses pengangkatan maupun pemberhentian dari dan dalam jabatan struktural harus melalui pembahasan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat).

Dalam SE tersebut Gubsu juga mengingatkan bupati dan walikota atau penjabat bupati dan walikota yang akan mengakhiri masa jabatannya tidak diperbolehkan melakukan mutasi jabatan struktural kecuali dipandang mendesak untuk mengganti pejabat yang pensiun atau meninggal dunia.

Sumber : http://www.sumutprov.go.id/lengkap.php?id=1848

Inilah Kelemahan Ekonomi Kapitalis

Saat ini semua pemimpin negara di dunia sedang disibukkan mencari jalan keluar yang bisa menyelamatkan ekonomi negara masing-masing dari dampak krisis finansial global yang berawal dari Amerika Serikat (AS). Banyak negara di eropa dan belahan bumi yang lain cenderung menyalahkan AS sebagai biang keladi krisis finansial global saat ini.

Sikap ini memang tidak salah. Tapi, kalau hanya melihat AS saja ini berarti kita hanya melihat permasalahan krisis finansial global dari gejalanya saja. Padahal ada permasalahan yang lebih substansial daripada permasalahan subprime morgate yang menjadi pemicu krisis finansial global saat ini.

Substansial masalah ekonomi sekarang adalah sistem ekonomi Kapitalis itu sendiri yang sudah sampai pada puncak permasalahan. Beberapa sistem ekonomi Kapitalis yang menimbulkan masalah itu antara lain: adanya uang kertas, lembaga perbankan, dan ekonomi spekulatif yang kian marak. Ketiga hal inilah yang dijalankan untuk kepentingan pemilik modal.

Di awalnya memang permasalahan itu memberikan keuntungan yang banyak bagi pemilik modal. Tapi, sebenarnya dalam jangka panjang, justru merusak sistem

Kapitalisme itu sendiri. Seperti kata Antony Giddens sosiolog dari Inggris. Sistem Kapitalisme ini ibarat jugernath. Di tahap awal, sistem Kapitalisme ini memang seperti kuda yang menarik kereta. Jadi bisa mempercepat ekonomi dan memberi keuntungan para pemilik modal.

Tapi, semakin lama semakin cepat dan tidak lagi terkendali, sehingga pada akhirnya jugernath itu pun bisa membanting dan menghancurkan kereta yang ditariknya itu. Demikian juga yang terjadi pada sistem Kapitalisme saat ini. Sistem kapitalisme sekarang sudah mendekati tahap penghancuran diri sendiri.

Menggali Liang Kubur Sendiri

Imam Malik, Imam Besar Madinah pada zaman awal Islam menyatakan "uang adalah sembarang komoditi yang biasa diterima sebagai medium pertukaran". Pernyataan ini mengisyaratkan adanya kebebasan dalam menggunakan komoditi sebagai alat pertukaran barang dan jasa.

Tapi, yang terjadi sekarang adalah pemaksaan menggunakan uang kertas (dolar AS) dalam transaksi internasional. Memang di masing-masing negara tetap menggunakan mata uang kertas masing-masing negara. Tapi, uang kertas yang dimiliki masing-masing negara itu sebenarnya juga turunan dari dolar AS. Karena dengan era perdagangan bebas versi ekonomi Kapitalis, nilai atau harga semua barang dan jasa di dunia didasarkan pada kurs mata uang negara yang bersangkutan terhadap dolar AS.

Penggunaan dan pemaksaan uang kertas adalah bagian dari sistem Kapitalisme yang sebenarnya merugikan masyarakat. Satu di antara masalah yang melibatkan uang kertas di dunia adalah membengkaknya volume sirkulasi uang kertas di dunia yang tidak seimbang dengan jumlah komiditi di seluruh dunia sekali pun.

Kondisi ini tentu akan menimbulkan sistem ekonomi yang menggelembung. Dalam sejarahnya, setelah perang dunia ke-2 dirancanglah sebuah sistem keuangan dunia yang menjadikan mata uang dolar AS sebagai mata uang utama dalam perdagangan internasional. Pada saat itu, jumlah dolar AS yang beredar di dunia harus didasarkan pada persediaan emas yang dimiliki AS. Sehingga meski dalam bentuk kertas yang tidak punya nilai intrinsik tapi ada back up emas yang jumlahnya sama dengan jumlah nominal uang dolar AS yang ada di masyarakat.

Pada perkembangan berikutnya di tahun 1971 dengan alasan untuk mempercepat dan mengembangkan ekonomi akhirnya AS secara unilateral mengambil keputusan dolar AS tidak perlu lagi di-back up dengan emas. Sejak saat itu dolar dicetak sesuai dengan keperluan AS, sehingga sebenarnya sejak saat itu pula dolar hanyalah kertas biasa yang tidak bernilai.

Selain itu, dengan banyaknya dolar maka akan bisa menimbulkan inflasi. Meski inflasi merugikan masyarakat secara keseluruhan, tapi tetap saja orang miskin yang lebih banyak dirugikan. Jadi tetap saja negara yang kaya dolar bisa menikmati apa pun kondisi perekonomian saat ini. Sedangkan negara miskin tetap saja menderita.

Inflasi juga menyebabkan banyak pengangguran dan berujung pada kriminalitas. Karena itu, sistem uang kertas (dolar AS) saat ini sebenarnya merugikan. Selain itu dengan menggunakan mata uang utama dolar, berarti ada kurs. Dan dalam sebuah perdagangan antar negara dengan menggunakan kurs mata uang, lagi-lagi kita melihat ketidakadilan.

Kalau kita kembali pada pola dasar perdagangan (barter), secara esensi, seharusnya satu produk barang punya harga yang sama meskipun dijual di negara-negara lain dengan mata uang yang berbeda. Misalnya, harga 1 komputer di Jepang setara dengan beras 1 kwintal. Maka, kalau komputer itu dijual di negara-negara lain mestinya harganya juga setara dengan 1 kwintal beras.

Realitasnya tidak demikian, karena di Indonesia harga 1 komputer itu tidak lagi 1 kwintal beras tetapi bisa menjadi 80 kwintal beras, dan ini terjadi hanya karena kurs mata uang kertas. Kondisi ini tidak adil dan menimbulkan kerugian bagi negara-negara miskin dan menguntungkan negara-negara kaya.

Inilah satu kelemahan ekonomi Kapitalis karena menggunakan mata uang kertas

(dolar AS). Mestinya alat tukar itu berupa emas sehingga barang yang kita beli itu setara dengan harga emas yang kita bayarkan. Jadi kalau satu barang itu dijual di berbagai tempat, harganya akan tetap setara karena tidak ada kurs untuk emas.

Adanya perbedaan harga emas saat ini, karena adanya uang kertas dan kurs. Kelemahan yang kedua dalam sistem Kapitalis berada pada institusi perbankan.

Dengan fasilitas kredit plus bunganya perbankan turut serta dalam menyengsarakan masyarakat miskin. Karena sudah jelas-jelas Allah itu mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli.

Secara logika kita bisa melihat kerusakan yang ditimbulkan oleh riba. Pada waktu bank memberi kredit, maka dalam pengembalian kredit itu bank minta bunga. Dengan adanya bunga pinjaman, maka sebenarnya bank telah menciptakan uang dari sesuatu yang tidak ada. Selain itu, dengan adanya bunga pinjaman berarti bank telah ikut menambahkan jumlah uang yang beredar di masyarakat.

Kalau semua bank ikut menambahkan jumlah uang yang beredar di masyarakat dari bunga pinjaman, ini sama artinya bank ikut berperan dalam menciptakan inflasi. Karena semakin banyak bunga pinjaman yang didapatkan bank, berarti semakin banyak tambahan uang yang beredar di masyarakat akibat adanya bunga pinjaman. Dan semakin banyak uang beredar, bisa mengakibatkan inflasi.

Kelemahan ketiga dari sistem kapitalis adalah maraknya ekonomi spekulatif (perdagangan valuta asing, surat berharga, komoditi berjangka) atau perdagangan elektronik. Perdagangan elektronik ini jelas-jelas merugikan dan menyengsarakan masyarakat.

Sebagai contoh, di India beberapa bulan yang lalu harga komoditi gula yang dimiliki India tiba tiba saja hancur dan jauh dari harga ideal karena ulah para spekulator yang berdagang dengan sistem elektronik di perdagangan komoditi berjangka. Akhirnya Kementerian Keuangan India menghentikan perdagangan gula dari bursa komoditi berjangka di India.

Contoh lain, dalam tahun ini spekulator minyak berhasil menaikkan harga minyak dunia sampai sekitar 140 US$. Padahal harga wajar dan idealnya hanya 85 US$. Selain itu, perdagangan valuta asing (valas) juga memperlihatkan bagaimana tidak berdayanya pemerintahan suatu negara kalau sudah berhadapan dengan para spekulator uang atau valas.

Bahkan tidak jarang pemerintah harus membuang cadangan devisa hanya untuk bermain-main dengan spekulator. Ini menunjukkan pemerintah tidak lagi mempu melindungi rakyatnya pada waktu berhadapan dengan spekulator yang bisa mempermainkan uang dan harga komoditi.

Ekonomi spekulatif ini juga telah menambah jumlah uang yang beredar dari sesuatu yang tidak ada. Karena dalam perdagangan elektronik, barang yang diperdagangkan ini realitasnya tidak ada. Dan sekali lagi, banyaknya jumlah uang yang beredar akan menimbulkan kesengsaran masyarakat.

Ketiga hal tersebut bisa berpengaruh pada inflasi dan melemahkan daya beli masyarakat. Kalau masyarakat sudah tidak lagi mampu membeli produk yang dijual, maka tinggal menunggu kebangkrutan dari industri yang pada ujungnya akan menghancurkan sistem Kapitalisme itu sendiri. Jadi, apa yang terjadi sekarang ini adalah proses kematian Kapitalisme yang berasal dari dalam sistem kapitalisme itu sendiri.

Sistem Alternatif

Sistem Kapitalisme selain berakhirnya dengan kehancuran, yang pasti juga merugikan masyarakat karena tidak adanya keadilan. Karena itu, saat ini sudah waktunya memunculkan sistem ekonomi syariah yang sebenarnya sudah sangat teruji dan stabil.

Kestabilan ekonomi syariah ini, karena didukung 5 pilar.

Pilar pertama adalah penggunaan mata uang yang bebas ditentukan oleh penggunanya, terutama pada emas, karena emas terbebas dari inflasi. Dalam sejarahnya mata uang emas bisa bertahan sampai 2.500 tahun. Ini membuktikan ketahanan mata uang emas dibandingkan dengan uang kertas dari berbagai permasalahan ekonomi.

Pilar kedua adalah open markets (pasar terbuka). Dalam sistem Kapitalisme, ekonomi spekulatif menyerap begitu banyak uang tapi hanya menyerap sedikit tenaga kerja dan ironisnya ekonomi spekulatif ini sangat mempengaruhi ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Kondisi ini harus digantikan dengan open markets (pasar terbuka).

Pasar terbuka ini merupakan tempat berdagang bagi siapa saja tanpa pandang bulu. Jadi semua masyarakat diperbolehkan berdagang di pasar terbuka ini, tanpa dipungut biaya, sehingga akan menyerap perputaran uang dalam jumlah besar sekaligus menyerap banyak tenaga kerja. Pasar terbuka ini menjadi lawan pasar modern (mall dan hypermarket) yang sangat diskriminatif karena hanya bisa diakses yang punya modal besar.

Pilar ketiga adalah open distribution and logistic infrastructure. Dengan pilar ketiga ini, semua masyarakat bisa menjadi distributor semua produk tanpa ada monopoli. Dalam perkembangan perdagangan islam, ini disebut caravan. Tidak adanya monopoli, akan membuat produk lebih mudah didapatkan masyarakat tanpa permainan harga.

Pilar keempat adalah open production infrastructure. Dengan pilar keempat ini maka rumah-rumah produksi harus diberi kesempatan berkembang. Di Korea Selatan misalnya, industri rumah tangga tidak berdiri sendiri tapi menjadi akar dari perusahaan besar seperti Samsung, Hyundai, LG. Dengan cara semacam ini, pusat-pusat keuntungan menjadi menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Sehingga kesejahteraan bukan dimonopoli oleh kelompok kecil pemilik modal.

Pilar kelima syirkat dan qirad. Pilar kelima ini, akan memberikan kepada semua orang pada posisi yang sama dan saling menguntungkan. Antara pemegang saham mayoritas dan minoritas punya hak yang sama dalam pengambilan kebijakan. Jadi, tidak ada penindasan dari yang besar pada yang kecil, atau pemilik modal dan pekerja. Karena syirkat dan qirad menjadikan semua yang berhubungan dengan bisnis sebagai mitra.

Dengan melihat kondisi semacam ini, tinggal menunggu waktu saja peralihan sistem Kapitalis ke ekonomi Islam. Karena bagaimana pun juga, setiap manusia pasti akan memilih yang baik.

Oleh : Christa – suara Pembaca detikcom.

http://suarapembaca.detik.com/read/2008/12/02/092953/1046340/471/inilah-kelemahan-ekonomi-kapitalis

Christa : Jl Ahmad Yani 116 Surabaya (christa_rahma@yahoo.co.id) 0318288270

(msh/msh)

Faham Liberal : "Permainan Tanpa Wasit"

Faham Liberal yang selalu menyerukan slogan "main tanpa wasit" sebenarnya sebuah sistem berpikir yang kacau-balau karena meletakkan sebuah kebenaran mutlak pada ranah abu-abu yang serba relatif. Berbalik 180 derajat dari faham Literal yang sangat eksklusif, faham ini sangat Inklusif sehingga apa saja bebas masuk, paling mudah jika dianalogikan sebagai "tong sampah ideologi".

Menurut faham ini "bebas" berarti semuanya boleh berbuat, berpikir, berpendapat dan tak seorangpun boleh melarang serta menyalahkannya, bebas, lepas, tanpa batas. Sebuah konsep yang sama sekali tidak dapat diterapkan dalam aspek kehidupan apapun, bahkan jika diaplikasikan dalam sebuah permainan ular-tangga sekali pun konsep ini tidak akan support.

Liberalis yang merupakan saudara kandung Sekularis dan Pluralis sejatinya merupakan ekspresi "kejenuhan beragama" yang dikemas begitu apik oleh para pemeluknya sehingga terkesan ilmiah, masuk akal, dan reliable. Lalu atas nama kebebasan, paham ini membuka lebar pintu ijtihad bagi siapa saja (inilah terjemahan dari "tong sampah ideologi").

Maka tidak heran ketika datang seorang nabi palsu paham ini turut membenarkannya, ketika ada penolakan Al-Qur'an paham ini turut mendukungnya, bahkan ketika Allah dan rasul-Nya dilecehkan maka paham ini akan mengamininya, semuanya legal, baik, benar, dan semuanya atas nama kebebasan berijtihad.

Dalam surat al-A'râf: 176 kaum yang mendustakan ayat kebenaran seperti ini diibaratkan seperti yang selalu menjulurkan lidah dalam segala kondisi (in tahmil 'alaihi yalhats au tatruk-hu yalhats). Selain terlalu menuhankan akal, Liberalis juga terlampau keblinger dalam menempatkan posisi rasio-empiris dalam tataran unreachable area (transendental), seluruh teks harus sesuai dengan akal, jika tidak maka harus diakal-akali, jika tidak bisa diakali maka akal itu sendirilah penentunya.

Wahyu adalah nomor seratus sekian jauh di bawah akal. Lalu atas dalih 'maslahat' versi Liberal apapun menjadi halal, mulai dari Homo-Lesbi hingga Trinitas-Trimurti. Ending-nya faham ini akan tampil sebagai pahlawan kesorean yang serta-merta memproklamirkan diri sebagai generasi progresif, inklusif, menyegarkan, membebaskan. Sebuah lagu lama yang terlampau kadaluwarsa untuk diusung.

Sumber : http://www.berpolitik.com/viewnewspost.pl?nid=18144&param=Zj0evRMIZueZYHhVcemz

Kamis, 04 Desember 2008

Partai Bulan Bintang Tuntut Pilpres Bareng Pemilu Legislatif


 

PBB Resmi Gugat UU Pemilu Presiden Ke MK

Partai Bulan Bintang kemarin mendaftarkan gugatan terhadap Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Konstitusi.

Saat mendaftarkan uji materil itu, partai berlambang bulan dan bintang ini, diwakili Ketua Dewan Syuro PBB Yusril Ihza Mahendra, Wakil Ketua Umum PBB Hamda Zoelva dan Ketua DPP PBB Ali Mochtar Ngabalin.

Ada dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres yang dinilai PBB bertentangan dengan UUD 45.

Pertama, Pasal 9 UU Pilpres yang berbunyi, hanya partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilu legislatif yang berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

Menurut Yusril Cs, syarat dukungan bagi capres itu bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 45 yang berbunyi, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan partai politik atau gabungan partai politik sebelum pelaksanaan pemilu.

Kedua, Pasal 3 Ayat (5) UU Pilpres yang berbunyi, pemilu presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pemilu legislatif.

Menurut Hamdan Zoelva, pasal itu bertentangan dengan Pasal 22 E Ayat (1) dan (2) UUD 45 yang intinya, pemilihan umum dilaksanakan setiap lima tahun sekali, untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, dan DPRD.

Jadi, Hamdan menambahkan, pemilu legislatif dan pilpres seharusnya dilaksanakan serempak jika mengacu kepada UUD 45 yang telah diamandemen itu. "Sebenarnya, pelaksanaan pemilu yang dua tahap pada 2004, yaitu pileg kemudian pilpres, bertentangan dengan konstitusi. Tapi, karena syarat dukungan capres yang diajukan kecil, hanya tiga persen, maka tak ada partai yang dirugikan secara konstitusional," kata Hamdan sebelum mendaftarkan berkas yang dibawanya ke MK.

Sedangkan pada Pilpres 2009, lanjutnya, syarat dukungan capres sangat besar, sehingga melanggar hak konsitusional partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon presiden. "Yang penting terdaftar terdaftar sebagai partai politik peserta pemilu," tandasnya.

Dengan sederet alasan itu, menurut Hamdan, Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009 harus dilaksanakan secara bersamaan. "Dengan begitu, semua partai tak perlu berdebat mengenai syarat dukungan capres, mengingat pelaksanaan pileg bersamaan dengan pilpres," tandas bekas anggota DPR ini.

Kata Hamdan, gugatan yang diajukan PBB tidak terlambat, meski pemilu legislatif diperkirakan bakal digelar pada April 2009. "Tak masalah kalau pileg diundur pada Juli, yang penting penyelenggaraannya bersamaan dengan pilpres, sesuai konstitusi yang ada," tegasnya.

Sedangkan Yusril mengingatkan, jika membaca seluruh risalah amandemen UUD 1945, terutama yang menyangkut dua pasal yang digugat itu, tak ada satu pun fraksi di DPR menginginkan pemilu legislatif dan pilpres digelar secara terpisah. "Semua fraksi mengusulkan pelaksanaan pemilu dilaksanakan secara bersamaan setiap lima tahun sekali," tandas bekas menteri sekretaris negara ini.

Jadi, Yusril beralasan, pendaftaran uji materil ke MK bukan semata-mata karena syarat dukungan capres terlalu berat, melainkan karena penyelenggaraan pemilu sudah keluar dari ketetapan konstitusi.

Kendati begitu, dia tak menampik bahwa pendaftaran uji materil ini juga membawa kepentingan politik agar PBB bisa mengusungnya sebagai capres 2009. "Apa pun partainya, dengan syarat dukungan seperti itu akan terasa berat, sedangkan semua partai peserta pemilu berharap bisa mengajukan capres, termasuk PBB," katanya.

Sumber : Rakyat Merdeka | Rabu, 03 Desember 2008, 04:23:38 dalam : http://www.berpolitik.com/news.pl?n_id=18118&c_id=6&param=5KNkC7qLvvWVYXG76kUO

Rabu, 03 Desember 2008

MOU Poldasu, Kejati dan Panwaslu Provinsi Sumatera Utara : Pidana Pemilu Ditindak


 

Penanganan Berlangsung Cepat, Sederhana, dan Berbiaya Ringan

Kepolisian Daerah bersama Kejaksaan Tinggi dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Sumatera Utara, Selasa (2/12) di Medan, menandatangani nota kesepahaman bersama tentang penegakan hukum terpadu dan pola penanganan perkara tindak pidana Pemilu Legislatif 2009.

Nota kesepahaman ini dibuat agar penanganan pelanggaran pidana pemilu bisa berlangsung cepat, sederhana, berbiaya ringan, jujur, dan tidak memihak.

Nota kesepahaman ini ditindaklanjuti dengan pembentukan sentra penegakan hukum terpadu yang bertugas antara lain menerima laporan pelanggaran pemilu, meneliti, menyidik, dan menyerahkan kepada jaksa penuntut umum. Dalam nota kesepahaman juga diatur, setelah melakukan penelitian, sentra penegakan hukum hanya membutuhkan waktu sehari untuk meneruskan laporan pelanggaran pemilu kepada penyidik agar diterbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP).

Dalam hal terjadi pelanggaran pemilu yang tidak termasuk pidana maka laporan tersebut ditangani Panwaslu. Sentra penegakan hukum terpadu yang langsung meneliti dan mengklasifikasi setiap laporan pelanggaran, apakah memenuhi unsur pidana atau cukup ditangani Panwaslu.

Selain di tingkat provinsi, sentra penegakan hukum terpadu juga dibentuk di tingkat kabupaten/kota. Penanganan perkara tindak pidana yang dilaporkan kepada sentra penegakan hukum terpadu berkedudukan di Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut untuk tingkat provinsi dan Satuan Reserse Kriminal Polres atau Poltabes di tingkat kabupaten/kota.

Penandatanganan nota kesepahaman ini dihadiri perwakilan partai politik peserta pemilu dan Gubernur Sumut Syamsul Arifin beserta jajarannya. Kepala Polda Sumut Inspektur Jenderal Nanan Soekarna mengharapkan, pembentukan sentra penegakan hukum terpadu ini jangan memicu terjadinya pelanggaran pemilu. "Saya malah berharap sentra penegakan hukum terpadu ini tidak ada kerjanya," ujar Nanan.

Kepada perwakilan partai politik, Nanan meminta mereka sudah mulai bersikap adil dan menghargai aturan. Dia mengungkapkan, dalam aturannya setiap partai politik hingga calon legislatif yang melakukan pemasangan atribut harus melapor kepada polisi. "Sampai hari ini belum ada satu pun yang melapor, tetapi alat peraga sudah dipasang di mana-mana. Apa ini mesti juga harus saya usut?" katanya.

Nanan mengatakan, tanggung jawab polisi untuk mengamankan pemilu legislatif di Sumut bukan main-main. "Jika ada apa- apa saya yang dicopot," ujarnya.

Syamsul juga meminta kepada semua partai politik peserta pemilu dan calon legislatifnya untuk tetap menjaga kondisi damai di Sumut. "Saya yakin tidak ada satu pun partai politik yang berniat menghancurkan bangsa ini," katanya. (BIL)

Sumber : http://cetak.kompas.com


 

Senin, 27 Oktober 2008

ARTIKEL : Umat Mendambakan Partai Yang Memperjuangkan Syariah

Oleh : siti (paint_M)

Tidak lama lagi Pemilu 2009 digelar. Anggaran biaya sekitar Rp 49,7 triliun telah disiapkan. Jauh-jauh hari partai peserta Pemilu—total 38 partai, belum termasuk partai lokal di Aceh (NAD)—sudah melakukan pemanasan dengan berbagai jurus dan strategi kampanye melalui berbagai media. Mereka pun telah menetapkan caleg-calegnya. Banyak artis, pengusaha dan orang kaya baru yang menjadi caleg (calon anggota legislatif). Kasak-kusuk koalisi, aliansi, kaukus atau berbagai istilah lain dijajaki. Intinya adalah tawar-menawar kepentingan antar partai.

Pertanyaannya: Dapatkah Pemilu 2009 membawa perubahan yang lebih baik bagi umat? Apakah umat/rakyat bisa berharap banyak pada partai-partai yang ada dan kepada para calegnya untuk mewujudkan keinginan-keinginan mereka?

Faktanya, jika dihitung sejak masa reformasi saja, negeri ini telah melakukan 3 (tiga) kali Pemilu. Tentu saja itu belum termasuk Pilkada yang—menurut Pengamat Politik Eep Saefullah Fatah—diselenggarakan 3 kali sehari (Kompas, 24/6/2008). Indonesia juga pernah disebut-sebut sebagai "juara demokrasi" karena kesuksesannya menyelenggarakan Pemilu 2004 yang dinilai amat demokratis, aman dan damai. Namun, "suksesnya demokrasi" ini tidak pernah bertemu dengan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat/umat. Apalagi jika dikaitkan dengan keinginan umat Islam untuk menerapkan syariah Islam, yang justru semakin hari semakin menguat.

Yang Dirasakan Masyarakat

Banyaknya partai politik peserta Pemilu 2009 membuat rakyat kecil makin bingung. Rakyat tidak banyak tahu, partai-partai mana saja yang layak mendapat mandat untuk mewakili aspirasi mereka. Mungkin memang tidak ada partai yang layak untuk menjadi tempat menggantungkan harapan bagi rakyat. Dari berbagai survey yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survey nasional, ada kecenderungan umat sudah begitu apatis dan apriori alias tidak peduli terhadap elit penguasa baik yang duduk di legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tingkat kepercayaan mereka terhadap institusi partai begitu rendah. "Setelah Pemilu 2004 usai terus terjadi penurunan hingga tahun 2007 ini," ungkap pakar politik UGM Pratikno. Menurut Pratikno, hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan Asia Barometer. Hasil survei menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mengalami penurunan dari 8 persen di tahun 2004, menjadi 5,8 persen di tahun 2007 (Detik.com, 18/12/2007).

Angka golput dalam berbagai Pilkada di berbagai daerah juga rata-rata cukup tinggi. Golput bahkan sering menjadi "pemenang" Pilkada. Pilkada Jawa Barat, misalnya, hanya diikuti 65% rakyat. Ini berarti angka golput sebesar 35%, mengalahkan pasangan pemenang Pilgub Jabar yang 26%. Menurut Lembaga Survei Indonesia, jumlah pemilih golput dalam Pilgub Sumatera Utara sekitar 41%. Dalam Pilgub DKI Jakarta, yang golput 39,2%. Nilai ini setara dengan 2,25 juta orang pemilih. Padahal gubernur tepilih Fauzi Bowo hanya dipilih oleh 2 juta orang pemilih saja (35,1%). Untuk Pilgub Jawa Tengah angka golput mendekati 50%. Di tempat lain juga angka golput cukup tinggi: Kalsel (40%), Sumbar (37%), Jambi (34 %), Banten 40% dan Kepri 46%.

Di tengah sikap pesimis masyarakat terhadap Pemilu, Pilkada, partai-partai yang ada dan para anggotanya yang duduk di DPR, ternyata ada kecenderungan di kalangan umat bahwa masa depan politik Indonesia ada pada syariah Islam. Beberapa survey menunjukkan dukungan masyarakat terhadap penerapan syariah Islam meningkat. Survey Roy Morgan Research yang terbaru (Juni 2008) menunjukkan: 52 persen rakyat Indonesia menuntut penerapan syariah Islam. Sebelumnya, hasil survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah tahun 2001 dan 2002 (Majalah Tempo, edisi 23-29 Desember 2002) menunjukkan: sebanyak 67% (2002) responden berpendapat bahwa pemerintahan yang berdasarkan syariah Islam adalah yang terbaik bagi Indonesia. Padahal survei sebelumnya (2001) hanya 57,8% responden yang setuju dengan pendapat demikian. Ini berarti, ada peningkatan cukup tinggi, sekitar 10%.

Sumber : http://www.berpolitik.com

Kamis, 16 Oktober 2008

Neoliberalisme Telah Mati

Oleh: Akhmad Kusaeni

Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat menjadi bukti sakaratul maut sistim pasar bebas. Neoliberalisme telah mati!

Neoliberalisme yang selama ini diagung-agungkan telah runtuh. Salah satu pilar penyangga liberalisme ekonomi adalah pasar bebas. Biarkan si "invicible hand" mengatur segalanya berdasar hukum "supply and demand".

Berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Kredo pasar bebas adalah pasar yang tidak diatur dan diintervensi adalah cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hanya melalui pasar bebas pertumbuhan ekonomi bisa dicapai.

Ekonom-ekonom pembela pasar bebas sangat percaya bahwa "The best government is the least government". Ekonom tersebut, yang Indonesia dikenal sebagai Mafia Berkeley, sering berguyon bahwa pertumbuhan ekonomi paling cepat di malam hari, ketika pemerintah sedang tidur.

Ternyata pasar bebas itu kini tidak berlaku lagi di negeri yang menjadi pusaran dinamonya. Justeru pertumbuhan ekonomi jadi anjlog dengan pasar yang kelewat bebas. Justeru pemerintahan George W Bush yang tidak bisa tidur, sibuk melakukan intervensi dan berusaha membelenggu si "invisible hand".

Bush menghadapi dilema gawat menghadapi krisis keuangan terberat setelah depresi tahun 1930-an. Pemerintahannya memutuskan untuk melakukan campur tangan. Atas persetujuan Kongres AS, Bush menggelontorkan dana talangan lebih dari satu triliun dolar guna menyelamatkan Lehman Brothers dan perusahaan-perusahaan raksasa Wall Street lain yang diambang kebangkrutan.

"Kita harus bertindak," kata Bush di depan Kongres.

Ia tidak percaya lagi bahwa tangan-tangan ajaib bisa mengoreksi sendiri krisis keuangan yang melanda AS dan berimbas pada seluruh tata ekonomi internasional.

Sudah Dikumandangkan

Ketidakpercayaan atas liberalisasi ekonomi sebetulnya sudah dikumandangkan para ahli dan politisi di Amerika sendiri. Majalah Newsweek edisi 7 Januari 2008 memuat tulisan kolumnis Robert J Samuelson yang berjudul "Selamat Tinggal pada Perdagangan Bebas".

Samuelson menjelaskan bahwa munculnya liberalisasi bersamaan dengan krisis tahun 1929. Waktu itu ada kepercayaan bahwa proteksionisme memperparah depresi AS. Faktor munculnya liberasisasi juga didorong oleh situasi Perang Dingin.

Ada keyakinan bahwa komunisme dapat dilawan dengan saling mensejahterakan negara-negara Barat melalui perdagangan bebas. Pada titik tertentu memang benar adanya. Ketika komunisme runtuh dan sosialisme ambruk dengan bubarnya Uni Soviet, Barat merayakan kemenangan dan "kebenaran" sistim liberalisme atas komunisme/sosialisme.

Francis Fukuyama bahkan berani mengatakan dengan tumbangnya komunisme waktu itu, maka sejarah telah mati. Fukuyama menulis buku "The End of History" untuk menamai era baru pasca Perang Dingin. Sebuah era dunia baru dimana demokrasi dan liberalisasi ekonomi yang akan menjadi nilai dasarnya. Sebuah era baru yang akan membuat dunia lebih damai dan lebih sejahtera di bawah naungan kapitalisme.

Sejak saat dimana Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya, baik di bidang politik dan ekonomi, maka tidak ada halangan lagi untuk menyebarluaskan demokrasi dan liberalisasi. AS terobsesi untuk untuk menjadikan seluruh negara di dunia menjadi negara demokrasi, karena "sesama negara demokrasi tidak saling memerangi".

Negara yang dikatakan masih belum demokratis seperti Irak, Iran dan Korea Utara, perlu dibebaskan. Bilamana perlu, demokrasi ditegakkan di bawah todongan senjata. Diktatur seperti Saddam Hussein mesti digulingkan. Tentara AS harus dikerahkan. Invasi kemudian dilakukan.

Dikucilkan

Negara-negara yang belum menerapkan perdagangan bebas harus ditekan dan didikucilkan. Hambatan-hambatan terhadap tarif harus dihilangkan. Ruang bebas terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA, NAFTA, atau kawasan free trade area harus dibuka selebar-lebarnya.

Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF dijadikan alat untuk meliberalisasi ekonomi negara-negara yang membutuhkan bantuan keuangan. Negara-negara yang menolak bergabung dengan WTO atau enggan dipulihkan ekonominya oleh IMF, diberikan sanksi. Bilamana perlu diembargo.

Garisnya sangat jelas. Ikut demokrasi dan liberalisasi atau rasakan akibatnya. Diplomasi "wortel dan pentungan" sudah biasa dilakukan AS.

Itulah dunia yang didambakan dalam konsep "American Dream" yang ternyata hanya utopia. Demokrasi dan liberalisasi ekonomi ternyata tidak seindah yang dimimpikan. Ketika Great Depression (1929) dan Perang Dingin tidak relevan lagi, maka liberalisasi kehilangan mesin pendorongnya. Itu sudah diramalkan sendiri oleh para ahli ekonomi AS, macam Samuelson atau Joseph Stiglitz.

Ekonomi dunia yang "booming" ternyata juga membuat paham liberalisme melemah. China yang dianggap sebagai negara yang proteksionis dan tidak liberal, ternyata bisa tumbuh ekonominya secara mencengangkan. Prof. Kishore Mahbubani dari Singapura meramalkan ekonomi China akan melewati AS dalam tempo kurang dari sepuluh tahun lagi.

"Kita menyaksikan perekonomian Amerika Serikat yang menurun dan Asia yang menanjak, terutama China dan India," katanya.

Mengkhianati

Selain ekonom, politisi AS juga mulai mengkhianati liberalisasi. Hillary Clinton dalam setiap kampanye menyatakan teori-teori yang melandasi perdagangan bebas tidak berlaku lagi dalam era globalisasi.

Jika terpilih sebagai presiden, seperti dikutip Financial Times edisi 3 Desember 2007, Hillary menyatakan akan meninjau kembali perjanjian perdagangan NAFTA, walaupun yang menandatanganinya tahun 1993 adalah suaminya sendiri.

Pengkhianatan terbesar terhadap liberalisasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Bush. Alih-alih membiarkan mekanisme pasar di Wall Street mengoreksi diri sendiri, Bush memberi dana talangan tanpa banyak persyaratan semacam ketika Bank Indonesia menggelontorkan BLBI. Tak ada batas waktu kapan dikembalikan dan batas maksimum dana yang dikucurkan. Tak ada pula keharusan perusahaan merestrukturisasi diri.

Amerika Serikat telah menyimpang dari pakemnya sendiri. Jika AS saja sudah tidak percaya terhadap kredonya sendiri, apalagi yang lain. Mungkin sudah saatnya dunia, seperti dikumandangkan oleh Samuelson, untuk mengucapkan "Selamat Tinggal Perdagangan Bebas".

Telah mati: Liberalisasi ekonomi.(*)

Sumber : ANTARA News

http://www.antara.co.id/arc/2008/10/9/neoliberalisme-telah-mati

Minggu, 05 Oktober 2008

Anomali Politik

Oleh : Ikrar Nusa Bhakti

Suatu hari seorang kawan, mantan aktivis sebuah organisasi ekstra kemahasiswaan, mengirim pesan singkat kepada penulis. Isinya, "Parpol dan politisi tampak seperti remaja dengan masa puber tak berujung. Setiap menjelang pemilu sibuk tebar pesona untuk cari dukungan dan pasangan. Gayanya bagaikan 'Jablay' yang rindu belaian dan cumbuan. Maklum, desakan syahwat berkuasa kuat menggelora."

Hanya dalam hitungan detik, kawan yang sama mengirim SMS lanjutan, "Tapi setelah pemilu usai, gaya mereka berubah aneh-aneh. Ada yang seperti kakek-kakek yang kurang pendengaran dan penglihatan (buta dan tuli terhadap jeritan dan penderitaan rakyat), ada yang seperti kurang gizi dan loyo bekerja (mangkir melulu dan jarang hadir pada sidang-sidang di DPR), ada yang seperti preman yang peras sana peras sini, dan ada yang seperti sakit ingatan lupa akan janji-janji kampanyenya. Itu tadi orang yang dapat kursi dan posisi. Sedangkan yang tidak dapat apa-apa usai pemilu, ya..berubah jadi preman atau orang gila beneran. Aduh..mau jadi apa negeri ini!"

Dua kutipan di atas menunjukkan betapa parpol dan politisi di Indonesia berbuat yang abnormal menjelang dan seusai pemilu. Dalam istilah kerennya, terjadi anomali politik.

Sejarah kehidupan parpol juga penuh anomali politik. Sejak menjelang Pemilu 1955 hingga menjelang Pemilu 2009, perpecahan partai sudah menjadi fenomena politik. Kalaupun tidak pecah, para politisi cakar-cakaran berebut posisi di dalam partai. Tidak heran jika menjelang Pemilu 1955 dan pemilu pasca 1998, bukan penggabungan, melainkan pemekaran partai. Contohnya, menjelang Pemilu 1955 Masyumi pecah dan berdiri NU dan partai Islam lainnya.

Menjelang Pemilu 1999, PPP yang merupakan satu-satunya partai Islam era Orde Baru, pecah berkeping-keping. Berdirilah PKB, PBB, PAN, Partai Keadilan (PK) dan sebagainya. PDI dan Golkar juga mengalami nasib yang sama. Kino-kino yang dulu jadi tulang punggung Golkar, ada yang menjadi partai politik, contohnya Partai MKGR. PDI juga pecah ada yang menggunakan nama PNI Massa Marhaen, ada PNBK, ada Partai Damai Sejahtera dsb.

Menjelang Pemilu 2004, perpecahan terjadi lagi, mereka yang dulunya menyatu di PPP, mendirikan partai baru, PBR. Mereka yang dulu pendukung Golkar juga mendirikan partai baru, Partai Patriot. Hanya satu partai Islam yang tetap solid, walau berganti nama, PK menjadi PKS. Muncul pula partai baru, Partai Demokrat.

Menjelang Pemilu 2009, mereka yang berideologi nasionalis juga muncul lagi. PDI-P pecah dengan terbentuknya partai baru, PDP. Partai berhaluan marhaenisme atau islamisme juga banyak bermunculan. PAN pecah dan berdiri partai baru, PMB yang diusung para aktivis pemuda Muhammadiyah. Mereka yang dulu di Golkar dan Partai Demokrat juga mendirikan Partai Hanura, Partai Gerindra dan Partai Barnas. Perpecahan internal juga terjadi di PPP, Partai Golkar, dan PKB.

Perpecahan, perseturuan, perebutan kursi caleg menjelang pemilu tampaknya sudah menjadi 'the name of the game' dalam kehidupan kepartaian di Indonesia. Jika kalah dalam pengambilan keputusan atau perebutan kursi jabatan dalam partai, bukannya menerima, melainkan hengkang dan mendirikan partai baru.

Padahal, fatsun politik normal dan berlaku di banyak negara demokrasi ialah mereka yang menang tetap memberi tempat pada yang kalah. Sebaliknya, mereka yang kalah tetap menyatu dalam partai dan memberi dukungan penuh pada calon presiden atau perdana menteri yang diusung oleh partai tersebut.

Contohnya, Hillary Clinton mendukung penuh Barack Obama sebagai capres pada Konvensi Nasional Partai Demokrat di Amerika Serikat walau ia merupakan seteru kuatnya sebelumnya.

Meski tidak terkait dengan soal kepartaian, anomali politik juga terjadi dalam hubungan antara Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla belakangan ini. Wapres Kalla diminta Majelis Rakyat Thailand Selatan dan Pemerintah Thailand agar menjadi mediator dalam perundingan rahasia menyelesaikan masalah di provinsi Thailand Selatan yang mayoritas Islam.

Politik yang normal mengajarkan, selama persoalan trust antara kedua kelompok yang bertikai masih rendah, maka pertemuan dilakukan rahasia. Namun apa lacur, agar pamor SBY tinggi JK, Jubir SBY Dino Patti Djalal justru membeberkan pada pers, Indonesia diminta Thailand menyelesaikan persoalan Thailand Selatan. Untuk itu Presiden SBY, katanya, memberi mandat Wapres Kalla menjadi mediator dalam pertemuan di Istana Bogor.

Kontan saja Pemerintah Thailand menyangkal adanya permintaan itu. Suatu anomali politik akhirnya menjadi 'political blunder' dalam upaya RI membantu penyelesaian konflik antara pemerintah Thailand dan rakyat Thailand Selatan.

Entah kapan anomali politik berakhir. Jika saja konsolidasi demokrasi berjalan baik dan para politisi menyatukan langkah memerbaiki kondisi negara yang carut marut, mungkin Indonesia tak lagi terpuruk di usianya yang sudah 63 tahun ini.

Penulis adalah profesor riset bidang intermestic affairs di LIPI [L4]

Sumber : http://www.inilah.com/berita/celah/2008/09/27/52080/anomali-politik/

Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD