Senin, 31 Mei 2010

Pemberlakuan Sekolah Bertaraf Internasional Bisa Diuji di Mahkamah Konstitusi

Sekolah bertaraf internasional (SBI) dinilai melanggar konstitusi karena sistem tersebut sudah di luar satu sistem pendidikan nasional. Namun untuk membuktikannya, ketentuan yang mengatur SBI dalam UU Sisdiknas harus diuji terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau ada penafsiran seperti itu (SBI melanggar konstitusi), itu bagus, tapi harus diuji dulu ke Mahkamah Konstitusi apakah ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945," kata mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie di Jakarta, Minggu (30/5).

Jimly mengatakan SBI yang diselenggarakan pemerintah saat ini berlebihan sehingga pada praktiknya menjadi diskriminatif. Sekolah-sekolah negeri yang dijadikan SBI tidak benar-benar sekolah bertaraf internasional, tapi hanya berlabel internasional seperti iklan saja.

"Ini yang menimbulkan masalah karena ada sekolah negeri yang berbahasa Inggris dan ada yang tidak. Karena itu, pemerintah cukup menyelenggarakan pendidikan nasional saja. Sedangkan untuk sekolah bertaraf internasional, pemerintah cukup sebagai pemberi izin peran serta masyarakat dengan mengembangkan sekolah swasta internasional. Jadi Pemerintah tidak mengeluarkan biaya untuk sekolah bertaraf internasional tersebut, karena itu di luar sistem pendidikan nasional," kata Jimly yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) itu.

Jimly mengatakan sekolah internasional yang perlu dikembangkan Pemerintah adalah sekolah bagi orang asing yang belajar di Indonesia. "Sekolah khusus internasional seperti ini untuk orang asing, tapi kurikulumnya tetap nasional. Jadi bedakan antara sistem pendidikan nasional dan partisipasi masyarakat yang mengembangkan sekolah internasional sesuai kebutuhan pasar," ujarnya.

Kennorton Hutasoit, MediaIndonesia.com
SUMBER : MK Online

Kamis, 27 Mei 2010

DPR belum terima usulan pemekaran di Sumut

MEDAN - Belum ada satupun usulan pemekaran provinsi dan kabupaten di Sumatera Utara yang masuk ke Panitia Kerja (Panja) Pemekaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Termasuk usulan pemekaran Provinsi Tapanuli (Protap).

“Belum, Panja Pemekaran sampai saat ini belum ada menerima satupun usulan pemekaran dari Sumut,” kata anggota Panja Pemekaran DPR, Abdul Wahab Dalimunthe, tadi malam.

Menurut mantan ketua DPRD Sumut periode 2004-2009 ini, pada dasarnya DPR tidak akan membatasi usulan pemekaran yang diajukan daerah. Selama tujuan pemekarannya untuk mensejahterakan rakyat.

Namun bagaimanapun, tambahnya, untuk melakukan pemekaran suatu daerah, tentu tetap harus memenuhi persyaratan dan mekanisme peraturan yang berlaku.

“Dan salah satu tugas Panja Pemekaran adalah menjembatani aspirasi pemekaran itu agar proses pembentukan mengikuti mekanisme,” kata Anggota DPR-RI dari Fraksi Demokrat yang meraih suara terbanyak di daerah pemilihan Sumut I.

Seperti diketahui, sejumlah usulan pemekaran yang ada di Sumut seperti, Provinsi Tapanuli, provinsi Sumatera Tenggara, provinsi Nias, dan usulan yang terakhir masuk ada Provinsi Tapian Nauli. Selain itu juga ada usulan pemekaran Kabupaten Pantai Barat dari Madina.

Sejumlah usulan pemekaran tersebut sudah dimasukkan dan sedang di bahas di Komisi A DPRD Sumut, eperti usulan pemekaran provinsi Tapanuli dan provinsi Sumatera Tenggara.

Editor: NORA DELIYANA LUMBANGAOL
(dat04/wsp)

Rabu, 26 Mei 2010

Melewati Tenggat Waktu, MK Putuskan Permohonan Sengketa Pemilukada Kab. Sumbawa Barat Tidak Diterima

Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan Andy Azisi Amin-Dirmawan tidak dapat diterima. Demikian bunyi amar putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah Sumbawa Barat, Senin (24/5/10) bertempat ruang pleno lt. 2 gedung MK.

Sidang Pleno pengucapan putusan terbuka untuk umum ini dilaksanakan oleh tujuh hakim honstitusi yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan M. Arsyad Sanusi, masing-masing sebagai Anggota. Sidang pembacaan putusan juga dihadiri kuasa Pemohon, Termohon Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumbawa Barat dan kuasanya.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan Hakim Konstitusi Muhammad Alim, Mahkamah menyatakan permohonan Andy Azisi Amin-Dirmawan adalah sengketa hasil penghitungan suara Pemilukada. Pemohon keberatan atas keputusan KPU Kab. Sumbawa Barat No. 29 Tahun 2010 tentang Pengesahan Hasil Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sumbawa Barat Tahun 2010 tanggal 30 April 2010. "Maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan," kata Alim.

Sementara itu, mengenai kedudukan hukum Andy Azisi Amin-Dirmawan (legal standing) yang dibacakan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, Mahkamah menyatakan, berdasarkan Pasal 106 ayat (1) UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah untuk kedua kalinya dengan UU 12/2008 dan Pasal 3 ayat (1) huruf a Peraturan MK 15/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilukada, Pemohon adalah Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah peserta Pemilukada.

Hal ini juga diperkuat dengan Keputusan KPU Kab. Sumbawa Barat No. 14/2010 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati menjadi Peserta Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010, tanggal 2 Maret 2010, Pemohon Andy Azisi Amin-Dirmawan adalah Pasangan Calon dengan Nomor Urut 1. "Dengan demikian Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan," kata Hamdan.

Lewati Tenggat Waktu
Akan tetapi meski demikian, mengenai tenggat waktu pengajuan permohonan ke MK, bahwa berdasarkan Pasal 106 ayat (1) UU 32/2004 juncto Pasal 5 ayat (1) PMK 15/2008 tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara Pemilukada ke MK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah KPU menetapkan hasil penghitungan suara Pemilukada.

Sementara itu, berdasarkan Keputusan KPU Kab. Sumbawa Barat No. 29/2010 tentang Pengesahan Hasil Pemilu Bupati dan Wakil Bupati Sumbawa Barat Tahun 2010 adalah pada hari Jumat, 30 April 2010. Sehingga batas waktu pengajuan permohonan ke MK adalah pada 5 Mei 2010 (hari Sabtu-Minggu, 01-02 Mei 2010 bukan hari kerja). Namun faktanya permohonan ini diajukan dan diterima di Kepaniteraan MK pada hari Kamis, 06 Mei 2010 pukul 16.50 WIB. "Dengan demikian, permohonan Pemohon diajukan melewati tenggang waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan," tegas Hamdan.

Oleh karena itu, meskipun Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan dan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), namun karena permohonan Pemohon diajukan melewati tenggang waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah tidak dapat memeriksa pokok permohonan ini.

Alhasil, dalam amar putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Moh. Mafud MD, Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. (Nur Rosihin Ana)

Sumber : MK Online

Jumat, 21 Mei 2010

Membunuh Partai Baru


DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) selalu akrab dengan atribut-atribut tak elok. Setelah kesohor sebagai salah satu lembaga paling korup, kini DPR menyandang predikat baru sebagai pembunuh.

Pembunuh? Ya, pembunuh partai-partai baru. Sembilan partai yang bercokol di DPR seolah sepakat menjegal partai-partai baru ikut dalam Pemilu 2014. Penjegalan dilakukan melalui revisi UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.

Badan Legislasi DPR sedang menyiapkan revisi UU itu. Salah satu materi yang hendak diselundupkan ke dalam RUU itu menyebutkan parpol yang baru lahir tidak boleh menjadi peserta Pemilu 2014, tetapi harus mengonsolidasikan diri sekurang-kurangnya lima tahun. Jika pasal itu lolos, partai-partai baru baru boleh mengikuti pemilu pada 2019.

Itulah pasal pengebirian sekaligus penyesatan terhadap konstitusi negara. UUD 1945 amendemen kedua Pasal 28E ayat 3 jelas-jelas menyebutkan setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Mengapa DPR merasa berhak membatasi? Pembatasan itu menunjukkan ketakutan partai-partai di DPR terhadap partai-partai baru. Partai-partai yang bercokol di DPR menyadari rakyat kian kecewa dan frustrasi terhadap kinerja mereka. Partai-partai di DPR lebih menjaga kepentingan kelompok daripada memperjuangkan hak-hak publik.

Tengok saja Sekretariat Bersama (Sekber) Partai Koalisi yang baru disahkan. Itu adalah persekongkolan partai-partai untuk menyelamatkan kepentingan kelompok, bukan memperjuangkan keperluan khalayak.

Semestinya DPR tidak perlu genit membuat aturan menghambat partai baru. Peraturan yang ada sekarang sudah cukup ketat menyeleksi partai sebagai badan hukum dan sebagai peserta pemilu. Sebuah partai terlebih dahulu harus memperoleh pengesahan sebagai badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM. Setelah itu, diseleksi lagi sebagai peserta pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum. Banyak partai tumbang dalam dua seleksi itu.

Tidak hanya itu. Setelah lolos mengikuti pemilu, masih ada aturan lain menghadang, yakni parliamentary threshold sebesar 2,5% sesuai dengan UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif. Artinya, hanya parpol yang secara nasional mempunyai suara memenuhi ambang batas 2,5% itu yang dapat menempatkan wakilnya di parlemen.

Dengan aturan-aturan tersebut, DPR tidak perlu menghalangi partai baru mengikuti pemilu. Adalah hak warga negara untuk mendirikan partai yang mampu mengartikulasikan kepentingan mereka. Biarkanlah partai-partai itu tumbuh, hidup, dan bersaing merebut kepercayaan publik.

Biarlah rakyat sendiri yang menjadi hakim yang memvonis partai mana yang boleh hidup dan mana yang harus mampus. Bukan partai-partai di DPR yang menjadi algojo memenggal hak berserikat warga.

Kita kecewa dengan sikap partai-partai yang kini bersinggasana di DPR.

Kecewa karena DPR yang semestinya mendorong proses demokrasi melalui pembentukan undang-undang telah beralih menjadi tukang jagal yang memotong hak hidup partai baru.

Sumber : Media Indonesia.com

Senin, 17 Mei 2010

Senyuman Pahit untuk Reformasi

OLEH INDRA TRANGGONO

Bagi kelas menengah, gerakan reformasi 1998 adalah berkah. Reformasi yang kini telah berusia 12 tahun itu telah melahirkan keterbukaan dan kebebasan yang mengakhiri represi rezim Orde Baru. Namun, bagi rakyat jelata, reformasi cenderung dipahami sebagai ”kutukan” yang menyodorkan menu derita.

Menu derita itu diproduksi mesin ”kuliner” kekuasaan yang diprogram untuk melakukan diet kesejahteraan bagi rakyat jelata. Rupanya para pengelola negeri ini masih memelihara keyakinan bahwa hidup prihatin merupa- kan kodrat sosial rakyat. Dengan hidup prihatin, jiwa dan raga rakyat akan selalu tergembleng.

Ironisnya, pemerintah seolah masih merasa perlu ”mempertahankan” status quo kemiskinan, sempitnya lapangan pekerjaan, biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi, dan harga-harga kebutuhan pokok yang sulit dijangkau. Pemerintah sangat yakin, watak utama rakyat adalah kesabaran dan pemaaf. Selain itu, rakyat juga tangguh: semakin mendapatkan tekanan, rakyat akan semakin kreatif.

Kondisi sosial dan ekonomi yang lumayan kuat menjepit itu tentu bertolak belakang dengan harapan rakyat ketika reformasi bergulir. Di benak mereka terbentang horizon harapan perubahan nasib. Namun, janji perubahan menuju kesejahteraan itu hanya menjadi dongeng pelipur lara.

Bisa dipahami jika terhadap reformasi rakyat cenderung memberikan senyuman pahit. Hal itu bukan karena mereka tidak menghargai jasa berbagai pihak yang telah melahirkan reformasi. Ketika reformasi bergulir, rakyat memberikan dukungan yang luar biasa, baik fisik maupun moral. Dengan sangat mengharukan, mereka menyediakan makanan dan minuman di sepanjang jalan untuk para pejuang reformasi. Mereka menyambut para demonstran bak pahlawan kemerdekaan.

Reformasi yang pada awalnya sangat menggetarkan hati itu ternyata menyesakkan dada dalam perkembangan selanjutnya. Setelah cukup lama rakyat ikut berjoget diiringi musik kebebasan, mereka pun akhirnya lelah dan lapar. Kepahitan ini mendorong mereka putus asa. Dalam keputusasaan itu mereka pun mulai merindukan kehidupan pada masa lalu di era Orde Baru. Waktu itu, detak ekonomi mereka jauh lebih baik daripada sekarang. Bagi mereka ”lebih baik dibungkam tapi perut kenyang daripada bebas tapi lapar”.

Reformasi tidak salah

Kaum intelektual tentu menganggap rakyat naif ketika membenturkan demokrasi dan kesejahteraan. Alasannya, demokrasi merupakan jalan, laku atau exercise politik untuk melahirkan sis- tem kekuasaan adil, transparan dan menjunjung hak asasi manusia, sedangkan kesejahteraan adalah cita-cita sosial yang wajib diwujudkan oleh rezim yang diberi mandat untuk memerintah.

Kesejahteraan merupakan buah pengelolaan yang baik atas ne- gara. Di situ, kekuasaan didistribusikan secara adil dan mera- ta. Jadi, jika saat ini rakyat hidup susah, maka yang salah bukan gerakan reformasi, melainkan pengelola kekuasaan negara.

Politikus muda yang populis, Budiman Sujatmiko (2010), melihat Orde Reformasi semestinya merupakan kelanjutan sejarah pembangunan peradaban bangsa. Soekarno (Orde Lama) menitikberatkan perjuangannya pada pembangunan karakter bangsa. Soeharto (Orde Baru) melanjutkannya dengan membangun negara, khususnya stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Orde Reformasi semestinya membangun kesejahteraan masyarakat. Namun, orientasi itu berbelok atau sengaja dibelokkan menjadi memperkaya individu. Negara pun tersubordinasi kepentingan individual para pengelola kekuasaan, politisi, dan pengusaha.

Orientasi perubahan yang terjadi bukan untuk memberdayakan potensi-potensi publik sekaligus membuka akses bagi publik, melainkan cenderung berpihak pada kepentingan individu pengelola negara dan sekutu-sekutunya. Celakanya, semua kebijakan itu dilakukan dengan mengatasnamakan publik. Ungkapan ”demi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara” selalu bertaburan dalam pidato para elite politik, tetapi yang terjadi adalah ”demi kepentingan pribadi atau kelompok”.

Maka, jangan heran jika muncul sebutan Indonesia adalah ”negara persekongkolan” yang turunannya antara lain mafia politik, mafia hukum, dan mafia ekonomi. Negara yang tersubordinasi individu/kelompok telah memunculkan bahaya lain: korupsi seperti yang sangat meriah saat ini. Mereka memperkaya diri tanpa takut sanksi hukum karena hukuman untuk para koruptor rendah, apalagi fasilitas penjara bak hotel berbintang.

Merasakan berbagai kenyataan ini, rakyat hanya bisa mengelus dada. Reformasi yang sarat nuansa heroisme itu pun akhirnya hanya melahirkan narasi-narasi kepedihan bagi rakyat.

Rakyat hanya bisa tersenyum pahit, sambil mengucap, ”Negeri ini telah kehilangan negarawan.”

INDRA TRANGGONO Pemerhati Budaya; Bermukim di Yogyakarta

Sumber : Kompas Online

Selasa, 04 Mei 2010

Apa Kabar, Otda?

BERDASARKAN Keppres No 11 Tahun 1996, 25 April diperingati sebagai Hari Otonomi Daerah (otda). Kita baru melaluinya lima hari lalu, tanpa sambutan gegap gempita oleh masyarakat, sekalipun otda dicita-citakan mampu mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan bagi segenap warga NKRI. Mungkin publik umumnya tidak sadar. Perjalanan otda ternyata relatif tenang di tengah pergolakan mencari jati diri bangsa yang tidak pernah sepi. Betapa pun karut marutnya situasi sekarang, otda tidak bergolak, NKRI aman. Di sisi lain, kita patut bertanya apakah otda sudah ideal? Jangan sampai dia tenang-tenang menghanyutkan akibat kekecewaan karena tekanan-tekanan ekonomi atau rasa ketidakadilan.
Cita-cita founding fathers tentang otonomi daerah masih jauh panggang dari api. Padahal, seperti kata negarawan Inggris, Margaret Thatcher, dalam buku Statecraft, walaupun ancaman komunis di Asia Tenggara telah tercabut, ancaman lain masih menghadang, yaitu ancaman disintegrasi. Mantan Perdana Menteri Inggris berpendapat demikian karena menyadari betapa besarnya Indonesia, dengan penduduk keempat terbesar di dunia yang hidup tersebar di ribuan pulau yang terserak di wilayah luas membentang. Kata Thatcher, "Selama eksistensinya sebagai negara merdeka, yang paling dipikirkan para pemimpinnya adalah bagaimana menggalang persatuan nasional. Itulah alasannya mengapa Pancasila termaktub dalam UUD-nya sebagai falsafah pemandu bangsa."
Pendapat Thatcher benar. Maka, berbagai letupan kekerasan dalam bulan-bulan terakhir ini patut kita waspadai dan risaukan karena pastinya menandakan rasa kecewa, terutama di kalangan akar rumput.

Otda sebagai pemersatu
Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo (alm) tahun 1980-an pernah menyatakan, kita seharusnya berupaya mendirikan pusat-pusat pertumbuhan di berbagai daerah untuk menarik penduduk datang ke sana dan ikut membangun. Pembangunan jangan hanya terpusat di daerah tertentu. Tetapi terbukti, sampai sekarang pun investasi terbesar mengalir ke tempat-tempat itu juga--DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten--seperti diberitakan Media Indonesia awal minggu ini.
Pak Mitro, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, sebenarnya sudah mulai melihat ketimpangan antara pusat dan daerah. Dia bergabung dengan kelompok yang memberikan ultimatum kepada pemerintah pusat pada Februari 1958, dan beberapa hari kemudian, 15 Februari 1958, mereka mendirikan pemerintahan tandingan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tentang hal itu nantinya dia menjelaskan, semula mereka hanya mengingatkan pusat bahwa daerah memerlukan otonomi dan pengembangan. Namun, Sumitro meyakini Indonesia harus satu. Maka, tatkala PRRI hendak mendirikan Republik Persatuan Indonesia (RPI) tanpa memasukkan pulau Jawa, dia menolak tegas.

Distorsi Otda
Prof Dr Ryaas Rasyid, mantan Menteri Negara Otonomi Daerah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, mendapat sebutan Arsitek Otonomi Daerah karena pemikiran dan kegigihannya memperjuangkan otda. Sejak 25 Januari 2010, dia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Ryaas waktu itu mengatakan, memahami soal otonomi daerah bukan hanya dengan membaca undang-undang, tetapi harus tahu falsafah, konsep dasar, strategi pelaksanaan, serta monitoring-nya. Dalam kedudukannya yang strategis waktu itu, dia mengusulkan sekitar 200 keppres dan 30 peraturan pemerintah (PP) untuk mendukung pelaksanaan otda. Dia beranggapan, selain tidak ada bimbingan atau pengawasan, peraturan untuk menjalankan otonomi pun tidak mencukupi. Namun, usulnya tidak pernah ditindaklanjuti. "Pelaksanaan otonomi tak mungkin berjalan mulus tanpa bimbingan dan supervisi pemerintah pusat," katanya. Tambahnya, distorsi pelaksanaan otda bukan karena substansi undang-undangnya, tetapi pada pelaksanaannya.
Tentang pemilu kada yang juga menggambarkan perkembangan otda, Ryaas berpendapat, faktor-faktor emosional lebih banyak berbicara daripada berpikir rasional. "Tiap kali pemilu atau pilkada, selalu akan ada salah satu pihak yang tidak menerima hasilnya karena didasari emosi, bukan rasio," katanya.

Go East
Ada saran menarik dalam sekapur sirih buku Otonomi Daerah 1945-2010, Proses & Realita (2005; 2010) karya BN Marbun SH, "Kalau Amerika pada akhir abad XIX go west, mengapa kita di abad XXI tidak go east?--membangun pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia Timur?
Dalam buku komprehensif itu penulisnya menyimpulkan, ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan, antara lain, sejumlah pemda tergoda untuk semakin menjauh dari Pancasila dan UUD '45; selama reformasi, banyak pimpinan DPRD terlibat kasus korupsi kronis; selama reformasi banyak peraturan daerah yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi; pemda lemah dalam pengelolaan keuangan.
Sebagai pemersatu, otda rasanya minta dan memang perlu ditelateni dan diawasi. Pimpinan masyarakat pusat ataupun daerah tentunya diharapkan lebih aktif melibatkan diri. Semuanya demi kelanggengan NKRI dan kesejahteraan warganya.

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group

Imunisasi Kejujuran

"Those who die for a cause awaken to life the dead among the living." (Syed Hussein Alatas, 1999)

Maraknya pemberitaan mengenai korupsi selama beberapa pekan terakhir ini mungkin menandakan telah bangkitnya kesadaran kolektif bangsa ini terhadap gelombang korupsi. Berbagai analisis ditawarkan narasumber yang merupakan ahli dalam bidang mereka masing-masing. Secara awam dapat disimpulkan, korupsi tidak dapat dihapuskan begitu saja dengan implementasi hukum dan pendirian badan super seperti KPK. Antikorupsi harus menjadi sebuah gerakan masyarakat sipil dan hal itu terutama sangat penting dilakukan sejak dini sejak dalam lingkungan sekolah dan keluarga.

Namun jika melihat dari praktik yang berlaku di sekolah-sekolah kita saat ini, sangat sulit untuk menemukan bibit penanaman gerakan antikorupsi sejak dini. Perilaku tidak jujur dalam hal-hal mendasar seperti mengerjakan pekerjaan rumah yang dilakukan sendiri terus berlaku. Perilaku itu bahkan menjadi sesuatu yang diterima dalam melaksanakan ujian nasional. Kejujuran dalam melakukan UN yang seharusnya menjadi tolok ukur awal keberhasilan pelaksanaan UN hilang ditelan kepentingan kelulusan siswa itu sendiri. Maraknya kasus plagiarisme yang dilakukan dosen di perguruan tinggi hanya menegaskan kembali bahwa kejujuran telah hilang dari lembaga yang seharusnya menyemai bibit kejujuran sejak dini.

Dari pengalaman penulis, sangat sulit untuk memutus mata rantai perilaku tidak jujur ini. Bahkan ketika kejujuran telah menjadi bagian dari budaya sekolah dan diimplementasikan secara konsisten dalam kegiatan sehari-hari baik untuk siswa, guru, maupun kepala sekolah. Hal itu hanya dapat dipertahankan hingga menjelang UN berlangsung. Kenyataannya, 'imunisasi' kejujuran yang telah diberikan belum mampu melawan 'virus' curang yang telah menyebar dalam masyarakat hingga tahap yang sangat mengerikan.

Gerakan antikorupsi di sekolah

Banyak faktor yang menyebabkan 'virus' curang ini sangat sulit untuk dibasmi, bahkan untuk di sekolah. Banyak pihak menuding kekurangan pada proses belajar yang disebabkan ketimpangan kemampuan guru, sarana, dan prasaran adalah salah satu alasannya. Dari pengalaman penulis, jika hal-hal tersebut diminimalkan serta lingkungan jujur diterapkan di sekolah, itu ternyata tidak cukup untuk membuat siswa menyadari bahwa kejujuran adalah di atas segalanya. Diperlukan kerja sama yang baik dengan orang tua dan stakeholder sekolah lainnya yang mempunyai misi yang sama, agar lingkaran kejujuran juga dapat diciptakan di rumah. Namun jika berkaca dari hasil terakhir UN di sekolah, masih banyak yang tidak berani menghadapi kenyataan bahwa kegagalan adalah bagian dari hidup. Sebagian pendidik yang memiliki idealisme pasti akan merasa gagal dalam mengadvokasi kejujuran sebagai 'way of life' di lingkungan sekolah, baik disebabkan persoalan relasi sekolah-masyarakat yang kurang baik, juga disebabkan sistem pendidikan kita yang tidak pro pada praktik kejujuran.

Hal itu tentu saja dapat menjadi tolok ukur sejauh mana bangsa ini akan dapat melepaskan diri dari jeratan korupsi di masa depan. Syed Hussein Alatas dalam bukunya Corruption and the Destiny of Asia (1999) menggambarkan efek korupsi terhadap individu dan masyarakat ketika mereka harus berhadapan dengan pelayanan publik yang korup. 'The first effect is the rise of a pessimistic attitude. The future is full of uncertainty. The law and ethical norms are not there to protect the individual. Honesty, hard work and self development do not help to increase happiness, security and welfare'. Efek awal korupsi adalah timbulnya sikap pesimistis. Masa depan penuh dengan ketidakpastian. Hukum dan norma etis tidak dapat melindungi individu. Kejujuran, kerja keras, dan perbaikan diri tidak meningkatkan rasa bahagia, aman, dan kesejahteraan. Beliau menekankan jika hal itu berlangsung selama beberapa tahun, keadaan korup menjadi fenomena seperti iklim itu sendiri, sesuatu yang mutlak dan di luar kemampuan manusia untuk dapat mengubahnya. Ketika hal ini menyebar di antara populasi satu negara, masyarakat menjadi pasif dan lembam. Mereka menerima kehidupan yang didominasi kejahatan.

Keadaan tersebut menggambarkan dengan tepat keadaan Indonesia saat ini. Jika kita tidak dapat memutus mata rantai ketidakjujuran ini sedini mungkin melalui gerakan sipil, perubahan tidak akan terjadi. Sekolah seharusnya berada di garda depan gerakan ini. Namun jika melihat dari maraknya beredar kunci jawaban UN dan praktik kecurangan dalam pelaksanaannya, masih adanya keluhan orang tua akan pungutan liar di sekolah sendiri, tidak transparannya penggunaan dana bantuan yang disalurkan hingga transparansi dalam penilaian pencapaian siswa sendiri menjadi indikasi bahwa sekolah juga telah terjangkit virus ini. Hal itu menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi sekolah. Ketidakpercayaan inilah yang menyebabkan sulitnya virus 'curang' untuk hilang dari dunia pendidikan kita.

Apa yang dapat dilakukan pendidik?

Kejujuran tetap harus menjadi falsafah integral dari proses pendidikan, hal itu tidak dapat ditawar-tawar lagi jika kita ingin hidup bebas dari korupsi. Kejujuran tidak hanya diterapkan kepada siswa, tetapi juga berlaku untuk guru, kepala sekolah, serta masyarakat sekolah pada umumnya. Imunisasi 'kejujuran' harus berlaku untuk semua komponen sekolah untuk mendukung pembentukan karakter yang jujur.

Dimulai dari transparansi akan proses sekolah termasuk mengenai dana, penilaian siswa dan proses belajar di kelas itu sendiri. Jadikan akuntabilitas sebagai bagian dari proses pengelolaan sekolah. Berikan siswa keyakinan bahwa mendapat nilai rendah, tetapi jujur, lebih dapat diterima daripada mendapat nilai bagus, tetapi curang. Guru harus transparan mengenai penilaian dan proses belajar sehingga siswa dapat mengukur kerja keras dan hasil setimpal yang didapatnya dari proses belajar. Hal itu akan menumbuhkan etos kerja keras dan kepercayaan akan diri sendiri.

Guru harus dapat menerima jika sumber pembelajaran tidak hanya dari dirinya semata, tetapi secara jujur menerima dan mengakui bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah demikian majunya hingga terus-menerus belajar adalah keniscayaan jika ingin terus berkiprah dalam pendidikan. Kepala sekolah harus jujur dalam mengelola keuangan, mempertanggungjawabkan penggunaan dana, dan proses manajemen sekolah lainnya. Kepemimpinan sekolah harus memberikan model dari perilaku yang ingin ditanamkan. Kejujuran adalah syarat mutlak dari kepercayaan dan komunikasi yang baik agar proses pendidikan dapat dilakukan dengan maksimal untuk membentuk karakter jujur.

Kampanye dari budaya sekolah yang mengedepankan kejujuran juga harus senantiasa dilakukan, baik dalam pertemuan internal sekolah, dengan orang tua murid dan komite sekolah. Galang kerja sama dengan stakeholder sekolah untuk menanamkan kejujuran tidak hanya di dalam, tetapi juga di luar lingkungan sekolah. Lakukan kegiatan dengan nilai kejujuran menjadi salah satu tolok ukur berhasil-tidaknya kegiatan tersebut. Berikan reward dan apresiasi kepada semua warga sekolah yang dapat memberikan contoh kejujuran. Jadikan mereka model dari budaya sekolah yang jujur. Hal itu harus dilakukan secara terus-menerus karena model korupsi yang diberitakan di media telah telanjur tertanam dalam benak masyarakat kita, dengan proses terhadap kasus korupsi tidak pernah berakhir dengan kejelasan. Hal itu menyiratkan melakukan korupsi tidak apa-apa dan jika ketahuan pun, hukuman yang diberikan tidak akan terlalu berat.

Pada akhirnya, perang melawan korupsi dan menanamkan kejujuran adalah perang yang akan terus-menerus dilakukan hingga akhir hayat. Panggilan untuk kejujuran tidak akan pernah hilang dan akan selalu hidup. 'Man is freer than he is commonly thought to be. He is greatly dependent upon his environment, but not to the degree of being subjugated to it. The greater part of our destiny lies in our own hands--provided we understand this and do not let it go (Alexander Herzen)'--manusia sebenarnya memiliki lebih banyak kebebasan dari yang dia perkirakan. Manusia bergantung kepada lingkungannya, tetapi tidak sampai tahap dia ditaklukkan lingkungan itu sendiri. Sebagian besar masa depan kita ada di tangan kita sendiri--selama kita memahami ini dan tidak melepaskannya. Sebagai penyemai bibit masa depan, sudah seharusnya para pendidik percaya akan hal ini sehingga sekolah dapat menjadi tempat 'imunisasi' kejujuran dapat diberikan sejak dini dan sepanjang masa. Semoga ada keberanian pihak otoritas pendidikan kita untuk memikirkan pendekatan dan strategi yang lebih berorientasi pada pembangunan karakter jujur siswa dan pengelola sekolah. Media Indonesia OL

Oleh Satia Prihatni Zen Direktur Sekolah Sukma Bangsa Bireuen, Aceh
Salurkan Aspirasi Politik Anda, Mari Bergabung bersama Kami Partai Bulan Bintang

Permendagri No 24 Tahun 2009 Ttg Pedoman Cara Perhitungan Bantuan Kauangan Parpol Dlm APBD